NovelToon NovelToon

Journey Love

Episode 1 (Makan-Makan)

“Guys, guys!” seru Andin dengan semangat yang membara. Suara lantangnya menggetarkan suasana kelas yang mulai lengang setelah jam terakhir berakhir. Andin berdiri di tengah kelas, wajahnya ceria, dan senyumnya lebar, menarik perhatian teman-temannya yang masih sibuk mengemasi barang-barang mereka.

“Gimana kalau kita makan-makan buat merayakan kemenangan kita? Akhirnya kita semua bisa lewatin semester ini dengan baik!” lanjut Andin, suaranya penuh antusiasme. Ia memandang satu per satu temannya, berharap ada yang setuju dengan ide briliannya itu.

“Wah, boleh juga tuh. Tumben, Din, ide lo bagus!” jawab Radit dengan nada menggoda. Anak itu bersandar santai di bangkunya, memandang Andin dengan senyum nakal.

Andin mencibir, matanya menyipit tajam ke arah Radit. “Eh, sembarangan aja lo. Gini-gini gue gak pernah keluar ide yang gak bermutu, kayak—” ucapnya, sengaja melirik ke arah Awan yang duduk di sudut kelas.

Awan, yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, langsung menegakkan badan. “Maksud lo apa, Din? Gue, ha?” tanyanya dengan nada ketus, membuat beberapa teman di sekitarnya menahan tawa.

Andin tertawa kecil, tak gentar sedikit pun dengan respons Awan. “Yaelah, marah lo? Becanda kali, lagi PMS ya lo? Gue cewek aja gak segitunya, tuh.” Matanya memandang Awan dengan tatapan menggoda, berusaha mencairkan suasana.

Suasana kelas mulai riuh. Beberapa siswa cekikikan mendengar pertengkaran kecil itu, sementara yang lain saling melempar komentar. Namun, tiba-tiba, suara lantang terdengar dari sudut ruangan.

“Udah, udah, becanda mulu lo pada. Kalau terus berdebat, kapan kita makannya?” ujar Algar, sang ketua kelas, dengan nada tegas. Tatapan dinginnya menyapu seluruh kelas, membuat semua terdiam seketika.

Algar bukan sekadar ketua kelas biasa. Mantan ketua OSIS itu dikenal karena karismanya yang kuat, pintar dalam pelajaran, dan jago di berbagai cabang olahraga. Di kelas, tak ada yang berani macam-macam kalau dia sudah berbicara.

“Iya, ih! Kapan perginya kalau kalian malah adu bacot gitu,” timpal Sasa dari bangkunya. Gadis berambut panjang itu memutar bola matanya, menunjukkan kekesalan kecil tapi disertai senyum yang membuat suasana jadi lebih ringan.

“Yaudah, jadi kita kemana nih?” tanya Aldrin sambil melipat tangan di depan dada, menatap teman-temannya yang masih sibuk dengan komentar masing-masing.

“Gacoan aja gimana?” usul Clara dengan nada santai. Ia duduk di atas meja sambil memainkan ponselnya, seolah ide itu memang sudah lama ia pikirkan.

“Boleh juga tuh, yang lain gimana?” sambung Sasa, menatap teman-temannya dengan harapan agar mereka setuju.

Satu per satu teman-temannya mengangguk setuju. Kelas mendadak menjadi lebih hidup, percakapan beralih dari adu bacot ke rencana untuk makan bersama. Dengan cepat, mereka mengemasi barang dan beranjak menuju parkiran dengan tawa dan candaan yang masih terus berlanjut.

Sesampainya di parkiran, keramaian khas anak sekolah yang baru pulang terlihat jelas. Beberapa sibuk membetulkan rambut, ada yang berbisik pelan, dan sebagian besar langsung bergegas menuju motor atau mobil mereka masing-masing.

“Al, gue bareng lo, ya?” ajak Sasa, sambil berjalan cepat mengejar Algar yang tengah membuka kunci motor.

Algar menoleh sambil tersenyum tipis. “Boleh dong, sayang,” jawabnya santai, dengan nada yang membuat beberapa orang di sekitar mereka melirik.

Aldrin, yang tengah berdiri tak jauh dari situ, langsung berseru keras, “Terusss… pacaran kagak, ngomong sayang iya!” Ucapannya sukses mengundang gelak tawa teman-teman yang mendengarnya. Algar dan Sasa, dua sahabat sejak kecil itu, memang sering kali terlihat lebih mesra daripada kebanyakan pasangan di kelas mereka.

Seluruh kelas tahu betul kalau keduanya hanya sebatas sahabat. Tapi sikap Algar yang selalu protektif, dan Sasa yang selalu nyaman berada di dekatnya, membuat banyak yang salah paham. Setiap kali ditanya, Algar selalu menjawab dengan santai, “Gue udah anggap Sasa kayak adik gue sendiri.” Namun, saat pertanyaan yang sama dilemparkan ke Sasa, ia hanya tersenyum kecil, menaikkan alis dan bahunya seolah menegaskan, “Ya, begitulah.”

Suasana parkiran semakin riuh. Gelak tawa teman-teman semakin pecah mendengar komentar Aldrin yang terkesan ‘kejam’ itu. Sasa dan Algar hanya bisa saling pandang, lalu menggeleng pelan sambil tersenyum maklum.

“Woy, udah-udah, ketawa mulu lo pada! Jadi mau makan di mana nih? Ke Gacoan yang biasa aja, mau nggak? Deket sekolah juga,” Clara tiba-tiba berseru, mencoba menghentikan keributan kecil itu. Dia memandang teman-temannya satu per satu, mencari persetujuan.

Clara, yang dikenal sering nongkrong di Gacoan bersama Sasa dan Andin, mengusulkan tempat favorit mereka bertiga. “Tempat langganan kita aja gimana?”

Setelah Clara berbicara, perhatian seisi parkiran tertuju padanya. Beberapa orang langsung mengangguk setuju, sementara yang lain menggumamkan persetujuan dengan suara setengah malas. “Boleh lah,” kata salah satu cowok, diikuti oleh suara-suara setuju lainnya.

Akhirnya, setelah kesepakatan tercapai, rombongan kelas itu bergegas menuju Gacoan. Gelak tawa dan canda masih terdengar di sepanjang perjalanan, menambah warna dalam persahabatan mereka yang kadang lebih ribut dari sekedar obrolan biasa.

Sesampainya di Gacoan, mereka langsung berhamburan mencari tempat duduk. Suara deru mesin motor yang baru saja mereka parkirkan masih terdengar samar di kejauhan. Beberapa dari mereka duduk santai di kursi, sementara yang lain pergi memesan makanan. Riuh tawa dan obrolan ringan mengisi udara, menciptakan suasana yang hangat meski AC di dalam ruangan menyala kencang.

Setelah menunggu beberapa menit, meja mereka pun penuh dengan piring-piring yang menggoda: 17 porsi mi pedas yang berwarna merah menggugah selera, pangsit goreng renyah yang tersusun rapi, dan es teh manis yang dingin berembun. Kombinasi aroma pedas dan gurih menggantung di udara, memancing liur bagi siapa pun yang berada di dekatnya.

Suasana meja semakin ramai. Beberapa siswa mulai mengobrol dan bercanda, sedangkan beberapa siswi sibuk menata piring dan minuman, mencari angle terbaik untuk memotret makanan mereka. Suara ponsel yang dijepret dan notifikasi kamera terdengar bertubi-tubi.

“Ntar, jangan dimakan dulu, ya!” seru Clara, mengangkat ponselnya tinggi-tinggi. Ia mengarahkan kameranya ke meja, mencoba menangkap setiap detail makanan yang tertata. Tangan Clara dengan cekatan menggeser gelas dan piring agar foto terlihat lebih menarik. Cowok-cowok yang sudah lapar hanya bisa pasrah, menunggu aba-aba makan yang tak kunjung datang.

“Wan, fotoin kita, dong!” pinta salah satu cewek dengan suara manja, sambil menunjuk kelompok mereka yang sudah siap berpose. Awan, yang tadinya sudah siap menyantap mi pedasnya, terpaksa menunda keinginannya dan berdiri. Dengan sigap, ia mengambil ponsel, bersiap menjadi fotografer dadakan.

Cowok-cowok lain cuma bisa menahan tawa melihat tingkah Awan yang seperti fotografer profesional, memiringkan sedikit ponselnya untuk mendapatkan angle terbaik. “Senyum, tiga, dua, satu...” klik! Satu jepretan berhasil diabadikan. Namun, foto pertama tentu saja tak pernah cukup. Cewek-cewek itu sibuk mengecek hasil foto dan, tak puas, mereka berpose ulang.

Sementara para cewek sibuk dengan sesi fotonya, cowok-cowok memanfaatkan kesempatan itu dengan cepat menyambar sumpit, menyantap mi yang sudah lama mereka incar. Beberapa dari mereka tertawa cekikikan, merasa beruntung karena bisa makan lebih dulu.

Setelah merasa cukup puas dengan hasil foto, para cewek pun akhirnya duduk bergabung, ikut menyantap makanan yang masih mengepul di atas meja. Obrolan tentang sekolah, guru-guru yang menyebalkan, dan rencana liburan mulai terdengar bersahut-sahutan. Tawa dan canda terus menghiasi siang itu, membuat suasana semakin meriah.

Waktu berjalan cepat. Jam sudah menunjukkan pukul 16.15, menandakan mereka sudah lebih dari dua jam nongkrong di Gacoan. Satu per satu mulai beranjak, berpamitan dengan yang lain karena beberapa dari mereka sudah ditelepon orang tuanya untuk segera pulang.

Hari itu, momen-momen kecil seperti ini terasa begitu berharga. Di antara tumpukan piring kosong dan gelas berembun, ada tawa, cerita, dan kenangan yang terukir. Mereka tahu, kebersamaan seperti ini tak akan selamanya ada, tapi setidaknya, mereka punya hari ini—satu hari penuh tawa dan mi pedas yang tak terlupakan.

Tq All, jangan lupa dukung.

LIKE

KOMENT

VOTE

HADIAH

FAVORIT

#Typo bertebaran

...

..

.

.

Episode 2 (Rumah Pohon di Tepi Kota)

Setelah beberapa menit ruang itu hanya mereka yang tersisa: Algar, Radit, Aldrin, Awan, Sandi, Gilang, Bay, dan Sasa bersama dua temannya, Clara dan Andin. Masing-masing tenggelam dalam kesibukan. Sandi dan Bay sibuk membayar tagihan sementara yang lain bercanda, melempar tawa yang menggema. Namun, kehangatan suasana itu perlahan menghilang, seiring waktu yang terus bergerak tanpa jeda.

Tiba-tiba, Awan yang duduk sambil menatap layar ponselnya, memecah kesunyian yang menggantung. "Woi, ke rumah pohon yok! Rumah pohon punya mereka," serunya sambil melirik ke arah Algar dan Sasa, seolah menggugah kenangan lama yang hampir terlupakan.

"Waa, boleh tuh! Boleh nggak, Sa? Lagi pula, udah lama banget kita nggak ke sana,” ujar Clara dengan mata berbinar penuh harapan senyuman manis tersinggung di wajahnya seakan memohon persetujuan sasasa

Rumah pohon yang maksudnya itu dulunya adalah tempat yang akrab bagi mereka semua. Sudah hampir dua bulan sejak mereka terakhir kali menginjakkan kaki di sana. Bagi Sasa dan Algar, rumah pohon itu bukan hanya tempat singgah. Tapi adalah saksi bisu dari banyak cerita yang terjalin di kedua sahabat itu (Sasa and algar) tapi sejak SMA mereka pun sering mengajak mereka ketempat tersebut.

Sasa tersenyum kecil, mengangguk tanpa banyak bicara, memberikan lampu hijau yang mereka harapkan. Wajahnya memancarkan kehangatan yang tenang, seperti tempat itu sendiri tempat yang dulu sering mereka sebut rumah.

Selain rumah pohon itu tempat ternyaman dan saksi bisu persahabatan Sasa dan algar tempat tersebut juga menjadi tempat ternyaman untuk kedelapan orang itu juga mereka sering menyebut nya sebagai rumah ternyaman kedua selain sekolah. Ya hampir 89% dari sepuluh orang tersebut rumah yang semestinya jadi tempat ternyaman tapi Mala jadi sebaliknya makanya mereka memberikan julukan rumah pohon tersebut sebagai rumah ternyaman kedua setelah sekolah karena sekolah adalah tempat ternyaman menurut mereka tapi ini bukan dari segi akademik ya tapi dari segi pertemanan didalam kelas mereka.

Setelah Mendapat izin dari Sasa, mereka segera bersiap. Selama perjalanan menuju rumah pohon, tawa dan canda bertebaran, menghidupkan suasana. Jalanan terasa begitu singkat, seakan sepuluh sahabat itu tengah ditarik oleh gravitasi kenangan menuju tempat yang begitu mereka rindukan.

Hanya lima belas menit, dan mereka sudah tiba di hutan kecil di tepi kota, tempat rumah pohon itu berada tersembunyi di antara pepohonan tinggi dan danau kecil dengan air jernih, dihiasi suara burung yang berkicau. Surga tersembunyi di tengah hiruk-pikuk dunia yang terus berputar.

Mereka memarkir kendaraan di dekat pohon besar yang menyangga rumah pohon itu. Meski pohonnya tak terlalu besar, namun cukup kokoh untuk menahan pondok kecil di atasnya, dengan tangga kayu yang menghubungkan ke pintu masuk. Warna coklat tua rumah pohon itu tampak menyatu dengan alam, seolah menjadi bagian dari hutan yang mendekapnya.

Setelah meletakkan barang-barang di dalam rumah pohon, mereka larut dalam kesenangan. Clara, Sasa,Andin, Awan, Bay, dan Radit asyik dengan mainan gelembung yang baru mereka beli di perjalanan. Mereka tertawa lepas, mengejar gelembung-gelembung yang melayang ditiup angin. Sementara itu, Algar, Aldrin, Gilang, dan Sandi memilih duduk santai di dekat rumah pohon, menikmati ketenangan yang jarang mereka temui di keseharian.

"Al, lo sering banget ya ke sini berdua?" tanya Aldrin tiba-tiba, matanya menatap Algar yang sibuk merapikan rambutnya.

Algar tersenyum tipis, lalu menjawab singkat, "Ya, lumayan sering." Pandangannya kembali mengarah ke pepohonan yang bergerak pelan tertiup angin.

Gilang menyela dengan nada menggoda. "Oh, tapi Al, kalau kalian berdua ke sini, biasanya ngapain aja sih?" timbal Gilang, tersenyum seolah menyimpan rahasia di balik pertanyaan itu.

Algar menatap Gilang dengan mata yang berusaha membaca maksud tersembunyi. "Maksud lo?" balasnya, nada ketus tak bisa ia sembunyikan.

"Becanda, bro. Gitu aja baper," balas Gilang lagi. Aldrin tertawa, berusaha mencairkan suasana yang mendadak tegang.

Percakapan itu pun berlalu, meninggalkan mereka dalam keheningan yang nyaman. Suara tawa teman-teman yang bermain gelembung, disertai hembusan angin dan kicauan burung, kembali mengisi udara di sekitar mereka.

Radit yang memperhatikan teman-temannya duduk diam, tiba-tiba berteriak, "woy, ayo main bareng! Jangan diam aja disitu !" serunya, melambaikan tangan untuk mengajak mereka bergabung. Energi persahabatan kembali menyala, dan mereka semua pun bermain dengan gembira.

Setelah puas bermain, mereka kembali duduk di dekat rumah pohon, menikmati keindahan alam di sekitarnya. "Cantik banget yaa tempat ini. Sebenarnya, rumah pohon ini udah ada sejak kapan sih?" tanya Andin penasaran, menatap rumah pohon dengan mata berbinar.

Sasa tersenyum, mengingat cerita yang sudah lama tak ia ceritakan. "Sebenarnya, rumah pohon ini bukan kami yang buat. Dulu, waktu kelas enam SD, gue sama Algar sering main di danau ini. Dulu hutan ini masih cantik, belum banyak pohon-pohon besar. Suatu hari, kami jalan mengelilingi danau dan menemukan rumah pohon ini, sudah ada seperti sekarang, tapi ya cuma sedikit diubah aja," cerita Sasa, suaranya lembut tapi jelas, seolah berbicara dengan kenangan yang masih lekat.

"terus jadilah tempat ini. Sejak saat itu, tempat ini jadi kayak rumah kedua buat kita,” lanjutnya, mengakhiri cerita dengan senyum hangat. Teman-temannya mendengarkan dengan seksama, meresapi setiap kata yang keluar dari mulut Sasa.

Di bawah langit malam yang mulai merangkak gelap, dengan suara daun yang berbisik dan cahaya bintang yang redup, mereka menikmati waktu yang terasa melambat, seolah dunia milik mereka. Sepuluh sahabat ini kembali bersenang-senang, seolah waktu tak pernah bergerak.

Saat jam menunjukkan pukul tujuh malam, mereka pun akhirnya bersiap untuk pulang. Satu per satu berpisah meninggalkan rumah pohon itu dengan hati yang hangat.

"Din, mobil gue Lo bawa aja ya dulu. Nanti gue yang ambil ke rumah Lo, gue pulangnya bareng Al," ucap Sasa sambil mengenakan helm, memutuskan untuk pulang bersama Algar.

Andin hanya mengangguk, mengerti tanpa perlu banyak bicara. Ia masuk ke dalam mobil milik Sasa, diikuti Clara yang duduk di sampingnya.

Malam itu, mereka berpisah dengan hati yang hangat. Kenangan rumah pohon dan tawa sahabat akan selalu ada, diingat dalam setiap langkah, seakan waktu telah berhenti hanya untuk mereka.

Sasa dan Algar menaiki motor mereka. Di sepanjang perjalanan pulang, angin malam yang berhembus pelan membelai wajah mereka, membawa perasaan tenang yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Di balik helmnya, Sasa melirik ke arah Algar yang mengemudi dengan tenang, matanya tertuju ke depan, fokus pada jalan.

“Gue seneng hari ini,” ujar sasa lirih, nyaris tenggelam dalam suara deru mesin. Algar hanya tersenyum, tak perlu banyak kata untuk menjawab. Hari itu, di rumah pohon yang menjadi saksi banyak cerita, mereka kembali merasa lengkap.

Dan malam itu, dengan langit yang dihiasi bintang dan rembulan, sepuluh sahabat ini pulang membawa kenangan baru, seolah rumah pohon itu telah merangkul mereka semua, menjadikan setiap momen bersama tak terlupakan.

Tq All, jangan lupa dukung.

LIKE

KOMENT

VOTE

HADIAH

FAVORIT

#Typo bertebaran

...

..

.

.

.

Episode 3 (Lagi-lagi Mereka Pergi)

"Nyampe deh. Silahkan turun, Tuan Putri," ujar Algar dengan suara rendah, melempar senyum saat motor mereka berhenti di depan rumah Sasa. Malam sudah larut, angin dingin menerpa wajah mereka, seolah menandai akhir dari perjalanan yang menyenangkan.

Sasa tersenyum tipis, sedikit merasa geli dengan cara Algar memanggilnya begitu. Ia turun dari motor dengan hati-hati, merapikan rambutnya yang agak berantakan karena helm.

"Yaudah, masuk gih. Udah malam, gue juga mau pulang," lanjut Algar sambil mengusap lembut rambut Sasa. Gestur itu terasa akrab dan menenangkan.

Sasa menatapnya sejenak, ada sesuatu yang selalu menenangkan dari cara Algar memperlakukannya. "Lo hati-hati ya, kalau udah nyampe jangan lupa kabarin gue," balas Sasa dengan nada sedikit khawatir.

Algar hanya mengangguk, senyumnya kini lebih tipis sebelum ia melajukan motornya pergi. Sasa menghela napas panjang, seolah berat melepaskan malam itu, namun akhirnya ia melangkah masuk ke rumah.

"Sasa pulang," teriak Sasa, suaranya memenuhi ruangan kosong yang tampak sunyi. Namun, bukan suara mamanya yang menyambut, melainkan langkah kaki Mbak Rina, asisten mamanya

"Kamu sudah pulang, Sa?" tanya Mbak Rina, muncul dari ruang tengah sambil membawa beberapa dokumen. "Mama dan Papa kamu pergi ke luar kota, ada urusan kerja. Mereka titip pesan buat kamu," lanjutnya dengan nada datar, sudah terbiasa menyampaikan pesan serupa.

Sasa hanya mengangguk pelan. Lagi-lagi mereka pergi, batinnya. Ia sudah terlalu sering mendengar kabar seperti ini hingga rasa kecewa itu sudah tak lagi terasa asing. "Oke, Mbak. Gue tahu."

"Kamu mau makan apa? Mbak bisa suruh Bibik masakin," tawar Mbak Rina dengan lembut, namun Sasa sudah melangkah terlebih dulu menuju tangga.

"Gue nggak lapar, Mbak. Lo makan aja," jawab Sasa singkat, naik ke kamarnya dengan langkah cepat. Mbak Rina hanya menghela napas panjang, melihat punggung Sasa yang semakin jauh. Dia tahu, ada sesuatu yang sedang dipendam oleh anak itu, tapi tak pernah tahu harus bagaimana mengatasinya.

Begitu sampai di kamarnya, Sasa langsung melepaskan pakaian dan masuk ke kamar mandi. Air dingin mengalir, membasuh tubuhnya yang lelah. Ia merasakan sensasi menyegarkan yang sementara mengusir rasa sepi di hatinya. Usai mandi, Sasa membereskan kamarnya dengan malas, lalu mengambil biola kesayangannya. Alunan lembut nada biola mulai memenuhi ruangan, mengalir seperti obat untuk perasaan yang kacau.

Sambil memainkan biola, ponselnya berdering. Nama Andin muncul di layar. Dengan cepat, Sasa meletakkan biolanya dan menjawab panggilan itu.

"Oi, Sa! Lo udah di rumah?" suara ceria Andin langsung terdengar dari seberang.

"Udah nih, baru sampe. Lo sama Clara masih di luar?" jawab Sasa sambil berbaring di tempat tidur, memandang langit-langit kamarnya.

"Enggak, gue udah di rumah juga. Clara baru aja balik. Eh, tadi seru banget kan sama Algar? Kayaknya kalian makin deket deh," Andin menggoda, suaranya penuh tawa.

Sasa mengernyit, tertawa kecil. "Nggak gitu, Din. Gue sama dia ya gitu-gitu aja. Lo lebay deh."

"Ah, bohong! Clara aja tadi ngomong, ‘eh Sasa kok kelihatan makin dekat ya sama Algar." Andin terus menggoda dengan nada jahil.

"Apasih bisa aja kali, gue sama algar kan emang sahabat sejak kecil,lebay Lo." Sasa berusaha mengelak, tapi ia tahu, hatinya tak sepenuhnya menyangkal kedekatan itu memang lebih dari sekadar sahabat.

Tak lama, Clara bergabung dalam panggilan grup. "Eh, gue denger nama gue dipanggil nih. Apaan sih lo pada ngomongin gue?"

Andin tertawa keras. "Nih, Clara. Gue bilang ke Sasa, tadi dia keliatan makin dekat banget sama si Algar. Terus Sasa ngeles katanya itu kn dah bisa sambil bawa embel embel sahabat dari kecil lagi."

"Haha, iya bener sih. Gue liat sendiri kok, mata lo kayak nggak bisa lepas dari dia, Sa," Clara menambahkan, tak kalah jahil.

Sasa merasa pipinya mulai memanas. "Yaudah deh, terserah kalian mau ngomong apa. Gue beneran cuma sekedar sahabat doang. Lagian, lo pada tahu kan, dia tuh sahabat terbaik gue."

"Tapi kedekatan lo itu beda, Sa. Kayak ada ‘sesuatu’ gitu. Jangan bohong deh sama perasaan lo sendiri," kata Clara dengan nada serius, seolah ingin memastikan Sasa jujur pada dirinya.

Sasa hanya bisa mendesah pelan, tersenyum sedikit. "Gue nggak tau, Clar. Kadang gue sendiri bingung perasaan gue ke dia kayak gimana. Mungkin gue terlalu sering bareng dia, jadi ya gitu deh."

"Yaudah, santai aja. Nikmatin aja perasaan lo. Kalau emang beneran suka, nggak ada salahnya kok," sahut Andin dengan nada bijak.

Setelah ngobrol panjang tentang hari itu, mereka bertiga mulai membahas rencana hangout lagi akhir pekan nanti. Sasa merasa sedikit terhibur dengan candaan teman-temannya. Namun, setelah telepon berakhir, kesunyian kembali menguasai kamarnya.

Saat Sasa turun ke bawah untuk menemui Mbak Rina, suasana di rumah terasa lebih lengang. "Mbak, gue nggak perlu diawasin terus kayak gini. Gue udah gede, gue bisa jaga diri," ujar Sasa tiba-tiba.

Mbak Rina, yang sedang duduk di ruang tamu, mengangkat wajahnya. "Tapi Mama kamu yang minta, Sa. Gue cuma jalankan tugas," jawabnya, nada suaranya penuh pengertian.

Sasa menggeleng, merasa sedikit frustrasi. "Mbak, gue udah kelas 12. Gue bisa urus diri sendiri. Gue nggak suka kalau setiap kali orang tua gue pergi, gue harus dijagain kayak anak kecil."

Namun, Mbak Rina tetap teguh. "Mbak cuma nurut sama perintah Mama kamu. Mereka khawatir, Sa. Kamu tahu kan, orang tua mana yang nggak khawatir sama anaknya?"

"Ya, gue ngerti. Tapi, gue juga butuh ruang. Gue nggak selalu butuh dijagain terus,lagi ni kalau mereka emang khawatir sama gue, ya mereka jangan terus-terusan ninggalin gue sendiri kek ginu" sahut Sasa, nada suaranya mulai terdengar capek.

Akhirnya, Sasa memutuskan kembali ke kamarnya, kali ini dengan perasaan yang sedikit berat. Di satu sisi, ia paham kekhawatiran orang tuanya, namun di sisi lain, ia merasa semakin terkurung dalam situasi yang tidak bisa ia kendalikan.

Keesokan harinya, Sasa ingin mengunjungi Algar di rumahnya, namun niatnya terhenti lagi ketika Mbak Rina melarang. "Sa, kamu harus belajar.setelah libur ini kamu akan menginjak kan kaki ke kelas12, jangan main terus."

"Mbak, gue cuma sebentar kok. Nggak lama. Lagi pula, gue juga butuh refreshing," jawab Sasa dengan nada sedikit memohon.

"Refreshing boleh, tapi nanti-nanti aja ya. Sekarang fokus belajar dulu," tegas Mbak Rina. Perdebatan kecil pun kembali terjadi, dan akhirnya Sasa menyerah. Dia kembali ke kamarnya, mengambil biola lagi untuk menenangkan diri.

Beberapa menit kemudian, pintu kamarnya diketuk. "Sa, Mbak mau ke pasar dulu sama Bibik. Kamu tunggu di rumah ya," ucap Mbak Rina dari luar.

"Iya, Mbak," jawab Sasa datar.

Kini rumah terasa benar-benar sunyi. Sendirian di rumah besar itu, Sasa merasa seperti terjebak dalam kesendiriannya sendiri. Ia tahu, bebas tidak selalu berarti bahagia. Tapi, apa artinya tetap berada di bawah bayang-bayang kekhawatiran yang terus menghantuinya?

Tq All, jangan lupa dukung.

LIKE

KOMENT

VOTE

HADIAH

FAVORIT

#Typo bertebaran

...

..

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!