💙💙💙
Azzahra Janitra, atau biasa dipanggil Ara merasa seperti tidak pernah sekecewa ini. Selama dua puluh enam tahun ia hidup memang banyak orang yang mengecewakannya, tapi ia belum pernah merasa sekecewa ini. Bahkan ia merasa penghianatan mantan pacarnya dulu tidak sesakit ini.
Dulu saat ia duduk di bangku SMA, ia pernah berpacaran dengan kakak kelasnya yang menjabat sebagai ketua osis kala itu. Mereka berpacaran selama lebih dari dua tahun, bagi Ara waktu dua tahun bukan waktu yang sebentar, susah senang sudah mereka lalui bersama. Dulu Ara bahkan begitu setia menunggu sang pacar belajar saat hendak menempuh ujian nasional maupun ujian masuk universitas. Ara selalu mendampingi pria itu, orang bilang dulu Ara sudah seperti istri Ryan--nama pacarnya kala itu--karena selalu berada di dekat Ryan.
Namun, semua berubah saat Ryan mulai masuk perguruan tinggi. Waktu mereka untuk bersama jadi semakin berkurang, bahkan keduanya menjadi jarang bertemu. Ara tidak masalah. Ia tidak pernah protes karena ia paham mungkin kesibukan sebagai mahasiswa memang sepadat itu.
Tapi ternyata dulu Ara terlalu polos dan masih naif. Saat ia mencoba memahami kesibukan sang pacar, justru Ryan malah mengkhianatinya. Pria itu kepergok tengah berselingkuh dengan sang kakak tingkat di kampus pria itu.
Ara marah. Ara juga kecewa. Tanpa perlu berpikir lebih lanjut, ia memutuskan untuk berpisah saat itu juga.
Semarah dan sekecewanya Ara saat itu, rasanya tidak sebanding dengan kekecewaan yang ia rasakan sekarang.
Ara benar-benar merasa kecewa dengan sahabatnya, Jihan. Bagaimana tidak, hidup mereka seolah tidak terpisahkan. Meski sekarang ia bekerja di Jakarta sedangkan Jihan menetap di Semarang, kota kelahiran mereka. Meski jarak memisahkan keduanya tapi masih ada alat komunikasi seluler yang selalu membuat mereka tetap terhubung. Kapan pun dan di mana pun.
Keduanya tidak pernah absen untuk saling bercerita selama mereka terpisah oleh jarak. Bahkan, saat Ara pulang ke Semarang tak jarang gadis itu lebih memilih menginap di rumah Jihan. Hal ini bahkan sering kali menimbulkan protes dari kedua orang tuanya, apalagi kala mengingat Ara itu anak tunggal, sudah jelas bukan kedua orangtuanya akan protes.
Tapi apa yang justru dilakukan perempuan itu terhadapnya? Akan menikah dalam waktu dekat dan baru memberitahunya?
Meski apa yang dilakukan perempuan itu bukan sebuah penghianatan, tapi tetap saja ia merasa seperti sedang dikhianati. Tepat seminggu yang lalu saat ia sedang menemani bosnya dinas ke Semarang, ia menyempatkan diri untuk mengunjungi perempuan itu. Saat ini mereka sempat bercerita banyak, tapi kenapa perempuan itu tidak bercerita apapun? Dianggap apa dirinya selama ini?
Ia tidak marah. Sama sekali tidak. Ara hanya kecewa, kecewa berat karena Jihan memilih tidak jujur terhadapnya. Dan parahnya perempuan itu memberitahunya hanya lewat chat. Jihan bahkan tidak menelfonnya. Ingin sekali dia marah tapi tidak bisa, kekecewaannya terlampau berat.
"Azzahra Janitra!"
Lamunan Ara seketika langsung buyar. Ia mendongak dan mendapati Alarik Garvi Naratama, bosnya, sedang berdiri dihadapannya dengan tatapan tajamnya.
"Kamu tahu kan saya paling nggak suka kalau diabaikan?"
Ara menunduk takut-takut seraya mengangguk pelan. Sebenarnya Garvi bukan tipe bos kaku yang otoriter. Pria itu bahkan terkadang cukup asik untuk diajak berdiskusi, tentang apapun, termasuk hal-hal remeh. Hanya saja di waktu-waktu tertentu pria itu akan berubah sangat tegas dan membuat nyali Ara menciut seketika.
"Lalu kenapa kamu bahkan membuat saya harus memanggil kamu lebih dari dua kali, dan saya sampai harus menghampiri kamu juga. Apa kamu sudah bosan kerja sama saya?"
Tentu saja Ara langsung menggeleng cepat. Meski terkadang Garvi menyebalkan, tapi setidaknya pria itu tidak pernah pelit ilmu, apalagi kalau soal gaji, benar-benar memuaskan. Jadi mana mungkin ia bosan ikut Garvi. Sudah dua tahun delapan bulan mereka bekerja sama. Kurang dari empat bulan lagi genap tiga tahun ia bekerja untuk bosnya ini.
"Maaf, Pak, saya lagi ada masalah sedikit?" ungkap Ara jujur.
Garvi menaikkan alisnya sambil menghela napas. "Kamu pikir yang punya masalah kamu sendiri?" sindirnya sinis, "saya juga punya, Zahra. Semua orang pasti punya masalah. Tapi kamu tahu kan apa itu profesional?"
Berbeda dengan yang lainnya, Garvi memang lebih suka memanggil dirinya Zahra ketimbang Ara. Tentu sja Ara tidak protes, kalau sampai ia berani protes, itu sama saja ia cari mati. Ia bisa dipecat dari posisinya.
Dengan wajah tertunduk Ara kembali mengangguk. "Maaf, Pak. Saya merasa seperti sedang terpukul. Saya kacau."
"Siapa yang meninggal?"
Ara menggeleng. "Tidak ada yang meninggal, tapi saya merasa seseorang itu meninggalkan saya," ucapnya sendu.
Garvi menyipitkan kedua matanya heran. Kalau ia perhatikan sepertinya masalah yang dihadapi personal asistennya ini cukup serius, tidak sedikit seperti yang diucapkan perempuan itu barusan.
"Mau cerita?" tawarnya kemudian.
Ara kembali menggeleng. "Nanti saya dibilang nggak bisa profesional lagi."
Kali ini Garvi terkekeh. "Ya sudah kalau nggak mau. Saya nggak maksa, nanti jam makan siang kosongin jadwal saya, ya."
"Loh, nggak bisa gitu lah, Pak, kan siang ini jadwalnya Bapak makan siang sama Mbak Arin. Saya udah susah-susah atur jadwal biar nggak bentrok loh, masa minta dibatalin gitu aja? Minggu ini jadwal Mbak Arin full, nggak akan sempet pacaran dengan Bapak. Soalnya dua hari lagi Mbak Arin akan terbang ke Lombok, ada pemotretan di sana."
Arin itu pacar Garvi, dia seorang model papan atas yang sedang naik daun. Namanya makin melejit setelah didapuk sebagai BA salah satu kosmetik lokal yang cukup terkenal. Mereka pacaran sudah hampir setahun, terbilang cukup awet memang mengingat track record Garvi yang hobi gonta-ganti pacar.
"Enggak papa." Garvi kemudian memutuskan kembali ke mejanya.
Ruangan mereka tidak terpisah. Seharusnya meja kerja Ara ada di luar ruangan, namun, Garvi mau dirinya bekerja satu ruangan dengan pria itu. Dulu awal-awal ia bekerja, rasanya Ara seperti susah sekali buat napas karena serasa diawasi si bos setiap saat. Tapi lama kelamaan ia menjadi terbiasa.
"Mbak Arin bisa ngambek loh, Pak, kalau Bapak main batalin jadwal begitu aja. Lagian emang Bapak nggak kangen sama Mbak Arin?"
Dengan wajah santainya Garvi menggeleng. "Biasa aja."
"Tapi Bapak hampir sebulan nggak ketemu sama Mbak Arin loh, masa nggak kangen?"
"Sudah sebulan lebih dua hari, Zahra. Kamu ini masih muda tapi sudah pikun. Payah. Makanya jangan makan makanan tidak sehat terus," tegurnya menyebalkan, "makan sayur."
Bagi Ara, Garvi benar-benar berubah menjadi sesosok yang menyebalkan kalau sudah membahas perihal makanan sehat.
"Ya, mana saya tahu, kan saya cuma ngira-ngira."
Garvi mengangkat kedua bahunya bersamaan. "Mending sekarang kamu hubungi manager Arin, mumpung jam makan siang masih lumayan jauh. Takutnya kalau mepet ntar Arin beneran ngamuk, kalau saya sih masih punya jurus andalan buat bujuk dia. Kalau kamu? Bakal kena amuk dua orang," ucapnya mengingatkan.
"Pak, kenapa nggak Bapak sendiri aja sih yang hubungi Mbak Arin?"
"Zahra, menurut kamu saya memperkerjakan personal asisten buat apa, kalau urusan begini aja masih saya sendiri yang atur? Kamu berencana makan gaji buta atau apa?" tanya Garvi dengan tatapan wajah datarnya.
Ara meringis. Padahal bukan begitu maksudnya. Ia tahu dan paham dengan pekerjaannya sebagai personal asisten, yang mana dituntut untuk mengurusi semua urusan Garvi termasuk urusan pribadi dan hal remeh lainnya. Cuma maksudnya kan pria itu tidak sedang sibuk-sibuk banget, apa salahnya sih kalau menghubungi pacar sendiri sambil melepas rindu? Kan nggak ada yang salah.
Dasar pasangan aneh, kalau tidak niat pacaran mending nggak usah pacaran deh. Gerutu Ara dalam hati.
Moodnya sedang jelek karena Jihan yang mendadak mengabari kalau mau menikah dan sekarang bosnya malah bertingkah menyebalkan.
Akhirnya dengan perasaan setengah gondok, Ara mencoba menghubungi Ega, selaku manager Arin. Tidak butuh waktu lama sambungan langsung terhubung dan panggilannya terjawab.
"Halo, Mas Ega, apa kabar nih? Ganggu waktunya enggak?"
Terdengar tawa renyah dari seberang. "Ada apa gerangan nih si cantik tetiba ngehubungi gue pake nada super manis begini? Ada maunya ya, pasti, hayo, ngaku?"
"Duh, Mas Ega, iiih, kan Ara selalu manis."
"Haha, iya, sih, kalau itu gue setuju. Valid no debat. Jadi, ada apa nelfon? Mau reschedule jadwal maksi ya?"
"Bukan, Mas."
"Terus?"
"Batalin."
"Oh, oke, nanti gue bilang sama Arin deh. Udah itu aja?"
"Eh, Mas Ega nggak marah?"
"Emang biasanya gue suka marah-marah?"
Ara meringis canggung, lalu terdengar tawa renyah kembali.
"Haha, sorry, ya, kalau biasanya gue sering marah-marah. Soalnya semua tergantung pada mood baginda ratu Arina Nasution. Kalau moodnya bagus berarti kita aman, begitu pula sebaliknya."
"Oh, gitu, ya, Mas? Berarti ini mood Mbak Arin lagi bagus?"
"Iyes. Bener banget."
Ara akhirnya bisa bernapas lega. "Oke, kalau gitu, Mas, aku tutup ya. Thanks."
"Anything for you, cantik."
"Gimana?" tanya Garvi setelah Ara selesai menutup sambungan telfon.
Perempuan itu mengangguk. "Anda selamat, Pak. Mood Mbak Arin lagi bagus, jadi beliau tidak akan ngamuk meski Bapak batalin jadwal semena-mena."
"Good."
Ara tetap bersikap setenang mungkin meski sebenarnya hatinya sudah gondok setengah mati. "Lalu untuk makan siang, Bapak mau dipesankan apa? Atau mau saya reservasi restoran mana?"
"Catering langganan saya saja. Dua."
"Hah? Kok dua, Pak?" tanya Ara bingung, "Bapak mau ada tamu?"
Garvi meresponnya dengan gelengan kepala. Hal ini membuat Ara sedikit bingung. Sejak kapan bosnya ini punya porsi kuli begini? Sampai minta dua porsi segala.
"Satu untuk saya, satu untuk kamu."
"Hah?" Ara makin dibuat kebingungan, "Bapak batalin makan siang bareng pacar Bapak demi makan siang sama saya?"
"Bukan. Jangan terlalu percaya diri kamu!"
"Lha terus itu barusan maksudnya?"
"Saya mau dengerin cerita kamu."
"Hah?"
💙💙💙💙
Hehe, aku bawa cerita Ara dan Garvi ke sini lagi nih gaesss, ada yg mau baca nggak sih??? Kalo mau aku lanjut post sesegera mungkin deh, soalnya ini aslinya udah selesai kok ceritanya. Jadi bisa lah kalo ada yg mau baca bisa aku up secepatnya. Hehe, jangan lupa tinggalin komen ya semisal ada yang mau baca. tapi semisal gk ada ya udah sih, terima nasib, soalnya kemarin aku php terus ya😭😭😭😭🙏🙏🙏
..."Curhat ke temen ❎...
...Curhat ke bos ☑️ "...
💙💙💙💙
"Bapak pernah dikecewain seseorang?"
Tanpa perlu banyak berpikir, Garvi langsung mengangguk cepat. Ia rasa semua orang pasti pernah dikecewakan.
"Sama siapa, Pak?" tanya Ara mendadak kepo.
"Banyak. Males saya nyebutnya satu-satu."
Ara mengangguk paham. "Saya habis dikecewain sahabat saya, Pak."
Garvi berpikir sejenak. Mencoba mengingat nama sahabat Ara, yang kalau tidak salah ingat pernah mereka temui saat mereka sedang dinas di Semarang. Tapi susah payah ia mencoba mengingat nama perempuan itu, ternyata susah juga, ya.
"Saya ingat orangnya, tapi saya lupa namanya."
"Jihan, Pak, namanya."
Garvi mengangguk paham. "Kenapa sama dia?"
"Dia mau menikah."
Garvi memandang Ara bingung. "Bukankah itu berita bagus?"
"Harusnya."
"Lalu masalahnya?"
"Dia mau menikah minggu depan."
Garvi melotot tajam. "Kok mendadak? Lalu saya bagaimana?"
Terbiasa diatur semuanya oleh Ara membuat Garvin terlalu bergantung pada perempuan itu. Semisal Ara mengajukan cuti jauh-jauh hari saja ia sering kali uring-uringan, apalagi dadakan begini. Semua jadwalnya pasti kacau.
"Nah, kan, Bapak kaget kan? Bisa bayangin perasaan saya bagaimana? Saya sahabatnya loh, Pak, biasanya kita saling curhat kalau ada apa-apa, tapi ini dia mau nikah bahkan ngasih kabar dadakan banget. Saya jadi kayak ngerasa dikhianati, Pak. Kayak nggak dianggap. Hal sepenting ini nggak dibagi sama saya, lalu dianggap apa saya selama ini, Pak?"
"Teman, maybe."
Jawaban Garvi seolah menampar Ara ke dunia nyata. Tanpa sadar air matanya jatuh. Jadi selama ini dirinya hanya dianggap teman? Setelah semua hal yang udah mereka lewati bersama.
Sakit dan juga kecewa. Ara tidak bisa menggambarkan dengan pasti perasaannya sekarang kecuali itu semua.
Lain halnya dengan Garvi, pria itu terlihat panik karena tiba-tiba melihat PA-nya yang biasa gesit dan cekatan tiba-tiba menangis.
"Zahra, apa saya salah bicara?"
Ara menggeleng dengan senyum miris. "Enggak, Pak, justru apa yang Bapak omongin ada benarnya. Kayaknya emang saya yang bego, ya?"
Garvi menggeleng cepat. "No, you're so smart. Kalau kamu bodoh, saya pasti udah pecat kamu sejak dua tahun yang lalu."
Kalimat Garvi sepertinya tidak cukup bisa menghibur Ara. Terbukti bukannya merasa jauh lebih tenang, air mata gadis itu terlihat jatuh makin deras. Hal ini semakin menimbulkan perasaan bersalah pada diri Garvi.
"Zahra, udahan nangisnya, saya nggak tahu cara menenangkan perempuan kalau sedang menangis."
"Emangnya pacar Bapak nggak ada yang pernah nangis?" Ara kemudian menarik beberapa lembar tisu untuk menghapus sisa air matanya.
Garvi menggeleng. "Tidak. Biasanya mereka menangis kalau sudah jadi mantan saya, jadi saya tidak punya hak untuk menenangkan mereka bukan?"
"Kok Bapak nyebelin sih?"
"Semua orang pasti punya sisi menyebalkan masing-masing, termasuk kamu. Sudah lah, berhenti nangisnya, cepat habiskan makan kamu, nanti keburu dingin. Enggak enak."
"Belum dingin juga udah nggak enak kali, Pak. Saya heran deh, kenapa sih Bapak bisa makan makanan begini?"
"Loh, kata siapa ini nggak enak? Ini enak loh. Dibandingkan seplak-seplak andalan kamu itu, jelas ini sangat enak. Apalagi yang ini sehat."
"Dih, apaan seplak?"
"Itu, kerupuk yang lembek-lembek."
Ara berdecak tidak habis pikir. "Itu seblak, Pak. Sembarangan main ganti-ganti. Lagian, ya, Pak, saya kasih tahu, manusia yang nggak doyan seblak itu adalah sekumpulan manusia-manusia merugi tahu. Orang seblak enak juga."
"Terserah. Yang penting sekarang kamu habisin makanan kamu, habis ini kita ada meeting di luar sampe sore."
Ara menatap sedih ke arah kotak makan yang terjadi di depannya. "Enggak bisa, ya, Pak, kalau saya pesen bakso di depan aja? Atau saya bikin pop mie aja deh, nggak papa, saya ikhlas. Asal jangan Bapak suruh makan makanan Bapak, saya beneran nggak suka."
Dari segi rasa maupun jenis makannya, Ara benar-benar tidak menyukai semuanya. Rasanya benar-benar tidak enak di lidahnya. Garvi ini memang tim makan makanan sehat garis keras. Semua yang masuk ke dalam tubuhnya benar-benar diatur dengan baik. Itu lah yang membuatnya terlihat tetap awet muda dan terlihat seperti umur dua puluhan, meski aslinya umur Garvi sudah tiga puluh empat tahun, dan kurang dari dua bulan lagi genap menjadi tiga puluh lima.
"Kamu bisa nggak sih, nggak usah pilih-pilih makan?"
"Loh, Bapak aja kalau makan juga pilih-pilih. Masa saya nggak boleh? Ini sih namanya diskriminasi."
Garvi berdecak kesal. "Saya pilih makanan yang sehat, demi kesehatan dan kebugaran tubuh saya. Tidak seperti kamu, yang nggak mau makan kalau kurang asin lah, pilih-pilih sayur lah. Padahal sayur itu bagus loh, kamu itu masih muda, masih dua puluh enam tahun, tapi gampang banget sakit udah kayak kakek-kakek aja. Kesehatan itu aset, dan kewajiban kita untuk menjaganya, jangan seenaknya sendiri."
"Saya lagi sedih loh, Pak." Bibir Ara manyun beberapa senti.
Garvin kembali berdecak. "Dasar keras kepala. Ya sudah terserah kamu, tapi kalau kamu nggak mau nurut, saya pastikan kamu nggak bakal dapet jatah cuti buat menghadiri nikahan teman kamu itu."
"Bagus. Jadi saya ada alasan."
"Kok kamu ngomongnya begitu?"
"Soalnya saya udah terlanjur kecewa sama dia, Pak. Hati saya benar-benar terluka."
Garvin menghela napas panjang. "Jangan begitu, Zahra, nanti kamu menyesal. Setiap orang pasti pernah mengecewakan dan dikecewakan bukan? Jadi, meski cuma sehari kamu harus tetap pergi menghadiri pernikahan itu. Meski dia tidak menganggap kamu sahabat, tapi bukankah kamu menganggapnya demikian?"
Kali ini Ara diam. Perempuan itu bingung mau membalas apa. Hatinya gundah. Di satu sisi ia ingin menyaksikan hari bahagia Jihan dipersunting lelaki impiannya, tapi di sisi lain, perasaan kecewa itu tidak bisa hilang begitu saja. Rasanya benar-benar menyesakkan dan ia benci perasan itu.
"Emangnya Bapak kasih izin saya buat pulang? Kalau enggak ada saya, nanti gimana sama Bapak? Siapa yang ngurusin semuanya?"
Mulai dari menyiapkan sarapan, baju dan lainnya memang semua dikerjakan Ara. Itu lah kenapa Garvi seolah tidak bisa hidup tanpa gadis itu. Ara tidak bisa cuti lama karena pria itu terlalu tergantung padanya. Biasanya Garvi akan sulit mengizinkan kalau perempuan itu minta cuti dadakan. Eh, tapi ini kebalikannya. Pria itu justru seolah seperti sedang menawarkan cuti mendadak.
"Ya, bisa kamu siapin sebelum kamu pulang kan? Kamu cutinya jangan lama-lama, sehari, abis itu langsung balik ke Jakarta."
Ingin sekali rasanya Ara melempar heels-nya, atau sekedar memukul dahi bosnya ini demi melampiaskan kekesalannya. Kalau sedang mode begini, ia heran, bagian mana yang ia lihat dari sisi baik pria ini?
"Bapak sungguh super tega ya kalau sama saya?"
Niat hati ingin menyindir, tapi Garvi meresponnya dengan santai.
"Kan kamu saya bayar."
Ya, memang benar sih. Tidak salah juga apa yang diucapkan bosnya ini, tapi tetap saja, Ara merasa sedikit gondok saat mendengarnya. Apalagi nada bicaranya seolah penuh kemenangan. Meski sebenarnya wajah pria itu tetap kalem dan tenang.
💙💙💙💙
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!