...*...
Seorang gadis bernama Adiba Kamila mengerjapkan mata perlahan, sebelum akhirnya terbuka dengan sempurna. "Jam berapa ini, aku belum sholat subuh," gumamnya pelan.
Gadis itu bergegas bangkit dari posisi berbaringnya. "Auuuwww ... ssshhh..., kenapa ini sakit sekali? Badanku juga rasanya sakit semua." Dia berdesis merasakan badannya remuk redam.
Padahal Kamila ingat betul, bahwa semalam sudah meminum obat, tapi seolah tidak ada efeknya. Lalu ia memijit kepalanya yang terasa pusing.
Di saat itulah baru dia tersadar, ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya. Diperiksa tubuhnya, seketika menjadi panik saat mendapati, tak ada sehelai pun pakaian melekat, apalagi ada noda merah di bawahnya, dan hanya selimut yang menutupinya.
Lantas ia menolehkan kepalanya ke samping, dan matanya langsung terbelalak, begitu melihat seorang pemuda, berada di atas tempat tidurnya, dengan posisi tengkurap dan membelakanginya.
"Aaaaaa... siapa kamu! Apa yang telah kau lakukan padaku!!!" teriak Kamila seraya menendang dengan kekuatan penuh, tubuh seorang pemuda yang masih tertidur pulas itu. Kemudian melemparinya dengan bantal dan guling.
Karena kaget pemuda itu pun ikut berteriak. Tubuhnya terguling di lantai, dalam keadaan telanjang bulat.
"Aaawww...sakit!"
Kamila kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan menyembunyikan wajah di antara kedua lututnya.
Pemuda itu pun mengedarkan pandangannya, lalu menunduk dan melihat tubuhnya yang polos tanpa busana. Ia langsung membulatkan matanya terkejut. "Apa yang terjadi padaku?" gumamnya pada diri sendiri.
Ia lantas mencari pakaiannya yang berserakan. Setelah menemukan yang di cari, lalu memakainya.
"Mila ...?" ucapnya ketika netranya melihat sahabatnya tengah duduk dengan kepala tertunduk di antara kedua lututnya.
Merasa mengenali suara itu, Kamila pun mengangkat wajahnya, dia langsung syok seketika.
"Zando...?" Gadis itu membekap mulutnya tak percaya.
"Mila, kamu ... kenapa ada di sini?"
"Aku ...?Tentu saja aku ada di sini, karena ini adalah kamarku. Lalu apa yang sudah kamu lakukan, hahhh? Kenapa kamu tega padaku, Do?" Kamila berteriak histeris mendapati kenyataan bahwa pemuda yang telah menodainya adalah sahabatnya sendiri. Sahabat yang dicintainya dalam diam.
"Kamila ... a-aku... aku ...."
Zando mencoba mengingat kejadian yang dialaminya. Dia berusaha menyatukan kepingan ingatannya dari awal.
Flashback on
Pov Zando
Malam itu aku menghadiri acara penghargaan yang diselenggarakan oleh salah satu stasiun televisi swasta. Dan aku dinobatkan sebagai aktor pendatang baru terfavorit. Demikian pula dengan sinetron yang aku bintangi pun, menyabet penghargaan sebagai sinetron terfavorit karena ratingnya sangat tinggi.
Ada banyak lagi penghargaan yang didapat oleh rumah produksi itu, membuat produser dan sutradara mengajak kru beserta timnya untuk merayakan keberhasilan tersebut. Maka dipilihlah tempat hiburan malam sebagai tempat untuk berbagi kegembiraan. Karena merasa tidak enak hati untuk menolak, akhirnya aku ikut serta. Padahal ini adalah kali pertamanya aku masuk ke tempat seperti itu.
Gemerlap lampu warna-warni dan musik hingar-bingar membuatku merasa tidak nyaman.
"Kamu kenapa, Do?" tanya seseorang yang merupakan kru syuting.
"Tidak apa-apa, Bang," jawabku singkat.
"Sana, kamu pesan minuman, atau mau aku pesankan?"
"Orange juice aja, Bang."
"Baiklah." Orang itu kemudian memanggil pramusaji untuk memesan minuman yang aku inginkan.
Tak lama kemudian minuman pesananku datang. Aku pun langsung meminumnya hingga tandas, karena memang merasa haus dari tadi. Akan tetapi tak lama kemudian, aku merasakan sesuatu yang berbeda pada tubuhku. Hawa panas menyeruak disertai keringat mulai bercucuran. Lalu aku pamit ke toilet.
"Aaagghhh...! Obat sialan itu! Rupanya mereka mengerjaiku!"
Flashback off
.
Zando meremas rambutnya kasar, lalu menatap Kamila dengan perasaan bersalah. Sungguh dirinya tidak pernah menginginkan hal ini terjadi. Tapi bubur sudah terlanjur gosong, tentunya sudah tidak enak dimakan lagi.
"Kamila, maafkan atas kekhilafanku. Sungguh, aku---"
"Apa kata maaf bisa mengembalikan semuanya seperti semula? Kamu sudah menghancurkan aku, Do! Kamu sudah mengambil apa yang selama ini aku jaga. Lalu, bagaimana aku harus menjalani hidupku setelah ini?"
Kamila terus menangis, dan terdengar sangat menyayat hati, membuat Zando makin merasa frustasi.
"Kamila, aku pasti akan bertanggung jawab dan aku berjanji akan menikahimu."
"Apa kamu yakin akan semudah itu? Lalu bagaimana dengan orangtuamu, bagaimana pula dengan kariermu?" Kamila menatap sinis ke arah Zando, tak percaya.
"Aku akan mengatakan yang sejujurnya pada keluargaku, dan meminta mereka menikahkan kita. Kamila, sebenarnya ... selama ini, aku mencintaimu."
Zando menatap Kamila dengan teduh, sayangnya tidak dengan gadis itu. Ia sudah terlanjur kecewa dengan Zando yang sudah merenggut sesuatu yang sangat berharga baginya.
Kemudian Kamila mencoba mengais ingatannya sebelum kejadian.
.
Flashback on
Pov Kamila
Malam itu aku bersama rekan-rekan sesama dokter baru saja tiba di rumah sakit, setelah beberapa hari menjadi tim relawan di daerah yang tertimpa bencana alam.
Karena merasakan tidak enak badan dan demam, maka aku memutuskan untuk langsung pulang, agar bisa segera beristirahat. Sesampai di unit apartemen, aku pun membersihkan diri, setelah itu meminum obat lalu tidur.
Akan tetapi, baru beberapa saat terlelap, samar-samar aku mendengar suara seseorang mengetuk pintu kamar dan memanggilku.
Karena mengenal suara itu, maka dengan setengah sadar aku terbangun untuk membukakan pintu.
"Kamila... tolong aku, Mil! Badanku rasanya panas sekali."
Akan tetapi, aku tidak menanggapi ucapannya. Aku hanya mengambilkan obat demam dan kuberikan padanya. Bahkan saat dia memelukku, aku hanya terdiam seakan tidak punya tenaga untuk sekedar memberontak. Malam itu mataku rasanya benar-benar lengket dan aku seperti sedang bermimpi.
"Mila, rasanya aku tidak tahan. Entah apa yang terjadi padaku. Tolonglah aku, Mil. Apa yang harus aku lakukan?"
Zando mulai meracau tidak jelas, dan selalu mengatakan panas. Namun karena aku sendiri pun, juga merasa tidak baik-baik saja, maka aku memutuskan untuk tidur kembali. Dan selanjutnya aku tidak tahu apa yang terjadi, karena obat yang aku minum memang mengandung obat tidur.
Flashback off
"Bodoh-bodoh kamu, Mila! Kenapa kamu begitu bodoh!" Kamila memukuli kepalanya sendiri.
Rasa penyesalan begitu dalam ia rasakan. Dia tahu bahwa Zando juga tidak sepenuhnya bersalah. Dia yang memberi akses pemuda itu untuk masuk ke dalam kamarnya. Apalagi jika mengingat baju yang dipakainya malam itu, berupa baju tidur berbahan satin dengan tali spageti dan celana hot pant yang memperlihatkan pahanya.
"Mila, percayalah padaku. Aku akan meminta papa dan mama menikahkan kita."
Ucapan Zando sedikitnya membuat hati Kamila terasa menghangat, hingga memunculkan sebuah harapan.
Derrttt... Derrttt... Derrrttt
Ponsel Zando berdering dan tertera nama asistennya di sana.
"Hallo, ada apa?"
" .... "
"Bagaimana bisa?"
" .... "
"Baiklah, aku akan segera ke sana."
Zando menutup sambungan teleponnya, lalu menghampiri Kamila. Direngkuhnya bahu rapuh itu dan memeluknya dengan erat.
"Mila, apapun yang kamu dengar dan kamu lihat tentang aku, kumohon percayalah padaku. Aku pasti akan datang, dan mempertanggungjawabkan apa yang telah aku lakukan padamu. Aku janji!"
"Sekarang aku harus pergi, ada urusan yang harus aku selesaikan," ucap Zando.
Kemudian ia melerai pelukannya dan mengecup kening Kamila penuh perasaan. Setelah itu dia bergegas pergi meninggalkan unit apartemen Kamila.
Sedangkan Kamila sendiri, hanya bisa menatap nanar, kepergian pemuda yang diam-diam telah mencuri hatinya sejak masa putih abu-abu itu, dengan perasaan tak menentu.
.
.
.
.
.
.
*Tolong tinggalkan jejak jika suka,
* Dan jangan tinggalkan apapun jika hanya penasaran.
*Tolong jangan loncat bab membacanya ya gaes!!!
...*...
Sesampainya di apartemen miliknya, Zando segera membersihkan diri. Pemuda itu mencoba kembali mengingat apa yang telah dilakukannya pada Kamila sahabatnya.
"Kenapa aku sampai tidak terkendali, sih? Untung Kamila, bagaimana kalau ternyata itu gadis lain?"
"Hahhh... tidak-tidak! Meskipun itu Kamila, ataupun gadis lain, tidak seharusnya aku melakukannya. Bagaimana aku harus menjelaskan semua ini pada Mama dan Papa?"
Zando termenung di bawah guyuran air shower, yang terus mengucur menerpa tubuhnya. Dia memikirkan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Namun apapun itu dia tetap pada keputusannya menikahi Kamila.
Zando segera menyudahi mandinya, lantas keluar dari kamar mandi. Lalu memilih pakaian dan memakainya. Kemudian buru-buru keluar dari kamar, sebab ia berniat pergi ke kantor agensi untuk mengurus masalahnya.
Akan tetapi, baru ia akan membuka pintu, Nino sang manager sekaligus asistennya langsung menerobos masuk.
"Loh, kok kamu malah ke sini? Bukannya kita ketemu di agensi?"
"Kelamaan, aku nungguin kamu sampai jamuran!"
"Ada apa sebenarnya sih, No? Perasaan aku tidak melakukan apapun."
"Nih, makan dulu, biar kamu bisa berfikir jernih nantinya. Setelah itu aku akan membahas hal serius sama kamu!" tegas Nino. Ia lalu menyodorkan tote bag berisi makanan pada Zando.
Tanpa membantah Zando segera membuka tote bag itu, lalu menyantapnya dengan lahap, karena dirinya kebetulan memang sedang lapar.
Selesai sarapan Zando membuang bekasnya makan pada tempat sampah, lalu mencuci tangan. Kemudian ia kembali ke tempat semula.
"Ada apa? Sepertinya sangat penting?"
Nino menarik nafas dalam sebelum membuka suara. Dia menatap Zando sejenak, lalu bertanya, "Do, kamu ada hubungan apa sama Shahnaz Wilson?"
"Hahhh ..." Zando tergelak, lalu mengacak rambutnya kasar.
"Aku tidak ada hubungan apa-apa sama dia, hanya teman. Kita memang sering ketemu di beberapa acara musik, ya akhirnya kenal. Itu saja."
"Kamu ingat pernah bertemu atau jalan bareng sama Shahnaz, mungkin?"
Zando mengeryitkan dahinya, berusaha mengingat. Lalu ia pun menjawab, "Pernah, sih. Kalau tidak salah, kemaren. Waktu itu aku mau ke tempat Mila, tapi dia tidak di rumah, akhirnya aku balik lagi. Lalu aku ketemu sama Shahnaz di depan lift. Karena kebetulan tujuan kita sama, aku menawarinya tumpangan. Selanjutnya kita berangkat bersama."
"Nih ... lihat!" Nino menyodorkan ponselnya pada Zando.
Sedangkan Zando langsung membulatkan matanya, begitu melihat gambar dan tulisan yang tertera pada laman berita online tersebut.
"Ck ... lelucon macam apa ini?" Zando berdecak kesal.
Nino kembali menarik nafas panjang. Selama menjadi manager Zando, baru kali ini artisnya itu terlibat berita seperti ini. Ya memang, semakin tinggi posisi seseorang, pasti akan mudah diterpa gosip miring. Apalagi seorang artis, yang segala gerak-geriknya selalu diawasi dan dijadikan berita.
"Ini tidak benar, No. Berita dari mana ini? Kita bahkan tidak menjalin hubungan seperti yang diberitakan.
"Aku ketemu sama Shahnaz, karena dia ternyata tinggal di apartemen yang sama dengan apartemen yang ditinggali Kamila, itu saja tidak lebih." ungkap Zando.
Lalu ia memijat pelipisnya, mendadak kepalanya berdenyut nyeri."Hahhh ... masalah satu belum teratasi, ini udah ada lagi masalah," batinnya dalam hati
Nino menyalakan televisi, mencari sumber berita gosip. Dan sesuai dugaannya, berita tentang artisnya sudah kian merebak, dan menjadi pembahasan pembawa acara. Mereka malah mengaminkan apa yang sebenarnya tidak terjadi, dan mengiring opini bahwa seakan-akan Zando dan Shahnaz Wilson memang menjalin hubungan.
Zando kembali mengacak rambutnya kasar, setelahnya dia meraup mukanya frustasi.
"Aku mau pergi ke agensi dan menjelaskan bahwa ini tidak benar."
"Oke, kita berangkat sekarang!"
Zando dan Nino beranjak dari tempat duduknya, bergegas meninggalkan apartemennya. Akan tetapi begitu mereka tiba di lantai bawah, terjadi hal yang tidak terduga.
Banyak sekali pemburu berita infotainment, berkumpul seperti lebah yang mengerumuni sarangnya.
"Sepertinya kita tidak bisa ke sana. Lebih baik, untuk sementara waktu kamu di rumah saja, dan jangan ke mana-mana. Ini demi kebaikan kamu, sampai suasana kondusif. Aku akan berusaha menyelesaikan masalah ini semampuku."
"Baiklah, aku serahkan semuanya kepadamu." Setelah berkata demikian, Zando masuk kembali ke dalam lift.
Sedangkan Nino dengan langkah gesit berusaha menerobos kerumunan, dan langsung masuk ke dalam mobilnya.
Sesampainya di agensi, Nino segera menemui pimpinan agensi MW Entertainment, dan langsung disambut oleh Tuan Moreno William sendiri.
"Selamat pagi, Tuan. Kedatangan saya kemari, ingin mengklarifikasi tentang berita mengenai Zando," ucap Nino to the point.
"Kenapa? Bukankah itu berita yang cukup bagus? Mengingat Zando dan Shahnaz Wilson sama-sama akan mengeluarkan single solo mereka. Dengan begitu kita bisa memanfaatkan moment ini untuk menggebrak pasar," sahut Tuan Moreno santai.
"Lagipula apa salahnya jika Zando dan Shahnaz menjalin hubungan? Toh mereka sama-sama single kan? Dan mereka terlihat serasi," sambungnya kemudian.
Nino diam tidak berkomentar. Otaknya bekerja cepat. Memang benar kalau dari segi komersil keduanya akan diuntungkan. Tapi Zando, tentu saja tidak. Pemuda itu diam-diam menyukai sahabatnya sendiri. Lalu ia pun berusaha melakukan negosiasi dengan CEO Agensi tersebut.
"Lalu bagaimana dengan Shahnaz sendiri? Apa dia setuju?"
"Shahnaz pasti akan setuju. Dia gadis yang berambisi dan ingin menjadi artis terkenal. Dalam bisnis hiburan semua bisa diatur, asal saling menguntungkan. Semacam simbiosis mutualisme."
"Lalu apa ada kesepakatan kontrak?"
"Boleh juga. Kalau begitu kita buat kesepakatan kontrak."
"Oke ...! Paling lama satu tahun mereka merekayasa hubungan, lalu setelah itu kontrak selesai."
"Deal."
Kedua belah pihak akhirnya tanda tangan di atas materai. Dan siang harinya diadakan konferensi pers yang akan mengkonfirmasi hubungan Zando dan Shahnaz.
Pihak Agensi mengundang para pemburu berita, baik media cetak, media elektronik, maupun media online.
°°°
Sementara itu, Kamila saat ini berada di kamar mandi, tengah membersihkan dirinya. Dia menggosok-gosok jejak yang ditinggalkan oleh Zando pada tubuhnya. Meski ia mencintai Zando, tapi bukan dengan cara seperti ini yang diinginkannya.
"Kenapa ini tidak bisa hilang, sih?" Kamila kembali terisak mengingat kebodohannya.
Gadis itu terus menggosok kulitnya, berharap tanda merah di tubuhnya bisa hilang, namun yang terjadi justru kulitnya lecet kemerahan. Lantas ia pun menyudahi mandinya.
Kamila keluar kamar mandi, dengan wajah sembab dan masih sesenggukan. Hari ini dia masuk kerja malam, jadi masih ada waktu baginya memulihkan mental.
Setelah berpakaian ia pergi ke dapur, untuk membuat sesuatu yang bisa ia makan. Setengah jam berkutat di dapur, masakannya selesai dan ia membawanya ke meja ruang tamu.
Kamila menyalakan televisi, kemudian beranjak ke dapur untuk mengambil air minum. Setelahnya dia kembali lagi ke tempat semula.
"Pemirsa, penyanyi sekaligus aktor yang namanya sedang naik daun, dan menjadi perbincangan publik, karena suaranya yang khas dan bakat aktingnya yang mumpuni. Dan juga ketampanannya, banyak digandrungi kaum hawa. Siapa lagi kalau bukan Zando Arrayyan.
"Nah, baru-baru ini Zando tertangkap kamera infotainment, tengah jalan bareng dengan penyanyi cantik Shahnaz Wilson." Host acara gosip itu memulai membacakan topik hangat yang lagi viral.
"Mereka tampak begitu serasi, mengenakan outfit yang sama yaitu Tshirt putih dipadu celana jeans, pemirsa." Salah seorang host lainnya menimpali.
"Nah, siang tadi pihak agensi, telah memberikan klarifikasi dan membenarkan bahwa artisnya tersebut memang menjalin hubungan...."
Pyaaaarrr....
Tanpa sadar Kamila menjatuhkan gelas berisi air dari pegangan tangannya. Gadis itu langsung jatuh tersimpuh di lantai, tanpa memperdulikan tangannya yang terkena pecahan kaca. Baginya rasa sakit pecahan kaca itu, tak seberapa jika dibandingkan dengan rasa sakit di hatinya.
"Kenapa...? Kenapa....?" Kamila menjerit sekencangnya untuk melampiaskan rasa sesak di dadanya sembari memukul-mukul lantai.
Sesakit inikah memendam perasaan? Lalu apa arti janji yang kau ucapkan, sehingga membuatku menaruh harapan, jika akhirnya kau hempaskan. Apa arti ungkapan cintamu jika hanya pepesan kosong semata? Diri ini bagaikan seonggok sampah yang tercampakkan setelah kau menikmatinya.
Kamila bangkit dan berdiri, lalu berjalan tertatih menuju kamarnya. Menatap dirinya di depan cermin. Senyum getir terbit dari bibir pucatnya.
"Sepahit inikah hidupku?"
Kamila memeluk dirinya sendiri seraya meratapi nasibnya. Seolah kebahagiaan enggan menghampirinya.
...*...
.
.
.
*Jangan lupa lupa tinggalkan jejak cintamu
...*...
Di apartemennya Zando merasa bosan, tidak ada yang bisa dilakukannya. Akhirnya ia memutuskan untuk menyalakan televisi dengan harapan bisa mengusir kejenuhan.
Akan tetapi, baru saja layar LED persegi itu menyala, ia sudah disuguhi berita yang membuat kepalanya langsung berdenyut, serta dadanya terasa sesak.
"Apa-apaan mereka, membuat statement seenaknya saja, tanpa konfirmasi pada yang bersangkutan terlebih dahulu!"
Zando benar-benar merasa marah, kesal, kecewa, dan frustasi menjadi satu. Berkali-kali dia mengacak dan meremas rambutnya serta menggeretakkan giginya atau bahkan mengepalkan tangannya, lalu melampiaskannya pada sofa yang tidak bersalah.
"Aaaaggrrhh ...!!! Aku bisa gila kalau begini. Aku harus menghubungi Kamila. Aku takut dia akan salah paham!"
Lalu Zando menekan nomor WA Kamila, sayangnya di layar hanya tertera tulisan memanggil. Kemudian dia menghubungi lewat nomor biasa, dan hanya terdengar suara operator yang menyambutnya dan mengatakan nomor yang anda tuju sedang sibuk.
Zando mondar-mandir di ruang tamu, sambil berkacak pinggang. Sampai akhirnya terdengar bunyi seseorang memencet kode pin pintu apartemennya.
Nino masuk dengan wajah lelah, dan langsung diberondong Zando dengan pertanyaan.
"Bagaimana bisa beritanya jadi seperti itu sih, No? Kamu ini katanya mau menyelesaikan masalah, kenapa malah menambah masalah? Bagaimana jika Kamila sampai tahu? Bisa-bisa tamat sudah semuanya!"
"Sabar dong, Do! Aku jelaskan satu persatu!"
Nino mendudukkan dirinya di sofa single, sementara Zando masih berdiri lalu melipat kedua tangannya di dada.
"Katakan apa yang terjadi, dan kenapa kamu juga berada di antara mereka?" tanya Zando penasaran.
"Tidak ada minum dulu gitu, Do? Haus nih," ujar Nino
"Tidak usah bertele-tele!" gertak Zando.
"Oke ...! Setelah aku pikir-pikir, ..." Nino lantas menceritakan percakapannya dengan Tuan Moreno secara gamblang tidak kurang tidak lebih.
"Cuma setahun kontrak rekayasa hubungan kalian. Lagipula kamu sama Shahnaz kan sudah saling kenal, kalian juga pernah main film bareng. Jadi tidak masalah, kan?"
"Apanya yang tidak masalah? Masa depanku dipertaruhkan di sini, No!"
"Bagus dong, Do. Tanpa kita bersusah payah, kita bisa memanfaatkan moment itu."
"Maksudku, hubunganku dengan Kamila yang dipertaruhkan, No! Aku merasa bersalah padanya. Aku sudah menghancurkan masa depannya!"
"Maksudnya?"
"Semalam, aku tidak tahu siapa yang mengerjaiku, dengan memasukkan obat laknat itu di minumanku."
"Lalu?"
Zando menarik nafas yang terasa berat. Lantas meraup mukanya.
"Aku sudah menodainya---"
"What ....? Ka-kamu serius, Do?" Nino menutup mulutnya tak percaya. Selama ini yang dia kenal, Zando adalah pemuda yang baik, bahkan tidak pernah ketinggalan ibadahnya, juga sangat menjaga pergaulannya. Nino menggelengkan kepalanya.
"Tolong aku, No. Carikan aku Pak Ustad untuk menikahkan kami. Aku tidak ingin jika terjadi sesuatu pada Kamila. Please, No, tolong aku." Zando menatap Nino dengan memelas, lalu duduk di sofa.
"Coba ceritakan padaku, apa yang terjadi denganmu semalam."
"Malam itu sesaat setelah minum orange juice...." Zando menceritakan apa yang dialaminya pada Nino.
"Terus kenapa kamu bisa ke tempat Kamila, dan bukannya pulang ke tempatmu sendiri?"
"Kamu kan tahu, kalau aku merasa tidak enak badan, aku biasa minta obat sama dia. Jadi yang terpikirkan olehku, ya cuma dia."
Nino menatap artisnya itu prihatin. Dia tahu antara Zando dan Kamila, keduanya saling mencintai tapi memilih memendam rasa.
"Lagipula kalian itu lucu, saling suka tapi tidak ada yang berani ngomong!"
"Kamu kan tahu sendiri, aku terikat kontrak. Dan peraturannya seperti apa!"
"Lalu, kenapa kalian bisa...." Nino menyatukan jemari kedua tangannya, lantas menggerakkan keduanya sehingga saling beradu.
"Saat itu, Mila mau kembali tidur, tapi tidak sengaja kakinya menyandung kakiku, sehingga kami jatuh bersama di atas tempat tidur---"
"Dan akhirnya sahabatku ini bangun pagi-pagi, sudah tidak perjaka lagi sekarang, hahaha...."
"Please, No! Tolong carikan Pak Ustad yang bisa menikahkan kami. Yang penting sah di mata agama."
"Oke, nanti aku carikan untukmu. Dan untuk saat ini, lebih baik kamu jangan keluar dari apartemenmu dulu, sampai keadaan kembali normal. Aku akan memastikan kebutuhan kamu tercukupi."
Zando terdiam, dan menurut pada asistennya. Namun dalam benaknya, dia terus memikirkan Kamila. Pikirannya hanya dipenuhi oleh Kamila.
.
.
.
Sementara di apartemennya, Kamila masih berdiri di depan cermin. Menatap bayangan dirinya sendiri di dalam cermin. Wajah sembab, mata bengkak, dan bibir pucat. Tidak ada yang menarik. Lalu ia kembali tersenyum getir.
Airmata tanpa ijin menerobos keluar, dan meluncur begitu saja. Tangan yang biasa ia gunakan untuk menolong pasien itu, kini memukul-mukul dadanya yang seakan terhimpit beban berat.
Beberapa saat yang lalu, Kamila berusaha menghubungi Zando, namun tidak ada satu pun panggilannya yang terjawab. Hanya suara operator yang mengatakan bahwa nomor yang anda tuju sedang sibuk.
"Astaghfirullah al'adzim, astaghfirullah al'adzim, astaghfirullah al'adzim. Ampuni hamba, ya Allah." Kamila menggumamkan istigfar berulangkali.
"Aku tidak boleh lemah seperti ini, aku harus bangkit. Anggap saja semuanya tidak pernah terjadi. Dan aku harus melupakan Zando. Yah, aku harus melupakan dia!"
Kamila mencoba merajut kembali kepingan hatinya yang rapuh. Ia bertekad untuk melupakan Zando, lelaki yang mengisi hatinya selama ini. Lalu menatap tangan kirinya yang terluka, dan bergegas mengobatinya agar tidak infeksi.
Kamila keluar kamar, berniat membersihkan pecahan kaca yang berserakan. Setelah selesai, ia menghampiri meja, tempat menaruh makanan yang dimasaknya tadi.
"Sudah dingin."
Namun karena lapar, Kamila tetap menghabiskan makanannya. Dia butuh tenaga untuk menghadapi kenyataan pahit yang akan menghadang di depannya nanti.
Selesai makan, Kamila mencuci bekasnya makan dan juga peralatan masaknya. Lalu masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian. Dia bersiap untuk berangkat bekerja.
Butuh waktu setengah jam, Kamila sampai di rumah sakit tempatnya bekerja.
Kamila segera keluar dari mobil, dan berjalan memasuki lobi rumah sakit. Namun suara seseorang yang memanggil namanya, berhasil menghentikan langkahnya.
"Dokter Kamila?"
"Iya...?" Kamila menyahut dengan canggung.
"Bisa kita bicara sebentar?"
Kamila melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Masih ada waktu satu jam lagi.
"Hanya sebentar, ini mengenai Zando. Mari ikut saya, kita bicara di tempat yang nyaman." ucap pria itu.
Kamila hanya mengangguk, dengan terpaksa ia mengikuti pria itu, memasuki sebuah kafe yang berada di dekat rumah sakit.
Begitu mereka duduk di tempat masing-masing, pria itu memperkenalkan dirinya.
"Nama saya Moreno William, pemilik agensi di mana Zando bernaung sebagai seorang artis. Saya akan langsung bicara pada intinya saja." Tuan Moreno menatap ke arah Kamila.
Sedangkan Kamila diam saja mendengarkan, sembari meremas jemari tangannya. Perasaannya mulai tidak enak.
"Tolong jauhi Zando! Dia aset saya yang berharga. Lagipula tidak sembarangan Zando akan mengencani wanita, selain yang selevel dengannya." Tuan Moreno lalu menyesap kopinya. Sepertinya dia berusaha menjatuhkan mental gadis di depannya.
Degggg
Kamila merasa jantung berdetak dengan cepat. Bukan karena jatuh cinta, melainkan karena mulai terintimidasi.
"Zando, artis yang namanya tengah bersinar. Tampan, terkenal, dan kaya tentunya. Sedangkan Anda, hanyalah dokter umum, bukan spesialis yang punya nama besar.
"Apa yang bisa Anda banggakan, untuk bersanding dengan Zando? Atau Anda menggunakan tubuh Anda untuk menjerat Zando?"
"Jaga bicara Anda, Tuan! Saya tahu saya miskin, tapi bukan berarti saya merelakan tubuh saya dijamah oleh lelaki sembarangan," sergah Kamila.
"Woooww ... rupanya Anda wanita pemberani. Tapi apapun alasannya Anda harus tetap menjauhi Zando!" Tuan Moreno lantas mengeluarkan selembar cek kosong yang telah ia tandatangani, lalu menyodorkannya pada Kamila.
"Ambillah ini untuk bekalmu, dan pergilah sejauh mungkin, yang tidak terjangkau oleh Zando. Nasib Anda dan Zando ada di tangan saya. Jika Anda menolak, maka saya bisa melakukan hal apapun untuk menghancurkan kalian." ancam Tuan Moreno pada Kamila.
"Tanpa Anda minta menjauh pun, saya akan pergi jauh darinya. Permisi!" Kamila segera beranjak pergi dari kafe tersebut. Tak lupa ia membawa cek yang diberikan oleh pimpinan MW Entertaiment tersebut.
Tuan Moreno tersenyum dengan seringai licik. Apalagi Kamila ternyata tanpa sungkan mengambil cek darinya. Pria itu tampak puas menyingkirkan penghalang jalannya untuk menjadikan Zando sebagai ladang emasnya.
Sedangkan Kamila tampak berjalan lesu, menyusuri trotoar jalanan menuju rumah sakit. Dalam benaknya dipenuhi pemikiran antara pergi atau bertahan.
...*...
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!