NovelToon NovelToon

Jodoh Pilihan Bocil

1. Kencan yang Kacau

Ello, seorang dokter pediatri yang menyandang status Jodi alias jomblo ditinggal mati, mengamati sekeliling dengan curiga. Ia memastikan keponakannya yang usil, Ziel, tidak melihatnya keluar rumah. Dengan penuh kehati-hatian, ia memesan taksi online, berharap bisa kabur tanpa terdeteksi. “Semoga bocah tengil itu nggak lihat aku pergi, atau dia akan mengacaukan kencanku lagi,” gumam Ello sambil mengawasi sekeliling, mengendap-endap, bahkan berlari kecil meninggalkan rumah seperti ... maling.

Tapi apa benar tak terdeteksi?

Dari lantai dua, Ziel, yang berusia tujuh tahun, tersenyum licik. Dengan teropong malam di tangannya, ia bisa melihat omnya yang mengendap-endap keluar rumah. “Om Ello pasti akan bertemu perempuan lagi. Aku tidak akan membiarkan dia pacaran dengan perempuan lain. Tanteku hanya Tante Diana.” gumamnya mengepalkan tangannya, lalu melompat dari tempat tidurnya.

Ziel mematikan lampu kamarnya dan meletakkan guling di atas ranjang, kemudian menutupnya dengan selimut agar terlihat seperti dirinya yang tertidur. Dengan cekatan, ia mengendap-endap keluar rumah, bertekad untuk mengikuti Ello.

Di sisi lain, Ello merasa lega karena bisa keluar rumah tanpa diikuti keponakannya. “Akhirnya … bisa kabur juga. Ingin kencan aja kayak maling. Tapi yang penting sekarang sudah aman,” gumamnya, menyusuri jalan menuju restoran dengan semangat baru.

Sesampainya di restoran mewah itu, suasana romantis menyelimuti ruangan, di mana cahaya lilin menari-nari di atas meja. Ello duduk berhadapan dengan Dira, gadis cantik yang baru saja dikenalnya. Dengan sepotong salmon di piringnya dan secangkir anggur merah di tangan, dia merasa ini adalah momen yang tepat untuk membuka hati setelah berbulan-bulan berkabung dan berkali-kali gagal berkencan karena ulah Ziel.

Dira tersenyum, “Jadi, kamu bekerja sebagai dokter pediatri? Bagaimana rasanya bekerja dengan anak-anak?”

Ello mulai menjelaskan dengan antusias, merasakan koneksi yang tumbuh di antara mereka. “Anak-anak itu selalu membawa kebahagiaan, meskipun mereka juga bisa sangat merepotkan …” Ia mengawali ceritanya. Namun, momen manis itu terputus oleh suara teriakan menggema dari pintu masuk restoran.

“Papa …!” teriak Ziel, berlari ke arah Ello, menjadi pusat perhatian para pengunjung dan pelayan restoran.

Para pelayan restoran merasa bingung dan sedikit terkejut. Salah satu pelayan berkata, “Ini bukan kejadian biasa di restoran ini. Siapa yang mengizinkan anak itu masuk?”

Sebagian pengunjung berusaha berpura-pura tidak peduli, tetapi tetap mencuri pandang dari sudut mata mereka. Mereka berbisik satu sama lain, “Apa yang terjadi di sini? Kenapa ada bocah yang teriak-teriak?”

Ello yang duduk membelakangi pintu masuk restoran langsung mendesah frustrasi. Tanpa melihatnya pun Ello sudah tahu suara siapa itu. “Bocah ini! Aku akan jadi perjaka tua kalau terus begini,” gumam Ello lirih, sambil memijat pelipisnya dengan lelah, merasakan firasat buruk.

Ziel memeluk lengan Ello. “Papa, kok pergi malam-malam ninggalin Ziel dan mama, sih? Papa udah nggak sayang lagi, ya, sama Ziel dan mama,” ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca menyempurnakan aktingnya.

Ello mendesah pelan melihat akting keponakannya. Kencannya yang baru saja dimulai, kini terasa hampir pasti gagal lagi.

Dira menatap Ello dengan tatapan bingung, lalu bertanya, “El, ini anak kamu? Kamu sudah menikah?”

“Tidak, aku masih single. Ini keponakanku. Dia memang suka usil,” jelas Ello, berusaha meraih kontrol atas situasi.

Namun, Ziel langsung menyanggah perkataan Ello. “Bohong! Papa mau ninggalin Ziel dan mama, 'kan?” Papa jarang pulang ke rumah pasti karena bertemu Tante itu, 'kan?” tuduh Ziel, menunjuk Dira dengan jari telunjuknya.

Ello mengusap wajahnya dengan kasar, merasakan kepanikan mulai merayapi dirinya. “Bocah! Apa kamu ingin Om kamu ini jadi jomblo sampai mati?” ucapnya pelan, frustrasi, berusaha meredam kekacauan yang sedang berlangsung.

Beberapa orang, terutama pasangan yang sedang berkencan, melihat kejadian tersebut dengan pandangan bingung dan heran. Mereka saling bertanya, “Apakah itu anaknya? Atau dia benar-benar jomblo yang terjebak dalam drama?”

Ziel, tidak ingin kalah, tiba-tiba menangis. “Papa jahat! Jahat! Papa nggak mau mengakui Ziel!” Dia terus berteriak, membuat semua mata di restoran kini tertuju pada mereka.

Mendengar semua itu, Dira menggelengkan kepala, merasakan kekecewaan yang semakin mendalam. “Aku tidak mau terlibat dalam drama ini,” katanya sambil berdiri, wajahnya menunjukkan rasa kecewa yang mendalam. “Aku merasa dibohongi, El. Selamat tinggal.” Dira berdiri, bersiap meninggalkan restoran.

“Dira, tunggu!” Ello berusaha mencegah, tetapi sudah terlambat. Dira melangkah pergi, meninggalkan Ello dan Ziel di meja dengan ekspresi kecewa yang jelas terpampang di wajahnya.

Sementara itu, pengunjung lain mulai berbisik-bisik, beberapa menahan tawa melihat adegan kocak ini.

Ello hanya bisa mengusap wajahnya kasar, merasa rencana malamnya kembali berantakan karena keponakannya yang satu ini. "Astaga … Kenapa bocah tengil ini bisa keluar rumah, sih?!” Ello benar-benar frustrasi karena keponakannya yang terlalu cerdas dan tengil ini.

Beberapa pengunjung yang menyaksikan Dira pergi nampak menggelengkan kepala, merasa kasihan padanya. “Dia pasti merasa dibohongi. Sayang sekali,” ucap salah satu pengunjung sambil menghela napas.

Ello beranjak dari duduknya, ingin mengejar Dira, namun Ziel langsung memeluk erat paha Ello. “Om Ello nggak boleh mengejar Tante itu lagi!"

"Ziel, berhentilah mengacaukan kencanku! Om mohon!" keluh Ello, benar-benar frustrasi.

"Aku maunya cuma Tante Diana, nggak mau yang lain," sahut Ziel, tegas.

Ello terdiam sejenak, rasa sakit kembali menyusup di dadanya. "Ziel, Tante Diana sudah nggak ada. Dia sudah pergi ke surga."

"Enggak! Tante Diana belum meninggal. Dia bilang akan kembali," Ziel masih bersikeras.

Ello menarik napas panjang, tak tahu harus bagaimana. "Ziel ... kamu ... ah, aku harus bagaimana bicara sama kamu," gumamnya, semakin frustrasi.

Setelah itu, keduanya pulang dan sampai di rumah, Elin, ibu Ziel tampak terkejut melihat mereka. "Lho, kok, Ziel sama kamu, El?" tanya Elin, heran, merasa bahwa Ziel sudah tidur.

Ello menghela napas kasar. "Kakak harus lebih serius mengawasi bocah ini. Dia sudah mengacaukan kencanku lagi," ucapnya dengan nada lelah.

Elin menatap Ziel penuh peringatan. "Ziel..."

"Aku cuma nggak mau Om Ello sama perempuan lain," Ziel melipat kedua tangannya di dada, tak mau mengalah.

"Tante Diana sudah nggak ada, Ziel," Elin mencoba menenangkan.

Tiba-tiba suara bariton Zion terdengar dari arah lain. "Ada apa ini? Kenapa ribut sekali?" Zion menghampiri mereka dengan langkah tenang.

"Kakak ipar, tolong jaga bocil ini! Dia sudah menganggu dan mengacaukan kencanku," keluh Ello dengan tak tahu harus bagaimana lagi menghadapi keponakannya.

Zion hanya tersenyum tipis sambil mengelus kepala putranya. "Ziel terlalu sayang sama kamu, El. Dia nggak mau kamu dekat dengan wanita yang salah."

Ello mendengus, mengusap wajahnya. "Kakak ipar selalu saja membelanya. Kakak harus mengajari Ziel dengan benar. Jangan selalu membenarkan kalau dia berbuat salah."

Zion menatap Ello dengan santai, tetapi penuh keyakinan. "Ziel nggak salah. Semua wanita yang kamu kencani itu memang nggak benar. Si Dira yang kamu kencani malam ini, dia itu suka gonta-ganti pacar. Ziel hanya melindungi kamu."

Ello tersentak, terdiam sesaat sebelum menatap Zion tak percaya. "Kakak serius? Jadi ini bukan cuma ulah bocah cemburu?"

Zion mengangguk pelan, menyiratkan bahwa ada hal-hal yang lebih dalam dari sekadar kecemburuan seorang anak kecil.

"Tidak ada salahnya menyelidiki dulu sebelum memutuskan berkencan dengan seorang gadis, El," ujar Elin dengan nada lembut.

Namun, Ziel langsung menyambar, "Nggak usah diselidiki! Nggak ada yang lebih baik dari Tante Diana."

Zion hanya bisa menghela napas pelan. "Ziel, Tante Diana sudah--"

"Tante Diana masih hidup!" potong Ziel cepat. "Dia janji bakal kembali!" Anak itu berlari ke kamarnya, tak mau mendengar penjelasan lebih lanjut.

Elin menarik napas panjang. "Sampai sekarang Ziel masih percaya kalau Diana masih hidup. Semua itu karena dulu mereka sangat dekat."

Ello terdiam, dadanya terasa sesak saat pikirannya melayang pada wanita yang ia cintai, yang hilang dalam kecelakaan setahun yang lalu. "Benarkah dia masih hidup seperti keyakinan Ziel?" gumamnya dalam hati.

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

2. Usilnya Ziel

Ello duduk di sebuah kafe dengan wajah lesu, menyeruput kopinya tanpa semangat. Angga, yang duduk di depannya, mengernyit melihat ekspresi sahabatnya itu.

"Kenapa mukamu kusut gitu? Kencanmu gagal lagi?" tanya Angga dengan nada setengah bercanda.

Ello menghela napas kasar, menaruh cangkirnya. "Apalagi kalau bukan masalah itu?" jawabnya lemas.

Angga tergelak. "Keponakan kecilmu yang usil itu lagi, ya? Keponakanmu itu terlalu cerdas."

Ello mengusap wajahnya kasar, tampak benar-benar frustrasi. "Bocah itu memang kelewat cerdas. Kamu tahu nggak, gimana dia kabur?"

Angga menyeringai, menunggu penjelasan. "Gimana? Ceritain!"

Ello mendesah dan mulai bercerita. "Jadi, waktu itu aku udah memastikan dia sibuk sama guru privatnya, 'kan. Aku bahkan ngunci pintu kamarnya dari luar biar nggak kabur. Tapi entah gimana, dia berhasil kabur dari guru privatnya, ngebuka kunci pintu. Nggak cuma itu, dia pesen taksi online buat dirinya sendiri!"

Angga terbahak. "Hah? Bocah umur tujuh tahun? Kok bisa, supir taksinya nggak curiga?"

Ello memijat pelipisnya, masih tidak percaya dengan yang terjadi. "Ya, jadi gini. Ziel pakai akun taksi online-nya Pak Juli, asisten di rumah. Nggak tau gimana caranya dia nemuin ponsel Pak Juli dan ngeakses aplikasinya. Dia nyamar pakai topi, trus bilang ke supir kalau dia disuruh Pak Juli buat jemput saudara yang lagi nunggu di restoran. Supirnya nggak curiga, karena 'kan bocah itu ngomong lancar banget kayak orang dewasa."

Angga ternganga, nyaris nggak percaya. "Dia bener-bener jenius!"

Ello mengangguk lesu. "Iya, jenius dalam bikin hidupku jadi susah. Semalam juga gitu," keluh Ello, sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. "Aku udah keluar rumah kayak maling, ngendap-endap, tapi tetap saja ketahuan sama dia. Dan ujung-ujungnya, dia muncul di restoran waktu aku lagi makan malam sama Dira, teriak-teriak manggil aku 'Papa!' Lagi-lagi kencanku gagal total!"

Angga tertawa lebih keras kali ini, sambil menepuk bahu Ello. "Ziel memang pintar banget, sih. Dia bisa tahu kamu kabur gimana pun caranya."

Ello mengangguk lesu. "Iya, bocah itu terlalu cerdas buat umur tujuh tahun. Aku sampai nggak ngerti gimana dia bisa lolos dari guru privatnya, mencari keberadaanku, dan nyusul aku tanpa dicurigai. Dia selalu berhasil menggagalkan kencanku."

Angga menghela napas panjang, kali ini tatapannya lebih serius. "Kamu masih belum bisa move on dari Diana, ya?" tanyanya hati-hati.

Ello mendesah lelah, menunduk sambil memain-mainkan cangkir kopinya. "Ziel yang kenal Diana cuma dua tahun aja nggak bisa move on, apa kabar aku yang sudah pacaran sama dia tujuh tahun?" suaranya terdengar getir.

Angga mengangguk pelan, memahami betapa dalamnya hubungan mereka. "Diana itu orangnya memang istimewa. Mungkin itu juga yang bikin Ziel nggak bisa lupa sama dia. Dia 'kan masih kecil, tapi dia bisa merasakan kebaikan seseorang."

Ello hanya terdiam. Kenangan tentang Diana perlahan kembali membanjiri pikirannya. Bagaimana Diana selalu sabar menghadapi tingkah Ziel, senyumnya yang menenangkan, dan caranya berbicara yang selalu membuat hati terasa hangat. Tidak heran kalau Ziel, bocah cerdas tapi nakal itu, begitu terikat dengan Diana.

Angga melanjutkan dengan pelan, seolah tidak ingin menambah beban pikiran Ello, "Kamu sadar nggak sih, sifat Diana itu mirip banget sama Elin? Mungkin itu sebabnya Ziel suka sama Diana. Karena dia ngelihat sosok Elin dalam diri Diana."

Ello terdiam sejenak, merenungkan ucapan Angga. "Iya, mungkin kamu benar," gumamnya akhirnya, senyum masam tersungging di bibirnya.

Angga berkata dengan hati-hati. “Mungkin kamu juga tertarik sama Diana karena itu, 'kan? Kamu terlalu mengagumi kakakmu.”

Ello hanya tersenyum masam, merasa tersindir tetapi tidak bisa membantah. “Mungkin. Sejak orang tua kami tiada, Kak Elin yang jadi segalanya buat aku. Dia yang bangun keluarga ini dari nol, jadi aku nggak heran kalau aku nyari seseorang yang mirip dia.”

Angga menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Yah, itulah masalahnya. Kamu punya standar setinggi langit gara-gara sister complex-mu itu. Jadi jangan heran kalau Ziel pun akhirnya nggak pernah puas sama siapa pun.”

Ello hanya bisa tertawa pelan, tapi jauh di dalam hatinya, dia tahu ada kebenaran dalam kata-kata Angga.

Angga menghela napas pelan. "Kamu benar-benar akan jadi perjaka tua kalau standarmu seperti itu."

Ello tertawa kecil, tapi tawanya terdengar getir. "Entahlah, Ngga. Mungkin kau benar, mungkin salah. Yang jelas, sampai sekarang aku masih terjebak di masa lalu. Baik sama Diana, maupun sama semua yang ada di sekitarnya."

Suasana di antara mereka menjadi hening sejenak. Angga tahu, ini bukan hal mudah untuk Ello. Menyembuhkan luka kehilangan memang tidak pernah sederhana, apalagi ketika banyak kenangan yang terus menempel, sulit dilepaskan.

"Dan bocah itu," Ello menggelengkan kepala, tersenyum samar. "Ziel selalu berhasil mengingatkan aku tentang Diana, dengan caranya yang ... unik."

"Dia memang jago bikin masalah, sih," Angga menyahut dengan tawa kecil, berusaha mencairkan suasana. "Tapi aku rasa, Ziel juga nggak mau lihat kamu terluka lagi."

Ello memandangi Angga, lalu tersenyum tipis. "Mungkin kamu benar. Tapi tetap aja, kalau terus-terusan kayak gini, aku nggak bakal bisa pacaran lagi. Alamat jadi perjaka tua."

"Siapa tahu Ziel juga bakal merestui di akhirnya," canda Angga, mencoba mengangkat semangat temannya itu.

"Entahlah." Ello menghela napas panjang sebelum menceritakan lebih jauh pada Angga. “Kamu nggak akan percaya gimana Ziel selalu berhasil menggagalkan kencanku. Waktu itu di taman kota, aku lagi duduk-duduk romantis sama cewek, tiba-tiba bocah tengil itu bikin heboh dengan meledakkan petasan di dekat kita. Aku cuma bisa geleng-geleng kepala ngeliat cewek itu kabur ketakutan.”

Angga tergelak, tapi mencoba menahan tawanya. "Petasan? Serius?"

Ello mengangguk lelah. "Itu belum apa-apa. Waktu aku kencan di tepi danau, tiba-tiba cewekku ngerasa ada sesuatu yang merayap di baju dia. Dan ternyata, ada beberapa ekor ulat bulu di sana. Siapa lagi kalau bukan Ziel yang nyelipin itu di bajunya! Habis itu, ya jelas cewekku langsung kabur, teriak-teriak."

Angga nyaris tersedak kopi. "Ulat bulu?! Itu gila, sih."

Ello melanjutkan dengan wajah semakin lesu. “Kencan di kafe juga nggak kalah parah. Tiba-tiba aja Ziel muncul entah dari mana, nimbrung di meja kami. Dan, kamu tahu gimana Ziel, 'kan? Bocah itu nggak berhenti ngoceh sampai kita nggak bisa ngobrol leluasa sama sekali. Cewekku kelihatan jengah, akhirnya ya, bubar begitu aja.”

Angga tertawa terbahak-bahak, menepuk bahu Ello. "Nggak nyangka bocah segitu kecilnya bisa segitu liciknya!"

Ello tersenyum masam. “Dan semalam ... yang paling parah, dia ngaku sebagai anakku di restoran. Bisa bayangin nggak betapa malunya aku di depan cewekku? Semua orang ngeliatin kita kayak aku ini bapak nggak bertanggung jawab.”

Angga hanya bisa menggelengkan kepala, tak bisa menahan tawa di wajahnya. "Ziel itu benar-benar di luar nalar, Ell. Kalau dia terus begitu, kamu beneran bisa jadi perjaka tua!"

Angga tiba-tiba mengubah ekspresi wajahnya menjadi serius, membuat Ello sedikit bingung. "Eh, kenapa kamu nggak pacaran aja sama sesama dokter?" tanya Angga sambil menyandarkan punggungnya ke kursi, seolah itu adalah solusi paling logis. "Dijamin aman dari Ziel, deh!" lanjutnya penuh keyakinan.

Ello mengernyitkan kening, menatap temannya dengan tatapan bingung. "Kenapa sepertinya kamu yakin banget kalau pacaran sama sesama dokter bakal aman? Ziel nggak bakal ganggu?"

Angga tersenyum penuh arti, lalu menjawab dengan santai, "Karena kalau pacaran sama dokter, kencannya bisa di kamar mayat. Ziel mana mungkin berani ngeganggu di sana."

Ello yang awalnya mengernyit bingung, langsung memutar bola matanya kesal. “Sialan kamu, Angga!” serunya sambil mengumpat, tapi tak bisa menahan tawa. Pada akhirnya, mereka berdua tertawa lepas, membuat suasana yang semula lesu menjadi lebih ringan.

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

3. Tenggelam dalam Dinginnya Lautan

Ello berdiri di balkon kamarnya, menatap kosong ke arah langit malam yang pekat. Sudah setahun berlalu sejak kecelakaan yang merenggut Diana dari hidupnya, tetapi luka di hatinya masih menganga, seolah baru kemarin ia melihat kejadian tragis itu. “Bahkan aku tak bisa melihat jasadmu ... Diana ...” gumam Ello lirih, suaranya hampir tenggelam dalam angin malam yang dingin.

Ingatan Ello kembali ke masa itu, saat ia kehilangan wanita yang ia cintai. Kenangan menyakitkan itu terus menghantui, menjadi luka yang tak pernah bisa ia lupakan.

Satu tahun yang lalu ....

Langit siang itu cerah, angin pantai berhembus lembut saat Ello dan keluarganya melaju di sepanjang jalan pesisir, menuju tempat foto prewedding. Tawa kecil Ziel terdengar dari belakang, membicarakan betapa ia ingin memegang kamera saat pemotretan nanti. Diana, calon istri Ello, berada di mobil depan bersama kedua orang tuanya. Suara laut di kejauhan dan suasana tenang membuat Ello merasa hari itu akan menjadi hari yang sempurna.

Namun, semua berubah dalam sekejap.

Dari arah berlawanan, Ello melihat sebuah mobil hitam melaju dengan kecepatan yang tak wajar. Jalan berkelok di tepi tebing itu memang rawan, dan kecepatan mobil itu membuat Ello mulai merasa cemas.

"Kakak ipar, lihat itu ..." Ello menunjuk mobil hitam yang melaju kencang.

"BRAKK ...."

"BRAKK ...."

"BRAKK ...."

Sebelum Zion yang sedang mengemudi sempat merespons, dentuman keras menggema di udara. Zion spontan mengerem mendadak untuk menghentikan mobilnya. Mobil yang ditumpangi Diana tertabrak dengan keras. Ello melihatnya seolah dalam gerakan lambat. Mobil Diana terguncang, terpental ke sisi jalan, tergelincir mendekati tebing yang curam.

“Tidak!” teriak Ello, suaranya pecah penuh kepanikan.

Mobil Diana terguling sekali, dua kali, hingga akhirnya tergantung di tepi tebing. Ello bisa melihat dengan jelas dari mobil mereka, kaca mobil Diana pecah, suara logam berderak keras, dan percikan api mulai terlihat dari kap mobil yang rusak parah.

"BOOM ...."

Sebelum ada yang bisa berbuat apa-apa, suara ledakan terdengar keras, mengguncang udara sekitarnya. Api melahap seluruh mobil dalam sekejap.

"DIANA!" Ello berteriak sekuat tenaga, tapi suaranya lenyap di tengah raungan api dan asap hitam yang mengepul ke langit. Tubuhnya gemetar, kakinya seolah membeku, tak bisa bergerak.

"TANTE DIANAAAA!!" Ziel histeris dari kursi belakang. Bocah itu memukul-mukul jendela, menangis sambil berteriak, seakan memanggil nama Diana bisa membalikkan kejadian tragis itu. "TANTE DIANAAA!!!"

Elin dengan cepat menarik Ziel ke dalam pelukannya, berusaha menenangkannya meski wajahnya sendiri penuh kepanikan. Zion mencengkeram kemudi, matanya melebar, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi di depan matanya.

"BOOM ...."

Dentuman ledakan kedua terjadi, dan mobil itu akhirnya jatuh ke laut. Bunyi keras air yang memercik terdengar samar di antara desiran angin dan deburan ombak yang seolah ikut menelan semuanya.

Saat Ello keluar dari mobil, lututnya terasa lemas, nyaris tak mampu menahan tubuhnya. Setiap langkah yang ia ambil menuju tepi tebing seperti berjalan di atas beling. Napasnya memburu, dadanya terasa berat seperti ditindih batu besar. Di depannya, laut yang begitu tenang menyembunyikan kekacauan yang baru saja terjadi. Air asin yang dulu terasa menyegarkan sekarang berubah menjadi mimpi buruk. Di sanalah Diana ... lenyap, tanpa jejak.

Ello berdiri diam di tepi tebing, tatapannya terpaku pada gelombang air yang bergerak pelan. Di sana, di balik air yang berkilauan terkena cahaya matahari, di balik debur ombak yang menghantam karang, mobil Diana telah tenggelam. Ia tidak bisa melihatnya lagi, tidak bisa meraihnya. Hanya ada perasaan hampa dan dingin yang menjalar dari ujung kakinya hingga ke hatinya.

Tangannya bergetar, menyentuh dadanya seolah mencoba menahan luka yang terlalu dalam untuk dilihat dari luar. Diana ... wanita yang ia cintai selama bertahun-tahun, wanita yang seharusnya ia nikahi satu minggu lagi, yang seharusnya ia lihat berdiri dengan gaun putih di altar, sekarang hanya bayangan yang tenggelam bersama mobil itu. Mulutnya terbuka, ingin berteriak, ingin memanggil nama Diana, tapi suaranya tersangkut di tenggorokan. Hanya hembusan napas berat yang keluar, patah dan putus asa.

“Ello .…” suara Zion terdengar pelan dari belakang, namun tak menyentuh apa-apa di dalam dirinya.

Zion menghampirinya perlahan, melihat betapa hancurnya adik iparnya itu. Zion tahu, tidak ada kata-kata yang bisa meredakan kesedihan ini. Ia menaruh tangan di bahu Ello, menepuknya pelan, mencoba memberikan sedikit kehangatan di tengah kehancuran yang terjadi.

“Diana ... dia ....” Ello tak mampu menyelesaikan kalimatnya. Tenggorokannya tercekat, seluruh tubuhnya bergetar. Air matanya tak terbendung lagi, mengalir deras di pipinya, saat ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan erangan kesakitan yang mendesak keluar. Kakinya terasa lemas, ia nyaris roboh di tempat, namun Zion menangkap tubuhnya tepat waktu.

"Ello, aku di sini ..." Zion berusaha menenangkannya, meski ia sendiri kesulitan menyembunyikan kesedihannya. Tangan Zion mencengkeram bahu Ello lebih erat, menahannya agar tetap berdiri.

"Tolong ... katakan kalau ini mimpi, Kak," suara Ello lirih, pecah, seolah berharap semua ini hanyalah ilusi buruk. "Katakan kalau dia masih hidup. Katakan kalau—"

Zion menarik napas panjang, menyakitkan rasanya harus mengucapkan kenyataan. “Aku… aku tidak tahu, El. Aku tidak tahu.”

Ello hanya bisa menatap kosong ke arah laut. Hatinya hancur, jiwanya kosong. Tiba-tiba segalanya terasa tidak berarti lagi. Diana hilang, dan bersamanya, separuh dari hidup Ello juga tenggelam ke dalam kegelapan laut yang dingin.

Ello hanya berdiri di sana, hatinya hancur, tak percaya bahwa dalam hitungan detik, hidupnya berubah total. Suara tangisan Ziel dan erangan angin pantai yang dingin seperti terus berputar di kepala Ello, menghantui.

Hanya suara laut yang terus bergemuruh, menyembunyikan Diana di bawah permukaannya, meninggalkan Ello dalam kesunyian yang menusuk.

Sementara itu, di dalam mobil, Elin berjuang menenangkan Ziel yang masih menangis histeris. Tubuh kecilnya gemetar, suaranya serak memanggil, "Tante Diana! Tante Diana!" Ziel meronta, berusaha membuka pintu mobil dan keluar. Tangannya yang mungil berusaha meraih gagang pintu, namun Elin dengan lembut menahan pergelangan tangannya.

“Ziel, tidak, Sayang … jangan keluar,” suara Elin terdengar tegas, tapi lembut. Ia memeluk Ziel erat, mencoba menenangkan bocah itu yang berusaha keras melepaskan diri dari pelukannya. "Dengerin Mama, kita harus tetap di sini. Bahaya di luar," bisiknya, sambil membelai rambut putranya dengan cemas.

“Tapi, Tante Diana!” Ziel memekik, matanya yang basah menatap penuh kebingungan ke arah tebing. "Aku harus lihat! Tante Diana ada di sana!" Suara tangisnya semakin pecah, seruan putus asanya menggema di dalam mobil.

Elin memeluk Ziel lebih erat, menahan air matanya sendiri. Hatinya terasa teriris setiap kali Ziel memanggil nama Diana. Ia tahu betapa dekatnya Ziel dengan Diana, betapa putranya mencintai dan mengagumi wanita itu. Mendengar jeritan Ziel membuat dadanya terasa semakin sesak. Namun, ia harus tetap kuat untuk Ziel, meski hatinya sendiri terasa berat.

“Ziel, dengarin Mama, ya … Tante Diana akan baik-baik saja,” Elin mencoba berkata selembut mungkin, meski suaranya bergetar. “Papa dan Om Ello sedang mencari tahu. Kita harus menunggu di sini. Jangan khawatir, ya.”

Ziel masih terisak di pelukan Elin, tetapi perlahan, tenaganya mulai melemah. Elin terus mengusap punggung bocah itu, mencium puncak kepalanya berkali-kali, mencoba menenangkan. Meski di dalam dirinya sendiri, ketakutan dan kekhawatiran merajalela, ia tak boleh memperlihatkan itu di hadapan Ziel.

“Kita akan menemukan Tante Diana, Ziel,” bisik Elin lembut, meski di dalam hatinya ia sendiri belum yakin, atau bahkan ... tidak yakin.

Ziel sangat menyayangi Diana karena ia sering menghabiskan waktu bermain bersama Diana dan Ello. Diana selalu menyenangkan dan sabar, sering menemani mereka bertiga di berbagai kesempatan. Kehadiran Ziel di antara mereka bahkan membuat hubungan Diana dan Ello semakin dekat, dengan ulah jailnya yang menghidupkan suasana. Momen-momen itulah yang membuat Ziel merasa Diana begitu spesial, bahkan seperti sosok ibu kedua baginya.

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!