“Saya terima nikah dan kawinnya Kania Larasati binti Haris dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”
Kata-kata itu terucap lantang dari bibir Adrian. Dengan suara datar tanpa emosi.
Di depan mereka, para saksi dan tamu keluarga tersenyum penuh kebahagiaan. Semua tampak sempurna, kecuali bagi Kania dan Adrian.
Kania menatap suaminya yang baru saja mengikrarkan janji suci. Rasa bahagia bercampur dengan kecemasan memenuhi hatinya.
Pernikahan ini terjadi begitu cepat, terlalu tiba-tiba.
Keluarga Pratama mendesak Adrian untuk segera menikah demi mendapatkan penerus, dan pilihan jatuh pada dirinya—Kania, perempuan yang selama ini diam-diam mengagumi Adrian.
Namun, Adrian jelas tak pernah mencintainya. Dan kania tahu itu.
Adrian tak banyak bicara sejak pagi. Bahkan, di malam pertamanya, ia duduk di sofa kamar hotel yang megah, menatap keluar jendela dengan ekspresi kosong.
Sementara Kania menunggu di tempat tidur. Ia merasa gugup namun mencoba mengumpulkan keberanian.
“Mas…” Kania memanggilnya pelan.
Adrian tidak langsung menjawab, hanya berbalik sekilas dan menatapnya dengan dingin. “Ada apa?”
“Kita baru saja menikah. Apa kamu tidak ingin berbicara denganku?” Kania merasa suara itu terdengar begitu ragu-ragu.
Adrian menghela napas panjang, lalu bangkit dari sofa. Ia berjalan mendekati tempat tidur, namun sikapnya tetap dingin dan tak berperasaan.
“Apa yang perlu dibicarakan?”
“Ini malam pernikahan kita.” Kania berusaha mempertahankan harapan kecilnya. “Aku ingin tahu apa yang kamu rasakan.”
“Apa yang kurasakan?” Adrian tertawa pelan, namun tawa itu terdengar getir.
“Aku sama sekali tidak merasakan apa-apa padamu, Kania. Pernikahan ini bukan keinginanku.”
Kania tersentak mendengar kalimat itu. Meski ia tahu Adrian tidak mencintainya, mendengar kata-kata itu keluar langsung dari mulutnya tetap saja menyakitkan.
“Keluargaku memaksaku menikah denganmu. Mereka ingin penerus, seseorang yang bisa melanjutkan nama keluarga Pratama. Itulah satu-satunya alasan pernikahan ini terjadi.” Adrian melanjutkan.
“Tapi, kita bisa mencoba untuk—”
“Tidak ada yang perlu dicoba.” Adrian memotong kata-kata Kania dengan nada dingin. “Aku tidak mencintaimu. Aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Kamu tahu itu, bukan?”
Kania menundukkan kepala, tidak mampu menahan rasa sakit yang mulai meresap ke dalam hatinya. “Aku mencintaimu, Mas...”
Adrian terdiam sejenak, seolah tersentuh oleh pengakuan Kania. Namun, hanya sesaat. Hatinya tetap keras dan tak tergoyahkan.
“Cinta tidak ada artinya dalam pernikahan ini.”
Adrian mendekati Kania dengan langkah pelan. Dia menatap wajahnya tanpa ekspresi sebelum menyentuh bahu Kania dengan tangan dinginnya.
“Kita harus melakukan kewajiban ini,” ucap Adrian tanpa perasaan, seolah hubungan mereka hanyalah sebuah kontrak tanpa emosi.
“Aku ingin meminta hak sebagai suamimu!”
Kania hanya bisa menatapnya, pasrah, dengan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya.
Meski Adrian tidak bisa mencintainya, setidaknya Kania sudah menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Itulah yang Kania pikirkan.
Mereka melakukan hubungan suami istri malam itu. Tapi bagi Kania, keintiman itu terasa hampa.
Tak ada cinta, tak ada kelembutan. Hanya kewajiban yang Adrian penuhi, tanpa sentuhan kasih sayang.
“Kamu benar-benar tidak punya hati, Mas.” batin Kania.
**
Keesokan paginya, suasana di kamar hotel terasa sunyi. Cahaya matahari masuk melalui celah-celah gorden yang belum sepenuhnya ditutup.
Kania bangun lebih dulu, namun tak berani membangunkan Adrian yang masih terbaring di sampingnya. Hatinya masih berat, perasaannya masih teraduk-aduk setelah malam yang dingin itu.
Namun, tidak lama kemudian, Adrian bangun.
Tanpa banyak kata, ia bangkit dari tempat tidur dan segera mengenakan pakaian. Kania memperhatikan gerak-geriknya dengan hati berdebar, tidak tahu harus berkata apa.
“Kania,” suara Adrian tiba-tiba memecah kesunyian, membuat Kania menoleh cepat. Ada nada tegas dalam suaranya, seolah ia telah memutuskan sesuatu yang penting.
“Ada apa, Mas?”
“Aku ingin kita bercerai.”
Kata-kata itu meluncur begitu saja, seperti pisau tajam yang langsung menusuk hati Kania.
Matanya melebar, dan untuk beberapa saat, ia tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
“Apa maksudmu Mas?” Kania akhirnya berhasil bersuara, meski suaranya terdengar serak dan bergetar.
“Aku sudah memikirkannya sejak sebelum pernikahan ini. Sekarang, setelah malam ini, aku yakin. Aku tidak bisa menjalani ini.” Adrian berdiri tegak di depan cermin, memperbaiki kemejanya tanpa sedikit pun melihat ke arah Kania.
“Tapi, kita baru saja menikah. Bagaimana bisa mungkin kamu memutuskan semua ini dengan begitu cepat tanpa menanyakannya dulu padaku?”
“Pernikahan ini hanya formalitas. Aku sudah mengatakan dari awal bahwa aku tidak pernah menginginkannya.” Adrian menatap bayangannya sendiri di cermin dengan tatapan dingin. “Kita akan segera mengurus perceraian ini. Aku tidak akan mempersulit mu. Kamu bisa meminta apapun yang kamu inginkan.”
Kania hanya bisa menatap Adrian dengan air mata yang mulai mengalir. Hatinya hancur berkeping-keping.
“Kamu benar-benar tidak mau mencobanya, Mas? Tidak adakah kesempatan untuk kita berdua?”
Adrian menggelengkan kepalanya. “Aku tidak ingin memberimu harapan palsu. Pernikahan ini tidak akan pernah berhasil dan berjalan seperti kemauan mereka.”
Kania terdiam, tubuhnya terasa lemas. Semua harapan dan impiannya hancur dalam sekejap.
Adrian mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu, siap untuk meninggalkan Kania. Namun, sebelum ia keluar, ia berhenti sejenak, menatap Kania sekali lagi.
“Aku harap kamu mengerti. Ini yang terbaik untuk kita berdua.”
Tanpa menunggu jawaban, Adrian keluar dari kamar, meninggalkan Kania sendirian dalam keheningan.
Air mata Kania tak bisa dibendung lagi, jatuh membasahi pipinya.
Semua yang ia impikan hancur dalam satu malam, dan kini ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa pernikahan mereka hanya sekejap, dan berakhir sebelum benar-benar dimulai.
“Apa ini benar-benar takdir darimu? Jika memang iya, aku akan menerimanya dengan lapang meski rasanya sakit hiks...”
Dua minggu sudah berlalu, Kania duduk di ruang tamu apartemen miliknya, memandang secarik kertas yang baru saja ia ambil dari rumah sakit.
Hasil tes itu terpampang jelas kalau Kania positif hamil.
Ya, Kania mengandung anak Adrian.
“Bagaimana ini bisa terjadi?” Kania menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir tumpah.
Disaat Kania berusaha untuk melupakan semua kenangan pahit bersama Adrian, Tuhan justru memberinya anugerah yang begitu besar namun berat.
“Mas Adrian…” gumamnya pelan. Nama itu kembali berputar di kepalanya, meski ia sudah berusaha melupakannya.
Ponsel Kania bergetar di meja. Sebuah pesan masuk dari ibunya.
[Kania, kapan kamu mau pulang ke rumah, Nak? Ibu merindukanmu]
Kania membaca pesan itu tanpa membalasnya. Ia belum siap kembali ke rumah apalagi harus menjelaskan apa yang terjadi.
Sejak perceraiannya dengan Adrian yang begitu cepat dan menyakitkan itu, Kania memilih untuk menyendiri. Menghindari keluarga dan juga teman-temannya.
Mereka semua tahu tentang pernikahan Kania, namun tidak ada yang tahu tentang perceraian mereka.
Bahkan sekarang, Kania harus menerima kenyataan kalau dirinya sedang mengandung pewaris keluarga Pratama.
Kania menarik nafas panjang lalu meremas hasil tes tersebut. Kania belum siap memberitahu siapapun, terutama Adrian.
“Bagaimana caraku memberitahunya?” Kania bergumam. “Mas Adrian tidak akan pernah peduli. Bahkan, mungkin dia akan menyuruhku menggugurkan bayi ini.”
Kania mengusap perutnya. Kenangan malam itu kembali menghantui pikirannya. Adrian yang dingin, tak peduli dan tidak menatapnya dengan cinta sedikitpun.
“Tidak! Aku tidak akan pernah memberitahunya.” Kania bertekad dalam hati.
Kania akan melindungi bayinya. Karena hanya ini satu-satunya yang tersisa dari pernikahan singkatnya.
Kania juga akan memastikan kalau ia mampu membesarkannya tanpa campur tangan Adrian dan keluarga besar Pratama.
Ponsel Kania bergetar lagi, kali ini dari sahabatnya–Laila.
“Kania, kamu dimana?” tanya Laila langsung setelah Kania mengangkat panggilannya.
“Aku… di apartemen,” jawab Kania.
“Sejak kapan kamu mengurung diri seperti ini? Aku sudah berusaha menghubungimu berkali-kali!” Laila terdengar khawatir. “Ada apa sebenarnya? Kamu baik-baik saja kan?”
Kania menghela nafas panjang sebelum menjawab, “Aku baik-baik saja, Laila. Hanya ingin menyendiri saja.”
“Yakin?”
“Aku sangat yakin.”
“Aku tahu, terjadi sesuatu dengan pernikahan kalian. Ada masalah, bukan?”
Kania terdiam. Laila memang sahabatnya yang paling dekat. Tapi, untuk membicarakan tentang perceraian dengannya, rasanya terlalu cepat.
“Aku tidak ingin membicarakannya sekarang, Laila. Kumohon kamu mengerti.”
“Tapi, kamu harus bicara dengan seseorang. Jangan dipendam sendiri,” desak Laila. “Aku akan datang ke apartemenmu sekarang.”
“Tidak perlu. Aku akan baik-baik saja. Aku hanya butuh waktu sendiri.” Kania berusaha meyakinkan sahabatnya.
Laila terdiam sejenak di seberang telepon sebelum akhirnya menjawab, “Baiklah kalau itu yang kamu mau. Tapi jika kamu butuh apapun, hubungi aku.”
Kania tersenyum tipis meski Laila tidak bisa melihatnya. “Terima kasih, Laila. Aku akan menghubungimu nanti.”
Setelah panggilan berakhir, Kania kembali duduk di sofa, menatap dinding kosong di depannya.
Kania tahu, Laila benar. Ia tidak bisa terus menerus menyendiri. Tapi, bagaimana ia bisa menjelaskan semua ini?
Tentang perceraian yang mendadak, tentang kehamilannya dan tentang Adrian yang bahkan tidak tahu bahwa dia akan menjadi seorang ayah.
*
Keesokan harunya, Kania memutuskan untuk pergi ke dokter kandungan. Ia ingin memastikan kalau bayi yang dikandungnya sehat.
“Semuanya baik-baik saja,” ucap dokter sambil tersenyum. “Usia kandungan baru memasuki minggu ke lima. Masih sangat awal tapi bayi ini sehat.”
Kania mengangguk pelan, lega mendengar kabar baik itu. “Terima kasih, Dokter.”
Dibalik semua rasa lega itu, Kania sebenarnya cemas. Apa yang harus ia lakukan selanjutnya? Bagaimana ia akan menjalani semua ini sendirian?
“Apa ayah dari bayi ini tahu?” tanya dokter.
“Maksudnya?”
“Maaf, aku tidak bermaksud lancang. Tapi, aku merasa kamu tidak bahagia dengan kehamilanmu.”
Kania terdiam beberapa detik sebelum menjawab, “Dia tidak tahu. Dan aku tidak berniat memberitahunya.”
Dokter mengangguk mengerti. “Apapun yang kamu putuskan, pastikan itu yang terbaik untukmu dan juga bayimu. Kehamilan adalah perjalanan yang panjang dan kamu butuh dukungan dari suami.”
“Saya akan mengingat itu, Dok.”
Setelah keluar dari ruang periksa, Kania berhenti di lorong rumah sakit. Ia menatap langit-langit dengan mata berkaca-kaca.
“Mas Adrian tidak perlu tahu. Aku bisa menjaga bayi ini sendiri tanpa dia,” gumamnya pada diri sendiri, meyakinkan hatinya yang masih ragu.
Kania berdiri di depan cermin kecil di kamar rumahnya yang baru.
Tangannya perlahan menyentuh perutnya yang sudah semakin membesar. Kota baru ini memberikan sedikit ketenangan bagi hatinya yang penuh luka.
Setelah memutuskan untuk meninggalkan Jakarta, ia merasa langkah ini adalah yang paling tepat. Ia bisa memulai hidup baru, jauh dari kenangan tentang Adrian dan keluarga Pratama.
“Kamu kuat, Kania,” bisiknya pada diri sendiri. “Untuk anak ini, kamu harus kuat.”
Telepon berdering di meja samping tempat tidur. Kania menghela nafas sejenak sebelum mengangkatnya.
Itu Laila, satu-satunya orang yang tahu tentang kehamilannya selain dokter.
“Kania? Bagaimana keadaanmu?” tanya Laila, suaranya terdengar khawatir seperti biasa.
“Aku baik-baik saja, Laila. Semuanya berjalan lancar. Aku sudah menemukan rumah kontrakan yang nyaman di sini. Jauh lebih tenang dibanding Jakarta,” jawab Kania sambil berusaha terdengar meyakinkan.
“Syukurlah kalau begitu. Apa kamu sudah yakin untuk tidak kembali?”
Kania terdiam sejenak sebelum menjawab. “Aku sudah memutuskan. Di sini, aku bisa memulai segalanya dari awal, tanpa perlu memikirkan Adrian atau keluarganya.”
“Lalu, bagaimana dengan orangtuamu dan bang Gilang? Kemarin dia datang dan menanyakan keberadaanmu.”
“Biar aku saja nanti yang menjelaskan saat aku siap,” ujar Kania.
“Tapi, Kania… kamu yakin mas Adrian tidak perlu tahu soal anak ini? Bagaimanapun, dia ayah dari anakmu.”
“Aku sudah memikirkannya, Laila,” kata Kania tegas. “Adrian tidak peduli padaku, dia bahkan menceraikanku tanpa alasan yang jelas. Anak ini hanya akan menjadi beban baginya. Aku bisa mengurus semuanya sendiri.”
“Kamu memang wanita yang kuat, Kania, tapi jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Aku selalu berdoa untuk kebaikanmu. Maaf, aku tidak bisa menemanimu di saat kamu sedang membutuhkan aku.”
Kania tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, Laila. Terima kasih sudah mau menjadi sahabat terbaikku. Aku akan baik-baik saja. Aku berniat membuka usaha kecil-kecilan di sini sampai melahirkan nanti. Aku yakin semuanya akan berjalan lancar.”
Laila meneteskan air matanya. Ujian seorang Kania benar-benar berat.
Setelah beberapa percakapan ringan, Kania menutup teleponnya. Pandangannya kembali tertuju pada cermin.
Wajahnya mungkin terlihat tenang, tapi di dalam hatinya masih ada luka yang belum sembuh.
Meninggalkan Jakarta, meninggalkan Adrian, mungkin adalah keputusan terbaik. Namun, rasa sakit itu masih tetap ada, tersembunyi di balik setiap senyumnya.
**
Beberapa bulan kemudian, Kania melahirkan seorang anak laki-laki. Bayi mungil yang begitu mirip dengan Adrian.
Saat pertama kali melihat wajah anaknya, Kania terdiam. Sejenak, perasaan bahagia dan duka bercampur menjadi satu.
“Dia benar-benar seperti mirip seperti ayahnya. Hidung mancung, alis tebal dan juga–” Kania tak melanjutkan ucapannya. Ia beralih menatap wajah anaknya yang masih tertidur.
Sejak saat itu, kehidupannya berubah. Kania tidak lagi sendirian, kini ada seseorang yang bergantung padanya, yang membutuhkan cintanya tanpa syarat.
“Kamu anugerah luar biasa yang tuhan kirim untuk mama, sayang,” kata Kania sambil mencium kening anaknya. “Mama janji, akan melakukan segalanya dan memastikan kamu bahagia.”
Beberapa hari setelah kelahiran anaknya, Laila datang mengunjungi Kania di kota barunya.
Mereka duduk di ruang tamu sederhana, sementara Kania menggendong bayinya dengan penuh kasih sayang.
“Dia sangat tampan, Kania,” puji Laila sambil tersenyum lebar. “Dan dia benar-benar mirip Adrian.”
Kania tersenyum kecut, “Ya… terlalu mirip. Setiap kali aku melihat wajahnya, aku merasa seolah-olah sedang melihat Adrian.”
Laila mengangguk pelan. “Kamu sudah memutuskan untuk tidak memberi tahu Adrian, kan?”
Kania menghela napas panjang, lalu menatap bayinya dengan penuh kasih.
“Ya, Laila. Aku sudah memutuskan. Adrian sudah punya kehidupannya sendiri. Aku tidak ingin membuat segalanya semakin rumit.”
“Kamu benar, aku dengar dia sudah menikah lagi,” kata Laila.
“Benarkah?” tanya Kania bersikap seolah tak peduli, padahal, hati Kania sakit mendengarnya.
“Ya.” Laila mengusap pundak Kania. Seakan tahu apa yang sahabatnya itu rasakan. “Tapi, bagaimana kalau suatu saat Adrian tahu? Bagaimana kalau dia ingin bertemu dengan anaknya?”
Kania menoleh ke arah Laila. “Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Anak ini adalah tanggung jawabku, dan aku tidak ingin Adrian kembali ke dalam hidupku, apalagi setelah apa yang dia lakukan. Bahkan belum setahun kami bercerai, dia sudah menikah lagi!”
“Tapi kudengar pernikahan mereka–”
“Cukup, Laila! Jangan pernah membahas soal mas Adrian lagi. Aku malas mendengarnya.”
Laila tidak bisa membantah. Ia tahu betapa besar luka yang Kania rasakan sejak perceraian itu, dan meskipun ia merasa Adrian berhak tahu tentang anaknya, ia juga mengerti keputusan Kania.
“Maafkan aku, Kania.”
***
Di sisi lain, Adrian menjalani kehidupannya dengan cara yang berbeda. Setelah perceraian singkatnya dengan Kania, ia menikah lagi dengan seorang wanita bernama Laras.
Pernikahan itu bukan berdasarkan cinta, melainkan sebuah kesepakatan bisnis yang menguntungkan kedua keluarga.
Adrian tahu bahwa Laras bukanlah wanita yang ia cintai, tapi demi keluarga dan demi keinginan kakeknya, ia rela menjalaninya.
Di meja makan rumah mewahnya, Adrian duduk bersama Laras. Mereka tampak diam, hanya suara alat makan yang terdengar di antara mereka.
“Kapan kamu akan pergi ke pertemuan keluarga besar kita, Mas?” tanya Laras tiba-tiba, memecah keheningan.
Adrian menatap istrinya sekilas sebelum menjawab, “Minggu depan. Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan di perusahaan.”
Laras mengangguk tanpa menatapnya. Pernikahan mereka berjalan seperti kesepakatan—tanpa adanya cinta.
Adrian tidak pernah menyangka hidupnya akan terasa begitu kosong setelah Kania pergi, tapi dia tidak akan mengakuinya.
Adrian lebih memilih menjalani perannya sebagai pewaris keluarga Pratama dengan semua tanggung jawab yang melekat padanya.
“Apa kamu masih memikirkan wanita itu?” tanya Laras.
Adrian terkejut dengan pertanyaan itu. “Apa maksudmu?”
“Kania,” jawab Laras tanpa ragu. “Kamu mungkin tidak sadar, tapi aku bisa melihatnya. Ada sesuatu yang belum kamu lupakan darinya. Sikap dinginmu padamu, bahkan aku merasa kamu tidak pernah menganggapku ada di rumah ini Mas.”
Adrian terdiam, menatap piringnya. Bayangan Kania memang sering muncul di pikirannya, namun ia menepis perasaan itu.
Kania sudah tidak lagi menjadi bagian dari hidupnya. Ia sudah membuat keputusan, dan sekarang ia harus menanggungnya.
“Dia masa lalu, Laras,” ucap Adrian dingin. “Aku sudah menikahimu, bukan?”
Laras tersenyum tipis, tapi senyum itu penuh luka. “Ya, kamu menikahiku. Tapi apakah itu berarti kamu sudah benar-benar melupakannya?”
Adrian tidak menjawab. Dalam diam, ia menyadari bahwa meskipun pernikahan ini berjalan sesuai rencana keluarga, ada sesuatu yang hilang.
Sesuatu yang ia coba lupakan, namun selalu kembali menghantuinya.
Dan ia tidak tahu bahwa di kota lain, Kania sedang menjalani kehidupan baru dengan seorang anak laki-laki yang sangat mirip dengannya.
“Mau kemana, Mas? Aku belum selesai bicara!” Lara menahan tangan Adrian.
“Kerja.”
“Kerja, kerja dan kerja! Kapan kamu akan mengajakku liburan seperti pasangan suami istri yang lain, juga memberiku anak?”
Adrian menoleh sekilas. “Jangan lupa alasan kita menikah!” setelah mengatakan itu, Adrian beranjak meninggalkan Laras seorang diri.
“Kamu benar-benar keterlaluan, Mas! Susah payah aku memisahkan mereka, tapi hasilnya tidak seperti keinginanku!” maki Laras. “Awas kamu Kania!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!