Di hari ini tepat usia Dinara eleta (Dinar) yang menginjak dua puluh tahun, statusnya yang awalnya adalah seorang perempuan single telah berubah menjadi seorang istri, istri dari Evano satya wijaya. Sekarang ia harus menerima statusnya sebagai istri dari Evano satya wijaya tersebut yang lebih akrab dipanggil (Vano).
Vano adalah anak dari keluarga terpandang di desa. Keluarganya banyak membantu keluarga Dinar, baik dalam semua hal, termasuk finansial. Umur Vano dan dinar tidaklah terpaut jauh, hanya berbeda empat tahun saja.
Setelah menikah, Dinar baru tahu bahwa kabarnya Vano sendiri yang meminta sang Ayah untuk meminang Dinar saat itu. Dan ayahnya setuju untuk menjadikan Dinar sebagai menantu dari putra sulungnya.
Dinar menerima pinangan Vano, semua resepsi pernikahan digelar secara tiba-tiba begitu saja, Dinar bahkan mungkin sangat belum terlalu mengenal suaminya, lalu bagaimana dia bisa mencintai seseorang yang sekarang sudah berubah status menjadi suaminya itu?
Pada saat itu, Dinar hanya mengenal Vano sebagai pemuda desa yang berperawakan tampan, berwibawa, bodynya atletis dengan pembawaannya yang tenang. Semua perempuan di desa amat memuja Vano, dan berniat menginginkan merebut hati Vano supaya bisa dipersunting oleh lelaki tampan itu. Namun, Dinar tidak pernah menyangka, bahwa pada akhirnya Vano sendirilah yang memilihnya.
"Ra, bisa buatkan kopi untuk mas, kamu lagi nggak sibuk-kan?" Dinar mendengar suara suaminya. Dinar yang sedang membersihkan rumput di permukaan tanah pot bunga segera menyelesaikan kegiatannya. Nara adalah panggilan khusus Vano untuk Dinar.
"Iya Mas. Nara buat dulu kopinya ya." jawabnya sedikit teriak dari dapur.
Saat Dinar sampai di dapur, ternyata sudah ada Pak Arga, Bapak mertua Dinar.
Mertuanya itu berdiri memunggunginya. Tangannya sedang memegang cangkir gelas, dan bergerak seolah menyeduh air panas dari dalam termos.
Dinar menegur mertuanya itu dengan nada sopan, "Pak, kenapa gak bilang sama Dinar kalau mau ngebuat kopi? Dinar sekalian buatkan kalau gitu, kebetulan Mas Vano juga minta dibuatkan kopi."
Pak Arga, mendengarkan Dinar sambil terkekeh, "Ini cuma kopi aja Dinar. Jangan terlalu dijadikan beban, bapak bisa sendiri, kan tinggal dituang air panas saja. Toh kamu juga udah ngerebus airnya tadi kan?"
"I...iya Pak. Yaudah kalau gitu, Dinar mau buatkan kopi dulu untuk Mas Vano Pak."
Dinar mengambil gelas yang ada di rak, kemudian memberikan beberapa sendok bubuk kopi hitam ke dalam gelas. Tidak lupa, Dinar memberikan sedikit gula, Vano tipe laki-laki yang tidak suka menyeduh kopi terlalu manis. Katanya, pasti akan aneh kalau terlalu manis sekali.
Air panas pun sudah Dinar tuang ke dalam gelas. Dinar mengambil sendok teh, kemudian mengaduknya.
Namun, saat Dinar hendak mengaduk teh, tangannya tiba-tiba saja licin, sendok itu terjatuh. Dinar menghela napas, lalu merendahkan tubuh, meraih sendok yang jatuh ke lantai.
Tanpa disadari Dinar, posisi Pak Arga sejajar dengan punggungnya di belakang. Tubuhnya merunduk, membuat matanya melebar, rok yang Dinar kenakan saat itu terangkat dan memperlihatkan pula paha mulusnya yang berkulit putih.
Pak Arga yang berada di belakang Dinar, melihat paha mulus itu seraya meneguk saliva-nya tanpa berkedip.
Sialnya, Dinar lupa bahwa ia mengenakan rok satin yang hendak bebas bila bergerak. Dinar menyadari itu lalu segera mungkin membenahi posisinya, kembali berdiri saat sudah meraih sendoknya.
Dinar memalingkan wajahnya ke belakang, dan mendapati Pak Arga juga memalingkan wajah ke sisi lain.
"Astaga! Untung aja, mertuaku gak ngelihat semua ini." Dinar membatin.
*
*
...BERSAMBUNG,...
Catatan author! 👇🏻
Hai guys ini novel ke-dua aku, mohon suport sebanyak-banyaknya ya!!! biar othornya kian semangat terus.
Bacalah dari awal hingga akhir, jangan skip-skip ya guys karena ini karya bukan bon hutang, dihayati kaya lagi baca surat cinta dari gebetan.
Budayakan like setiap episode dan klik tombol minta update di akhir bab.
Lope sekebon buat kalian.🥰🥰🥰
Sehat selalu dan rejeki kalian lancar di manapun kalian berada orang-orang baik, Aminnn.💫
Dinar segera mengaduk kopi milik suaminya, lalu pergi dari dapur meninggalkan Pak Arga yang masih menyeduh kopinya.
Di luar, Vano masih terlihat sibuk, pria itu masih saja sibuk dengan berita-berita tertulis yang terdapat di korannya. Dinar meletakan kopi di atas meja. Lalu, duduk di sisinya.
"Mas ini kopinya. Silahkan diminum, mumpung masih anget mas."
Vano melipat korannya kemudian tersenyum manis. "Terimakasih Nara."
Vano perlahan-lahan menyeduh kopi hangatnya. Dinar hanya diam memperhatikan pergerakan suaminya tersebut.
Vano ini memang sangat tampan, dan manis. Gosip perempuan di desa sangat valid sekali sesuai dengan perawakannya. Terlebih, suaminya ini masih muda, namun sangat pekerja keras.
Mungkin Dinar salah satu wanita beruntung bisa dipinang olehnya. Kalau diingat kembali, meski mereka berada di desa. Namun, di desa mereka, sangat banyak memiliki wanita muda yang lebih cantik dibandingkan Dinar.
Bahkan sampai detik ini, Dinar merasa kecil di bandingkan dengan perempuan-perempuan yang lebih cantik seusianya di desa itu.
Desa itu juga merupakan desa yang para penduduknya terbilang sedikit maju ekonominya, walaupun memang ada beberapa rakyat yang masih kesulitan mencari nafkah, contohnya seperti ekonomi keluarga Dinar yang terbilang sedikit susah.
"Nara, kayaknya Mas besok bakal pergi ke luar kota."
Dinar tertegun, sesaat ia diam. Dinar tidak bisa mengatakan apapun. Pernikahan mereka belum ada sebulan, tapi suaminya akan pergi ke luar kota meninggalkannya.
"Apa Mas harus berangkat? Maksud Nara, pernikahan kita masih seumur jagung. Apa kata warga desa nanti, kalau baru menikah Nara udah ditinggal Mas Vano jauh."
"Ya gimana lagi. Pekerjaan saya kayak gini, Ra. Saya usahakan untuk cepat pulang Ra. Mungkin paling lambat seminggu saya udah balik." Dinar menatap Vano sedih.
"Kapan perginya Mas?" Tanya Dinar kembali.
"Besok. Kamu bisa ngebantu Mas berkemas hari ini kan?"
Dinar menganggukkan kepalanya. Rela tidak rela, mau tidak mau, Dinar harus merelakan suaminya pergi. Meski belum ada cinta di antara mereka, namun Dinar mulai merasa nyaman dengan suaminya.
Seharusnya masa-masa pengantin baru ini, masih sangat panas-panasnya. Selalu nempel, tidak mau lepas satu sama lain. Tapi ya mau bagaimana lagi, ini konsekuensi sebagai istri dari Evano satya wijaya.
Vano sejak tadi mengamati gestur tubuh istrinya itu. Kemudian ia meletakan gelas kopinya, dan meraih tangan Dinar, menggenggamnya erat.
"Kalau Mas bisa ngajak kamu, Mas akan milih ngebawa kamu ikut sama Mas, Nara. Tapi sayangnya nggak bisa. Pekerjaan yang Mas lakuin terbilang berat, Kamu bisa nunggu saya untuk pulang?"
"Nara akan nunggu Mas Vano. Yaudah, Nara nanti bantu Mas buat berkemas. Segeralah pulang ya," Jawabnya dengan senyum tulus.
Vano tersenyum. Dia mengelus puncak kepala istrinya. "Iya sayang, Mas pasti cepat pulang. Lagian, saat Mas nggak ada, di sini kan ada Bapak dan juga Arin. Mereka pasti nemani kamu, seenggaknya kamu gak akan kesepian walaupun tanpa Mas di sini."
Arin adalah adik Vano. Arin memiliki umur yang tak jauh berbeda dari Dinar. Hanya selisih satu setengah tahun lebih muda dari Dinar. Dia adalah anak bungsu Pak Arga. Karena seperti sebaya, kadang Arin dan Dinar terlihat seperti teman, dibandingkan seperti ipar.
"Iyaa Mas. Mas gak usah khawatir. Aku bisa menjaga diri. Mas juga jaga diri kalau pergi, harus pulang dengan selamat tanpa kekurangan apapun.”
"Mas janji." Balas Vano seraya tersenyum simpul.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Netra Dinar menatap manik hitam pekat milik suaminya. Tangannya tidak lepas, masih tergenggam di tangan kekar milik Vano. Rasanya Dinar tidak ingin melepas genggaman, tidak merelakan suaminya untuk pergi.
"Cepat pulang, Mas. Dinar menunggu Mas."
"Siap, Tuan Putri... Istri Mas, Mas akan pulang segera. Kamu jaga diri selama Mas gak ada. Jaga kesehatan jangan telat makan, dan jangan terlalu kelelahan membereskan rumah."
Dinar mengangguk mendengar nasihat suaminya kemudian berkata, "Iya Mas."
Vano mendekati Dinar. Dia membawa Dinar ke dalam dekapannya, mengecup puncak kepala istrinya, menghirupnya dengan cukup lama.
"Ehem.... Ehemm... Adiknya dilupain!" kata Arin mengintrupsi ke-dua insan tersebut.
Pelukan keduanya terlerai. Vano menatap ke arah Arin, lalu terkekeh.
"Biarin lah namanya juga udah menikah, udah sah. Makanya kamu belajar yang benar, supaya cepat lulus dan cepat nikah."
"Iya deh iya...pengantin baru gitu loh. Terus aja pamer sama Arin nih hmm..."
"Selama Mas pergi, tolong perhati'in dan jaga istri Mas. Kamu jangan ngebantah sama apa yang istri Mas bilang ya dek. Dibantu mbak iparmu ngebersihkan rumah, mengerti Rin?"
"Iya Mas. Gak usah khawatir deh, aman... Arin juga udah dewasa. Arin gak akan menjadi beban kok, santai aja kali."
"Yaudah kalau gitu. Mas, berangkat dulu, Nara. Rin."
"Hati-hati Mas," pesan Dinar, kemudian suaminya pergi menjauh.
Dari kejauhan, tangan Dinar melambai, mengantar kepergian suaminya. Dia menyeret kopernya masuk semakin menjauh dari pandangan Dinar. Senyum Dinar memudar, mungkin Dinar akan terbiasa merindu.
Arin melirik kaka iparnya. Dia menyenggol bahu Dinar, "Udah tenang mbak, selama Mas gak ada, biar Arin yang temani, okey."
Dinar kemudian menoleh tersenyum kepada adik ipar perempuannya itu, "Iya Rin, terimakasih."
"Mungkin Mbak harus terbiasa sama pekerjaan Mas Vano, Ya karna tau sendiri deh mbak, kalau Mas udah kayak bang toyib..." candanya.
"Mungkin Rin hehe... Mbak akan membiasakan diri."
"Yaudah, ayo lebih baik kita cari makan aja deh Mbak. Arin laper nih, tau..." keluhnya pada Dinar.
"Kamu mau makan apa Rin?"
"Terserah deh Mbak. Arin enggak pilih-pilih makanan kok."
"Dengar-dengar di dekat bandara sini ada nasi padang enak, Rin. Mau ke sana gak?"
"Wah, mau dong mau Mbak! Ayo kita ke sana!"
"Yuk!"
...BERSAMBUNG,...
Sudah dua hari Vano pergi meninggalkan istrinya, Dinar merasa kesepian. Biasanya pada malam hari begini, Vano meminta Dinar untuk memijat bagian tubuhnya yang terasa pegal. Vano memang suka sekali mengeluh pegal, meminta Dinar untuk memijatnya di malam hari. Tapi, saat tidak ada, Dinar pun dilanda kesunyian.
Pernikahan mereka memang masih seumur jagung, akan tetapi, Vano selalu mampu memberikan kesan yang dapat Dinar rindukan. Dinar amat merindukan suaminya, sangat merindukannya.
Dinar melepaskan napasnya perlahan, sambil menekuk-kan kakinya di atas kasur. Tangan wanita itu melingkari kakinya sendiri, dan dagunya ditaruh di atas lutut.
Sudah Beberapa kali Dinar mengecek ponsel miliknya, namun, tidak ada notifikasi dari suaminya.
"Memangnya Mas Vano masih sibuk ya, dari kemarin dia belum ngabari aku sampai hari ini," Gumamnya merasa sepi.
Bahkan sampai saat ini, memang tidak ada kabar dari Vano. Dinar tau, Suaminya pasti sibuk. Jika tidak sibuk pun mungkin dia tidak akan lupa mengabari Dinar. Setidaknya pasti akan menelfon atau memberikan pesan singkat terhadanya.
Dinar mulai Merasa jenuh, Dinar memutuskan untuk mengakhiri lamunannya. Dinar kemudian turun dari ranjang, Lalu berjalan hendak ke luar kamar.
Minuman segar mungkin lebih baik, fikirnya. Dinar kemudian berjalan menuju dapur, posisi dapur rumah itu berada di sebelah kanan rumah.
Saat Dinar melangkahkan kaki, gerakan kakinya tiba-tiba berhenti. Dinar mendengar sayup-sayup suara erangan.
Keningnya mengerut, keheranan. "Suara apa itu?" Rutuknya dalam hati namun ia juga penasaran.
Awalnya ia tidak terlalu memperdulikannya. Namun, erangan itu kembali terdengar. Dinar menjadi semakin penasaran, kakinya melangkah mendekati sumber suara mencari tau.
Langkahnya membawa mendekat ke arah kamar Pak Arga, Ayah mertuanya. Pintu kamarnya ternyata tidak tertutup rapat. Dinar bisa melihat celah terbuka dari pintu kamar.
"Sebenarnya tadi itu suara apa?" gumamnya kembali.
Karena rasa penasarannya yang menggebu, Dinar mendekat ke pintu kamar. Dipegangnya ganggang pintu kamar secara pelan, lanjut mendekatkan wajahnya. Satu matanya mendekat pada celah pintu untuk mengintip.
Seketika itu pula Matanya melebar. Dinar merasa terkejut. Pak Arga terlihat bersandar pada dipan kasur, dengan bagian tubuh bawah yang polos.
Tangannya melingkari miliknya sambil melakukan gerakan-gerakan sensual beritme. Dinar melihat tayangan adegan film, yang sengaja dihilangkan suaranya.
Lagi - lagi Dinar tercengang, melihat tayangan yang mertuanya lihat. Film dengan adegan dew4sa yang sepenuhnya tanpa sensor. Orang bilang ini adalah film dewasa atau film b0k€p.
Astaga bagaimana ini, Apa yang sudah Dinar lakukan? Melihat sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat?
Semakin Dinar melihatnya, semakin Dinar merasa ada sesuatu yang aneh. Jantungnya tiba-tiba berdebar, Dinar masih tidak menyangka dengan apa yang dia lihat. Dinar tersadar, lalu menggelengkan kepala.
Tidak dipungkiri Dinar merasa terkejut awalnya. Bukan karena tidak terbiasa dengan apa yang dia lihat, karena dia pun sejatinya bukan gadis lugu yang tidak mengerti apapun. Dinar bahkan sudah menjadi wanita seutuhnya sekarang, karena dia sudah menikah.
Dinar meneguk salivanya, Matanya tidak berkedip sama sekali melihatnya. Dinar memutuskan untuk memalingkan tubuh. Rona pipinya jelas muncul, membuatnya menyadari apa yang sudah ia lakukan baru saja.
"Dinar, apa yang kamu lakukan? Astaga!"
Dengan terburu - buru, Dinar pergi dari sana. Dinar segera masuk kembali ke kamar dengan perasaan yang takut.
Bagaimana bisa ia merasa seperti seorang maling yang mengendap-endap? Jantungnya bisa copot, kalau seandainya Pak Arga menangkap basah melihatnya saat memanjakan diri.
"Astaga, gimana ini?"
Dinar harus melupakannya, Dinar langsung melempar diri ke atas ranjang. Membungkus tubuhnya dengan selimut, ia berharap keesokan harinya ia akan lupa akan segalanya. Dinar harus melupakan hal tadi, iya! harus melupakannya.
...BERSAMBUNG,...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!