Di tengah alun-alun yang luas dan megah, yang dipadati oleh puluhan orang yang penasaran dan ingin tahu, terdapat sebuah panggung melingkar yang menjulang tinggi ke langit. Panggung itu dihiasi dengan ukiran-ukiran indah dan warna-warna cerah yang mencerminkan keagungan dan kekuasaan. Di atas panggung yang mengesankan itu, berdirilah sebuah pillar batu tinggi yang kokoh, memancarkan aura kekuatan dan kebijaksanaan.
Di depan pillar batu tersebut, duduklah seorang pemuda tampan dengan postur tegap dan anggun. Matanya yang tajam dan dalam memancarkan kesadaran dan kebijaksanaan yang mendalam. Rambutnya yang hitam dan panjang tergerai di bahu, menambahkan kesan keanggunan dan kekuatan. Wajahnya yang tampan dan tenang memancarkan aura ketenangan dan kepercayaan diri yang tak tergoyahkan.
Pemuda itu duduk bersila dengan kaki yang terlipat rapi, tangan yang terletak di atas lutut, dan mata yang tertutup, seolah-olah sedang memejamkan mata untuk memfokuskan pikiran dan menghimpun kekuatan. Suasana di sekitarnya sunyi dan khidmat, seolah-olah semua orang yang hadir terpikat oleh kehadiran pemuda tersebut.
Puluhan pasang mata terfokus pada sosok pemuda di atas panggung, memancarkan ekspresi penuh harap dan impian. Wajah-wajah yang dipenuhi keinginan dan kepercayaan itu terlihat begitu khidmat, seolah-olah sedang menunggu keajaiban yang akan mengubah hidup mereka.
Semua orang terdiam, menahan napas, dan memejamkan mata, seolah-olah berdoa agar keajaiban itu benar-benar terjadi. Udara di sekitar panggung terasa begitu tegang dan khidmat, dipenuhi dengan harapan dan keinginan yang tak terucapkan.
Ekspresi harap yang terpampang jelas di wajah mereka, mencerminkan kepercayaan yang kuat akan kekuatan pemuda itu. Mereka percaya bahwa dia akan membawa perubahan dan keajaiban yang akan mengubah nasib mereka. Suasana sunyi yang mendalam itu menyimpan sejuta harapan dan impian, menantang keajaiban untuk terwujud.
Pemuda itu menggigit bibir bawahnya dengan gigi yang terkatup, menahan napas dan mengeluarkan gumaman lembut, "Aku mohon, dewa, beri aku kesempatan!"
Tetesan keringat deras membasahi punggungnya yang bergetar karena gugup, menandai ketegangan yang memuncak. Telapak tangannya mengepal erat, membentuk tinju yang kuat, seolah-olah siap menghadapi tantangan apa pun.
Pupil mata coklatnya yang tajam dan dalam menatap pillar batu tinggi di depannya dengan harap dan keinginan yang tak terucapkan. Mata itu memancarkan semangat dan tekad yang kuat, seolah-olah meminta kekuatan dari alam semesta untuk mewujudkan impian.
Wajahnya yang tampan dan penuh harap itu terlihat begitu khidmat, seolah-olah sedang berdoa agar keajaiban itu benar-benar terjadi.
Tiba-tiba, dari dalam pillar batu yang tenang, suara dengungan keras dan menggetarkan menyebar ke seluruh alun-alun, memecahkan kesunyian. Suara itu semakin keras dan intens, membuat tanah bergetar.
Pillar batu yang sebelumnya diam dan tak bergerak mulai bergetar hebat, seolah-olah kekuatan dahsyat sedang bangkit dari dalamnya. Cahaya emas yang cemerlang dan menyilaukan mulai muncul di puncak pillar, memancarkan aura kekuatan dan kebijaksanaan.
Cahaya itu semakin terang dan intens, sebelum akhirnya dilepaskan ke langit dalam bentuk semburan cahaya yang spektakuler. Semburan cahaya emas itu menembus awan, memancarkan kekuatan dan keajaiban yang tak terhingga.
Melihat fenomena spektakuler itu, semua orang menghela nafas lega dan terkejut. Ekspresi kekaguman dan kelegaan terpampang jelas di wajah mereka. Seolah-olah beban berat yang menekan bahu mereka telah terangkat, memberikan rasa ringan dan harapan baru. Suasana yang tadinya tegang berubah menjadi euforia dan kegembiraan.
Sudut bibir pemuda yang duduk di atas panggung mengulas senyum gembira, mata coklatnya berbinar dengan kebahagiaan. Namun, beberapa saat kemudian, senyum itu membeku dan menghilang. Wajahnya yang tadinya gembira berubah menjadi kebingungan dan keheranan, seolah-olah dia menyaksikan sesuatu yang tidak terduga. Alisnya terangkat, mata terbelalak, dan ekspresi kekagetan menghiasi wajah tampannya.
Orang-orang di alun-alun saling menatap dengan bingung, kemudian mendongak ke langit, berharap menemukan tanda atau fenomena cahaya yang spektakuler. Namun, langit tetap normal, tanpa perubahan atau tanda apa pun. Keheningan dan kekecewaan menyelimuti alun-alun, seolah-olah harapan besar mereka tiba-tiba pupus.
Beberapa saat kemudian, getaran pada pillar batu perlahan-lahan mereda, dan suara menggetarkan yang menyebar ke seluruh alun-alun secara bertahap memudar, berubah menjadi kesunyian yang mendalam. Semua orang terdiam, kebingungan dan keheranan terpampang di wajah mereka, mencari jawaban atas kejadian misterius yang baru saja terjadi.
Melihat kejadian itu, hati pemuda di atas panggung terasa runtuh. Harapan yang sempat memancar di matanya kini padam, digantikan oleh senyum pahit yang sarat dengan kekecewaan dan putus asa. Dia menunduk, mata menatap tanah, seolah-olah tak berdaya menantang kegagalan yang menghantamnya.
Pemuda itu mendongak, mata coklatnya terlihat kosong dan putus asa, menatap langit yang terasa telah menutup pintu harapan. Suaranya bergetar, penuh kesedihan dan kekecewaan, "Kalian telah meninggalkanku...!"
Semua orang di alun-alun perlahan menarik pandangan mereka dari langit dan kembali fokus pada pemuda yang berdiri sendirian di atas panggung. Berbagai ekspresi terukir di wajah mereka: kekecewaan, kesedihan, dan kebencian.
Pendukungnya menghela nafas kecewa, mata mereka menunduk, tak berani menatap pemuda itu lagi. Sementara itu, suara-suara ejekan dan komentar pedas dari para penentangnya mulai terdengar, menambah luka di hati pemuda yang sudah terluka.
"Dia sudah berakhir, dewa Dao telah meninggalkannya."
"Pembaptisan ini telah final, Jian Xin ini tidak akan pernah menjadi ahli Dao selama hidupnya."
"Sungguh di sesalkan, bahwa anak dari Jian Ruyin sebenarnya menjadi orang yang di tinggalkan oleh dewa!"
Berbagai tatapan jijik dan penghinaan diarahkan ke punggung pemuda itu, membuat tubuhnya bergetar karena kesedihan dan kekecewaan. Sedikit cairan bening menetes dari sudut matanya, menggambarkan luka hatinya yang mendalam.
Mata coklatnya yang basah itu menatap pria paruh baya yang duduk di platform tinggi, seolah-olah mencari jawaban atas kegagalan dan kekecewaan yang dialaminya.
"Ayah, maafkan aku... Jiang Xin telah mengecewakanmu!" kata pemuda itu dengan suara bergetar, penuh kesedihan dan penyesalan. Sudut bibirnya berkedut, matanya basah oleh air mata yang tak terbendung lagi, saat dia berusaha menahan isak tangis yang menggoyahkan hatinya.
Pria paruh baya di platform tinggi menghela nafas berat, kesedihan dan kekecewaan terukir di wajahnya. Namun, dia memaksa senyum lembut dan menatap putranya dengan penuh kasih sayang.
"Aku tidak menyesal, Jiang Xin," katanya dengan suara yang stabil. "Meskipun dewa meninggalkanmu, darah Jiang Ruyin mengalir di dalam dirimu. Putra Jiang Ruyin tidak akan pernah biasa. Jangan pernah berputus asa, anakku. Kau lebih dari cukup untuk menjadi kebanggaan."
Kata-kata pria paruh baya itu tidak keras, namun mengandung kekuatan dan otoritas yang menggetarkan, menyebar ke seluruh alun-alun dengan jelas, sehingga setiap orang yang hadir dapat mendengarnya tanpa terkecuali.
Mendengar kata-kata ayahnya, hati Jiang Xin terisi dengan perasaan hangat dan bersalah. Dia merasa telah mengecewakan harapan besar ayahnya, merusak reputasi keluarga, dan mengancam posisi ayahnya di klan. Rasa bersalah itu memperdalam luka hatinya.
Namun, ketika Jiang Xin menatap mata ayahnya yang hangat dan lembut, sebuah tekad dan ide tak terduga muncul dalam pikirannya. Pupil matanya yang sedih berubah menjadi tegas dan berapi, mencerminkan keputusan yang kuat dan tak tergoyahkan.
Dengan gerakan perlahan, Jiang Xin berdiri dari posisi duduknya. Matanya menyapu tatapan jijik dan penghinaan di sekitarnya dengan ekspresi acuh tak acuh. Lalu, dengan langkah tegas dan penuh percaya diri, dia berjalan menuruni panggung dan menghilang dari pandangan umum, meninggalkan kebingungan dan keheranan di wajah para penonton.
Melihat punggung putranya yang menjauh dengan kesepian, Jiang Ruyin menghela nafas berat, kesedihan dan kekecewaan terukir di wajahnya yang tampak jauh lebih tua. Jiang Xin, satu-satunya putranya, juga merupakan kenangan terakhir dari wanita yang dicintainya.
Di dalam hatinya, Jiang Ruyin selalu berharap putranya menjadi praktisi kuat, membuktikan kepada dunia bahwa seorang pria biasa seperti dia bisa melahirkan seorang jenius. Namun, kenyataan pahit ini telah menghancurkan harapan tersebut, meninggalkan Jiang Ruyin dengan kesedihan yang mendalam.
..
Berdiri di puncak gunung, Jiang Xin menatap ke langit biru yang luas dengan mata yang penuh kekecewaan. Cahaya matahari yang terang menerangi wajahnya, menciptakan kontras yang menarik antara keindahan alam dan kesedihan yang mendalam di hatinya. Awan-awan putih yang bergulir pelan di langit seolah menemani kesendiriannya.
Pemuda itu membentangkan kedua tangannya lebar-lebar, menyeruakkan angin. Matanya perlahan terpejam saat angin sejuk menerpa wajahnya, membuat rambut dan jubah hitamnya berkibar-kibar, seperti sayap yang siap meluncur ke langit.
Jiang Xin tampak menikmati kenyamanan yang dibawa angin, seolah tiupan lembutnya membawa pergi rasa sakit dan kekecewaan di hatinya, mengurangi beban emosi yang menghimpitnya. Ekspresi wajahnya mulai terlihat tenang, seperti menemukan kedamaian sejenak.
Kedua matanya perlahan terbuka, dan di tengah badai emosi yang meluap, Jiang Xin membuka mulutnya lebar-lebar, melepaskan teriakan keras ke langit yang biru, meluapkan kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan yang terpendam.
"AAAAAAAAAAAGGGGGHHHHH!!!"
Dada Jiang Xin naik-turun, napasnya terengah-engah. Amarah dan kesedihan bergelora dalam hatinya. Setiap pikiran tentang tatapan jijik dan penghinaan orang banyak, serta kekecewaan di mata ayahnya, memperkuat perasaan putus asa.
"Hidup ini tidak berarti," katanya pada dirinya sendiri. "Kehadiranku adalah kesalahan. Dewa-dewa telah merenggut harga diri, wibawa, dan kekuatan dari genggamanku."
Dengan wajah merah padam dan mata berapi, Jiang Xin berteriak ke langit, "Mengapa?! Mengapa kalian harus menghancurkan hidupku?! Apa dosaku?!" Suaranya menggema di udara, mencerminkan kesedihan dan kemarahan yang mendalam.
Tiba-tiba, suara tua yang lembut dan bijak terdengar di telinganya, memecah kesunyian dan keputusasaan Jiang Xin.
"Tidak ada dewa di dunia ini lagi, mereka telah melangkah ke alam yang lebih luas. Jangan salahkan mereka atas kegagalanmu. Mereka tak bisa mendengar ratapanmu."
"Ha?" Jiang Xin melompat ke belakang, wajahnya penuh kekagetan dan ketakutan. Matanya yang coklat menyapu sekitar dengan cepat, mencari sumber suara misterius.
"Siapa?! Siapa yang berbicara?!" katanya dengan suara bergetar.
Suara tua itu memicu kebingungan dan kejutan di wajah Jiang Xin. Ekspresinya sangat takjub karena dia yakin tidak ada siapa pun di puncak gunung itu selain dirinya. Dia telah mencari sekitar dengan cermat, tetapi tidak menemukan siapa pun. Keheningan dan kesunyian semakin memperkuat perasaan misteriusnya.
Jiang Xin menghela napas, wajahnya lesu. "Aku mulai berhalusinasi, sepertinya aku akan kehilangan akal dalam waktu dekat," gumamnya, lalu terjatuh ke rumput hijau, berbaring dengan lemas dan menggunakan tangan sebagai bantal.
Jiang Xin tidak mengerti bagaimana semuanya dimulai, tapi satu hal yang jelas: dia yakin tidak berasal dari dunia ini. Sejak usia lima tahun, dia sering mengalami mimpi aneh tentang kehidupan di tempat asing. Di sana, peradaban maju dengan pesat. Orang-orang menggunakan kendaraan besi yang melaju lebih cepat dari kuda, dan bangunan-bangunan menjulang tinggi, terbuat dari batu dan besi, membentuk pilar-pilar raksasa yang menghunus ke langit.
Tapi pikiran Jiang Xin saat ini terfokus pada dunia tempatnya tinggal. Sejak lahir dan tumbuh dewasa di usia 17 tahun, dia telah memahami cara hidup masyarakat di dunia ini.
Di Benua Tian Yuan, semua orang tanpa terkecuali berlatih Dao, sebuah kekuatan misterius yang lahir dari energi langit dan bumi. Mereka menyerap energi alam, kemudian mengubahnya menjadi Dao yang memperkuat tubuh dan menjadi sumber kekuatan tak terbatas.
Di Benua Tian Yuan, Dao memiliki berbagai bentuk, namun satu bentuk yang paling umum dan dianggap paling efektif adalah Dao Sihir. Sejak zaman kuno, generasi demi generasi percaya bahwa Dao Sihir adalah kunci untuk mencapai puncak keabadian. Jiang Xin juga pernah yakin dengan pemikiran ini.
Pertama, Ranking Energi Dao. Setiap orang yang berlatih akan memiliki Energi Dao dalam tubuh mereka, dan setelah itu mencapai ambang batas tertentu. Mereka akan memasuki alam baru dan tubuh mereka akan mengalami perubahan dalam setiap aspek, baik itu lima indra atau kekuatan. Itu akan meningkat pesat, di Benua Tian Yuan ini. ranking energi Dao yang Jiang Xin ketahui adalah:
Dao Awal
Dao Master
Dao Grandmaster
Dao Spirit
Dao King
Dao Emperor
Lalu setiap kelas di bagi menjadi lebih kecil, yaitu:Awal—Menengah–Tinggi—Puncak.
Kedua, itu adalah Teknik Puasaran Dao. Di Benua Tian Yuan, praktisi Dao mengembangkan Teknik Puasaran Dao untuk mengeluarkan energi Dao dari dalam tubuh mereka, menciptakan sihir yang mengagumkan. Setiap praktisi memiliki cara unik membentuk pusaran Dao, dengan kekuatan yang berbeda-beda.
Teknik Puasaran Dao diklasifikasikan menjadi lima kelas:
Huang (Dasar) - Teknik awal dengan kekuatan terbatas.
Xuan (Misterius) - Teknik menengah dengan kekuatan spiritual.
Diqiu (Bumi) - Teknik lanjutan dengan kekuatan alam.
Tian (Langit) - Teknik tinggi dengan kekuatan kosmik.
Di (Kaisar) - Teknik tertinggi dengan kekuatan tak terbatas.
Setiap kelas dibagi menjadi empat tingkatan:
Rendah (Pemula)
Menengah (Madya)
Tinggi (Lanjutan)
Puncak (Mastery)
Misalnya, Teknik Puasaran Dao Xuan Tingkat Menengah atau Teknik Puasaran Dao Tian Tingkat Puncak.
Ketiga, Teknik Tempur. Itu adalah seni bela diri kuno yang memanfaatkan energi alam semesta, terpisah dari Energi Dao. Teknik ini membutuhkan pengendalian yang tepat atas energi langit dan bumi untuk mencapai kekuatan maksimal. Karena kompleksitasnya, Teknik Tempur jarang dilatih, namun bagi yang berhasil menguasainya, kemampuan duel mereka akan meningkat secara signifikan.
Kelas dan Level Teknik Tempur
Kelas Dasar (Feng): Mengendalikan energi angin untuk meningkatkan kecepatan dan kekuatan.
Kelas Menengah (Shan): Mengendalikan energi gunung untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanan.
Kelas Lanjutan (Hai): Mengendalikan energi laut untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan adaptasi.
Kelas Master (Tian): Mengendalikan energi langit untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan spiritual.
Kelas Legenda (Di): Mengendalikan energi bumi untuk mencapai kekuatan tak terbatas.
Level
Setiap kelas dibagi menjadi empat level:
Level Rendah (Chu): Pemula dengan kemampuan terbatas.
Level Menengah (Zhong): Praktisi dengan kemampuan moderat.
Level Tinggi (Gao): Master dengan kemampuan lanjutan.
Level Puncak (Dian): Legenda dengan kemampuan tak terbatas.
Jiang Xin belum pernah melihat seseorang menguasai Teknik Tempur, namun legenda tentang kekuatannya terus hidup di kalangan praktisi Dao.
Yang keempat adalah Metode Kultivasi Dao, itu adalah teknik yang memungkinkan praktisi menyerap energi langit dan bumi ke dalam tubuh untuk menghasilkan Qi Dao. Metode ini membutuhkan pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip alam semesta dan teknik pengendalian energi.
Jiang Xin selalu berusaha menjadi kuat dengan berlatih siang dan malam tanpa henti serta mempelajari buku-buku tentang Jalan Dao. Untuk menempuh Jalan Dao, seseorang harus menerima Baptisan Langit, atau Baptisan Para Dewa.
Baptisan ini membawa perubahan besar:
Proses Baptisan
Tubuh mengalami transformasi.
Muncul pusaran melingkar di pusar, disebut Lautan Dao.
Mampu menyerap energi langit dan bumi.
Mengolah energi menjadi Dao.
Jiang Xin terpaksa menerima kenyataan pahit bahwa dia tidak dapat menjadi praktisi Dao. Nasib cruel dewa telah memotong kedua kakinya sebelum dia belajar berjalan, menghancurkan mimpinya.
Sejak usia lima tahun, Jiang Xin telah menyadari betapa pentingnya identitasnya sebagai anggota Klan Jiang, penguasa kota Sangyin yang berpengaruh. Ayahnya, Jiang Ruyin, adalah sosok yang dihormati dan ditakuti sebagai pemimpin klan tersebut. Namun, di balik kekuasaan dan kehormatan itu, Jiang Xin juga mengetahui kisah ibunya yang pahit.
Ibunya, seorang wanita cantik dan lembut, berasal dari keluarga bangsawan tinggi. Namun, cinta mereka berdua dianggap tabu karena perbedaan status sosial. Keluarga ibunya menentang hubungan itu dengan keras, menganggap Jiang Ruyin sebagai "orang biasa" yang tidak layak untuk mempersunting putri mereka.
Kisah cinta yang tragis itu telah meninggalkan luka mendalam dalam hati Jiang Xin. Dia tumbuh dengan kesadaran akan perbedaan kelas sosial dan konsekuensinya.
Kenyataan pahit itu memantik api kemarahan dan kebencian dalam hati Jiang Xin. Dia bertekad bulat membuktikan diri, menghancurkan stigma keluarga ibunya yang meremehkan klan kecilnya. Namun sekarang, dia mulai ragu akan masa depanya sendiri.
"Tuan Muda, ini buruk!" teriak seorang pelayan dengan suara panik.
Jiang Xin terkejut dan berbalik. Seorang pelayan wanita berlari mendekat dengan wajah penuh kecemasan.
Jiang Xin bangkit dengan cepat, wajahnya penuh kekhawatiran. "Apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara gugup.
Pelayan wanita itu terengah-engah, "Tuan Muda, Penatua Hui dan Shing memaksa Pemimpin Klan untuk mundur dan menyerahkan jabatan kepada Penatua Hui. Pemimpin Klan menolak, sehingga terjadi pertarungan!"
Jiang Xin terkejut, matanya lebar. "Apa?!" katanya panik. "Mengapa mereka berani melakukan itu? Di mana Kakek? Mengapa Kakek tidak menghentikan mereka?"
Pelayan wanita itu menambahkan dengan suara cemas, "Patriak lama sudah mengetahuinya, tapi dia membiarkannya. Kabarnya, Nona Lin dan Tuan Wusang berhasil membangkitkan Lautan Dao Tingkat Tiga selama upacara pembaptisan!"
Mendengar berita itu, Jiang Xin terpaku. Kedua kakinya terasa berat, seolah dipakukan ke tanah, sementara hatinya terbang tinggi namun langsung jatuh, mengalami kekecewaan yang mendalam.
Di gunung belakang Klan Jiang, dua sosok bergerak cepat menuruni lereng. Seorang pemuda dan pelayan wanita berjalan terburu-buru, mencerminkan kecemasan yang mendalam. Jiang Xin, yang menyaksikan dari kejauhan, tampak semakin tertekan dan khawatir.
Meski Jiang Ruyin, ayahanda Jiang Xin, menjabat sebagai patriak Klan Jiang, kekuasaannya tidak sepenuhnya absolut. Hal ini karena kakeknya, Jiang Rao, masih hidup dan memegang kendali sebenarnya. Jiang Ruyin hanya berwenang mengambil keputusan kecil, sementara keputusan penting harus dikonsultasikan dengan Jiang Rao.
Namun, yang membebani pikiran Jiang Xin bukanlah pembagian kekuasaan tersebut, melainkan kehadiran dua paman tirinya, Jiang Hui dan Jiang Shing. Keduanya selalu membantah keputusan ayahnya dan menyusun rencana licik di balik layar, menciptakan ketegangan yang tak terhenti dalam Klan Jiang.
Meski kedua paman Jiang Xin selalu berusaha menjatuhkan ayahnya, kakeknya, Jiang Rao, selalu mendukung dan melindungi ayahnya. Namun, setelah upacara kebangkitan Lautan Dao, keadaan mungkin berubah. Kinerja ayahnya kini diperhatikan lebih ketat, dan kedua paman itu mungkin melihat kesempatan untuk menggantikannya.
Jiang Xin memiliki keraguan besar. Menurut pemikirannya, kakeknya Jiang Rao mungkin tidak lagi mendukung ayahnya karena kebangkitan Lautan Dao Tingkat Tiga oleh Lin dan Wusang. Prestasi ini mungkin membuat Jiang Rao mempertanyakan kemampuan kepemimpinan ayahnya.
Jiang Lin dan Jiang Wusang, putra Jiang Hui dan Jiang Shing, telah menunjukkan bakat luar biasa dalam Dao sejak dulu. Mereka seumuran dengan Jiang Xin dan telah mencapai prestasi mengagumkan dengan membangkitkan Lautan Dao Tingkat Tiga, sebuah pencapaian yang sangat langka dan membanggakan.
Di Benua Tian Yuan, bakat seorang praktisi Dao ditentukan oleh tingkat Lautan Dao yang mereka capai pasca-pembaptisan. Tingkat ini menentukan potensi dan pencapaian masa depan mereka dalam Dao.
Menurut pengetahuan Jiang Xin, Lautan Dao terdiri dari sepuluh tingkat yang dibagi menjadi dua kategori: rendah (tingkat 1-5) dan tinggi (tingkat 6-10).
Dengan langkah cepat dan hati berdebar, Jiang Xin, diiringi oleh pelayan wanita yang setia, memasuki aula pertemuan Klan Jiang. Ruangan besar itu dipenuhi oleh semua murid klan dan para petinggi klan, yang telah berkumpul dengan wajah-wajah penuh kecemasan dan antisipasi. Suasana di dalam aula terasa tegang dan khawatir, mencerminkan kebingungan dan kekhawatiran yang melanda klan tersebut.
Di atas kursi kepala, berdirilah figur yang sangat dihormati, Kakek Jiang Rao. Di sebelah kirinya, duduklah Jiang Hui dan Jiang Shing, dua paman yang selalu menimbulkan kekhawatiran. Sementara itu, di sebelah kanannya, terlihat Ayahandanya, Jiang Ruyin, dengan wajah yang tegang dan penuh kecemasan.
Barisan kursi depan diduduki oleh para tetua klan yang bijak dan berpengalaman. Di belakang mereka, berbarislah murid-murid klan yang telah menunjukkan prestasi Dao yang mengagumkan, memperlihatkan potensi dan bakat mereka yang luar biasa.
Mengarahkan pandangannya ke depan, Jiang Xin menemukan dua sosok muda yang mencolok, duduk bersisian dengan para tetua klan. Mereka adalah Jiang Lin dan Jiang Wusang, sepasang keponakan yang baru saja mencapai prestasi mengagumkan dengan membangkitkan Lautan Dao Tingkat Tiga. Wajah mereka bersinar dengan kepercayaan diri dan semangat muda, menarik perhatian semua yang hadir.
Namun, melihat suasana yang tenang dan sunyi, Jiang Xin tidak bisa tidak mengerutkan keningnya. Informasi dari pelayan wanita sebelumnya menyebutkan bahwa ayahnya dan kedua pamannya seharusnya terlibat dalam pertarungan intens, namun kenyataannya justru menampilkan keadaan yang sangat berbeda.
Jiang Xin langsung menyadari bahwa dia telah ditipu oleh pelayan wanita tersebut. Keraguan dan kecurigaan muncul di benaknya, membuatnya bertanya-tanya apa motif di balik tindakan pelayan itu.
Saat Jiang Xin memasuki aula, semua mata terfokus padanya. Kecuali ayahnya, Jiang Ruyin, wajah-wajah lainnya dipenuhi senyum ejekan dan hinaan. Beberapa orang bahkan meludah ke tanah dengan jijik, seolah-olah mereka baru saja melihat sesuatu yang sangat menjijikkan. Suasana tersebut menunjukkan kebencian dan penghinaan yang mendalam.
Jiang Xin merasakan amarah yang memuncak, namun dia berusaha keras untuk menahan emosi tersebut. Dengan tekad kuat, dia mempertahankan wajah tenangnya, tak ingin menunjukkan kelemahan di depan orang-orang yang menatapnya dengan hina.
Setelah menarik napas dalam-dalam, Jiang Xin membungkuk hormat dan berucap dengan sopan, "Salam Kakek, salam Ayah. Salam Paman Jiang Hui, Paman Jiang Shing, dan para tetua terhormat."
Tidak ada balasan dari para petinggi klan. Bahkan Kakek Jiang Rao, yang biasanya memujinya, kini menatapnya dengan ekspresi acuh tak acuh, tanpa sedikit pun kesan hormat atau kasih sayang. Suasana diam itu semakin menegangkan.
Jiang Hui dan Jiang Shing mendengus dingin, memalingkan wajah mereka dengan ekspresi kejijikan dan penghinaan yang terukir jelas di wajah mereka.
Hanya Ayahnya, Jiang Ruyin, yang menyambutnya dengan senyum hangat dan mengangguk. "Xin'er, anakku, selamat datang! Silakan cari tempat dan duduk!" kata ayahnya dengan lembut.
Jiang Xin tidak terlalu memperdulikan reaksi orang-orang di sekitarnya. Setelah mendengar ucapan ayahnya, dia mengangguk dan menjawab, "Baik, Ayah." Lalu, dia berjalan tenang menuju kursi kosong di barisan paling belakang, tanpa mempedulikan pandangan dingin dari orang-orang di sekitarnya.
Belum sempat Jiang Xin duduk, suara Kakek Jiang Rao yang dingin dan merendahkan terdengar, "Tidak perlu duduk! Kamu tidak layak bergabung bersama kami!"
Kata-kata itu membuat tubuh Jiang Xin membeku seketika. Tangannya yang siap meraih kursi kini tergantung di udara, tidak bergerak.
Semua orang di dalam aula melemparkan senyum hina, terutama Jiang Hui dan Jiang Shing yang terlihat sangat puas dan menikmati keadaan tersebut.
"Ayah," kata Jiang Ruyin sambil menatap Jiang Rao dengan ekspresi keberatan. "Biar bagaimanapun, Jiang Xin adalah putraku. Mempermalukan dia berarti mempermalukan diriku sendiri."
Jiang Rao memandang Jiang Ruyin dengan ekspresi acuh tak acuh. "Ruyin'er, aku selama ini puas denganmu. Meski hubungan gelapmu dengan putri Klan Bing nyaris membawa kehancuran, aku memakluminya. Namun, anak haram itu telah mencoret reputasi Klan Jiang, membuat kita menjadi bahan lelucon bagi semua orang!"
Mendengar kata-kata tersebut, tubuh Jiang Xin bergetar dengan amarah tak terkendali. Tangannya yang tersembunyi di balik jubahnya menggenggamkan tinju dengan kuat, hingga terdengar suara tulang yang terkepal. Bibirnya terkatup rapat, matanya menyala dengan kemarahan saat dia menatap Jiang Rao di atas kursi kepala dengan pandangan tajam dan penuh dendam.
Hati Jiang Xin terasa teriris seperti pisau tajam. Dia merasakan sakit yang tak terhingga mendengar kata-kata "anak haram". Statusnya selama ini ternyata hanyalah sebagai anak tidak sah di mata klan. Rasa sakit dan malu itu memuncak, seolah-olah kulitnya robek dan terbakar.
"Ayah, kamu..." Jiang Ruyin ingin memprotes, namun belum sempat melanjutkan, Jiang Hui yang duduk di sebelahnya menyela dengan cepat.
Jiang Hui berkata dengan senyum dingin, "Jiang Ruyin, Ayah sudah berbicara. Jika kamu masih memiliki sedikit rasa malu, mundur dari posisi patriark dan usir anak haram itu dari klan sekarang juga!"
Jiang Shing berucap dengan nada dingin dan penuh kebencian, "Aku sudah berkali-kali mengatakan bahwa Jiang Ruyin tidak layak menjadi patriark! Dia terus membawa malapetaka bagi Klan Jiang. Sekarang, dia mempermalukan kita lagi dengan anak haramnya! Dia harus turun dari jabatannya!"
Mendengar kata-kata Jiang Shing, semua orang di aula mengangguk serentak, wajah mereka penuh kebencian dan penghinaan. Mereka melihat Jiang Xin dengan tatapan yang lebih menjijikkan dari sebelumnya, seolah-olah dia adalah sesuatu yang lebih hina dari kotoran. Suasana di aula semakin memuncak dengan kebencian dan permusuhan.
Jiang Xin bangkit dengan mata menyala kemarahan. "Paman Hui, Paman Shing! Jika kalian ingin menjatuhkan Ayahku karena keberadaanku, karena kalian anggap aku sebagai sampah dan anak haram, maka hari ini, aku Jiang Xin akan menantang orang yang kalian sebut jenius itu!" Suaranya bergema di aula, penuh keberanian dan tantangan.
Suasana dalam aula awalnya sangat tegang dengan bisikan-bisikan pelan. Namun, begitu suara Jiang Xin terdengar, keheningan mematikan segera menyergap, seolah-olah waktu itu terhenti. Semua mata terfokus pada Jiang Xin dengan rasa penasaran dan kejutan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!