Terdengar suara napas mendesak nan tersengal.
“IBU!” teriakan penuh kesedihan dilayangkan seorang anak kecil yang terduduk lemah. Air mata terlihat mengalir di wajah polosnya, bersama debu dan jelaga yang mengotori.
Api berkobar terang di sana-sini, membumi hanguskan apa yang dilalapnya. Tak menyisakan apa pun kecuali abu yang segera menghilang setelah tertutup angin.
Ledakan demi ledakan terjadi, menyebabkan tanah berguncang, termasuk tempat Rion, anak itu berada saat ini. Tepatnya di jalur bawah tanah yang telah digunakan anak-anak lain yang telah lebih dulu melarikan diri.
Siapa sangka, pada hari yang berjalan normal seperti biasa, bencana ini hadir. Dari celah kecil yang tercipta di antara puing-puing bangunan, Rion melihat bagaimana ibunya sedang menghadapi orang-orang yang menyebabkan desanya luluh lantak.
Desa yang selama ini berjalan damai dengan cepat rata dengan tanah, bersama banyaknya orang yang telah tewas. Bahkan jika selama ini Rion dijauhi penduduk desa yang lain, entah kenapa dia tetap tak rela akan bagaimana desanya dihancurkan.
Dengan baju besi kokoh yang berpasangan dengan pedang, tombak , busur, ataupun tongkat sihir di tangan, pasukan manusia itu terus memaksakan jalan. Menegakkan bendera merah yang disulam dengan benang emas dengan lambang singa yang mereka bawa, lambang keagungan yang mereka banggakan.
Kemilau cahaya sihir ungu muda terlihat terbentuk di tangan ibu Rion, kemilau indah tapi menghancurkan bagi musuhnya. Bersama dengan angin yang membuat rambutnya tersapu, menjadikannya sosok kudus yang menahan laju para manusia itu.
“I-Ibu!” Rion kembali berusaha memanggil ibunya, meski tenggorokannya kering hingga menyebabkan rasa sakit yang menyertai saat dia bersuara, hal itu tak menghalangi Rion untuk terus memanggil ibunya.
Asap yang terus dihirup Rion menyebabkan dadanya terasa sesak. Namun, rasa sakit yang menjalar di tubuhnya tidak Rion ketahui penyebabnya, entah itu dikarenakan paru-parunya yang sudah tak sanggup menahan tebalnya asap, atau karena hati Rion yang terasa sakit akan situasinya saat ini.
Rion mencoba mengulurkan tangannya, mencoba meraih tangan ibunya. Namun, usaha itu percuma dengan tangan Rion yang serasa tertolak oleh kekuatan lain, yaitu kemampuan khusus ibunya yang telah terlebih dahulu dipasangkan demi menjaga bahwa pasukan manusia itu tak akan dapat mengejar orang-orang yang telah melarikan diri.
Kemampuan khusus bernama [Force Field], yaitu kemampuan khusus yang dapat memanipulasi medan gaya khusus, baik itu energi maupun benda fisik.
Rion menggedor-gedor penghalang medan gaya yang menghalangi, berusaha menghancurkannya meski tahu itu percuma... dengan kekuatan lemahnya... semua usahanya itu, percuma. Air mata berlinang, napas yang terisak, hingga setitik air matanya jatuh, tetapi tak meninggalkan bekas apa pun dengan tanah yang lembab.
Rion berusaha menjaga kepalanya tetap tegak, meski tubuhnya sudah terasa lemah letih akibat bencana ini, dia tetap berada di tempat ini. Dengan secercah cahaya harapan bahwa dirinya dapat menyelamatkan diri bersama sang ibu, dia akan terus menantikan saat di mana ibunya berhasil melepaskan diri dari jeratan orang-orang yang mengepungnya.
Lintasan energi terlihat menyapu sekitar, berasal dari teknik pedang, tombak, busur, maupun sihir yang dilepaskan demi menahan ibu Rion. Tanah tidaklah rata lagi, tanah tempat berpijak kini menjadi terangkat dan tenggelam tak menentu, akibat penggunaan kemampuan medan gaya milik ibu Rion, kemampuan khusus yang membuatnya berhasil bertahan dari gempuran serangan-serangan yang diarahkan padanya selama ini.
Ibu Rion menggigit bibirnya, dengan situasinya saat ini dia tak kan dapat bertahan lebih jauh lagi. Meski dia membunuh lagi dan lagi musuh yang ada di depannya terus berdatangan bagai gelombang tanpa henti, seolah hanya ingin menguras stamina miliknya.
Napasnya mulai terengah-engah, keringat dingin yang membasahi tubuh serta rasa pusing yang menyertai. Menandakan bahwa di tubuhnya tak ada lagi mana yang tersisa, bahkan jika dia meminjam mana dari sekitarnya, dia harus memaksa tubuh yang hampir mencapai batasnya.
Suara teriakan parau terdengar lirih sampai ke telinganya yang memiliki tingkat kepekaan suara melebihi para manusia yang menjadi musuhnya, suara yang sangat dia ketahui. Memanfaatkan hindaran yang dilakukannya, ibu Rion melirik ke arah jalur pelarian yang digunakan, berharap dugaannya itu salah.
Namun, naas, kemungkinan terburuk yang ada dalam kepalanya lah yang terjadi. Anak yang sangat dia sayangi, Rion masih berada di tempat itu, dengan wajah penuh kotoran dan air mata berlinang, membuat hatinya terasa disayat oleh rasa pilu yang menggerayangi.
Dia memahami betul apa yang diinginkan oleh anaknya ini, bahkan jika suara lemah itu telah tertimbun suara kerasnya pertempuran di sekitarnya, dia paham apa yang diinginkan oleh anaknya.
‘Dasar anak manja ...,’ batinnya tak mampu menahan keluh, meski sebuah senyum terbentuk di bibirnya. Namun, bahkan jika dia juga ingin hal itu terjadi, dia tidak bisa. ‘Maaf Rion.’
Cahaya energi mulai terkumpul di telapak tangannya, cahaya ungu muda kemampuan khusus [Force Field] dan cahaya biru muda dari sihir elemen air yang dia kuasai.
Kedua cahaya itu saling berpadu, mendukung sifat satu sama lain. Meskipun sifat sihir elemen air sebenarnya bukanlah tipe ofensif, tapi dengan dukungan kemampuan [Force Field] yang menyokongnya, penggunaan untuk tujuan serangan dengan kekuatan mumpuni menjadi mungkin.
Butiran-butiran air mengambang di sekitar ibu Rion, sebelum berubah menjadi bilah-bilah air tajam berkompresi tinggi. Tidak ada satu pun rapalkan mantra yang terdengar, hal yang biasa dilakukan sebelum penggunaan sihir, teknik pertempuran, penggunaan kemampuan khusus, maupun kekuatan spiritual, menandakan tingginya tingkat penguasaan ibu Rion.
Bilah air melaju, memotong dan menangkis serangan yang dilancarkan. Dengan indah menari-nari di medan pertempuran, memotong, berbelok, kemudian kembali ke sisi ibu Rion, tak menghilang sebagaimana mestinya. Bersama percikan darah merah menodai tanah, aroma amis darah terbawa, semerbak di udara.
Gelombang air pasang dari [Water Magic: Great Wave], menerjang pasukan manusia itu, menghalangi mereka membuat formasi demi melawan balik ibu Rion.
Pasukan kehilangan formasi yang diusung demi menyelamatkan diri, membuat ibu Rion memiliki ruang bernapas sejenak.
Namun, itu tak berlangsung lama, suara langkah kuda terdengar, bersama seorang ksatria yang menampakkan diri dengan aura kebanggaan yang terpancar darinya. Dengan wajah rupawan, rambut pirangnya yang terpapar oleh matahari, serta pandangan mata biru yang tajam, membuat orang-orang yang tak dapat memalingkan perhatian mereka darinya.
“Tidak kusangka di Desa kecil semacam ini ada seorang kuat yang bersembunyi,” ucapnya setelah menyapu pandangan ke sekeliling, melihat pemandangan akan tumpukan mayat prajurit yang tewas berjatuhan.
Orang itu turun dari kuda yang dinaikinya. Saat dia turun pun, postur yang dia ambil tak memberi celah bagi lawan untuk menyerang. Dia mengeluarkan pedang dari sarungnya, pedang dengan kilau tajam, bersama energi yang memancarkan cahaya keemasan yang indah.
Ksatria itu mengatur napasnya sejenak. Mata yang setajam elang mulai diperlihatkan, bersamaan dengan keseriusan yang ditunjukkannya, aura yang berat nan menekan mulai dirasakan oleh orang-orang yang berada di sekitarnya.
Dengan sebuah hembusan napas yang dikeluarkan ksatria itu, lingkungan di sekiranya menjadi sunyi tenang.
“Indent.”
Dengan itu, gelombang energi berbentuk bilah-bilah pedang kuat dilepaskan. Dalam skala yang cukup luas untuk dapat menyisir ke sekitar, dengan cahaya kemilau keemasan yang dibawanya, kehancuran menakutkan terjadi.
Dinding dari tanah terbentuk di depan ibu Rion, meski dia tidak dapat menggunakan sihir selain sihir air. Berkat kemampuan khusus yang dimilikinya, dia dapat bertahan dengan membentuk perisai dari benda-benda di sekitarnya.
Namun, hal yang membuatnya terkejut adalah kecepatan ksatria itu melakukan rapalan mantra. Kecepatan ini sangat jauh berbeda dari apa yang pernah dia lihat, tapi dengan sedikit pengalamannya di masa lalu, dia menyesuaikan diri dengan cepat.
“Ohh, dia dapat bertahan dari itu?” ucap ksatria itu yang tak mengharapkan hal ini terjadi. Beberapa saat kemudian dia mengangguk, sebelum bergumam, “Hm, dia membuktikan kemampuan yang dimilikinya, dia adalah orang yang pantas untuk dapat menyebut namaku.”
Ksatria itu menancapkan pedangnya di tanah, sembari mengambil posisi tubuh siap khas apa yang dilakukan seorang ksatria di istana.
“Maaf untuk sebelumnya karena tak mengenakan diri. Perkenalkan saya dari Korps Arcanum, Pasukan Ekspedisi Eugary Empire, Raymond! Nama keluargaku tak layak untuk disebutkan, dengan ini mengucapkan nama ini bersumpah akan mengalahkanmu!”
“Oo ...!” sorak-sorai dari para prajurit memenuhi medan pertempuran begitu deklarasi dilakukan.
Meski ibu Rion tak mengetahui maksud dari apa yang dilakukan ksatria yang mendeklarasikan diri sebagai Raymond itu. Akan tetapi, melihat bahwa moral pasukan yang sebelumnya anjlok naik dengan cepat, dia tahu pasti ini bukanlah hal yang baik baginya.
Dia melirik jalan yang seharusnya digunakan oleh orang untuk menyelamatkan diri, berharap-harap cemas bahwa Rion segera kabur. Namun, anak manjanya itu masihlah berada di sana.
Sembari memikirkan cara agar anaknya dapat dipaksanya kabur, ibu Rion memulai serangan. Gelembung-gelembung air segera terbentuk di sekitarnya, sebelum melancarkan serangan dengan ketipisan lebih tipis dari jarum dan kompresi yang sangat padat berkat kemampuan khusus yang dia miliki.
Lintasan air memotong apa yang dilewatinya menjadi dua tanpa banyak kesulitan, tapi melihat Raymond yang masih bersikap tenang. Ibu Rion sama sekali tak dapat melonggarkan penjagaannya meski tubuhnya telah mendekati batasnya.
“Oo Blessed of The Gale Force,” Angin bertiup kencang saat Raymond mulai bergerak. Bersama dengan elemen angin yang menyelimuti tubuh, menyebabkan kecepatannya bertambah cepat.
Berusaha menghindari serangan yang dilancarkan ibu Rion, Raymond memendekkan jarak di antara mereka. Bagaimanapun, kelemahan fatal yang lumrahnya dimiliki seorang penyihir adalah pertarungan jarak dekat, dan dia berusaha memanfaatkan celah itu.
Cahaya keemasan pada pedang di tangan Raymond bercahaya semakin terang, saat dia memuat lebih banyak mana pada pedangnya. “Falls Down.”
Di belakang Raymond, sembilan pedang yang sepenuhnya terbuat dari energi bercahaya terang. Bersamaan dengan ayunan yang menciptakan bilah energi sepanjang lintasannya, pedang-pedang itu meluncur dengan kecepatan yang tak kan dapat ditangkap oleh mata orang-orang normal.
Tanah di sekitar ibu Rion tercongkel, dengan bongkahan-bongkahan batu yang kini mengapung, berusaha menahan serangan yang datang.
Segera dentuman demi dentuman menggelegar terdengar, bersama cahaya ledakan energi yang membanjiri mata.
Awan debu terbentuk, bersama dengan batu-batu kecil yang berjatuhan. Tak menyia-nyiakan momentum yang dimilikinya, Raymond berusaha mempersempit jarak dengan lawannya dengan cepat.
Akan tetapi, selang beberapa langkah yang diambilnya bilah-bilah tajam menghujani. Menyingkap awan debu yang ada, dengan aura berwarna ungu yang menyelimuti tubuhnya, ibu Rion memaksakan diri untuk dapat bertahan.
Ini adalah salah satu bentuk penggunaan [Force Field], yang mana memaksa energi yang ada di sekitar untuk dipasok ke tubuh pengguna, kemudian diubah menjadi sumber energi yang dapat diterima makhluk hidup, mana. Dengan itu, pemulihan kondisi fisik ibu Rion mengalami peningkatan secara eksplosif.
Akan tetapi, di sisi lain rasa sakit yang teramat, dari beban sel tubuh yang hancur karena tak mampu menahan pasokan mana yang berlebih, tapi pemulihan tubuh yang meningkat dengan cepat meregenerasi sel sebelum hancur sepenuhnya.
Sebelum Raymond dapat pulih dari keterkejutannya, sebab serangan yang dapat dia katakan salah satu yang paling menghancurkan dari teknik-teknik yang dimilikinya, dapat ditahan tanpa cedera fisik yang terlihat.
Raymond sedikit memasang senyum. “Huh ... dengan ini aku menemukan pejuang yang layak. Ayo kita tentukan siapa yang membel sang kebenaran yang kita yakini!”
Meski dapat mendengar apa yang Raymond katakan, ibu Rion tak ingin memberikan respons dalam bentuk kata apa pun. Sebaliknya, dia dengan cepat melancarkan serangan lain, berharap anaknya yang bodoh itu akan paham dengan situasi yang dialaminya sekarang dan kabur segera.
Pedang yang berayun dengan cepat, bebatuan terapung yang menjadi perisai, serta serangan sihir air berkompresi tinggi yang sesekali dilepaskan terus berlangsung. Dengan lingkungan yang kini telah rusak parah tak menyisakan bentuk apa pun yang dapat membuktikan bahwa sebuah desa pernah berdiri di sini sebelumnya.
Meski begitu ada satu arah yang menderita kerusakan paling sedikit. Benar, itu adalah arah di mana jalan pelarian itu berada, dengan mati-matian, ibu Rion mengarahkan arah serangan untuk menjauh dari arah itu. Namun, ibu Rion memperkirakan bahwa tinggal menunggu waktu saja sebelum lawannya menemukan hal yang janggal, bagaimanapun lawannya bukanlah makhluk tanpa otak.
“Apa Cuma ini yang kemampuanmu?” tanya Raymond dengan nada yang terdengar kecewa. “Bagaimana kau dapat mempertahankan kebenaran yang kau yakini dengan kekuatan selemah ini?!”
“Diamlah.”
“Huh ... kalau begitu akan kuakhiri.”
“....”
Melihat bahwa lawannya sama sekali tak dapat melancarkan serangan yang bisa membuktikan tekadnya. Sebuah desahan keluar dari mulut Raymond, sepertinya dia berharap terlalu banyak dari musuhnya kali ini.
“Jadi Cuma sebatas ini, kah?” Raymond mengambil sikap, pedangnya terangkat tinggi-tinggi.
“Berbanggalah bahwa aku menggunakan teknik ini.” Bersama dengan kata-kata arogan yang dia ucapkan. Aliran energi di sekitar menjadi liar.
“Emperor Swordmanship’s: ...,” Suhu di sekitar telah naik beberapa derajat bersama dengan rapalan mantra yang dilakukan, bayangan energi yang menunjukkan beribu bilah pedang yang siap mengarah pada lawannya terbentuk. “... 9th Style, The Qonquest!”
Bayangan energi itu selesai terwujud dengan kekuatan yang menghancurkan, beban berat terasa menekan pundak ibu Rion. Namun, semua hal itu diabaikannya, dia berlari ke tempat di mana Rion masih berada.
“Force Field: Force of Absolut Fortress!” teriaknya merapal mantra, berusaha mewujudkan bentuk kemampuan khususnya dengan lebih cepat.
Tidak seperti tampilan tenang yang selama ini dia pertahankan, rasa cemas, peduli, dan kesedihan dengan jelas terdengar dari nada yang dia keluarkan.
Cahaya ungu terlihat, berkelap-kelip memenuhi sekelilingnya. Cahaya saling terhubung, membentuk penghalang kokoh tepat di hadapannya.
Indah. Cahaya penuh keindahan memenuhi langit, membuat orang yang melihat panorama ini menjadi kosong sejenak, termenung akan keindahannya.
Zrat Zratt Zrattt Zratttt
Luka demi luka diderita ibu Rion. Seluruh pasokan mana yang sebelumnya digunakan untuk meregenerasi luka-lukanya, kini dia fokuskan untuk membangun penghalang. Dengan demikian, selnya yang hancur tak lagi dapat beregenerasi.
“IBU?!” Rion berteriak saat melihat kondisi ibunya. Luka kini memenuhi tubuh ibunya, membuat tubuhnya kini bersimbah darah segar.
“Anak bodoh ....”
Crak Crak Crak Crak
Retakan mulai muncul di penghalang yang diciptakan ibu Rion.
Mata ibu Rion sedikit merah, berusaha menahan emosi yang kini membanjirinya, dia berucap lirih, “Rion, kau tahu kan sekarang ... ibu tak dapat terus bersama-“
“Tidak! Jika Ibu tidak ada ... hiks ... jika Ibu tidak ada ... aku—“
“Dengarkan Ibu kali ini saja!”
“....” Rion diam. Air matanya tidak mau berhenti, bahkan jika tidak mau, dia sadar, mungkin ini adalah perkataan terakhir ibunya.
“Bahkan jika ibu tak ada ... Rion ....”
BOOOMMM!
Ledakan terjadi, memekakkan telinga bagi siapa pun yang mendengarnya. Namun di telinga Rion hanya ada satu suara yang tergiang. “... HIDUPLAH!”
Gelap. Di tempat ini tidak ada sedikit pun cahaya yang dapat Rion lihat. Namun, dengan darah elf yang masih mengalir di nadinya, matanya dapat mengatasi masalah ini.
Air mata telah mengering dari wajah Rion. Namun, dengan mata yang masih membengkak serta bekas air mata yang dapat terlihat jelas di pipi, terlihat bahwa suasana hatinya buruk. Kepedihan menggerogoti, bersama rasa sakit yang tak berkesudahan yang ada di dalam dadanya, membuat Rion merasa telah jatuh ke titik paling bawah dalam hidupnya.
Entah sudah berapa lama dia telah berjalan. Akibat ledakan yang terjadi sebelumnya, Rion kehilangan kesadarannya.
Akan tetapi, Rion dapatlah mengingat dengan jelas apa yang terjadi saat itu. Ibunya membangun penghalang lain yang mengelilinya, sembari mendorongnya dengan kekuatan penuh, membuatnya dapat menjauh dari desa asalnya segera.
“IBU ...,” Meski Rion ingin menitikkan air mata, tapi air matanya telah kering tak bersisa. Membuatnya memendam kesedihan mendalam ini tanpa bentuk nyata. Melihat jalan gelap di depannya dia bergumam, “... Aku pergi ....”
Srak Srak Srak Srak
Beban berat Rion alami dalam setiap langkah yang diambilnya. Meski dia tahu bahwa semua yang terjadi adalah hal yang tak bisa diubah, tapi penyesalan menghantui pikirannya.
Bahkan dulu, saat dirinya dilatih sihir oleh ibunya. Rion mengeluh, bersikap manja, dan akhirnya menyerah.
Jika, jika saja saat itu dia tidak bersikap seperti itu. Mungkin dia dapat membantu ibunya dalam pertempuran yang terjadi, mungkin dia dapat meringankan beban yang ibunya pikul. Meski sedikit saja, mungkin tak lebih dari setitik debu dalam benturan kekuatan yang terjadi sebelumnya, dia dapatlah ikut membantu.
“Uhh ... la—“ Rion menghentikan apa yang ingin diucapkannya, digantikan dengan sebuah senyum kecut. Kini Rion merasa bahwa dirinya benar-benar tidak berguna. ‘Dalam situasinya sekarang ini pun, aku masih ingin mengeluh tentang rasa lapar dan haus yang hinggap. ‘
“Seharusnya aku mati saja ...,” ucapnya, saat berniat membenturkan kepalanya ke dinding sampai dirinya tewas.
Namun, kata terakhir yang diucapkan ibunya membuat Rion menghentikan niatnya.
‘Hiduplah’
Raut wajah Rion tak karuan, kini dia memahami betapa berat beban yang ada dalam sepatah kata tersebut.
Menatap jalan gelap nan berliku, Rion kembali melangkah. Bentuk jalur pelarian yang mirip labirin demi menghindari resiko terkejar oleh musuh kini membingungkan bagi Rion.
Walaupun dia hafal peta jalur pelarian yang telah diberitahukan ibunya berkali-kali. Namun, apa yang terjadi sebelumnya membuat Rion tak tahu posisinya secara pasti. Bersama kelelahan baik fisik maupun mental yang telah menumpuk, Rion pun tak dapat berpikir dengan baik.
Menggunakan dinding terowongan untuk menopang tubuhnya. Rion menyusuri jalan dengan perlahan, berusaha agar dirinya tak tersandung ataupun tergelincir dengan tanah yang mulai dirasa lembab.
Saat secuil cahaya mulai terlihat di matanya, Rion berusaha mempercepat langkah.
Melihat bahwa ini benarlah salah satu jalan keluar. Rion bergumam sedih, “Ibuku memanglah orang tua terbaik ....”
Bahkan dalam situasi genting itu, dia tak serta merta mendorong Rion menjauh tanpa arah. Ibu Rion tetaplah memusatkan perhatiannya pada Rion demi mendorongnya ke jalur yang benar.
Bruk
Rion tersungkur, mengistirahatkan diri yang tak mampu menahan beban ini lebih lama lagi. Namun, raut wajah Rion menunjukkan rasa sakit yang teramat.
Dia berucap lirih, “Ibu ....”
***
Saat mata Rion terbuka kembali dengan berat, matanya menyipit seketika, berusaha beradaptasi dengan cahaya terang yang tiba-tiba membanjiri. Dengan matahari yang telah meninggi, Rion terbangun dari tidur, sebuah pengalaman tidur yang dapat dikatakan paling buruk baginya.
Bahkan dalam mimpinya bencana itu diputar kembali, lagi, lagi, dan lagi. Berulang kali dengan adegan yang sama, adegan yang mana dirinya tak dapat berbuat apa pun. Hanya dapat menyaksikan bagaimana akhir riwayat Ibunya.
“Itu semua bukan mimpi, ya ....”
Rion berusaha menutupi sinar matahari dengan tangannya. ‘Hal itu nyata, bencana itu benar-benar terjadi, ibu ... mungkin telah tiada.’
Fakta yang jelas, sangat jelas, tapi, dia masihlah berharap bahwa semua itu hanya mimpi buruk belaka. Begitu dia terbangun, Rion berharap sang ibu berada di sampingnya seperti yang terjadi selama ini. Namun, semua itu nyata terjadi.
Rion menghembuskan napas panjang. Mengatur dalam-dalam di benaknya untuk berusaha memenuhi perkataan terakhir ibunya.
Bangun dari tempatnya berada, Rion menatap hutan belantara yang ada di depan, tempat yang sama sekali tak dikenalnya. Rasa takut sedikit menghinggapi saat dia mulai melangkah, dengan satu langkah ini, perjalanannya untuk dapat hidup tanpa ibunya telah dimulai.
Suara dedaunan yang saling bergesekkan, serta suara yang ditimbulkan oleh hewan-hewan kecil mengisi telinga Rion. Suara yang terdengar asing baginya, walaupun ini adalah suara yang selalu didengarnya.
Rion menoleh ke satu arah saat telinganya menangkap sebuah suara. Suara yang dalam waktu singkat ini telah sangat dikenalnya, suara sebuah pertarungan!
Ledakan demi ledakan ditangkap telinga, membuat Rion tanpa sadar melangkah ke sumber suara. Berpikiran bahwa itu berasal dari ibunya, walau itu adalah ketidakmungkinan.
Boom!
Ledakan tiba-tiba terjadi di dekat tempat Rion berada, dia terhempas jauh, dengan darah yang keluar dari luka yang timbul.
Seekor rubah putih dengan sembilan ekor menampakkan diri di depan mata Rion, tak lama berselang, sebelas orang manusia muncul dengan pakaian jubah seragam. Terlihat para manusia itu mengucapkan sesuatu, tapi dengan jarak yang cukup jauh dengan tempat Rion berada, dia tak dapat mendengarnya.
Cahaya yang berasal dari sihir mulai terlihat, tapi dengan segera rubah putih sembilan ekor itu menyerang secara fisik.
Angin bertiup kencang bersama ledakan yang memorak-porandakan sekitar. Rion membalikkan tubuhnya, berlari menjauh dari tempat ini secepatnya ditemani dengan ledakan dari pertempuran yang terjadi di sekelilingnya.
Dengan luka yang diderita, Rion berlari dengan tertatih-tatih. Merapatkan giginya, Rion berusaha menahan rasa sakit yang dialami.
“Aku harus memenuhi keinginan Ibu ... aku harus hidup!”
BOOM!
Ledakan yang jauh lebih keras dari sebelumnya terjadi, membuat Rion terhempas lebih jauh lagi bersama dengan luka-luka baru yang muncul.
Pandangan Rion mulai buram, dia hanya menatap ke depan saat mencoba melangkahkan kakinya lebih cepat lagi. Suara-suara yang mengisi pendengarannya perlahan menghilang, bersama dia yang tak peduli lagi dengan lingkungan sekitar.
‘Lari, lari, lari, lari!’
Pemikiran itu mengisi benak Rion, jika dia ingin memenuhi harapan ibunya maka pertama dia harus bisa lari dari situasi ini, dengan itu dia dapatlah hidup.
Entah keberuntungan dalam kemalangan atau apa, suara pertarungan sepertinya terdengar menjauh. Tidaklah jelas baginya dengan telinga yang tidak lagi dapat menangkap suara dengan fokus.
“Aku ... selamat?” Sebuah pertanyaan dilayangkan saat Rion tersadar, tapi tak ada yang dapat menjawabnya.
Rion menggerakkan tubuhnya, tapi rasa sakit segera menyertai. Sembari berusaha menahan rasa sakit itu, Rion mulai melangkah. Dengan mencari buah-buahan liar yang dapat dimakannya, stamina Rion mulai pulih.
“Magic: Heal.”
Sedikit banyak luka Rion pulih dengan cahaya hijau yang kini menyelimuti lukanya. Ini adalah satu-satunya sihir yang dia pelajari, itu pun dengan sangat buruk sehingga efek pemulihannya terbilang sangat lemah.
“Fou ...,” Sebuah suara lemah tiba-tiba terdengar, menarik perhatian Rion.
Rion menajamkan telinga, berusaha mendengar suara itu lagi tapi suara itu tidak terdengar lagi.
“Apa aku salah dengar?”
“Fou ....”
Rion mengangguk, dia tidaklah salah dengar. Bangkit dari tempatnya, dia mencari sumber suara tersebut sampai dia menemukannya. Di balik semak belukar, seekor rubah Seputih salju terlihat terkapar lemah dengan luka yang memenuhi tubuhnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!