Mika duduk sendirian di pojok taman sekolah, memeluk buku harian yang selalu ia bawa ke mana-mana. Tubuh gemuknya terbungkus seragam yang tampak ketat di bagian pinggang, dan rambutnya yang kusut tergerai tanpa ikatan rapi. Suasana di sekitar terasa hangat, tapi tidak ada yang mendekatinya. Mika sudah terbiasa dengan kesendirian. Bagi teman-teman sekelasnya, dia hanyalah objek ejekan.
Hari ini, Mika kembali menjadi korban kekejaman geng Dara. Terdiri dari Dara—sang pemimpin dengan senyuman licik—dan dua pengikut setianya, Nisa dan Farah, mereka adalah trio sempurna yang selalu tampil anggun namun penuh kebencian. Dara selalu menemukan cara untuk menghancurkan harga diri Mika. Nisa, dengan rambut lurus panjangnya, senang melontarkan sindiran tajam, sementara Farah sering terlibat dalam aksi-aksi keji dengan ekspresi tanpa rasa bersalah.
“Eh, Mika! Kamu mau ke kantin? Tapi… yakin masih muat lewat pintu itu?” ejek Nisa sambil tertawa terbahak-bahak.
Farah menimpali, “Kasihan banget, pasti kursinya di rumah banyak yang patah, ya?”
Tawa mereka menggema, menarik perhatian siswa-siswi lain yang melintas. Mika hanya menunduk, menahan air mata dan rasa malu.
Puncak penghinaan terjadi di suatu siang ketika Dara menemukan sesuatu yang paling berharga bagi Mika: sebuah surat cinta yang ia tulis untuk Antony, cowok paling populer di sekolah. Mika sudah lama menyukai Antony secara diam-diam, mengagumi senyumnya yang tulus dan sikapnya yang ramah. Sayangnya, dia tahu bahwa Antony tak akan pernah memandangnya.
Namun, harapan kecil itu hancur berkeping-keping saat Dara, Nisa, dan Farah menemukan surat itu di dalam tasnya saat jam istirahat. Mereka menarik Mika ke lorong sekolah, jauh dari pandangan guru, dan merampas suratnya. Mika memohon agar mereka mengembalikannya, tapi Dara hanya tersenyum penuh kemenangan.
“Lihat nih, Nisa. Ternyata si Mika suka sama Antony!” Dara memamerkan surat itu dengan mata berkilat-kilat penuh kesenangan.
“Astaga, kamu serius suka sama Antony? Dia bahkan nggak tahu kamu ada!” Farah tertawa sinis sambil melirik Mika dengan tatapan meremehkan.
Mika merasa seperti terhimpit. Tubuhnya bergetar, ingin menangis, tapi air matanya terasa tertahan di tenggorokan. Ia tahu Dara dan gengnya tak akan pernah melepaskannya begitu saja.
Keesokan harinya, Dara memutuskan untuk membuat hari itu menjadi kenangan yang tak akan dilupakan Mika seumur hidup. Saat jam olahraga berakhir dan seluruh sekolah berkumpul di lapangan, Dara naik ke atas panggung kecil di sudut lapangan dengan surat di tangannya.
“Teman-teman, hari ini kita punya hiburan spesial!” Dara berseru di depan mikrofon, menarik perhatian semua siswa. Mika yang berdiri di pinggir lapangan mendadak merasa tubuhnya lemas.
“Ada yang tahu kalau Mika kita yang manis ini ternyata punya cinta rahasia?” suara Dara bergema, dan semua mata tertuju pada Mika.
Jantung Mika berdegup kencang, ia berusaha mundur perlahan, tapi Nisa dan Farah sudah berdiri di belakangnya, mencegahnya kabur. Dara membuka surat cinta itu dengan penuh drama dan mulai membacakannya lantang.
“Dear Antony, setiap kali aku melihatmu, rasanya seperti dunia berhenti sejenak...” Dara menirukan suara lembut penuh kepalsuan, diiringi tawa penonton.
“Aku tahu kamu mungkin tidak akan pernah memperhatikanku. Tapi aku ingin kamu tahu, aku menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu.”
Gelak tawa pecah di seluruh lapangan. Mika berdiri mematung, seolah tubuhnya tak lagi miliknya. Ia hanya bisa menatap Antony yang berada di tengah kerumunan, melihat senyum yang perlahan memudar dari wajah cowok itu saat dia sadar apa yang terjadi.
“Mika... ini beneran kamu?” Antony bertanya, setengah bingung dan setengah jijik.
Mika ingin berteriak, ingin menjelaskan bahwa dia tidak pernah bermaksud surat itu terbaca oleh siapa pun. Tapi suara Dara lebih cepat.
“Ya, Antony. Bayangin aja, Mika beneran mikir dia punya kesempatan sama kamu!” Dara tertawa keras, diikuti oleh Nisa dan Farah.
Saat itu, dunia Mika runtuh. Rasanya seperti seluruh sekolah bersatu untuk menertawakannya. Setiap tawa terdengar seperti pisau yang menusuk hatinya. Mika berlari meninggalkan lapangan, air matanya mengalir deras, tapi suara ejekan itu terus membuntutinya.
Ia bersembunyi di toilet perempuan, duduk di lantai dingin dengan tubuh berguncang. Kepalanya penuh dengan pikiran-pikiran gelap. “Kenapa aku harus seperti ini? Kenapa aku harus terlahir sebagai diriku?” Mika memukul-mukul dadanya sendiri, berharap rasa sakit di dalam hatinya bisa lenyap.
***
Mika berdiri di depan cermin kamar tidurnya. Tubuhnya terasa berat, bukan hanya karena bobotnya, tapi juga beban ejekan dan rasa malu yang terus menghantuinya. Ia menatap bayangannya—gadis dengan pipi tembam, tubuh gemuk, dan kulit wajah yang dipenuhi jerawat. Mata kecilnya tampak sayu di balik bingkai kacamata yang sudah sedikit usang. Rambutnya yang berantakan membuatnya semakin terlihat kusam.
Mika memegang perutnya, meremas lemak yang bergelambir di sana dengan penuh benci. “Kenapa aku harus seperti ini? Kenapa aku nggak bisa cantik seperti Dara dan teman-temannya?” bisiknya pada diri sendiri. Ia menggigit bibir hingga terasa perih, berusaha menahan air mata yang mendesak keluar.
Rasa jijik yang ia rasakan pada dirinya sendiri semakin menguat. Setiap ejekan dari geng Dara seolah berputar kembali dalam pikirannya. Kata-kata mereka seperti cermin lain yang memantulkan segala kekurangan dirinya—bukan hanya tubuh, tapi juga harga diri yang semakin rapuh.
Malam itu, Mika memutuskan sesuatu. Besok aku akan datang lebih pagi. Aku nggak mau ketemu mereka lagi. Ia berharap dengan menghindari Dara, Nisa, dan Farah, setidaknya bisa mengurangi rasa sakit yang harus ia tanggung setiap hari.
***
Keesokan Paginya
Mika bangun lebih awal dari biasanya. Mata sembabnya belum sepenuhnya pulih, tapi dia tak peduli. Ia mengambil tas sekolah dan bergegas keluar rumah. Jalanan masih sepi, langit berwarna abu-abu muda, menandakan matahari baru saja muncul dari peraduannya.
Sesampainya di sekolah, Mika merasa sedikit lega. Koridor-koridor masih kosong. Tidak ada Dara dan gengnya. Tidak ada tawa mengejek. Tidak ada tatapan merendahkan. Ia menarik napas dalam-dalam, seolah udara pagi itu memberinya sedikit kekuatan untuk bertahan sehari lagi.
Namun, harapan Mika hancur seketika ketika ia memasuki ruang kelas. Di mejanya, ia menemukan sesuatu yang membuat jantungnya serasa berhenti.
Sebuah poster besar terpampang di papan tulis, menampilkan foto Mika yang diambil secara diam-diam saat dia duduk sendiri di taman sekolah. Di foto itu, dia sedang makan roti dengan ekspresi canggung, dan di bagian bawah poster tertulis besar-besar:
“Kontestan Lomba Makan Terbanyak: Mika vs Kuda Nil, Siapa Menang?”
“Kontestan Lomba Makan Terbanyak: Mika vs Kuda Nil, Siapa Menang?”
Di sudut lain papan, terdapat sketsa tubuh gemuk yang menyerupai Mika dengan tambahan tanduk dan ekor babi, dilengkapi tulisan kecil: “Hati-hati, dia bisa melahapmu dalam sekali gigit!”
Tawa Dara, Nisa, dan Farah pecah dari arah belakang kelas. Mereka berdiri di ambang pintu, puas melihat ekspresi Mika yang terkejut dan terluka.
“Gimana, Mika? Kita pikir sekolah ini butuh sedikit hiburan pagi-pagi,” kata Dara dengan nada penuh kemenangan.
“Iya, biar kamu terkenal, Mika! Kita bantu kamu jadi pusat perhatian,” tambah Nisa sambil cekikikan, sementara Farah memotret reaksi Mika dengan ponselnya.
Seluruh tubuh Mika terasa panas. Ia ingin berteriak, ingin melarikan diri, tapi kedua kakinya seolah menancap di lantai. Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan, dan tawa Dara serta teman-temannya semakin menusuk telinga.
Saat itu, dari sudut ruangan, seorang siswa laki-laki memperhatikan kejadian tersebut dengan ekspresi ragu. Namanya Raka, seorang cowok culun dengan kacamata tebal dan rambut berantakan. Meski wajahnya cukup tampan, penampilannya yang lusuh membuatnya sering diabaikan. Raka juga menjadi korban bullying, namun ia tidak pernah melawan. Ia hanya menjalani hari-harinya dengan diam dan pasrah.
Dari tempatnya berdiri, Raka melihat Mika yang dihina habis-habisan. Ia tahu betul rasanya menjadi bahan olokan dan merasa tak berdaya. Hanya saja, kali ini, ia merasa sesuatu dalam dirinya mendesak untuk melakukan sesuatu.
Namun, ketakutannya lebih kuat. Ia hanya menggenggam tali tasnya erat-erat, menunduk, dan berpura-pura tidak melihat apa-apa.
Mika menangkap tatapan Raka sekilas. Seketika, ia merasa sendirian lebih dari sebelumnya. “Bahkan yang terhina seperti dia pun nggak akan menolongku,” pikir Mika pahit.
Ia menggigit bibirnya hingga berdarah, lalu dengan langkah cepat, ia keluar dari kelas tanpa berkata apa-apa. Dara dan gengnya hanya tertawa lebih keras, menikmati pemandangan Mika yang kembali lari dari kenyataan.
***
Di Toilet Sekolah
Mika mengunci diri di salah satu bilik toilet. Tangannya gemetar saat ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan, membiarkan air mata yang tertahan sejak tadi mengalir deras.
“Kenapa harus aku? Apa salahku?” bisiknya lirih, berulang-ulang.
Hatinya penuh dengan rasa marah, kecewa, dan keputusasaan. Ia merasa lelah. Lelah dengan dirinya sendiri, dengan ejekan orang-orang, dan dengan rasa tidak berdaya yang terus menghantuinya setiap hari.
Saat itu, di dalam bilik yang dingin dan sunyi, Mika merasakan sesuatu tumbuh di dalam dirinya—sebuah tekad yang lahir dari rasa sakit.
“Mereka nggak boleh menang selamanya. Suatu hari, aku akan buat mereka menyesal.” Mika mengusap air mata di pipinya dan menatap bayangannya di cermin kecil di toilet. Mungkin hari ini dia kalah, tapi dia bersumpah bahwa ini bukanlah akhir.
Di sudut pikirannya, terlintas sebuah rencana. Dia harus berubah. Tidak hanya secara fisik, tapi juga secara mental. Ini bukan tentang membalas dendam saja—ini tentang membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa dia lebih kuat dari apa pun yang mereka katakan.
***
Berhari-hari, sosok Mika tak lagi tampak di sekolah. Di kursinya yang biasanya terisi dengan tubuh gempal itu, hanya tersisa meja kosong. Seluruh kelas tahu bahwa Mika telah pindah sekolah ke luar kota. Namun, bukan rasa penyesalan atau simpati yang tersisa—melainkan tawa dan kepuasan dari geng Dara.
"Akhirnya dia pergi juga," ujar Dara sambil tersenyum puas saat mendengar kabar itu dari wali kelas. "Kasihan, nggak kuat mental."
Nisa terkikik di sampingnya. "Mungkin dia pindah ke peternakan, biar bisa gabung sama babi-babi di sana," katanya, diiringi gelak tawa Farah yang menutup mulutnya dengan pura-pura sopan.
Meski Mika sudah tidak ada, geng Dara masih sering membicarakannya. Setiap kali mereka melihat sesuatu yang mengingatkan pada Mika—entah itu siswa gemuk lainnya, makanan di kantin, atau foto-foto jadul—nama Mika selalu muncul sebagai bahan olokan.
"Eh, jangan-jangan Mika lagi, tuh, muncul di berita lomba makan!" ledek Nisa suatu hari saat mereka melihat poster makanan di kantin. Dara dan Farah tertawa terbahak-bahak, meskipun Mika tidak lagi ada di sana. Seolah bayangan gadis itu masih menjadi candu yang menyenangkan bagi mereka.
Namun, di sudut lain ruangan, ada seseorang yang tidak bisa ikut tertawa—Raka.
***
Raka duduk di bangkunya, memandangi papan tulis tanpa benar-benar memperhatikan apa yang tertulis di sana. Kepalanya dipenuhi oleh ingatan tentang Mika dan bagaimana dia berdiri diam saat Mika dipermalukan di depan seluruh sekolah.
"Kenapa aku nggak berbuat apa-apa?" pikirnya, menggenggam pensil di tangannya dengan kuat hingga ujungnya patah. Rasa bersalah yang terus menggerogotinya tidak pernah hilang, malah semakin kuat setiap kali mendengar tawa Dara dan gengnya.
Ia tahu betul rasanya menjadi korban. Betapa menyakitkan saat seseorang melihatmu direndahkan tapi memilih bungkam. Ia seharusnya tahu lebih baik. Tapi saat itu, rasa takutnya sendiri lebih kuat daripada keberaniannya. Ia tak ingin menjadi target Dara dan kawan-kawannya—jadi, dia memilih jalan yang aman. Diam.
Namun kini, kepergian Mika terasa seperti beban besar di hatinya. Seolah-olah dia telah kehilangan kesempatan untuk berbuat benar. Tidak ada lagi Mika yang bisa ia temui, tidak ada lagi Mika yang bisa ia ajak bicara. "Aku pengecut," bisiknya dalam hati, menundukkan kepala di atas meja.
Raka ingat dengan jelas tatapan Mika pada hari terakhirnya di sekolah—tatapan penuh kepedihan, keputusasaan, dan juga kekecewaan. Tatapan itu membuatnya merasa kotor, seperti dia ikut berkontribusi dalam luka Mika dengan tidak melakukan apa pun.
***
Saat jam istirahat, Raka berjalan sendirian di koridor sekolah. Seperti biasa, ia tidak punya teman dekat. Tidak ada yang mau berteman dengan cowok yang dianggap culun dan tidak keren seperti dia. Sepanjang perjalanan, ia mendengar Dara dan gengnya masih saja melontarkan lelucon tentang Mika.
"Kalau Mika balik lagi ke sini, gimana ya? Mungkin dia bakal dua kali lebih gemuk!" ucap Dara diikuti oleh gelak tawa yang keras.
Raka mengepalkan tangannya di saku. Tawa mereka membuatnya muak. Mereka tertawa, merasa menang atas penderitaan seseorang, dan itu membuat Raka merasa makin tersudut.
"Seandainya aku bisa minta maaf ke Mika..." pikirnya. Tapi Mika sudah pergi. Dan kata maaf itu kini hanya menggantung dalam hati Raka, tidak pernah tersampaikan.
Setiap malam, Raka sulit tidur. Bayangan Mika terus menghantuinya—saat Mika berdiri di lapangan dengan air mata menetes, saat dia kabur dari kelas dengan tatapan penuh luka. Dan tatapan itu... Tatapan yang sempat menangkap pandangannya, seolah-olah Mika meminta bantuan, namun ia hanya berdiri diam seperti pengecut.
***
Suatu sore, Raka kembali membuka buku harian lamanya. Di dalamnya, ia sering menulis tentang kejadian-kejadian kecil di sekolah, termasuk saat dia dibully oleh teman-temannya. Namun kini, halaman-halaman itu terasa kosong dibandingkan dengan apa yang baru saja terjadi pada Mika.
"Aku nggak bisa ulangi kesalahan ini lagi," tulis Raka di buku hariannya. "Kalau suatu saat aku bertemu Mika lagi, aku akan minta maaf. Aku akan memperbaiki semua yang aku bisa."
Meskipun Raka tidak tahu kapan atau di mana dia bisa bertemu Mika lagi, ia bersumpah dalam hati bahwa ia tidak akan membiarkan dirinya jadi pengecut untuk kedua kalinya.
Dan jika kesempatan itu datang—jika takdir membawanya bertemu Mika sekali lagi—ia akan memastikan untuk menjadi orang yang berbeda. Seseorang yang berani berdiri, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk orang lain yang terjatuh.
Untuk sekarang, ia hanya bisa menunggu. Tapi di balik rasa bersalahnya, ada api kecil yang mulai menyala di hatinya—api yang perlahan, tapi pasti, akan membentuknya menjadi sosok yang lebih kuat dan lebih berani.
Dan meski dia belum tahu bagaimana atau kapan, Raka merasa bahwa kisah antara dirinya dan Mika belum berakhir.
Di kota baru, Mika berharap bisa menjalani hidup tanpa bayang-bayang masa lalu. Kepindahan ini, yang disebabkan oleh penugasan baru ayahnya, terasa seperti pelarian sekaligus kesempatan kedua baginya. Namun, meskipun berada di lingkungan baru, trauma dan rasa sakit dari masa lalu masih membekas.
Alih-alih masuk ke sekolah umum seperti siswa lain, Mika memilih homeschooling. Ia merasa terlalu takut dan malu untuk kembali ke sekolah formal. Hanya dengan memikirkan gedung sekolah, kelas, dan tatapan merendahkan dari teman-teman seperti Dara, rasa cemasnya langsung muncul. Di setiap sudut pikirannya, seolah selalu ada ejekan dan tawa Dara dan gengnya yang menghantuinya.
“Aku nggak mau merasakan itu lagi,” bisiknya dalam hati setiap kali keraguan muncul.
***
Suatu malam, setelah menyelesaikan tugas dari kelas daringnya, Mika tergerak untuk membuka ponsel lama yang sudah lama tidak ia sentuh. Ia tahu bahwa di dalamnya ada kenangan-kenangan yang menyakitkan—chat dan pesan dari masa lalunya, dari orang-orang yang pernah menjadi bagian hidupnya di sekolah lama.
Tangannya gemetar saat membuka aplikasi chat.
Di sana, ia menemukan beberapa pesan dari Raka, satu-satunya teman yang pernah sedikit peduli padanya. Raka bukanlah bagian dari geng Dara, tapi dia juga tidak pernah melindunginya. Itu membuat Mika merasa campur aduk—antara kecewa dan bersyukur karena setidaknya dia tidak ikut mengejeknya.
Pesan terakhir dari Raka muncul beberapa hari setelah kepindahannya.
Raka:
"Hei, Mika, aku dengar kamu pindah ya? Semoga kamu baik-baik aja di tempat baru."
"Maaf banget aku nggak pernah bantu kamu waktu itu... Aku pengecut."
"Aku harap suatu saat kita bisa ngobrol lagi."
Mika menatap pesan itu lama. Kata-kata Raka seolah menariknya kembali ke hari-hari kelam di sekolah lamanya—hari-hari penuh luka yang berusaha ia lupakan. Sebuah bagian kecil di hatinya merasa iba pada Raka, tapi rasa sakit dan rasa kecewanya jauh lebih besar.
“Nggak ada gunanya. Semua sudah berakhir,” pikirnya.
Tanpa berpikir panjang, Mika menghapus pesan-pesan Raka. Ia merasa itu adalah langkah pertama untuk benar-benar menghapus masa lalunya. Satu per satu, ia menghapus kontak teman-temannya di sekolah lama—bahkan yang dulu pernah dekat dengannya.
Saat semua sudah terhapus, Mika meletakkan ponsel di meja, menarik napas panjang, dan memejamkan mata. Ia tahu ini belum cukup untuk menyembuhkan lukanya, tapi setidaknya ia merasa sedikit lebih ringan.
"Aku nggak butuh mereka," gumamnya lirih. "Aku harus lanjut sendiri."
***
Hari-hari Mika di kota baru berjalan monoton. Ia mengikuti pelajaran homeschooling dengan fokus, seolah-olah tenggelam dalam tugas-tugas adalah cara terbaik untuk melupakan masa lalu. Namun, meskipun ia berusaha menyibukkan diri, rasa sepi sering kali datang tanpa diundang.
Di malam-malam yang sunyi, ia terkadang merasa kehilangan sesuatu—bukan teman-teman lamanya, tapi kehidupan normal. Mika merindukan hal-hal sederhana, seperti pergi ke kantin, bercanda di kelas, atau pulang sekolah bersama teman-teman. Tapi setiap kali ia membayangkan kembali ke sekolah umum, rasa takut dan trauma langsung muncul, menekan hatinya hingga ia sulit bernapas.
Ibu Mika sering mengajaknya bicara, berusaha menyemangatinya.
"Kamu nggak mau coba daftar sekolah biasa, Nak?" tanya ibunya suatu pagi saat sarapan. "Di sini kan nggak ada yang kenal kamu. Nggak perlu takut diejek lagi."
Mika hanya menggeleng. "Aku nggak mau, Bu... Aku nggak siap."
Ibunya hanya menghela napas. Ia paham bahwa luka di hati anaknya masih terlalu dalam, dan tidak bisa sembuh begitu saja.
***
Hari-hari yang panjang dan penuh kesunyian di rumah Mika berubah menjadi waktu berharga untuk dirinya. Ia mulai berolahraga setiap hari—berlari pagi, mengikuti video yoga, dan mencoba latihan beban ringan. Pada awalnya, tubuhnya terasa berat dan otot-ototnya sakit, tapi ia terus bertahan. Setiap tetes keringat terasa seperti langkah kecil menuju dirinya yang baru.
Selain berolahraga, Mika juga mulai menjaga pola makan. Ia belajar memilih makanan sehat, mengurangi junk food, dan mengontrol porsinya. Tidak ada lagi kebiasaan makan berlebihan untuk melarikan diri dari rasa sedih atau cemas. "Aku nggak perlu makanan untuk merasa lebih baik. Aku hanya perlu percaya pada diriku sendiri," pikirnya setiap kali rasa ingin menyerah muncul.
Perubahan itu perlahan tapi pasti. Dalam beberapa bulan, tubuhnya terasa lebih ringan, wajahnya lebih segar, dan kulitnya yang dulu berjerawat mulai bersih. Tiap kali melihat bayangannya di cermin, senyuman kecil mulai muncul. Ia merasa puas—bukan hanya karena perubahan fisiknya, tapi karena ia akhirnya bisa mengendalikan hidupnya sendiri.
"Aku bisa berubah. Dan aku layak hidup lebih baik," ucapnya, seolah-olah menyatakan janji pada dirinya sendiri.
***
Setelah menjalani homeschooling hingga lulus, Mika akhirnya memutuskan untuk melanjutkan kuliah di universitas terkemuka. Masa SMA yang kelam sudah tertinggal jauh di belakangnya. Dengan tubuh yang lebih ramping dan wajah yang bersih, Mika sekarang tampil sebagai gadis yang anggun dan cantik. Tidak ada yang menyangka bahwa ia pernah menjadi remaja gemuk dan penuh rasa tidak percaya diri.
Hari pertama di kampus, Mika melangkah dengan penuh keyakinan. Ia mengenakan pakaian yang sederhana tapi rapi—celana panjang berwarna krem dan kemeja putih yang pas di tubuhnya. Rambutnya yang dulu selalu diikat sembarangan kini tergerai indah, menambah pesonanya.
Tidak ada lagi tatapan merendahkan atau ejekan yang ia terima. Tidak ada lagi tawa mengejek yang menghantuinya. Sebaliknya, orang-orang melihatnya dengan kekaguman. Beberapa mahasiswa bahkan menyapanya dengan ramah, menawarkan diri untuk berkenalan.
"Hei, kamu anak baru juga?" sapa seorang gadis dengan senyuman cerah di lobi kampus.
"Iya. Aku Mika," jawabnya sambil tersenyum kecil. Senyum yang tulus—bukan senyum yang terpaksa seperti dulu.
Saat itu, Mika merasa untuk pertama kalinya dalam hidupnya bahwa ia tidak lagi bersembunyi di balik bayang-bayang masa lalu.
***
Hari-hari kuliah Mika berjalan lancar. Ia menikmati suasana baru di kampus—berteman dengan banyak orang, mengikuti berbagai kegiatan, dan belajar dengan semangat tinggi. Ia tidak lagi menjadi gadis pemalu yang takut diejek. Kepercayaan dirinya tumbuh seiring dengan setiap pencapaian kecil yang ia raih.
"Aku bisa menjalani hidup normal. Ini hidupku sekarang," pikirnya setiap kali ia melangkah di lorong kampus dengan kepala tegak.
Di kelas, ia aktif berpartisipasi, berani mengemukakan pendapat, dan selalu terlihat antusias. Kehadirannya menarik perhatian banyak mahasiswa, terutama karena penampilannya yang anggun dan pembawaannya yang tenang. Tidak sedikit mahasiswa pria yang mendekatinya dengan maksud ingin mengenalnya lebih dekat.
"Mika, mau bareng ke kantin nanti?" tanya salah satu teman pria di kelasnya suatu hari.
Mika hanya tersenyum sopan dan mengangguk. Bukan lagi senyum canggung dari gadis pemalu yang takut diabaikan, tapi senyum percaya diri dari seseorang yang tahu apa yang ia inginkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!