Nisa berdiri di hadapan kedua orangtuanya, tangan kecil adik-adiknya menggenggam erat jemarinya. Senyum mereka lebar, namun mata mereka berkilau lembut—setiap kata pamitan Nisa terasa mengiris, namun penuh harap.
"Doakan Nisa, Mak, Pak... Semoga Nisa bisa jadi istri yang baik dan bisa membawa kebahagiaan untuk keluarga kita." Suaranya pelan, nyaris berbisik, seolah takut suaranya pecah jika ia berbicara lebih keras. Ibunya mengangguk, menahan air mata, lalu memeluk Nisa dengan erat. Sang ayah, dengan suara bergetar, hanya berpesan, "Ingat pesan bapak, Nak. Jaga dirimu baik-baik, ya."
Nisa memeluk adik-adiknya, menyapu pandang ke setiap kerabat dan tetangga yang hadir, wajah-wajah yang ia kenal sejak kecil, penuh dengan doa dan dukungan. Mereka semua berkumpul untuk mengantar Nisa pergi ke kehidupan barunya.
Di bandara, Nisa menggenggam tangan suaminya, Akil, dengan kuat. Sejenak, ia memandang ke luar jendela, menyaksikan kampung halamannya mengecil di kejauhan ketika pesawat mulai lepas landas. Semua kenangan—sawah, jalan setapak yang ia lewati setiap hari, suara pohon yang berbisik tertiup angin—berkelebat dalam ingatannya. Ada rasa haru, tetapi juga ada semangat baru dalam dirinya.
Setelah perjalanan yang panjang, mereka akhirnya menginjakkan kaki di tanah kelahiran Akil. Ketika Nisa menuruni tangga pesawat dan merasakan angin berbeda di wajahnya, ia membatin, Ya Allah, semoga ini adalah awal terbaik untuk kehidupanku. Semoga aku bisa menjadi istri yang tabah dan kuat.
Nisa menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang berirama cepat. Kehidupan barunya telah dimulai, dan ia bertekad untuk menghadapi setiap tantangan di depannya dengan segenap hati.
---
Nisa berdiri di terminal bersama Akil dan keluarganya, menunggu bus yang akan membawa mereka ke kota tempat mereka akan tinggal. Keramaian terminal terasa asing baginya; wajah-wajah yang berlalu-lalang, suara para pedagang, dan deru kendaraan memadati udara. Ia memegang erat tangan suaminya, berusaha menenangkan diri.
Tak lama, bus antarkota yang mereka tunggu tiba. Mereka naik dan mencari tempat duduk, Nisa mengambil kursi di dekat jendela. Suara mesin yang berderum dan guncangan halus ketika bus mulai melaju seolah menggiringnya ke dalam pikirannya sendiri. Di luar, pemandangan jalan yang memanjang dan pepohonan yang berbaris seolah membawanya pulang ke kampung halaman.
Di dalam hatinya, wajah kedua orangtuanya muncul, senyum mereka yang penuh kasih, tatapan sayang yang selalu menenangkannya. Ia membayangkan ibunya di dapur, mempersiapkan makanan sederhana namun penuh cinta; ayahnya yang selalu menyambutnya di halaman dengan pelukan hangat. Lalu, tawa riang adik-adiknya terngiang di telinganya, tawa yang biasanya memenuhi hari-harinya dengan keceriaan dan kehangatan.
Tanpa disadari, air matanya menetes pelan. Ia segera menyekanya, namun Akil yang duduk di sebelahnya memperhatikan. Dengan lembut, ia meraih tangan Nisa, memberinya genggaman hangat. "Aku tahu ini berat buatmu, Nisa. Tapi kita akan membangun hidup kita bersama. Kamu tidak sendiri."
Nisa mengangguk pelan, mencoba tersenyum meskipun hatinya berat. Ia memandang ke luar jendela, berharap bisa membawa sedikit kehangatan kampung halamannya dalam setiap langkah baru yang ia ambil. Sambil berdoa dalam hati, ia berharap bisa menjadi kuat, agar pengorbanan meninggalkan keluarganya tidak sia-sia.
___
Di dalam bus yang melaju di jalan berliku, Nisa menoleh ke arah suaminya. “Mas, kira-kira berapa lama lagi kita sampai?” tanyanya pelan, mencoba menenangkan dirinya meskipun hatinya masih berat meninggalkan kampung halaman.
Akil tersenyum menenangkan, “Kurang lebih tujuh jam lagi, Sayang. Lumayan lama, tapi kita akan sampai sebelum gelap.”
Nisa mengangguk dan kembali bersandar, memandang keluar jendela. Tujuh jam. Lama juga, pikirnya. Ia teringat pada hari ketika Akil pertama kali datang ke kampungnya. Perjalanan jauh, mengarungi pulau, demi menemuinya untuk pertama kalinya. Betapa besarnya pengorbanan yang telah Akil lakukan—waktu, tenaga, juga biaya yang tak sedikit. Semua itu hanya untuk melihat wajahnya, memastikan keinginannya untuk menjadikannya istri.
Perasaan haru mengalir dalam hati Nisa. Akil bukan hanya datang sekali, tapi dua kali, dan yang kedua membawa keluarganya untuk melamarnya secara resmi. Tujuh jam yang akan ia tempuh bersama suaminya ini hanyalah sebagian kecil dari semua perjalanan panjang yang Akil tempuh demi membawanya dalam hidupnya. Ia menyadari, cinta Akil begitu nyata dan kuat.
Nisa menggenggam tangan Akil yang berada di pangkuannya, merasakan kehangatan dan ketulusan yang terpancar darinya. Ia tersenyum kecil, menyadari bahwa semua pengorbanan Akil adalah bukti bahwa dirinya dihargai dan dicintai.
"Terima kasih, Mas," ucap Nisa pelan, suaranya hampir tenggelam oleh deru mesin bus.
Akil menoleh padanya, sedikit bingung, namun tersenyum lembut. "Untuk apa?"
"Untuk semuanya."
___
Saat Akil dan Nisa berbicara, Nisa merasakan kehadiran seseorang memperhatikan mereka. Ia melirik ke arah jendela dan melihat kilas bayangan di permukaan kaca—ibu mertuanya, duduk di kursi sebelah, memandang mereka dengan sorot mata yang sulit diartikan. Tatapan itu tampak tenang, namun ada sesuatu yang membuat Nisa merasa tertegun.
Perlahan, Nisa mencoba tersenyum, berusaha menunjukkan rasa hormat. Namun, ibu mertuanya tidak langsung membalas senyuman itu. Perhatiannya tetap tertuju pada mereka, seolah-olah sedang menilai atau mencari sesuatu dalam interaksi antara Nisa dan Akil. Nisa tidak bisa menebak, tetapi rasa segan itu tumbuh dalam hatinya.
Akil, yang tidak menyadari apa yang terjadi, tetap berbicara dengan nada ringan, mencoba menghibur Nisa selama perjalanan panjang itu. Namun, perhatian Nisa sesekali teralih pada bayangan ibu mertuanya yang tetap memerhatikan mereka dari balik jendela. Ia merasa canggung, namun berusaha menenangkan diri. Ini wajar, pikirnya. Mungkin beliau hanya ingin melihat bagaimana aku beradaptasi di tengah keluarga baru.
Namun di dalam hati kecilnya, Nisa bertanya-tanya, apakah ia telah cukup memenuhi harapan ibu mertuanya yang kini memandangnya dengan begitu cermat.
Setelah beberapa saat merasakan ketenangan, Nisa akhirnya kembali terlelap. Namun, sekitar dua jam kemudian, suara kondektur menggema di sepanjang bus, mengumumkan bahwa mereka sudah tiba di kota tujuan. Nisa terbangun dengan mata masih setengah mengantuk, mencoba memahami sekelilingnya yang mendadak riuh oleh para penumpang yang bergegas bersiap turun.
Ia menoleh ke samping, menyadari bahwa kursi ibu mertuanya kini kosong. Kebingungan, ia mengedarkan pandangan ke arah barisan kursi di depannya. Tampaknya, ibu mertuanya telah lebih dulu berdiri dan bersiap di dekat pintu bersama beberapa anggota keluarga lainnya.
Di sampingnya, Akil telah berdiri dengan ransel di punggung, tersenyum sambil mengulurkan tangan. "Ayo, Nisa, sudah sampai," katanya, lembut namun bersemangat.
Nisa menggenggam tangan suaminya dan perlahan berdiri, mengumpulkan kesadaran yang masih sedikit kabur karena baru terbangun. Ia merasakan desakan para penumpang lain di sekitarnya yang juga bersiap turun, namun genggaman Akil membuatnya merasa lebih tenang. Sambil berjalan menuju pintu keluar, ia menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa mereka akhirnya tiba di kota baru yang akan menjadi bagian dari perjalanan hidupnya.
Ketika langkah pertama Nisa menginjak tanah kota itu, ia merasakan degup jantungnya yang berdebar pelan.
Mata Nisa menangkap sosok-sosok yang menunggu di ujung gerbang halte. Di sana, ibu mertua dan adik perempuan Akil berdiri dengan senyum hangat, melambai ke arah mereka. Tak jauh dari mereka, sebuah mobil hitam tampak terparkir, sepertinya disiapkan untuk menjemput mereka ke rumah.
Di dalam mobil, seorang pemuda terlihat sibuk mengatur barang-barang bawaan yang tadi dibawa oleh ibu mertua dan beberapa kerabat lain. Begitu melihat Akil dan Nisa mendekat, pemuda itu berhenti sejenak, menatap Akil dengan senyum lebar, lalu melangkah keluar untuk menyambut mereka.
“Hei, Akil!” katanya sambil menepuk pundak Akil dengan akrab. Wajahnya menunjukkan kehangatan yang tulus, dan ada sedikit guratan takjub di matanya saat melihat Nisa di samping Akil. “Akhirnya, pulang juga. Dan sekarang, kamu sudah membawa istri, ya,” ucapnya sambil tersenyum, seakan masih tak percaya.
Akil tertawa kecil dan mengangguk. “Iya, Tir. Sekarang aku nggak sendiri lagi,” jawabnya sambil melirik ke arah Nisa yang tersipu, merasa sedikit canggung.
___
Setelah semua barang tersimpan rapi, Nisa dan Akil bersama ibu mertuanya serta beberapa kerabat naik ke dalam mobil hitam yang sudah menunggu mereka. Nisa duduk di samping Akil, sementara ibu mertuanya duduk di depan bersama adik Akil.
Mobil melaju perlahan, meninggalkan halte bus dan mulai memasuki jalan menuju rumah keluarga Akil. Di dalam mobil, Nisa berusaha mengalihkan perhatiannya dari rasa mual yang perlahan kembali muncul, mungkin karena perutnya yang lelah setelah perjalanan panjang. Ia menarik napas dalam-dalam dan memandang ke arah suaminya.
“Mas, kira-kira berapa lama lagi sampai rumah?” tanyanya, suaranya terdengar sedikit lemah.
Akil memegang tangan Nisa dengan lembut, memperhatikan wajahnya yang terlihat agak pucat. “Kurang dari 20 menit lagi, Sayang. Sebentar lagi sampai,” jawabnya dengan suara tenang, mencoba menenangkannya.
Nisa mengangguk, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Hanya sebentar lagi, pikirnya dalam hati. Ia menutup mata sejenak, berharap mual di perutnya segera mereda. Perjalanan ini mungkin terasa panjang dan melelahkan, tapi kehangatan Akil di sisinya membuatnya merasa kuat untuk bertahan.
Di tengah perjalanannya yang baru ini, Nisa menggenggam tangan Akil dengan lebih erat, mempersiapkan diri untuk menghadapi rumah baru yang menantinya di ujung jalan.
___
Akhirnya, mobil hitam itu berhenti di depan rumah keluarga Akil. Nisa menatap rumah di hadapannya—bangunan sederhana namun cukup luas dan tampak terawat. Halaman depan yang bersih, dengan beberapa tanaman hijau di pinggir jalan setapak menuju pintu masuk, membuat suasana rumah terasa hangat dan ramah.
Nisa memperhatikan sekeliling, mencoba mengenal setiap sudut tempat yang akan menjadi rumah barunya ini. Hatinya bercampur antara gugup dan rasa penasaran. Namun, sebelum ia sempat melihat lebih banyak, ibu mertuanya melangkah mendekat dengan senyum hangat.
"Ayo, Nisa, Akil. Masuk dulu, ya. Kalian pasti lelah, dan hari sudah mulai gelap. Sepertinya sebentar lagi hujan juga," ucap ibu mertua, suaranya lembut tapi penuh perhatian.
Akil meraih tangan Nisa, membimbingnya menuju pintu masuk. Mereka berdua berjalan melewati ambang pintu, disambut oleh aroma khas rumah dan suara samar angin yang mulai berhembus di luar. Nisa merasa lega bisa segera beristirahat setelah perjalanan panjang yang melelahkan.
Ibu mertua mengantar mereka ke ruang tamu, lalu memberi isyarat agar mereka beristirahat. "Istirahat saja dulu, ya. Besok kita bisa bicarakan lebih banyak," katanya dengan senyum lembut.
Nisa mengangguk, merasa nyaman oleh kehangatan yang ditunjukkan ibu mertuanya. Ia menyadari bahwa rumah baru ini, meskipun masih asing, mulai terasa seperti tempat yang mungkin bisa ia sebut "rumah."
Suara hujan yang deras masih terdengar di luar rumah, menciptakan irama yang menenangkan di malam itu. Namun, tiba-tiba suara motor terdengar dari halaman, memecah suasana tenang. Tak lama kemudian, suara riuh anak-anak terdengar, membawa kehangatan yang mencairkan suasana.
Nisa mengangkat kepalanya, sedikit penasaran. Akil tersenyum tipis, seolah sudah tahu siapa yang baru saja tiba. Mereka berdua melangkah ke ruang tamu, di mana ibu mertua mereka sudah menyambut seorang wanita dengan pakaian yang basah kuyup. Di belakangnya, dua anak kecil yang juga basah terlihat bersemangat meskipun hujan masih mengguyur.
“Ya ampun, Sahrah, kenapa nekat hujan-hujanan malam begini?” Ibu mertua Nisa bertanya dengan nada setengah khawatir, setengah menggoda.
Sahrah, kakak tertua Akil, tertawa kecil sambil mengibaskan ujung jilbabnya yang basah. “Ah, Bu, saya dan anak-anak sudah tidak sabar ingin bertemu dengan anggota baru di rumah ini,” ujarnya sambil melirik ke arah Nisa, tersenyum hangat.
Nisa membalas senyuman Sahrah, merasa sedikit gugup namun tersentuh oleh kehangatan sambutan ini.
“Apa tidak lebih baik besok saja, Nak? Lihat, kau dan anak-anak sampai basah kuyup,” ujar ibu mertua, namun dengan nada penuh sayang. Tampak jelas betapa ia merindukan anak sulungnya itu.
Sahrah mengangguk kecil. “Iya, Bu. Tapi perjalanan dari rumah cukup jauh, hampir lima puluh menit. Jadi tadi kupikir, sekalian saja langsung ke sini.” Ia mengusap kepala anak-anaknya yang masih menggigil sedikit karena basah. “Anak-anak juga sudah tak sabar ingin ketemu Tante Nisa,” katanya sambil tersenyum ke arah Nisa lagi.
Nisa membalas tatapan Sahrah dengan senyum lembut, merasa terharu melihat sambutan hangat dari keluarga baru ini. Anak-anak Sahrah segera mendekat dan menyapa Nisa dengan malu-malu, namun wajah mereka penuh keingintahuan dan kegembiraan.
Ibu mertua pun segera membawa handuk dan menyuruh mereka mengeringkan diri, sementara Nisa membantu menyuguhkan minuman hangat. Suasana rumah itu kini dipenuhi tawa dan percakapan hangat, membuat Nisa merasa benar-benar diterima sebagai bagian dari keluarga ini, meskipun ia baru saja tiba.
___
Di dalam kamar yang sederhana itu, Nisa sibuk membenahi beberapa buku yang tampak berserakan di meja, serta pakaian yang tidak tersusun rapi di kursi. Setiap lipatan pakaian dan tumpukan buku ia atur dengan rapi, merasa nyaman dalam kegiatan itu. Dalam hatinya, Nisa berpikir, Mas Akil memang butuh pendamping, seseorang yang bisa menjaga kerapihan dan membantu mengurus segala keperluannya.
Sementara Nisa terus merapikan kamar, Akil diam-diam mendekat dari belakang. Dengan senyum lembut, ia mengusap kepala Nisa yang masih mengenakan kerudung, membelai dengan penuh sayang. Akil menatapnya dengan pandangan yang hangat, seolah memberi isyarat agar Nisa membuka kerudungnya untuk lebih santai.
Namun, Nisa menepis perlahan tangan suaminya sambil berbisik, “Mas… pintunya masih terbuka.” Matanya melirik ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka, seakan mengingatkan bahwa mereka belum sepenuhnya sendiri.
Akil tertawa kecil dan mengangguk, mengerti dengan isyarat Nisa. “Baiklah, Sayangg. Maaf,” ujarnya sambil tersenyum penuh kasih, melangkah ke pintu untuk menutupnya.
Dengan langkah pelan, Akil kemudian kembali ke samping Nisa, membantu mengatur beberapa barang yang masih berantakan. Mereka bekerja bersama dalam keheningan yang nyaman, berbagi kehangatan yang tidak butuh banyak kata-kata.
Akil semakin mendekat ke arah Nisa,
Membuat jarak diantara mereka hampir tiada. Dengan lembut ia berbisik manja "lepas saja kerudungnya, sayang. Kalau tidak,aku sendiri yang akan membukanya." ujarnya , setengah menggoda.
Nisa menunduk, wajahnya memerah karena malu. Namun dibalik rasa canggungnya ,ada kehangatan yang perlahan-lahan mengisi hatinya. Akhirnya Nisa mengangguk pelan, membiarkan Akil melakukan yang ia inginkan.
Dengan gerakan yang lembut, Akil mulai membuka kerudung Nisa, perlahan menyingkapkan rambut hitamnya yang lurus dan panjang. Mata Akil berbinar ketika melihat keindahan rambut istrinya.
"Nisa..."ucapnya dengan nada rendah penuh kekaguman, jari-jarinya perlahan menyentuh helaian rambut istrinya. Sentuhan lembut itu membuat Nisa menundukkan wajah ,merasa begitu tersipu malu, namun ia merasa aman dan tenang berada di dekat suaminya
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!