Sehelai daun lepas dari rantingnya, terbang bebas melayang terombang-ambing angin hingga pada akhirnya menyentuh tanah.
Pandangan wanita tua bermula dari daun tersebut lalu menyusur ke dinding kokoh berwarna putih, merambat naik melewati jendela pertama dan kedua yang tertutup. Kemudian netranya beralih ke jendela paling atas. Jendela lantai tiga benteng tempatnya bekerja. Di sana, Mariana terbiasa berdiri melihat cahaya mentari pagi di balik bukit.
Wanita tua itu melambaikan tangannya ke atas pada anak majikannya.
“Pagi, Non Ana.”
Mariana menekuk pandangannya, turun ke bawah melihat pengasuhnya. Di tangannya nampak menenteng keranjang kecil yang terbuat dari rotan. Gadis itu tersenyum. Lalu lenyap dari bingkai jendela.
Tak beberapa lama, pintu di hadapannya terbuka.
“Yati, je bent tien minuten te laat.”
(Yati, kau terlambat sepuluh menit)
Suara berat penjaga Belanda menyambut kedatangan Yati. Wajah penjaga itu begitu tidak mengenakan jika terlalu lama dipandang. Sehingga perempuan tua itu tak pernah mau melihat serdadu-serdadu itu.
“Sorry, ik moest voor mijn zoon zorgen die ziek was.” (Maaf, tadi aku harus mengurus anakku yang sedang sakit).
Yati kemudian berlalu. Berjalan menaiki tangga menuju kamar anak asuhnya. Pelan-pelan kaki tuanya menapaki satu persatu anak tangga.
“Bu Yati, panjenengan sampun dahar?”
(Bu Yati, kau sudah makan?)
Wanita Belanda yang sedang menyantap sarapan bersama suaminya menyapa. Dialah ibu dari Non Ana. Satu lagi Wong Londo yang baik hati. Selain itu, ia juga bisa berbahasa jawa dan sangat menghormati orang pribumi.
“Sampun. Kulo badhe teng kamaripun Non Mariana.”
(Sudah. Saya hendak ke kamarnya Non Mariana).
Majikannya itupun mengangguk. Ia tahu anak dan pengasuhnya punya ikatan batin melebihi dirinya sebagai ibu. Sehingga setiap pagi ketika Yati baru datang dan sebelum memulai pekerjaan, ia pasti memeluk Mariana dulu. Betapa sayang Yati pada anak yang sudah diasuhnya dari kecil. Diam-diam wanita Belanda itu terharu dalam hatinya.
“Jangan terlalu baik dengan pribumi, Ross,” kata suami Rossea yang berkumis tebal dan melengkung. Pria yang bulu-bulu di kepalanya semuanya berwarna pirang itu ialah Residen Madiun.
Seantero Madiun siapa yang tak kenal nama J.J. Donner. Residen yang sangat keras dalam memerintah. Namun, dibalik sikap kerasnya, ia punya tiga perempuan yang bijak di kehidupannya supaya tidak semena-mena dengan orang-orang pribumi.
“Jangan begitu, Bu Yati sudah aku anggap sebagai ibuku. Beliau juga sudah merawat Maria dari kecil ‘kan?” jawab Rossea sembari memotong daging dengan pisau dan garpu.
Donner belum menyahut sebab mulutnya tengah mengunyah makanan sampai habis tertelan. Hanya mengangguk dulu. Setelah meneguk air putih, dia langsung menjawab perkataan istrinya itu.
“Mengapa kau begitu baik dengan orang-orang pribumi?” Donner menatap tajam Rossea setelah meletakkan gelas.
“Karena setengah darahku adalah darah pribumi,” sahut Rossea. Ia menghentikan tangannya mengiris daging stik, tatapannya menyambut tatapan suami.
Donner tertawa jengah. Seakan meremehkan jawaban istri. Ia bangkit lalu meraih jas putih yang menyampir di sudut kamarnya.
Setelah jas itu dikenakan, Donner menghampiri istri. Ia tepuk pundak istri lalu berbisik, “Kau bangga dengan darah campuran orang-orang pribumi?”
Seketika Rossea marah. Nafasnya mendadak sesak. Otaknya dengan cepat mendidih. Tangannya benar-benar ingin menampar suami.
“Jangan pernah menghina orang lain,” geram Rossea. Tangannya mengepal dan menghantamkannya ke meja makan. Gelas dan piring di atasnya ikut bergetar dan menimbulkan kegaduhan.
Donner tak peduli dengan kemarahan Rossea. Ia pergi begitu saja. Wanita itu beranjak dari duduknya dengan diliputi rasa jengkel. Lelaki itu sama sekali tak punya perasaan, malah dengan cepat ia menuruni anak tangga meninggalkan istri. Sehingga Rossea berteriak agar suami mempertanggungjawabkan perkataannya. Perkataan Donner belum ia jawab.
“Donner, waar ga je heen?”
(Donner, kau mau pergi kemana?)
“Sudah, Mamah! Biarkan ayah pergi!” Suara lembut lalu terdengar dari belakang mencegah amarah Rossea. “Ayah memang begitu orangnya.”
“Hiks ... hiks ....”
Rossea menangis. Tak kuasa ia berdiri. Ingin roboh. Namun, satu tangannya dengan kokoh bertumpu ke dinding pembatas tangga untuk menahan tubuhnya. Satu tangannya lagi menutupi hidung dan bibir, menangis pilu atas hinaan suami.
Gadis berambut pirang yang tadi mencegah lalu menghampiri ibunda. Langkahnya menggerayang. Walaupun sesekali menabrak kursi meja makan. Tapi dia tetap ingin mendekat. Untuk sekedar menenangkan.
Tangan lembutnya meniti tepian tembok sampai membentur pembatas lantai dua. Ia tahu sebentar lagi ia sampai pada posisi ibundanya.
Rossea dengan segera meraih tangan putrinya yang tengah berjuang menggapainya. Gadis itu tersenyum dan langsung memeluk ibunya.
“Mamah yang sabar ya.”
“Sofia, kapan papahmu sadar dan tidak ikut-ikutan membenci orang-orang pribumi, Nak?”
“Sabar, Mah. Sofia yakin pasti suatu saat papah akan mencintai negeri ini karena walaupun papah itu tidak punya darah campuran pribumi tapi dia lahir di negeri ini,” kata Sofia dan melepaskan pelukannya. Netranya yang buta membuat wajahnya menghadap tidak ke arah ibunya.
Sofia adalah kakak kandung Mariana. Dari kecil ia sudah terlahir buta. Pada mulanya kelahiran Sofia sangat diharapkan oleh Donner. Namun begitu dokter memvonis kalau Sofia buta permanen, kebahagiaan Donner sekejap berubah menjadi kekecewaan yang luar biasa. Hal itulah yang membuat Donner selalu meluapkan amarahnya pada orang-orang pribumi.
...*****...
Yati melihat kamar Ana terbuka. Dilihat anak asuhnya itu sedang duduk di depan cermin sambil menyisir rambut merahnya yang alami.
“Pagi, Non Ana,” sapa Yati dari luar kamar. Dia tidak berani masuk sebelum anak majikannya mempersilahkan masuk.
“Pagi juga, Bibi.” Mariana menoleh. Tangannya masih terus menyisir rambutnya. “Silahkan masuk.”
“Non, apakah pagi ini saya boleh ....”
Belum selesai ucapan Yati, Mariana langsung lari dan memeluk orang yang telah lama mengasuhnya. Ia sudah menganggap wanita pribumi itu adalah ibu kandungnya.
“Aku tahu setiap pagi, Bibi ingin memelukku ‘kan, sekarang aku yang peluk Bibi,” bisik Mariana dalam dekapannya.
Bi Yati menitikkan air mata. Tangannya mendekap erat anak asuhnya. Tangannya mengusap lembut punggung Mariana.
“Bibi sayang sekali sama Non Ana.”
“Ana juga, Bi.”
Cukup lama mereka berpelukan. Seakan mereka adalah sepasang kekasih yang telah lama tak bertemu.
Namun, peristiwa mengharu biru itu sekejap menjadi kelabu. Mariana dikagetkan dengan suara tembakan. Sebuah peluru dengan cepat menembus punggung Bi Yati. Mulut sang bibi menyemburkan darah segar mengenai gaun anak asuhnya. Pelukan erat tangannya kini terlepas. Bi Yati mati seketika, terkulai dipelukan Mariana.
Mata Ana kemudian langsung menjurus pada seorang serdadu penembak Bi Yati. Dengan tatapan penuh amarah. Setelah Bi Yati diletakkan di tempat tidurnya, anak Residen Madiun itu berlari dan merebut dengan kasar laras senjata. Serdadu itu ambruk ke lantai. Tanpa berlama-lama kemudian Mariana menembaki serdadu beberapa kali hingga mati.
Mendengar suara tembakan, seisi bangunan itu langsung menuju sumber suara. Depan kamar Ana langsung ramai. Tampak wajah-wajah penasaran melongok dalam kamar. Seorang pekerja perempuan berteriak.
“Astaghfirullah.”
Pekerja perempuan itu langsung menutup matanya. Seorang perempuan memang tidak pernah tega melihat peristiwa tragis di depan matanya.
Dari ruang makan, Rossea juga mendengar suara tembakan itu. Membuatnya berlari menaiki tangga dan merangsek masuk. Serdadu dan beberapa pekerja pribumi memberi jalan tuannya lewat. Semua kepala tertunduk atas kedatangannya.
“Ada apa ini?”
Semua serdadu terdiam. Hanya tukang kebun tua mengacungkan jempolnya menunjuk ke dalam kamar Mariana.
Begitu melongok ke arah dalam, betapa terkejut Rossea, melihat gaun Mariana berlumuran darah. Di tangannya memegang senapan. Tampak di sana satu serdadu mati. Sang ibunda pun menutup wajahnya seraya tak percaya Bi Yati juga mati.
“Ada apa ini, Ana? Apa kamu membunuh mereka semua?”
Mariana menggeleng. Ia nampak berantakan. Pandangannya kosong seperti orang sedang kerasukan. Ia bersimpuh dekat serdadu yang telah ditembaknya.
Rossea dengan langkah gemetar mendekati. Berusaha menguasai rasa takut. Sebagai ibu, ia percaya putrinya tak melakukan pembunuhan itu.
Rossea mendekat, ikut bersimpuh, lalu merangkul putrinya.
“Apa kau yang membunuh mereka semua?” Rossea berbisik pelan. Mencoba meyakinkan dirinya. Berusaha cari tahu tentang yang sebenarnya terjadi.
“Bukan. Serdadu ini yang membunuh bibi,” kata Mariana menunjuk jengah mayat serdadu. “Brengsek!”
Amarah masih menguasai jiwanya. Lalu Mariana bangkit. Ia menenteng kembali senapan dan kembali menembaki beberapa serdadu yang sedang menyaksikan dekat bingkai pintu. Aksi Mariana itu membuat semuanya lari ketakutan. Keterampilannya menembak, berhasil melumpuhkan dua serdadu.
“Mariana jangan! Hentikan Mariana! Jangan lakukan itu!” Rossea berusaha mencegah putrinya yang kesetanan terus memburu dan menembaki para serdadu.
Akhirnya, langkah Mariana pun terhenti ketika peluru senapannya habis. Tapi dalam hatinya merasa puas telah berhasil menembak punggung satu lagi serdadu sebelum peluru habis. Dari belakang sang ibunda merangkul kuat putrinya. Mariana pun lemas. Menangis meratap kehilangan wanita yang sangat menyayanginya. Seorang pengasuh pribumi bernama Bi Yati. Dari peristiwa ini cerita bermula. Menyulut api dendam di hati Mariana pada bangsanya yang suka semena-mena terhadap pribumi.
1871
Dua puluh enam tahun sebelumnya.
Pagi itu, Rossea membungkuk dan tangannya memetik strawberi segar. Kemudian ditaruhnya strawberi itu ke keranjang bambu. Sudah banyak strawberi yang sudah ia petik bersama Suyati, salah satu buruh pribumi yang dipekerjakan orang tuanya.
Gadis berambut pirang yang dibiarkan tergerai itu nampak riang di mata Suyati yang memantaunya sesekali di tengah kejeliannya memetik strawberi.
Gaun panjang merah muda yang dipakainya tak membuatnya enggan untuk berkutat langsung di perkebunan membantu orang yang sering dipanggilnya dengan sebutan Bi Yati itu.
“Non Rossea, sudah to, ojo kecapean,” tegur Suyati dengan suara lembut pada anak majikannya itu.
“Ndak apa-apa, Bi Yati,” tanggap Rossea sambil menyeringai melempar senyum manisnya. “Lagian sudah biasa ‘kan kalau ke kebun aku ngrewangi, Bibi?”
Sementara dari jauh kereta kuda terdengar gemerincing berpadu dengan suara tapak kaki kuda. Semua pekerja sudah tahu Raden Mas Bayu Anggoro ketika matahari sedikit naik pasti datang. Sudah jadi rutinitas beliau sebagai pemilik kebun strawberi itu.
“Ndok, itu romomu sdh datang,” seru Bi Yati. Sementara menghentikan pekerjaannya untuk menyambut kedatangan sang majikan.
Rossea juga buru-buru membersihkan tangannya. Menghampiri pengasuhnya. Ia menyerahkan keranjang hasil petikan strawberinya pada Bi Yati. Lalu seperti biasa, gadis itu bersiap menyambut kedatangan romonya.
Kereta kuda yang ditumpangi Raden Bayu berhenti tepat di hadapan Rossea. Setiap pagi beliau selalu mendapat sambutan senyuman manis dari putrinya.
“Goedemorgen, mijn dochter,” sapa Raden Bayu ketika menuruni kereta kudanya. Wajahnya sangat cerah. Begitu enak dipandang.
“Goedemorgen, Romo,” balas Rossea sambil mencium tangan romonya. Tangan hangat sang romo selalu dinantikannya. Tangan seorang yang amat dikagumi dan dicintai dirinya juga rakyatnya.
Kemudian Raden Bayu menyodorkan siku tangan pada anak kesayangannya. Rossea pun dengan sumringah menyambut. Gadis berumur 24 tahun itu mendekap mesra tangan ayahanda. Mereka berjalan beriringan menyusuri sepanjang perkebunan strawberi. Sesekali mereka tertawa kecil di sela-sela obrolan ringan.
Rossea menghirup dalam-dalam udara segar pegunungan. Putri keturunan Belanda itu sangat senang, ingin bisa seperti ini setiap saat bersama ayah.
“Ndok, Romo mau tanya satu hal boleh?” tanya Raden Bayu, menghentikan langkahnya di tengah pematang kebun. Sang adipati lalu memandang putri semata wayangnya.
“Mau tanya apa, Romo?” sahut Rossea, membalikkan wajahnya menghadap wajah sang ayah yang penuh wibawa itu. Matanya berbinar.
“Kau sudah tiga tahun tinggal di sini, apa sudah ada pemuda Madiun yang membuatmu jatuh hati?” tanya Raden Bayu. Disentuhnya dengan lembut dagu Rossea.
Rossea tersenyum lalu cepat-cepat menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah. Dia mengalihkan pandangannya ke luasnya perkebunan yang terbentang di hadapannya.
“Aduh ... aduh ... anak Romo sepertinya sudah mulai jatuh cinta ini,” selidik Raden Bayu melihat tingkah putrinya.
“Apa Romo setuju kalau aku jatuh cinta dengan orang pribumi?” tanya Rossea dengan nada penuh ragu.
Raden Bayu tersenyum.
“Putriku, apa kau lupa Romomu ini orang pribumi?” tandas Raden Bayu. Suaranya lembut namun berkharisma. Beliau kemudian menarik lembut supaya Rossea berhadapan dengannya. Menatap wajah putrinya dalam-dalam. Dari sorot matanya meyakinkan kalau sang ayah tak mempermasalahkan ia jatuh cinta dengan orang pribumi.
“Eling, Romomu iki wong jowo asli.”
Rossea tersenyum lebar segera memeluk sang romo.
“Tenang saja, Romo. Aku tidak akan mengecewakan Romo.”
“Iyo ... iyo ...,” gumam Raden Bayu. Tangannya membelai lembut kepangan rambut panjang Rossea.
Angin di sekeliling seolah mendukung suasana. Ia bertiup lembut dengan sejuknya, seakan menambah syahdu romantisme ayah dan anak itu.
...*****...
Derap kaki kuda yang berlari di jalan tanah yang berpasir. Akibatnya, menguapkan debu-debu berterbangan di setiap kaki-kaki kuda menapaki tanah yang kekeringan. Terdengar bersahutan antara suara sepatu kuda dengan pemacunya yang mengarahkan kudanya berlari. Tiga orang memacu kuda-kudanya dengan cepat. Mereka tengah memburu waktu menuju timur.
“Kita harus cepat, sebentar lagi sampai ke kadipaten Madiun. Pesan dari Sri Sultan ini harus segera tersampaikan,” seru pemimpin yang berkendara paling depan.
Sosoknya terlihat begitu gagah. Tangan kekarnya basah karena keringat. Sehingga nampak berkilat-kilat tertimpa cahaya matahari.
Tak beberapa lama, mereka kompak menghentikan laju kudanya ketika sampai di gerbang kadipaten. Di sana mereka disambut dua penjaga bertubuh kekar yang sudah bersiap mengeluarkan pedangnya.
“Tenang ... tenang ... ki sanak,” ucap pria itu. Ia lompat, turun dari punggung kuda. “Kami bukan orang jahat.”
“Siapa kau! Ada kepentingan apa kau datang ke mari?” tanya salah satu prajurit dengan tegas.
“Aku Sura Mandala dan ini anak buahku. Kami diutus kemari oleh paduka Sri Sultan Hamengku Buwono VII untuk menyampaikan sebuah surat pada Raden Bayu,” jelas laki-laki yang bernama Sura Mandala.
Dua penjaga itu diam. Matanya menyoroti penampilan Sura Mandala. Penampilannya sangat meyakinkan dengan pakaiannya yang rapi memakai baju beskap yang dipadu dengan kain batik parang kusumo sebagai bawahan yang membalut celana hitam sampai betis. Penjaga yakin orang ini bukan orang biasa.
“Baik, masuklah. Aku antar kau menemui Gusti Adipati,” jawab salah satu penjaga yang memasukkan kembali pedangnya. Namun ia tetap waspada barangkali pria asal Yogyakarta ini mata-mata Belanda. Sebab telah terkenal bahwa Kesultanan Yogyakarta sekutu Belanda. Mata Sura Mandala melirik, telapak tangan prajurit itu masih memegangi gagang pedang. Sikap siap siaga seorang prajurit.
Sayangnya, dua anak buah Sura Mandala tidak diperbolehkan masuk. Mereka tetap dijaga oleh dua prajurit lainnya di pintu gerbang. Bisa dibayangkan betapa ketat penjagaan Kadipaten Madiun. Wajar saja Raden Bayu melakukan ini semua karena telah lama beliau bersitegang dengan Belanda. Menurut kabar yang didengar dari telik sandi Sura Mandala, bahwa Raden Bayu telah lancang menikahi putri dari salah satu pejabat gubernur jendral Hindia Belanda dan membawa pulang noni Belanda itu ke Madiun. Raden Bayu memang salah satu orang yang sangat diburu Belanda.
Tanpa perlu waktu lama untuk berjalan, mereka sudah sampai di depan kedaton kediaman sang adipati. Penjaga yang mengantar Sura Mandala membisikkan ke telinga prajurit lainnya.
“Sampaikan ke gusti adipati ada tamu dari Yogyakarta untuk menyampaikan sebuah surat dari rajanya.”
Begitulah sayup-sayup terdengar sampai ke telinga Sura Mandala.
“Kalau begitu dia tak usah masuk. Biar dititipkan saja kepadaku, nanti aku sampaikan,” bisik prajurit penjaga kedaton pada temannya.
“Tidak. Surat ini harus aku sendiri yang menyampaikannya,” cetus Sura Mandala menjawab bisikan prajurit itu.
“Ekh, kau menguping ya!”
Sura Mandala tersenyum jengah sambil melipat dua tangannya ke depan dada.
“Ekh kau! Jangan sembrono ya!” bentak prajurit itu. Tangannya hendak menarik pedang dari warangkanya. Namun beruntung Raden Bayu keluar dan mencegahnya.
“Hentikan prajuritku!” cegah Raden Bayu begitu membuka pintu. Beliau berjalan mendekati mereka. “Jangan prajuritku! Kita harus menghormati tamu. Lagian dia datang dengan baik-baik. Seorang penyampai amanat tidak boleh kita sambut dengan kasar. Apalagi dia adalah orang jawa juga, sama seperti kita. Ayo masuk, anak muda! Kita bicara di dalam.”
“Baik, Gusti.”
Sura Mandala pun mengikuti Raden Bayu masuk ke dalam keratonnya. Sedangkan, dua prajurit tadi tertunduk malu.
“Silahkan duduk, Nak Sura,” perintah Raden Bayu.
Sebelum duduk Sura Mandala menghaturkan hormat. Namun, Raden Bayu melarangnya karena tidak selayaknya orang yang pangkatnya lebih tinggi menghormat pada dirinya yang hanya seorang adipati.
“Tak usah menghormat seperti itu, aku tahu kau seorang senopati utama di Kesultanan Yogyakarta, bukan?”
Sura Mandala kaget dari mana pria itu tahu kalau dirinya senopati utama? Sedangkan belum mengatakan apa-apa tentang dirinya.
“Hem ... tak usah terkejut begitu,” kata Raden Bayu yang seolah tahu pikiran Sura Mandala.
Sura Mandala pun makin keheranan. Begitu luar biasa orang ini. Pantas saja Belanda sangat memburu orang seperti ini. Belanda sangat benci dengan orang yang tidak mau tunduk dan punya kesaktian. Itu tak mengherankan, karena dulu pernah terjadi juga pada leluhurnya, Pangeran Diponegoro.
“Sebentar, kau santai saja dulu di sini. Saya akan perintahkan dua pengawalmu untuk masuk juga. Kalian tentunya capek habis menempuh perjalanan jauh,” kata Raden Bayu.
“Maturnuwun gusti,” tanggap Sura Mandala.
Lalu Raden Bayu berjalan kembali ke luar. Di sana terdengar beliau memerintahkan dua prajuritnya untuk melakukan seperti yang dikatakannya. Sementara Sura Mandala menarik punggungnya bersandar di kursi rotan. Pikirannya merasa lebih tenang. Melepas penat dari perjalanan panjangnya.
Matanya berkeliling menjelajah setiap sisi ruang tamu. Rumah bergaya Eropa dengan cat yang didominasi warna putih. Ketika ia bergeser ke sisi kanan ada jendela yang cukup tinggi daripada ukuran jendela rumah-rumah jawa pada umumnya. Bingkai dan jeruji jendela itu bercat hitam berpadu putih pada tepian daun jendelanya.
Ruang tamu ini dipercantik dengan guci besar buatan Eropa di dua sudut. Sangat serasi dengan warna hijau lantai marmer yang bermotif bunga.
Puas Sura Mandala memandangi ruang tamu, suara terompah Raden Bayu kemudian terdengar makin mendekat, ia kembali dan duduk di hadapan Sura Mandala.
“Oya gimana kabar perjuangan rakyat Yogyakarta?” tanya Raden Bayu mengawali pembicaraan. Pertanyaan itu sedikit menyindir Belanda karena beberapa raja Yogyakarta dipaksa tunduk pada penjajah itu. Raden Bayu tahu Sri Sultan Hamengku Buwono VI mungkin susah untuk lepas dari pengaruh kuat pemerintah kolonial Belanda di Yogyakarta.
Tanpa dijawab pun, Raden Bayu sudah mengerti jawaban Sura Mandala dengan melihat raut muka anak muda itu yang menunjukkan kekecewaan pada kelicikan dan kecurangan penjajah itu.
“Sendiko gusti, dalem terus terang kecewa pada sistem pemerintahan Yogyakarta sekarang yang selalu dicampuri wong londo itu. Hampir semua bidang mereka turut campur.”
Raden Bayu manggut-manggut sambil mengelus dagunya yang tidak ada satu pun rambut jenggotnya. Beliau tersenyum simpul.
“Oya mana suratnya. Coba sini saya mau baca.”
“Oya saya sampai lupa,” Sura Mandala lalu langsung mengambil gulungan kertas surat dari wadahnya dan cepat-cepat disodorkan kepada sang adipati. “Monggoh, ini suratnya gusti.”
Adipati Raden Bayu menarik tali yang mengikat gulungan surat itu dan membacanya. Tanpa perlu waktu lama, beliau sudah tahu isi suratnya. Beliau diam dan memandangi Sura Mandala. Ada perubahan ekpresi di wajahnya.
Raden Bayu diam cukup lama. Sepertinya beliau sedang berpikir keras. Sebenarnya apa isi surat itu. Sampai-sampai sang adipati yang tadinya hangat mendadak jadi pendiam. Akh ... Sura Mandala penasaran. Tapi ia tidak boleh mencampuri urusan rajanya.
Setelah lama beliau diam, akhirnya bicara juga, “Sura Mandala, maukah kau membantuku?”
“Nyuwun sewu, bantuan apa gusti?”
“Sampaikan pada rajamu aku menolak tawaran rajamu,” tegas sang adipati.
“Baik gusti.”
“Kalau aku terima tawaran rajamu itu sama saja aku tunduk pada Belanda. Semoga dengan sikapku ini, rajamu akan sadar agar tak terus-terusan dicampuri Belanda,” lanjut Adipati Raden Bayu.
Perkataan adipati sungguh menggerakkan sanubari Sura Mandala, betapa ia ingin juga bergabung dengan beliau untuk mengalahkan Belanda yang sudah terlalu lama mencampuri urusan pemerintah Mataram sejak zaman Amangkurat I. Senopati muda itu melirik sang adipati, beliau tersenyum. Sura Mandala yakin, Raden Bayu juga tahu pikirannya.
...*****...
Sudah tiga hari, Sura Mandala dan pengawalnya di Madiun. Mereka dipelakukan sangat istimewa. Malam ini Adipati Raden Bayu menggelar hiburan rakyat sendra tari dan wayang kulit. Seluruh rakyatnya diundang sehingga acaranya sangat meriah.
Sura Mandala duduk di samping adipati sedangkan pengawalnya berdiri di belakang.
“Itu putriku,” bisik Raden Bayu sambil menunjuk wanita Eropa yang sedang menari.
Dalam hati Sura Mandala terkesima akan kecantikan putri adipati. Pintar benar adipati dalam memperbaiki keturunannya. Hasilnya wanita blasteran Belanda. Meskipun sebenarnya sudah banyak wanita Indo ada di negerinya.
“Maukah kau, aku kenalkan dengan putriku?” tanya Raden Bayu sambil menyenggol lengan tangan Sura Mandala yang seketika membuyarkan keterpanaannya. Celakanya Raden Bayu pasti tahu Sura Mandala sedang mengagumi kecantikan putrinya.
Sura Mandala cepat-cepat menyembunyikan rasa kagumnya dengan senyum dan pura-pura memasang raut muka tak tertarik.
“Jangan pura-pura begitu. Tenang saja dia belum punya kekasih.” Raden Bayu terus merayu.
Ketika musik berhenti dan Rossea mengakhiri lenggokan tubuhnya, ia menghampiri memenuhi panggilan ayahandanya yang telah memberikan isyarat dengan lambaian tangan.
Sura Mandala nampak gugup ketika putri adipati mendekat di hadapannya. Dalam hati, ia bergumam, “Aduh apa yang harus aku lakukan?”
“Yang harus kamu lakukan ya berkenalan dengan putriku,” celetuk Raden Bayu yang dibalas dengan lirikan Sura Mandala. Benar dugaannya, sang adipati bisa tahu isi hati orang.
Sura Mandala gugup. Rossea mengumbar senyum memperlihatkan gigi putihnya yang berjajar rapi. Kemudian ia mengulurkan tangannya. Makin salah tingkah Sura Mandala dengan keberanian sikap Rossea.
“Perkenalkan, namaku Rossea.”
Raden Bayu balas melirik. Terkekeh dalam hati melihat Sura Mandala yang berusaha menguasai diri dari kecanggungan.
“Sudah tidak apa-apa tak usah malu. Sambut saja tangan putriku,” goda Raden Bayu dengan menggerakan kedua alisnya. Matanya yang melebar benar-benar membuat Sura Mandala gusar.
Sura Mandala pun berusaha menguasai kekakuannya dengan menyambut tangan Rossea dan bersalaman.
“A-Aku Sura Mandala.”
Dalam hati Rossea juga tertawa geli. Baru kali ini ada pemuda yang sampai gugup berkenalan dengannya. Pria itu tidak seperti pria lain yang bersemangat ketika mendekati dirinya. Banyak juga pemuda Belanda yang memandang Rossea dengan tatapan penuh nafsu. Dasar pria-pria hidung belang.
“Kau bisa menari?” tanya Rossea yang dibalas dengan gelengan kepala Sura Mandala.
“Kalau tidak bisa menari, bagaimana kalau kau ajak Mas Mandala berkeliling kadipaten?” usul Raden Bayu.
Gagasan itu membuat Sura Mandala membelalakan mata. Pikirnya, kenapa bisa secepat ini? Apa seperti ini wanita Eropa bergaul dengan teman laki-laki?
“Boleh juga pendapat Romo,” Rossea seakan mendapat angin segar atas pendapat romonya. “Ayo, Mas Mandala kita jalan-jalan!”
“Ta-Tapi kita ‘kan ....” Sura Mandala gugup.
Rossea sebenarnya tahu apa yang hendak dikatakan Sura Mandala. Namun, ketika romo sendiri yang memerintahkan Rossea untuk kenal dengan seorang pemuda, berarti pemuda itu pemuda baik. Gadis itu yakin, semua yang romo berikan tentu yang terbaik untuk dirinya. Jadi, bukan berarti Rossea wanita murahan.
Lalu Sura Mandala pun akhirnya bersedia karena sepertinya ajakan Rossea itu tak bisa ditolak. Ia tahu kalau menolak pasti adipati sangat kecewa. Tak enak hati kalau sampai beliau kecewa.
Sura Mandala melirik dua pengawalnya seraya meminta pendapat, mereka juga kompak mengacungkan jempolnya mengisyaratkan dukungan pada pemimpinnya itu.
Sebenarnya Sura Mandala masih canggung. Namun, dia masih bisa menguasai diri. Berusaha agar tidak memalukan dirinya sendiri di hadapan wanita secantik Rossea. Tak bisa dipungkiri, walaupun gugup, senopati muda itu sangat senang bisa berjalan bersama wanita itu. Sepertinya, Sura Mandala pun mulai jatuh hati padanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!