NovelToon NovelToon

Tlembuk

Bab 1: Bunga di Lorong Gelap

Langit kampung Kedung Mulyo mulai menghitam. Hanya cahaya lampu jalanan yang temaram, menerangi sedikit lorong-lorong sempit yang sudah mulai sepi. Di ujung lorong itu, di bawah pohon waru yang tua dan berdaun lebat, Lily berdiri dengan kaki disandarkan ke tembok, menghisap rokoknya pelan-pelan.

"Ah... dingin bener malam ini," gumam Lily sambil menyemburkan asap rokok dari bibir merahnya yang mulai pudar karena terlalu sering disentuh angin malam. Ia merapatkan jaket kulit hitam yang sudah kusam, mencoba menahan dingin yang merayap di tubuhnya.

Di sisi lain, kehidupan pasar malam masih terdengar riuh, meski mulai menurun. Beberapa warung kopi masih buka, menjual kopi pahit dan gorengan untuk para supir truk yang kebetulan lewat. Suara tawa para remaja yang nongkrong di depan toko-toko tutup terdengar samar-samar. Dari jauh, Lily memperhatikan mereka. Ia tersenyum miris. Dulu, ia pernah seperti mereka—tertawa lepas, menikmati malam tanpa beban.

Tapi, masa itu sudah jauh berlalu. Hidup berubah ketika ia harus meninggalkan bangku sekolah karena tak ada uang lagi. Sejak ayahnya meninggal ditabrak truk saat pulang dari kerja, semua jadi serba susah. Ibunya jatuh sakit, dan Lily terpaksa mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga. Pilihan pekerjaan yang layak tak pernah menghampirinya, dan akhirnya, dunia malam yang kelam menariknya ke dalam pelukannya.

"Eh, Lily, sepi amat loh malam ini," suara berat seorang pria tiba-tiba menyentak lamunannya. Rojali, pelanggan setianya, datang dengan jaket tebal dan topi miring.

Lily memaksakan senyum. "Iya, Mas Rojali. Mungkin pada capek, kali. Lagian, siapa juga yang betah tiap malam di sini, cuma kita-kita aja yang masih tahan, ya nggak?"

Rojali tertawa kecil sambil menyulut rokok. "Yah, namanya juga hidup, Lil. Kadang di atas, kadang di bawah. Cuma kita aja yang rasanya selalu di bawah terus, heh!"

Lily menghela napas, ikut tertawa kecil, meski hatinya terasa berat. "Iya, Mas. Eh, ngomong-ngomong, kopi dulu di warung Bu Min, nggak? Dingin bener ini malam."

Mereka berdua berjalan menuju warung kopi di ujung lorong, tempat di mana Bu Min, pemilik warung yang sudah tua, menatap mereka dengan tatapan simpati. "Lily, Rojali, kopi hitam seperti biasa?" tanyanya ramah.

Lily mengangguk. "Iya, Bu. Sama gorengan dua, ya. Lumayan buat ganjal perut."

Bu Min menyeduh kopi sambil mengamati Lily dengan pandangan iba. Bu Min tahu, meskipun banyak orang di kampung itu memandang rendah pekerjaan Lily, ia tetaplah seorang anak yang berusaha keras untuk ibunya yang sakit. Namun, apa daya, mulut orang memang seringkali lebih tajam dari pisau.

"Lil, kamu kapan terakhir nengokin ibumu di rumah sakit?" tanya Bu Min hati-hati, menyerahkan kopi panas ke tangan Lily.

Lily mengaduk-aduk kopinya dengan sendok kecil, menunduk. "Kemarin, Bu. Cuma sebentar, nggak bisa lama-lama. Biaya nginep di rumah sakit aja udah bikin pusing. Ini aja masih nunggak dua hari, belum bayar penuh."

Rojali mengangguk pelan. Ia tahu beban yang ditanggung Lily. Meskipun sering kali datang ke tempat Lily, ia selalu merasa ada rasa kemanusiaan di antara mereka, lebih dari sekadar hubungan pelanggan dan "penjual".

"Nanti kalau ada rejeki lebih, aku bantuin bayarin, ya, Lil. Jangan sungkan. Mungkin nggak banyak, tapi paling nggak buat nutup dulu," ucap Rojali sambil menyerahkan selembar uang lusuh seratus ribuan ke Lily.

Lily terdiam, menatap uang itu dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Ia tidak mau menangis, terutama di depan Rojali. Tapi, tawaran itu terlalu berarti baginya. "Makasih, Mas Rojali. Aku... aku janji, bakal aku balikin nanti kalo ada rejeki."

Rojali tersenyum tipis. "Udah, udah. Santai aja. Yang penting ibu kamu bisa sembuh dulu."

Lily memandang Rojali dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Di dalam hatinya, ada rasa terima kasih yang mendalam, namun juga rasa sakit karena tahu bahwa hidupnya terus tergantung pada belas kasihan orang lain. Tapi apa boleh buat, ia juga tak ingin menyerah.

Di warung Bu Min, mereka menghabiskan waktu hingga hampir subuh, membicarakan segala hal—tentang pekerjaan, tentang masa lalu, tentang kampung yang kian lama kian berubah. Tawa kecil sesekali terdengar, meski dibarengi dengan raut wajah yang penuh kelelahan.

"Yah, aku balik dulu, ya, Bu Min, Mas Rojali," kata Lily sambil melipat uang yang baru ia terima, menyimpannya di saku jaket dengan hati-hati. "Terima kasih lagi, Mas. Kapan-kapan aku traktir balik, deh, kalau ada rejeki."

Rojali melambai sambil tersenyum. "Santai, Lil. Jaga diri ya."

Lily mengangguk pelan, lalu melangkah pergi dari warung itu, kembali ke lorong-lorong sepi yang seolah sudah menjadi rumah keduanya. Di sepanjang jalan, pikiran Lily melayang-layang. Ia memikirkan ibunya, memikirkan kehidupannya yang terasa begitu berat, dan memikirkan bagaimana rasanya kalau suatu hari nanti ia bisa keluar dari semua ini.

Saat suara azan subuh mulai terdengar di kejauhan, Lily berdiri sejenak di depan pintu rumahnya yang sederhana. Rumah kayu yang mulai reyot, namun tetap menjadi tempat berlindung satu-satunya bagi dirinya dan ibunya. Ia membuka pintu perlahan, mencoba agar tidak membangunkan ibunya yang tidur di ranjang usang.

Lily menghampiri ibunya yang terbaring lemah, memeriksa wajahnya yang semakin pucat. Ia membetulkan selimut di tubuh ibunya dan mencium dahi yang dingin itu. "Bu, Lily pulang... Besok, kalau ada rejeki, kita bisa bayar tunggakan rumah sakit, ya," bisiknya sambil menahan air mata yang hampir jatuh.

Malam yang sudah berganti menjadi pagi tak lantas membuat hati Lily tenang. Sepulang dari warung, meski kantuk sudah memanggil, pikirannya tak bisa berhenti mengitari beban hidup yang terus menekan. Di dalam kamar sempit rumah kayu yang hanya berukuran tiga kali tiga meter, ia duduk di kursi kayu reyot dekat jendela, menatap ke luar sambil menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya.

Suara napas ibunya yang berat terdengar jelas di ruangan itu, seolah menjadi pengingat bahwa waktu yang dimiliki bersama sang ibu semakin sedikit. Lily menggenggam tangan ibunya yang keriput dan dingin.

"Bu... maaf ya, Lil belum bisa bikin hidup kita lebih baik," bisiknya, suaranya parau menahan isak tangis. Tapi ia segera menghapus air matanya dengan punggung tangan. "Besok pasti ada jalan, Bu. Lily janji."

Tak lama setelah itu, rasa lelah akhirnya membuat matanya terpejam, meski hanya bersandar di kursi kayu. Tidurnya tak tenang, dengan mimpi-mimpi buruk tentang masa lalu dan ketakutan akan masa depan. Pagi menjelang, dan suara ayam berkokok dari pekarangan tetangga membuat Lily terbangun dengan kaget. Tubuhnya pegal karena tidur dalam posisi duduk. Matahari baru saja naik, sinarnya menyusup lewat celah-celah dinding rumah yang sudah mulai lapuk.

Dia bangkit pelan-pelan, berusaha tidak membangunkan ibunya yang masih tertidur lelap. Dengan langkah gontai, ia keluar ke halaman kecil di depan rumah untuk mengambil air di sumur tua. Setiap pagi, Lily selalu harus memompa air sumur untuk mandi, sebelum kembali ke rutinitasnya di malam hari. Saat air segar menyentuh wajahnya, sedikit banyak ia merasa lebih hidup, meski beban yang ia tanggung tetap saja ada di pundaknya.

Tetangga-tetangganya sudah mulai beraktivitas, membuka warung kecil, mengayuh becak, atau sekadar membersihkan halaman rumah. Beberapa dari mereka menyapa Lily, meski sapaan itu kadang hanya terdengar basa-basi.

"Eh, Lily, pagi-pagi udah nyiram halaman aja," sapa Bu Sari, tetangga sebelah yang selalu mencibir di belakangnya. Meski begitu, Bu Sari tetap menyapanya tiap kali mereka bertemu.

Lily hanya tersenyum tipis. "Iya, Bu. Mumpung airnya masih seger."

Bu Sari mengangguk sambil melirik rumah Lily yang terlihat kusam. "Ibunya masih di rumah sakit, ya? Berat banget pasti buat kamu."

Kata-kata itu seperti sindiran yang dibalut simpati. Lily mengerti betul bahwa Bu Sari, seperti banyak orang di kampung itu, tahu apa pekerjaannya dan menggunjingkannya di belakang. Tapi, Lily sudah kebal.

"Iya, Bu, doakan aja semoga cepat sembuh," jawab Lily dengan nada datar sebelum berlalu masuk ke dalam rumah. Ia tidak ingin menambah masalah dengan adu argumen.

Setelah mandi, ia menyeduh kopi di dapur sederhana. Ia duduk di lantai dekat pintu sambil menyeruput kopi, memandang ke arah langit-langit rumah yang kayunya sudah berjamur. Pikirannya kembali melayang, mengingat masa-masa sebelum semua ini terjadi. Dulu, ia pernah punya cita-cita sederhana: ingin jadi guru SD, ingin berbagi ilmu pada anak-anak kecil. Tapi hidup memang tak selalu berjalan sesuai rencana. Ketika ayahnya meninggal, semua cita-cita itu luruh bersama kenyataan pahit.

Tiba-tiba, suara batuk ibunya terdengar dari dalam kamar, keras dan menyakitkan. Lily langsung bergegas masuk, menghampiri ibunya yang tergolek lemah di kasur.

"Bu, minum obat dulu, ya," ucap Lily sambil membantu ibunya duduk dan menyodorkan segelas air putih. Ibunya menatapnya dengan mata yang mulai cekung, bibirnya bergetar.

"Lil... kamu capek, ya, Nak? Maafin ibu... Ibu jadi beban buat kamu," kata ibunya dengan suara lirih, terasa seperti belati yang menembus hati Lily.

Lily menggeleng cepat, memegang erat tangan ibunya. "Enggak, Bu. Lily nggak capek. Lily cuma mau ibu sembuh, bisa sehat lagi. Nanti kalau ibu sehat, kita bisa pergi ke pasar bareng lagi, beli baju baru buat ibu."

Air mata mengalir di pipi Lily saat ia berusaha tersenyum. Ibunya hanya bisa mengangguk lemah, seolah ingin percaya pada kata-kata anaknya, meski tahu betul itu hanya sekadar mimpi di tengah kenyataan pahit yang mereka hadapi.

Hari itu berlalu dengan Lily yang terus bolak-balik dari rumah ke warung kecil di dekat pasar, membeli kebutuhan sehari-hari dengan uang yang tersisa. Siang menjelang sore, ia duduk di depan rumah, menunggu matahari mulai tenggelam sebelum kembali ke lorong-lorong malam.

Di kejauhan, terdengar suara anak-anak yang bermain bola di lapangan kecil. Lily memandang mereka dengan tatapan kosong, teringat masa kecilnya sendiri. Bagaimana ia dulu sering bermain di lapangan itu dengan teman-temannya, sebelum hidup mengajarinya bahwa dunia bisa begitu keras. Sekarang, ia hanya menjadi penonton, mengamati kebahagiaan yang tampak begitu jauh dari jangkauannya.

"Eh, Lily!" suara seorang pria memanggil dari seberang jalan. Wawan, teman lama yang dulu pernah satu sekolah dengannya. Wawan sekarang bekerja sebagai tukang ojek, sering kali lewat depan rumah Lily.

"Eh, Wawan, lagi mangkal di sini?" tanya Lily sambil tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kesedihannya.

Wawan mengangguk, memarkir motornya di pinggir jalan. "Iya, Lil. Lagi nunggu orderan, sekalian mampir liat kamu. Gimana kabar? Dengar-dengar, ibu kamu lagi sakit, ya?"

Lily menunduk sebentar, lalu mengangguk. "Iya, Wan. Doakan aja semoga cepat sembuh. Tapi ya, gitu deh, biayanya juga nggak murah."

Wawan mengangguk mengerti. Ada raut simpati di wajahnya, tapi ia tahu, Lily tidak butuh belas kasihan. "Kalau butuh bantuan, bilang aja, ya. Mungkin nggak banyak, tapi bisa lah bantu sedikit-sedikit."

Lily tersenyum tipis, kali ini tulus. "Makasih, Wan. Aku ingat itu. Kamu sendiri, gimana? Lancar ojeknya?"

Wawan tertawa kecil, menggaruk kepala. "Ya gitu-gitu aja, Lil. Kadang sepi, kadang rame. Yang penting masih ada kerjaan, masih bisa hidup. Ngomong-ngomong, kalau butuh nebeng ke pasar atau rumah sakit, bilang aja, aku antar."

Lily menatap Wawan, merasa tersentuh dengan kebaikannya. Meski hidup mereka sama-sama susah, Wawan masih berusaha memberikan bantuan. "Makasih banyak, Wan. Kamu emang baik."

Wawan hanya mengangguk sambil tersenyum, lalu melambaikan tangan. "Oke, aku lanjut dulu, ya. Semoga semuanya lancar buat kamu, Lil."

Setelah Wawan pergi, Lily duduk sendiri di teras rumah, menatap matahari yang perlahan tenggelam di balik bukit kecil. Udara sore terasa lebih dingin, seolah mengingatkannya bahwa malam segera datang. Malam yang harus ia jalani dengan senyum palsu dan harapan yang mulai terkikis.

Bab 2: 600 Ribu Sekali Crot

Malam mulai larut, udara di luar semakin dingin, tapi di dalam kamarnya yang sempit dan hangat, Lily sibuk memeriksa ponselnya yang bergetar. Beberapa notifikasi pesan masuk dari nomor-nomor tak dikenal, dan salah satunya berasal dari pria yang menggunakan nama samaran "Om Joko" di aplikasi pesan singkat. Mereka sebelumnya sudah saling bertukar pesan singkat, dan malam ini pria itu kembali menghubunginya.

Lily menatap layar ponselnya sejenak, ragu. Namun, bayangan biaya rumah sakit dan kebutuhan sehari-hari yang semakin mendesak membuat hatinya goyah. Ia membuka pesan itu, membaca isinya dengan seksama.

"Malam ini bisa, nggak? Lokasi di hotel biasa. 600 ribu untuk sekali ketemu. Langsung cash."

Kata-kata itu terasa dingin dan berat, seolah menusuk nuraninya. Tapi, angka 600 ribu itu berputar-putar di benaknya, seolah menari di atas kepalanya. Jumlah yang besar untuknya, cukup untuk membeli obat-obatan dan membayar beberapa tagihan yang menumpuk. Ia menarik napas dalam-dalam, menutup matanya sejenak, berharap ada jawaban yang lebih baik dari hatinya. Namun, tak ada. Hanya diam dan sunyi yang terasa menyesakkan.

Setelah beberapa menit menimbang, akhirnya ia mengetik balasan, dengan tangan sedikit gemetar.

"Oke, Om. Jam 9 nanti ya."

Balasan cepat datang dari Om Joko, mengonfirmasi lokasi pertemuan mereka di sebuah hotel kecil di pinggir kota. Hati Lily berdegup lebih cepat saat melihat pesan itu. Rasanya seperti menjual sedikit demi sedikit harga dirinya, tapi ia tak punya pilihan lain. Setelah memastikan ibunya sudah tidur lelap, Lily berkemas, mengambil jaket hitamnya, dan keluar dari rumah dengan hati yang berat.

Di luar, malam sudah semakin gelap, hanya diterangi lampu jalan yang temaram. Ia berjalan ke tempat biasa ia memanggil ojek online. Udara dingin menusuk kulitnya, tapi tak ada yang lebih dingin daripada perasaan yang menguasai hatinya saat ini.

Setelah beberapa menit menunggu, sebuah motor berhenti di depannya. Seorang pengendara dengan helm full-face menyapanya.

"Malam, Mbak Lily, ya?" tanya si pengendara, suaranya terdengar ramah meski tak bisa menyembunyikan rasa penasaran saat melihat penampilan Lily yang lebih rapi dari biasanya.

"Iya, Mas. Ke hotel itu ya," jawab Lily dengan suara pelan sambil naik ke boncengan.

Perjalanan terasa panjang meski sebenarnya hanya sekitar dua puluh menit. Sepanjang perjalanan, Lily terus memikirkan bagaimana hidupnya bisa berakhir seperti ini. Dulu, ia punya mimpi besar, tapi kini ia hanya mengejar angka di layar ponselnya, demi menyambung hidup dan membayar perawatan ibunya. Di balik helmnya, air mata sempat mengalir di pipi, meski ia berusaha menyembunyikannya dari si pengendara.

Sesampainya di depan hotel, Lily turun dan memberikan uang ongkos pada pengendara ojek. Ia berdiri sejenak di depan bangunan itu, mengumpulkan keberanian sebelum melangkah masuk. Pintu kaca hotel terbuka, dan hawa hangat menyambutnya, seolah menutup rasa dingin dari luar. Di dalam, ia bertemu dengan resepsionis yang sudah mengenalinya, memberikan kunci kamar dengan senyum canggung.

"Kamar 203, seperti biasa, Mbak," ucap resepsionis dengan sopan, meski nada bicaranya menyiratkan rasa prihatin.

Lily hanya mengangguk kecil tanpa banyak bicara, melangkah menuju tangga, melewati lorong sempit yang sepi. Kamar 203 berada di sudut, jauh dari kebisingan. Ketika Lily membuka pintunya, ia mendapati Om Joko sudah duduk di sofa dengan senyum lebar. Pria itu mengenakan kemeja mahal dan perhiasan emas yang berkilauan. Bau parfum mahal tercium di ruangan itu, bercampur dengan aroma minuman keras yang sudah dituangkannya di atas meja.

"Eh, akhirnya datang juga. Udah lama nunggu, lho," sapa Om Joko sambil menatap Lily dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah menilai barang dagangan.

Lily hanya tersenyum tipis, mencoba menahan rasa tidak nyaman yang menyeruak di dadanya. Ia duduk di seberang Om Joko, menatap pria itu dengan mata yang kosong. Tangannya gemetar saat menerima amplop coklat yang langsung diberikan padanya.

"Ini, seperti yang kita sepakatkan. Langsung cash, ya. Sekali selesai, nggak ada drama, nggak ada komplain. Deal?" Om Joko menyeringai, suaranya terdengar seperti seorang pedagang yang tengah menutup transaksi.

Lily menatap amplop itu sejenak, lalu memasukkannya ke dalam tas kecilnya. "Iya, Om. Seperti biasa, cepat aja, ya."

Om Joko tertawa kecil, seakan menikmati kepasrahan di wajah Lily. Mereka berdua tahu apa yang akan terjadi setelah ini, dan Lily hanya berharap semuanya cepat berlalu.

 

Malam semakin larut ketika Lily akhirnya tiba di hotel kecil di pinggir kota, tempat pertemuannya dengan Om Joko. Suasana di dalam hotel tampak sepi, hanya ada suara TV dari ruang resepsionis yang sesekali terdengar. Setelah mengambil kunci kamar dari petugas, ia berjalan menuju kamar 203 dengan langkah berat.

Di dalam kamar, Om Joko sudah menunggu, duduk di tepi tempat tidur dengan sikap santai. Pria berusia sekitar 50-an itu mengenakan kemeja mahal yang terbuka di beberapa kancing atasnya, menampilkan rantai emas yang berkilauan di lehernya. Saat Lily masuk, Om Joko menatapnya dari atas ke bawah dengan senyum puas, jelas menikmati pemandangan di depannya.

"Eh, ini dia, Lily," katanya dengan nada yang dibuat akrab. Matanya tampak mengamati setiap gerak-gerik Lily, penuh rasa penasaran dan ketertarikan. "Kamu cantik juga ya, lebih cantik dari yang aku bayangkan."

Lily hanya tersenyum kecil, mencoba mengabaikan pandangan tajam dari pria di depannya. Ia tahu apa yang diinginkan Om Joko, dan semakin cepat mereka menyelesaikannya, semakin cepat ia bisa pulang. Tapi, di balik senyum tipisnya, ada rasa cemas yang tak bisa sepenuhnya ia sembunyikan.

Om Joko bangkit dari tempatnya dan mendekat ke arah Lily, memegang bahunya dengan tangan yang terasa dingin dan kasar. "Kamu kelihatan tegang, santai aja, kita di sini buat senang-senang, bukan buat mikir berat," ucapnya sambil tertawa kecil.

Lily mencoba tetap tenang, meski setiap sentuhan dari Om Joko membuatnya semakin tidak nyaman. "Iya, Om. Saya ngerti," jawabnya, menahan diri agar suaranya tidak terdengar gemetar.

Tanpa banyak basa-basi, Om Joko mengajak Lily duduk di tepi tempat tidur. Tangannya mulai menjelajah, menikmati tubuh Lily dengan cara yang membuat Lily merasa seperti barang yang hanya dinilai dari luarnya saja. Namun, Om Joko tampak tidak peduli pada perasaan Lily, ia hanya fokus pada keinginannya sendiri, menikmati setiap momen tanpa berpikir tentang apa yang ada di balik senyum tipis wanita di hadapannya.

"Udah berapa lama kamu kerja kayak gini, Lily?" tanyanya tiba-tiba, sambil terus menggerakkan tangannya.

Lily terdiam sejenak, berpikir cepat bagaimana menjawabnya. Tapi kemudian, ia sadar bahwa Om Joko mungkin tidak benar-benar peduli dengan jawabannya. Ia hanya ingin mengisi waktu sambil mendapatkan apa yang diinginkannya. "Baru, Om. Cuma buat tambahan aja," jawabnya singkat, berusaha tidak terlalu banyak berbagi tentang kehidupannya.

Om Joko hanya mengangguk sambil tersenyum puas, seolah itu sudah cukup baginya. Bagi pria itu, Lily hanyalah hiburan semalam, sebuah pelarian dari rutinitas yang membosankan.

Malam itu, Om Joko melanjutkan untuk menikmati tubuh Lily tanpa banyak bicara lagi. Lily berusaha mengendalikan dirinya, memikirkan tujuannya dan harapan untuk bisa segera keluar dari situasi ini. Ia mengalihkan pikirannya pada ibunya, pada biaya rumah sakit yang menumpuk, dan pada rasa tanggung jawabnya sebagai anak.

Saat semuanya berakhir, Lily hanya bisa menarik napas lega dalam hati. Om Joko menyerahkan amplop berisi uang seperti yang dijanjikan, lalu bersiap-siap untuk pergi dengan sikap santai, seolah tak ada yang berarti dalam pertemuan mereka malam itu. Baginya, ini hanyalah urusan bisnis yang sudah selesai.

"Kalau butuh lagi, tinggal hubungi, ya. Aku pasti bisa bantu," ucap Om Joko sambil berjalan menuju pintu, meninggalkan Lily yang masih duduk di tepi tempat tidur, memegang amplop berisi uang itu dengan tangan gemetar.

"Iya, Om. Terima kasih," jawab Lily, mencoba menutup perasaan hampa yang menyelimuti hatinya. Ia menunggu sampai suara langkah Om Joko benar-benar hilang di ujung lorong sebelum bergegas mengemasi barang-barangnya dan keluar dari kamar itu.

Ketika ia akhirnya berada di luar hotel, Lily menatap amplop yang ada di tangannya. Jumlah yang ada di dalamnya cukup untuk menutupi sebagian biaya pengobatan ibunya. Tapi, di dalam hatinya, ada perasaan bersalah yang begitu besar. Ia bertanya-tanya berapa lama lagi ia harus menjalani hidup seperti ini.

Lily kembali pulang dengan ojek online, sama seperti saat datang tadi. Udara malam yang dingin terasa menusuk kulit, tapi ia mencoba tidak memedulikan itu. Baginya, yang terpenting sekarang adalah membawa uang itu ke rumah sakit dan memastikan ibunya mendapatkan perawatan yang layak.

Setibanya di rumah, Lily bergegas masuk ke kamar kecilnya, menyembunyikan amplop uang itu di dalam laci meja rias. Ia menghapus riasan di wajahnya dengan cepat, mencuci muka di wastafel kamar mandi yang kecil dan kusam. Di depan cermin, ia menatap pantulan wajahnya sendiri yang tampak lelah dan letih.

Air mata yang sempat ia tahan sepanjang malam itu akhirnya mengalir deras, membasahi pipinya. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukan hidup yang diinginkannya. Namun, untuk saat ini, ia tak melihat pilihan lain. Demi ibunya, demi rasa cinta yang tak terukur, Lily rela menanggung beban ini meski jiwanya perlahan terasa remuk.

Malam itu, di bawah selimut tipis di kamar sempitnya, Lily mencoba tidur dengan pikiran yang terus dipenuhi rasa bersalah dan harapan yang samar-samar. Ia berdoa dalam hati, berharap suatu hari nanti ia bisa keluar dari kegelapan ini dan menemukan kembali arti kebahagiaan yang telah lama hilang.

Bab 3: Tongkrongan di Dermaga

Malam di dermaga kecil di pinggir kota selalu punya nuansa yang berbeda. Suara ombak yang perlahan menghantam tiang-tiang kayu dan aroma air asin yang lembut memenuhi udara. Di sini, ada tempat nongkrong yang sering jadi pelarian bagi orang-orang yang ingin menghindari kebisingan kota. Di salah satu sudut dermaga, terdapat kafe kecil dengan beberapa meja kayu yang lampu-lampunya remang-remang.

Di tempat ini, Om Joko dan beberapa temannya sering berkumpul. Mereka duduk di salah satu meja dengan pemandangan laut malam yang gelap, ditemani botol-botol minuman dan tawa yang sesekali membahana di udara malam. Meski suasana tampak santai, ada percakapan yang lebih dalam di antara mereka.

"Eh, gua bilang, kemarin gue ketemu sama Lily," kata Om Joko sambil menyeringai lebar. Ia memegang botol birnya dan menggoyangkannya perlahan, menarik perhatian teman-temannya yang mulai penasaran.

Teman-temannya, yang terdiri dari beberapa pria berusia seumuran dengan Om Joko, langsung menoleh. Salah satunya, Pak Herman, dengan kumis tebalnya yang berantakan, mengangkat alis. "Lily? Siapa tuh, Jo?" tanyanya, tertarik dengan cerita baru.

Om Joko mengangguk dengan senyum penuh arti, seperti sedang memamerkan sebuah pencapaian. "Itu cewek yang gue omongin kemarin, yang gue temuin di hotel. Wah, bro, enak banget! Lembut, cantik, masih muda lagi. Pokoknya, pengalaman nggak bakal nyesel deh!"

Tawa teman-temannya pecah mendengar celotehan Om Joko. Mereka tampak menikmati cerita yang ia sampaikan, meski nada percakapan mereka terdengar jauh dari sopan. Di tengah tawa, Pak Herman mencondongkan tubuhnya ke depan, semakin tertarik dengan apa yang Om Joko katakan. "Wah, bisa tuh, bisa! Nomornya ada, nggak?" tanyanya, separuh bercanda namun penuh harap.

Om Joko tertawa kecil, matanya melirik ke arah teman-temannya satu per satu. Ia mengeluarkan ponselnya, lalu menggulirkan layarnya ke nomor Lily yang ia simpan. "Gampang, tinggal hubungi aja. Orangnya asik kok, yang penting siapin duitnya aja," kata Om Joko, sambil memamerkan nomor kontak di layar ponselnya kepada mereka.

Teman-temannya mulai mengerumuni Om Joko, mengintip nomor tersebut dan mencatatnya dengan cepat di ponsel mereka masing-masing. Mereka tertawa-tawa, bersenda gurau, seolah ini adalah bagian dari hiburan malam mereka. Bagi mereka, ini bukanlah sesuatu yang perlu dipikirkan lebih dalam; semua hanya urusan kesenangan sesaat.

Namun di balik canda dan tawa itu, tidak ada satu pun yang menyadari perasaan Lily yang sesungguhnya, yang bergelut dalam kecemasan dan rasa putus asa. Bagi mereka, Lily hanyalah sebuah nama di layar ponsel, tanpa pernah benar-benar mengerti cerita di baliknya.

Di atas meja kayu di dermaga yang mulai dingin oleh angin laut, Om Joko dan teman-temannya melanjutkan malam itu dengan penuh canda tawa, sementara di sudut lain kota, Lily masih terjaga di kamarnya yang sempit, merenungi hidupnya dan setiap pilihan yang pernah ia buat.

Malam semakin larut di dermaga, namun tawa dan canda dari meja Om Joko dan teman-temannya terus berlanjut, menggema di antara suara deburan ombak. Lampu-lampu kota di kejauhan memantul di permukaan air laut yang tenang, menciptakan bayangan bergoyang yang tak henti-hentinya mengikuti arus.

Pak Herman kembalI menyandarkan tubuhnya ke kursi kayu yang mulai reot, sambil menghisap rokoknya dalam-dalam. Asap mengepul dari mulutnya, menyebar di udara malam yang dingin. "Tapi, Jo, ngomong-ngomong, itu cewek kayak gimana sih aslinya? Gua jadi penasaran," tanyanya, mencoba menggali lebih dalam cerita tentang Lily.

Om Joko mengangkat bahu dan tersenyum kecil. "Ya, biasa aja sih kalau dilihat dari luar. Tapi begitu deket, wah, beda! Apalagi senyumnya itu, ada sesuatu yang bikin gua nggak bisa lupa," jawabnya dengan tawa kecil, mengenang kembali pertemuannya dengan Lily.

Teman-temannya tertawa lagi mendengar cerita itu, sementara Pak Anto, yang sedari tadi hanya mendengarkan, akhirnya angkat bicara. "Eh, tapi, hati-hati juga, Jo. Kalau ternyata cewek itu cuma cari mangsa dan akhirnya minta lebih dari yang lo kasih, gimana? Jangan sampai malah jadi masalah nantinya."

Pak Anto memang terkenal sebagai orang yang lebih bijak dan sering mengingatkan yang lain. Meski begitu, ucapannya tidak benar-benar membuat suasana jadi serius. Om Joko malah tertawa lagi, menganggap itu sekadar candaan. "Ah, tenang aja, To. Kita ini udah dewasa, kok. Lagian, siapa sih yang nggak mau uang? Semua orang pasti butuh duit, apalagi kalau lagi kepepet kayak si Lily."

Namun, ucapan Pak Anto itu membuat suasana sedikit berubah. Meskipun tawa masih berlanjut, ada rasa canggung yang samar. Mereka semua sadar bahwa di balik cerita yang disampaikan dengan nada canda itu, ada realita keras yang dihadapi Lily dan banyak orang lain yang sepertinya.

Pak Herman, yang masih penasaran, melirik Om Joko sambil mengerutkan kening. "Omong-omong, Jo, kalau emang dia butuh duit, kenapa nggak kita tawarin bantuan yang lebih baik? Siapa tahu bisa keluar dari situasinya, gitu," katanya, meski tahu tawarannya itu mungkin akan ditolak mentah-mentah oleh yang lain.

Om Joko hanya tertawa kecil, gelengan kepalanya membuat suasana kembali ringan. "Ah, Herman, lu itu kebanyakan nonton sinetron! Siapa yang mau nolongin kalau kita sendiri juga lagi susah? Udah, dinikmatin aja selagi ada kesempatan. Kalau dia butuh bantuan, ya kita bantu seadanya, tapi nggak usah muluk-muluk."

Mereka melanjutkan obrolan, beralih ke topik lain yang lebih ringan, seperti bisnis kecil-kecilan yang sedang mereka rintis atau proyek bangunan yang akan dimulai pekan depan. Tapi sesekali, percakapan tentang Lily kembali muncul, meski hanya sebagai lelucon.

Sementara itu, angin malam semakin kuat, meniupkan rasa dingin yang merasuk hingga ke tulang. Suara deburan ombak kini terdengar lebih keras, seolah ingin menenggelamkan setiap tawa dan obrolan di atas dermaga. Di dalam hati masing-masing, mungkin ada keraguan kecil tentang apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka memandang orang lain yang sedang berjuang dalam hidupnya.

Om Joko meraih botol bir terakhir di meja, mengangkatnya ke atas, dan berseru, "Udah lah, yang penting kita senang-senang aja dulu. Yang lain biar kita pikirin belakangan!"

Botol-botol itu saling beradu, suara mereka terdengar nyaring di tengah sunyi malam, seakan menjadi penutup untuk percakapan panjang mereka di malam itu.

Semakin malam, suasana di dermaga terasa makin hening, hanya sesekali suara motor yang lewat memecah keheningan. Om Joko dan teman-temannya terus mengobrol, meski kini topik mereka mulai beralih ke bisnis dan peluang usaha. Namun, pembicaraan tentang Lily belum benar-benar berakhir di benak mereka, menyisakan rasa penasaran dan keingintahuan yang masih menggelayut.

Pak Herman, yang duduk dengan sikap santai di atas bangku kayu, akhirnya mengajukan pertanyaan yang sempat ia tahan. “Eh, Jo, tadi lu bilang si Lily ini butuh duit banget, ya? Sampe rela kayak gitu?” Pak Herman menarik rokoknya dalam-dalam, lalu meNghembuskan asapnya ke langit malam yang berbintang.

Om Joko mengangguk pelan. “Iya, katanya keluarganya susah, udah nggak ada pilihan lain. Cuma itu jalan yang bisa dia ambil buat nyambung hidup. Kadang gue mikir juga sih, kasihan cewek kayak dia... tapi, ya, itu urusan hidup dia, kan?” katanya dengan nada yang sedikit lebih serius, mengingat-ingat percakapan singkat yang pernah ia lakukan dengan Lily.

Pak Anto, yang sedari tadi hanya mendengarkan, mengerutkan alisnya. “Tapi, kasihan juga kalau nanti malah jadi omongan orang, Jo. Kan, kita tahu, hidup di kota ini nggak gampang. Banyak mata yang lihat, banyak mulut yang ngomong,” katanya sambil menggelengkan kepala.

Om Joko hanya tersenyum tipis. Baginya, masalah seperti itu adalah bagian dari kehidupan di kota kecil ini, di mana berita cepat sekali menyebar dan tak jarang berakhir menjadi gosip. Namun, jauh di dalam dirinya, ia menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda pada Lily. Ia bukan sekadar gadis yang menghibur, tapi seseorang yang tampak terbebani oleh keadaan hidupnya yang sulit.

Di sela-sela percakapan mereka, tiba-tiba terdengar suara motor mendekat ke arah dermaga. Dari balik kegelapan, seorang pria muda muncul, mengenakan jaket kulit hitam dengan helm yang masih dikenakannya. Ia menghampiri meja Om Joko dan teman-temannya, tampak agak terburu-buru.

“Eh, Joko, ada tamu nyariin lo di kafe depan sana. Gue tadi dititipin pesen buat nyampein ke lo,” katanya dengan nada yang terengah-engah.

Om Joko mengangkat alis, tampak sedikit bingung. “Siapa tuh? Tamu siapa yang nyariin gua malam-malam begini?” tanyanya.

Pria itu hanya menggeleng sambil mengangkat bahu. “Nggak tahu juga. Katanya penting banget, makanya gue langsung ke sini.”

Om Joko berdiri sambil meraih jaketnya yang tergeletak di atas kursi. “Oke deh, gua cek dulu. Lu pada tunggu sini aja, ya,” katanya sambil berjalan meninggalkan meja, diikuti tatapan penasaran teman-temannya.

Pak Herman menatap punggung Om Joko yang menjauh, lalu beralih ke Pak Anto. “Kayaknya ada yang nggak beres nih. Kita lihat aja nanti, siapa tahu ada drama seru lagi,” katanya dengan nada bercanda, meski matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang besar.

Mereka melanjutkan duduk di dermaga, menunggu Om Joko kembali, sambil sekali-sekali menatap ke arah laut yang gelap dan berbicara tentang kehidupan sehari-hari. Namun, di tengah semua obrolan mereka, bayangan Lily masih mengambang di benak mereka, seolah menjadi bayangan gelap yang tak bisa diabaikan begitu saja.

Di kafe depan dermaga, Om Joko melangkah masuk dengan rasa penasaran. Suara lonceng kecil di pintu kafe berbunyi saat ia mendorongnya, dan di dalam, ia melihat sosok yang tampak familiar. Lily duduk di sudut kafe, memegang cangkir kopi yang sudah hampir dingin, sambil memandang ke luar jendela.

Melihat kehadiran Om Joko, Lily tersenyum tipis, meski jelas ada kelelahan di matanya. Om Joko mendekat dan duduk di depan Lily, mencoba membaca ekspresi di wajahnya.

"Kenapa, Lil? Nyariin gua malam-malam gini?" tanya Om Joko, mencoba menyelidiki niat kedatangannya.

Lily menatapnya, lalu menghela napas pelan sebelum berbicara. “Aku cuma butuh ngobrol, Om. Mungkin... sekedar temen bicara aja,” jawabnya, suaranya terdengar lelah namun jujur.

Om Joko terdiam sejenak. Ia memandang Lily, lalu mengangguk pelan. Di antara canda dan obrolan receh dengan teman-temannya di dermaga, momen ini terasa berbeda. Ada sesuatu di mata Lily yang membuat Om Joko menyadari bahwa di balik senyuman dan perannya yang tampak percaya diri, ada sisi lain yang mungkin jarang orang lihat.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!