* * *
Aku mengerti, hidup memang terkadang tak seperti yang kita harapkan. Setelah cukup panjang kita menata apa yang akan kita jalani untuk masa depan, terkadang hasil akhirnya bisa sangat berbeda dari yang kita impikan. Sejujurnya tidak masalah soal itu. Tetapi kenapa tolak ukur dari orang lain sebagai pemicu rusaknya rencana yang ingin kita bangun? Apakah aku memang selemah itu? Apakah aku memang serendah itu hingga kalian mengatakan banyak hal yang kalian sendiri bahkan tidak tahu seperti apa diriku yang sebenarnya. Apakah kalian tahu seperti apa aku menjalani hidupku? Namun seenaknya saja kalian menilai, dan merusak semuanya. Kini pun aku sadar, tidak lagi ada yang bisa aku percaya dari manusia. Apalagi, tentang yang namanya Cinta. Aku merasa omong kosong dengan semua itu. Hatiku sudah mati, luka yang kalian berikanlah yang menjadi pemicunya. Sudah delapan tahun berlalu, namun sungguh ketika mengingatnya hatiku masih terasa sakit. Efek dari kejadian itu, membuatku tak bisa membuka hati untuk pria manapun. Bukan aku gagal move on darinya, tetapi karena luka yang ia dan keluarganya sayatkan dihatiku. Tetapi lihatlah sekarang, karena kalian akhirnya aku bangkit dan menjadi diriku saat ini. Haruskah aku berterima kasih di atas rasa sakitku pada kalian? Tidak sama sekali, karena aku berjuang sendirian dengan kerja kerasku selama ini. Hingga aku disebut sang Independent Woman.
* * *
Sepasang insan ini berjalan bergenggaman tangan dengan senyuman yang selalu terukir di bibir keduanya. Sosok gadis berusia 22 tahun itu akhirnya menyelesaikan masa kuliahnya setelah empat tahun ia berjuang seorang diri.
Valerie Maxwel, akhirnya merasa lega setelah satu tahap impiannya selesai yakni mendapatkan sebuah gelar pendidikan S1 yang ia harapkan. Valerie menoleh ke samping menatap seorang pria tampan dengan jas kerjanya.
Joshua Coppen, sosok pria berusia 25 tahun itu terus menggenggam tangannya dengan lembut. Valerie melihat sebuah impian dan harapan di wajah pria itu. Bolehkan ia berharap pada manusia untuk kali ini?
Valerie adalah anak yatim piatu, dengan dua orang adik laki-laki dan perempuan. Kedua adiknya masih sekolah, di Sekolah Menengah Atas. Gadis itu berjuang sembari berkuliah, bekerja paruh waktu dan menggunakan sisa uang tabungan dan asuransi yang di tinggalkan orang tuanya untuk mereka sejak empat tahun lalu.
Joshua, tempat dimana Valerie pulang jika ia merasa lelah selama hampir lima tahun ini. Pria itu adalah kekasihnya.
Joshua tersenyum tampan menatap Valerie, "Kenapa terus menatapku?"
Valerie memeluk lengan Joshua dengan senyuman manis dan polosnya, "Akhirnya aku tamat."
Joshua mengangguk, "Haruskah kita merayakannya sayang? Aku akan mengajakmu ke suatu tempat."
Valerie pun tersipu malu, gadis itu mengangguk setuju. Keduanya menuju mobil pria tersebut, dan masuk ke dalam. Joshua bahkan membukakan pintu untuk Valerie, lalu saat di dalam mobil sebelah tangan pria itu selalu menggenggam tangan Valerie sembari sebelah tangan lagi fokus menyetir.
"Menyetir saja sayang.." pinta Valerie hendak melepaskan genggaman tangan Joshua.
Joshua tersenyum menggeleng, ia mengecup singkat tangan sang gadis. Bagai ribuan kupu-kupu berterbangan diperut Valerie, dengan dadanya yang bergemuruh bahagia. Begitulah yang Valerie rasakan setiap Joshua menunjukkan Love languagenya pada sang gadis.
Wanita mana yang tidak luluh? Hampir lima tahun mereka menjadi sepasang kekasih. Dan Joshua selalu memberikannya Acts of service yang begitu menyentuh hatinya. Bahkan Joshua sudah mengenalkan Valerie pada orang tuanya. Dan sudah beberapa kali juga Valerie mengunjungi rumah mewah Joshua.
Orang tua Joshua membuka tangan lebar menerima Valerie. Dengan ramah dan sering berinteraksi, membuat hati Valerie semakin yakin dengan pria tersebut. Ya, wanita mana yang tidak tersentuh jika sudah sejauh ini keseriusan itu terlihat.
Valerie tampak cantik dengan gaun terbaiknya saat ini, sebab ia memang baru pulang wisuda. Make upnya juga begitu sangat cantik. Joshua pun kini menjalankan mobilnya ke suatu tempat. Hingga beberapa saat kemudian, sebuah restoran mewah tujuan keduanya. Valerie tersenyum menatap Joshua, "Apa ini sebuah kejutan?"
Joshua tertawa kecil, "Kau selalu saja bisa menebakku."
"Ya, karena kita belum pernah kesini sayang."
Joshua keluar dari dalam mobil, ia membukakan pintu untuk Valerie lalu keduanya berjalan bergenggaman tangan masuk ke dalam.
Joshua membawa Valerie masuk menuju sebuah private room. Dan saat membuka pintu, nyatanya sudah banyak kerabat dan sahabat Valerie disana. Kedua tangan Valerie sampai menutup mulutnya kala sorakan riang yang ia dapatkan.
Dua adik Valerie, orang tua Joshua, dan beberapa sahabat terdekat mereka juga ada disana. Mata Valerie pun berkaca-kaca, kedua adiknya membawa sebuah cake berukuran cukup besar bertuliskan selamat wisuda untuk sang kakak. Valerie pun memeluk kedua adiknya dengan penuh haru, lalu ia menatap orang tua Joshua dan memeluk ibu Joshua.
Kini acara makan malam bersama pun di mulai. Tampak begitu hangat satu sama lain. Saling berbincang ringan dan penuh kebahagiaan. Dan tepat disaat itu, tiba-tiba saja Joshua berdiri dari duduknya. Pria itu lalu menatap Valerie dengan raut wajah seriusnya.
Joshua mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, yakni sebuah kotak kecil. Mata semua insan pun membulat, namun dengan eskpresi yang berbeda-beda. Tentu kedua adik Valerie tersenyum bahagia, sahabat-sahabat mereka juga demikian. Namun orang tua Joshua justru tampak terkejut saat ini.
Joshua kini berlutut di samping Valerie, semua orang tentu tahu apa yang akan pria itu lakukan. Joshua menatap Valerie dengan lekat, "Valerie Maxwel, maukah kau menikah denganku?"
Valerie pun terkejut dan tersenyum haru, matanya berkaca-kaca saat ini. Gadis itupun dengan cepat mengangguk dan menerima cincin pemberian Joshua. Tepuk tangan pun berkumandang dari adik dan sahabat mereka.
Tetapi, sosok Tn Coppen yakni ayah Joshua tampak berdiri lalu keluar dari ruangan tersebut. "Ayah mau ke toilet dulu." ucapnya berlalu pergi.
Ny Coppen ibu Joshua juga tampak tersenyum kikuk. Wanita itu tampak bingung saat ini, namun tak ada satupun kata selamat keluar dari bibirnya.
* * *
Kini Valerie berada di toilet setelah usai menikmati makan malam dan berencana hendak pulang nantinya. Acara itu sebentar lagi akan selesai. Namun saat ia keluar dari toilet dan berjalan menuju private room, langkahnya terhenti tak sengaja melihat sebuah lorong dimana ada Joshua dan orang tuanya disana. Valerie ingin menegur namun tak jadi kala ia mendengar sebuah kalimat.
"Kenapa harus Valerie?" tanya Tn Coppen.
"Benar nak, sungguh kami mengira kau hanya berpacaran biasa saja dengannya. Tidak menyangka kau seserius ini." ujar Ny Coppen.
"Tetapi aku mencintai wanita itu. Dan aku memang ingin menikah dengannya." jawab Joshua.
Tn Coppen menggeleng tegas, "Kau yakin nak? Wanita seperti dia? Bukan maksud ayah merendahkannya, tetapi dia berasal dari strata sosial yang lebih rendah dari kita. Selama ini ayah dan ibu diam, karena mengira kau hanya sekedar berpacaran biasa saja, lalu putus seperti yang sebelumnya. Tetapi Valerie? Wanita itu anak yatim piatu, ia bahkan memiliki dua adik yang masih harus ia sekolahkan. Tidak nak, jangan dia!"
Ny Coppen memegang lengan Joshua, "Pikirkan Joshua, ini masih awal bukan? Batalkan lamaranmu tadi. Berikan ia alasan yang masuk akal, ibu yakin Valerie bisa mengerti. Ibu tidak mau putera ibu justru menjadi beban untuk keluarganya. Ibu tidak bisa membayangkan bagaimana adik-adiknya akan mengikis hartamu Joshua."
"Ayah tidak mau tahu Joshua! Kau putera ayah satu-satunya dan akan memimpin perusahaan besar kita. Kau calon CEO disana. Masih banyak wanita yang pantas untukmu, cukup sudah ayah dan ibu bersikap selalu menerima apa yang kau inginkan. Tapi untuk seorang istri, setidaknya gunakan akal sehatmu Joshua. Valerie, tidak sepadan dengan kita. Ayah akan mengenalkan dan menjodohkanmu dengan seorang puteri konglomerat. Itu jauh lebih layak untukmu, daripada Valerie."
Deg,
Valerie membeku di tempatnya, wanita itu pun berjalan mundur menjauh. Air matanya pun tak bisa ia bendung lagi. Ia hanya gadis lemah yang selama ini berjuang sendirian demi hidup ia dan adik-adiknya. Joshua memang tempat ternyamannya, dan jelas sudah melekat di hatinya.
Sakit, teramat sakit yang Valerie rasakan. Wanita itu pun keluar dari restoran tersebut dan duduk seorang diri di sebuah taman restoran. Tangisnya semakin pecah disana, ia luapkan dengan penuh kekecewaan.
Tak berapa lama sosok Joshua berlari kecil menuju ke arahnya. Pria itu tersenyum seolah tak ada beban apapun. Ia menggenggam tangan Valerie, "Aku mencarimu. Apa mau pulang sekarang sayang? Aku akan mengantarkanmu dan adik-adikmu pulang." ajak Joshua.
Valerie kini menatap Joshua dengan kilatan mata yang tajam sembari melepaskan genggaman tangan pria itu, Joshua pun tertegun atas tatapan tak biasa itu. Valerie kini tampak melepaskan cincin yang tersemat di jari manisnya. Ia menyerahkannya ke telapak tangan pria tersebut.
"Joshua Coppen, kita selesai! Namun satu hal yang ingin aku tegaskan padamu sebelum aku pergi dari hadapanmu. Hampir lima tahun kita bersama, tapi tak pernah sedikitpun aku memakai uangmu untuk kehidupanku. Aku memang bukan berasal dari keluarga kaya, tetapi setidaknya aku memiliki moral yang lebih baik dari hanya sekedar strata sosial. Jika kalian sudah menyinggung tentang orang tua dan adikku, artinya memang sesakit itu!" jelas Valerie dengan penuh penekanan.
Joshua membeku di tempatnya, tentu ia kini mengerti jika artinya Valerie mendengar percakapannya dengan orang tuanya tadi. Kini gadis itu pun pergi begitu saja meninggalkan Joshua seorang diri.
Air mata Valerie mengalir, namun ia mengusapnya dengan kasar. Rahangnya mengeras, dengan sorotan mata yang tajam.
"Strata sosial? Apa kalian segila itu dengan yang namanya uang? Aku akan membuktikannya jika kalian mau hal seperti itu. Jangan menyepelekan aku! Kalian tunggu dan lihat versi berbeda dari seorang Valerie Maxwel!" ujar Valerie dengan penuh keseriusan.
* * *
* * *
Sebuah rumah mewah dengan ukuran yang terbilang luas tampak berdiri megah di sebuah pusat kota. Rumah dengan bergaya aksen Eropa minimalis tersebut memiliki daya tarik oleh setiap insan yang melewatinya.
Kabarnya itu bukanlah rumah seorang konglomerat kelas atas. Tetapi milik seorang Independent Woman terkenal yang menaungi berbagai bisnis dan juga bekerja sebagai Asisten CEO di sebuah perusahaan ternama pusat kota.
Dan pagi ini, wanita berusia 30 tahun tersebut tampak membuka matanya perlahan setelah begitu nyaman tidur di ranjang king size empuknya. Ia beranjak dari atas ranjang, lalu mengikat surainya terlebih dulu. Wanita itu lalu berdiri dan membuka pintu balkon kamarnya.
Dengan tatapan tenang, ia menatap ke arah luar dimana udara pagi begitu sejuk dan menyegarkan. Ia menghirup dalam oksigen disana, lalu menghembuskannya perlahan. Tak ada senyuman yang terukir di sudut bibirnya walau apa yang ia rasakan di sekelilingnya saat ini adalah kemewahan seutuhnya.
Namun tetap ada rasa puas, bangga di dalam hatinya. Tidak perlu terlihat riang seperti wanita kebanyakan, namun tenang dan berkelas itulah ciri khasnya.
Dan kini, wanita itu pun menuju kamar mandi. Mengisi air di dalam bathtub dan berendam disana dengan tenang merilekskan tubuhnya dengan air hangat dan sabun aromatherapy.
Valerie Maxwel, memejamkan mata menikmati setiap kenyamanan dan kemewahan yang selama delapan tahun ini ia perjuangkan hingga menjadikan dirinya seperti sekarang.
Siapa yang tak kenal dengannya? Valerie memang banyak menghabiskan waktu bekerja sebagai Asisten CEO, namun ia juga dikenal sebagai pebisnis di dunia skincare dan fashion. Ya, itu adalah bisnis lain Valerie selama lima tahun ini.
Kenapa ia tak meninggalkan pekerjaan sebagai pegawai jika ia memiliki bisnis? Sebab dari sanalah awal mula hidupnya membaik. Seorang pria tua baik hati sebagai bos pertamanya, yang memberikannya pekerjaan sebagai pegawai biasa di perusahaannya.
Tn Horwitz, pria paruh baya yang begitu percaya pada Valerie hingga sekarang gadis itu memiliki jabatan tinggi di perusahaan tersebut. Tn Horwitz tak mengizinkan Valerie berhenti bekerja, ia salah satu orang kepercayaannya. Alhasil Valerie pun juga dengan lapang dada tetap mengabdikan dirinya pada perusahaan itu, perusahaan yang memang sangat ia sayangi layaknya sebuah keluarga. Dan jelas perusahaan pertama yang membuatnya bangkit dari keterpurukan selama ini.
Valerie tetap akan mengabdi disana, entah sampai kapanpun.
Kini wanita itu tampak sangat cantik dengan setelan kerjanya. Tentu fashionnya begitu sangat mendukung, terlihat berkelas dengan aura yang terkesan tajam mengintimidasi. Bahkan bisa dipastikan tak sembarangan pria bisa menatapnya dengan maksud menggoda. Justru mungkin para pria akan merasa minder jika disandingkan dengan wanita tersebut.
Valerie pun turun ke lantai dasar, menuju ruangan makan untuk sarapan. Dan tepat disaat itu, dua insan menyapanya dengan ramah.
"Pagi kak." sapa Abigael Maxwel atau biasa dipanggil Gael, adik laki-laki Valerie berusia 26 tahun.
"Pagi kakak cantikku..!" sapa Liona Maxwel, adik bungsu Valerie yang cantik dan selalu riang, berusia 24 tahun.
Valerie hanya mengangguk, ia pun duduk di kursinya dan meraih sebuah majalah bisnis terlebih dulu yang selalu disediakan di atas meja makan. Valerie membaca berita terbaru terlebih dulu, melihat apakah ada peluang bisnis lain untukknya.
"Sarapan dulu kak.." ujar Gael mendekatkan segelas kopi untuk sang kakak.
Liona mendekatkan sepiring roti isi, "Sarapan agar tidak sakit." ucapnya tersenyum.
Valerie pun menatap kedua adiknya secara bergantian, ia tersenyum tipis dengan hati yang terenyuh haru. Dua insan itu adalah kekuatannya selama ini. Yang harus ia perjuangkan, dan akhirnya Gael sekarang bahkan sudah mendapatkan gelar S2 dan menjalani bisnis properti. Sementara Liona masih fokus dengan kuliah S2 nya sembari membantu bisnis skincare dan fashion sang kakak. Sungguh mereka semua begitu saling menghargai dan bekerja sama.
Valerie akhirnya pun tersenyum, "Terima kasih."
Mereka bertiga pun saling melempar senyum, Liona bahkan menggenggam tangan sang kakak. Tanpa mereka sadari, disaksikan oleh seorang kepala pelayan disana. Wanita paruh baya yang menjadi saksi tiga kakak beradik ini berjuang, terutama Valerie yang bekerja keras setelah pergi dari kotanya menuju kota besar guna mencari pekerjaan untuk membiayai sekolah adik-adiknya.
Ny Watson sang kepala pelayan pun tersenyum haru menatap mereka.
\* \* \*
Sebuah mobil mewah Mercedes Benz S Class berwarna hitam metalic kini tampak melenggang tenang di jalanan ibukota. Seorang wanita cantik berkelas lah yang mengemudikannya, yakni Valerie untuk menuju ke kantor.
Hingga tepat di sebuah lampu merah, Valerie tersentak kaget saat belakang mobilnya seperti disenggol sesuatu. Valerie pun melihat ke belakang, dan ia terkejut nyatanya sebuah mobil menabrak mobil belakangnya.
Seorang pria tampak turun dari dalam mobil, ia terlihat kebingungan. Valerie pun juga turun dengan tenang. Begitu ia turun, pria tampan tersebut membeku menatap dirinya.
Cantik, itulah yang dipikiran pria tersebut. Valerie memejamkan mata sejenak melihat belakang mobilnya tampak lecet akibat benturan.
"Sorry, aku baru di kota ini jadi tidak tahu jika di depan itu lampu merah. Dan kau tiba-tiba berhenti, aku pun terkejut dan tak sengaja menabrak mobilmu." jelas sang pria asing.
Valerie melirik pria tersebut, terlihat bukan orang biasa dan mobil pria itu juga mobil mewah kelas atas. Valerie pun menyerahkan kartu namanya pada pria tersebut.
"Kau mengerti soal tanggungjawab bukan? Aku sedang terburu-buru ke kantor, dan tidak ingin terlambat. Aku tunggu niat baikmu untuk memperbaiki mobilku." ujar Valerie, lalu kembali masuk ke dalam mobilnya.
Pria itu pun membeku di tempatnya, ia melihat mobil Valerie kini melaju setelah lampu hijau menyala. Pria itu masih berdiri disana, lalu menatap kartu nama tersebut. Ia menautkan alis setelah membacanya, pria itu lalu tersenyum.
"Valerie Maxwel, jadi dia?"
\* \* \*
"Selamat pagi nona Valerie.."
"Pagi nona..semoga harimu menyenangkan."
"Nona Valerie..laporan sudah aku kirim!"
"Semangat bekerja nona Asisten CEO..!"
Begitulah setiap sapaan pagi yang Valerie dapatkan. Wanita itu hanya berjalan santai di dalam perusahaan ternama itu dan mengangguk dengan ekspresi tenangnya.
"Nona Valerie..anda dipanggil CEO di ruangannya."
Valerie kini menatap seorang pegawai tersebut, "CEO sudah datang?"
"Sudah, sepertinya ada hal yang penting."
Valerie pun mengangguk saja, ia kini berjalan menuju ruangan CEO berada. Begitu tiba tentu ia masuk ke dalam dan mendapati sosok Tn Horwitz disana. Valerie tersenyum tipis, "Anda memanggil saya tuan?"
Tn Horwitz tersenyum ramah pada Valerie, "Valerie, ada yang ingin aku sampaikan padamu."
"Ya tuan, katakan saja. Aku akan membantu anda."
Tn Horwitz tampak menarik nafas terlebih dulu, "Valerie, aku berencana mengundurkan diri dari jabatan ini."
*Deg*,
Mata Valerie membulat, "A-Apa?"
Tn Horwitz mengangguk, "Aku harus fokus memeriksa kesehatanku, dan tidak bisa bekerja keras lagi."
Valerie tampak khawatir pada sosok yang sangat ia hormati tersebut, "Anda sakit tuan?"
Tn Horwitz tersenyum, "Biasa, di masa tua. Istriku terus mendesak agar aku memeriksakan seluruh kesehatanku."
Valerie pun menatap iba sang CEO, "Aku berharap anda sehat selalu. Ya, sebaiknya anda fokus istirahat."
Tn Horwitz tersenyum mengangguk, "Terima kasih banyak Valerie. Dan kini aku ingin meminta tolong padamu. Ini tidak dadakan, aku juga tidak akan berhenti di hari ini juga. Tetapi aku akan memperkenalkan padamu putera bungsuku sebagai calon CEO baru nanti."
Valerie mendengarkan dengan seksama, ia pun mengangguk mengerti. "Baik tuan."
"Dan aku minta tolong padamu, ajari dia banyak hal. Hanya dia yang berhak atas perusahaan ini, sebab ia putera laki-lakiku satu-satunya. Kakaknya semua wanita, dan sudah menikah. Dia pintar hanya saja masih kurang di pengalaman. Aku memohon bantuanmu untuk mendampinginya." pinta Tn Horwitz.
Valerie tersenyum tipis, "Anda tidak perlu khawatir tuan, akan saya bantu semaksimal mungkin."
Dan kini tepat disaat itu juga tiba-tiba pintu ruangan CEO dibuka begitu saja tanpa mengetuk terlebih dulu. "Ayah..astaga, susah sekali mencari ruangan ayah. Woah..ruangannya luas dan mewah. Aku pasti akan nyaman disini." ucap seorang pria yang baru saja masuk ke dalam ruangan tersebut.
Valerie pun kini membeku di tempatnya saat melihat pria itu, dan pria itu juga terkejut kala menyadari keberadaan Valerie. Namun seolah sudah tahu, pria itupun tersenyum tampan padanya.
Tn Horwitz disana tersenyum, "Ini dia, putera bungsuku. Namanya Devan Horwitz, yang akan menjadi CEO di perusahaan ini, menggantikan aku." ujar Tn Horwitz.
Mata Valerie membulat, Devan pun tampak mendekat padanya dan mengulurkan satu tangannya. "Hai, Valerie Maxwel. Akhirnya kita bertemu lagi." ucapnya sembari mengerlingkan satu matanya dengan menggoda.
\* \* \*
* * *
Valerie tertegun sejenak, tak menyangka ternyata pria yang tadi menabrak mobilnya adalah calon CEO baru di perusahaan tempat ia bekerja. Devan masih tersenyum tampan menatap dirinya, satu tangannya masih menggantung menunggu balasan dari Valerie.
"Hei, melamun? Atau terpesona dengan ketampananku?" tanya Devan.
Mata Valerie pun mengerjap, ia langsung menyambut tangan Devan. "Ah maaf tuan Devan Horwitz."
Devan masih tersenyum ringan, "Panggil Devan saja, agar lebih santai."
Tn Horwitz tampak memperhatikan keduanya dengan alis yang bertaut, "Apa kalian saling mengenal?" tanyanya.
Devan tertawa kecil setelah mengurai jabatan tangan mereka, "Ya ayah, aku tadi membuat masalah dengan asisten kesayangan ayah ini."
Mata Valerie membulat, "Asisten kesayangan?" tanyanya.
Tn Horwitz tersenyum, "Maaf Valerie, istri bahkan anak-anakku tentu mengenalmu sebab sudah lama bekerja denganku. Tetapi pria ini, pasti kau belum bertemu dengannya bukan?"
Valerie mengangguk, "Benar tuan, saya tidak tahu anda memiliki seorang putera bungsu."
Tn Horwitz mengangguk, ia tampak duduk di kursi kebesarannya dengan tenang. Devan sendiri tampak berjalan-jalan di sekitar ruangan, melihat-lihat desain mewah dan aesthetic ruangan CEO tersebut.
"Devan selama ini tinggal di luar negeri, tepatnya di Swiss. Mulai dari kuliah S1 hingga S2. Usianya 27 tahun, dan baru-baru ini juga sudah menyelesaikan bimbingan bisnis disana selama dua tahun. Itu sebabnya ia baru kembali beberapa minggu ini." jelas Tn Horwitz.
Valerie mengangguk mengerti, tampak tenang mendengarkan dengan seksama. Sementara Devan sembari berkeliling, ia juga terus melirik ke arah Valerie.
Tn Horwitz pun menatap Devan dengan helaan nafas pelan, "Dev..seharusnya kau memperkenalkan dirimu lebih detail. Kenapa jadi ayah?"
Devan pun tertawa kecil, "Maaf ayah. Aku tiba-tiba merasa takjub dengan ruangan ini, dan dengan..yang ada di sekitar sini juga." jawabnya melirik Valerie.
Valerie tetap berekspresi datar saja, dengan aura dinginnya. Ia bahkan tak ada menatap Devan dengan lekat.
"Jika begitu, jelaskan tentang dirimu pada Valerie. Kau tahu sendiri, sebab ayah sering cerita padamu bagaimana sosok Valerie di mata ayah. Inilah dia, gadis dengan profesionalitas tinggi dalam bekerja, sangat ulet, selalu cermat. Sang independent woman dengan julukan workaholic, itu sebabnya ayah mengatakan ia asisten kesayangan ayah." jelas Tn Horwitz.
Valerie menatap sang CEO, "Anda berlebihan tuan, saya masih harus banyak belajar."
"Kau adalah pegawaiku yang paling sempurna asal kau tahu Valerie." ujar Tn Horwitz tersenyum.
Valerie tersenyum tipis, sangat tipis. Ia hanya mengangguk saja, "Terima kasih tuan."
Devan pun semakin memperhatikan Valerie, ia mendekat ke sang gadis. "Sejujurnya aku sedikit terpaksa menerima jabatan ini. Tapi mau bagaimana lagi, aku sayang ayahku. Nona Valerie, tolong bimbingannya ke depan selama aku menjabat. Pasti banyak hal-hal baru yang belum aku ketahui di perusahaan ini. Aku membutuhkanmu nona Valerie, aku harap kita bisa akrab layaknya sahabat satu sama lain." ujar Devan dengan santai dan ringan.
Valerie menatap Devan dengan raut wajah tenangnya, "Lebih tepatnya antara atasan dan bawahan tuan Devan. Maaf, saya tidak pernah mau berteman dengan rekan kerja. Ini sebuah pekerjaan, saya ingin melakukannya secara profesional."
Devan menautkan alis, rasa penasaran akan sosok gadis di depannya kini memenuhi pikirannya. "Kau masih gadis?" tanya Devan.
Mata Valerie membulat, Tn Horwitz menghela nafas berat. "Pertanyaan macam apa itu Dev?"
Devan menatap sang ayah, "Pertanyaanku tidak salahkan?"
Valerie mengangguk kecil, "Ya, saya single."
Devan tersenyum kembali, "Jadi tidak masalah berteman. Aku ingin kita terlihat santai satu sama lain. Agar saat belajar aku juga bisa lebih menerima. Aku suka sesuatu hal yang terkesan santai dan layaknya sembari bermain. Agar tidak jenuh dengan pekerjaan."
Valerie tampak menarik nafas, kenapa rasanya ia jadi merasa pusing akan ke depannya nanti saat menjabat menjadi asisten pria di hadapannya saat ini. Bagaimana pun Devan adalah atasan Valerie, tidak mungkin juga Valerie membantah atasan.
Valerie pun kini mengangguk saja walau tetap bereskpresi datar, "Baik tuan."
"Bos, jangan tuan. Saat aku dilantik nanti, sebut aku bos Devan jika kita di kantor. Tetapi jika kita berdua saja atau sedang di luar, panggil Devan saja." ujar Devan tersenyum.
Valerie kembali menarik nafas, pria ini belum apa-apa sudah banyak permintaan tetapi tak ada satupun perihal pekerjaan. Devan justru kian membuat Valerie tampak kikuk.
"Senyum sedikit Vale.." ucapnya menatap Valerie dengan satu alis terangkat.
Mata Valerie membulat, "Vale?"
Devan mengangguk, "Kau sahabat pertamaku di kantor ini, aku ingin lebih akrab denganmu. Mulai hari ini, aku memiliki panggilan kesayangan untukmu. Vale!" jelas Devan yang selalu tersenyum.
Sungguh rasanya Valerie kian jengah saja dengan pria tersebut. Bisa ia pastikan hari-harinya bakal lebih merepotkan daripada bekerja di bawah naungan Tn Horwitz.
Valerie hanya mengangguk saja, "Baik tuan." jawabnya singkat.
Tn Horwitz justru menahan senyum saat ini, entah kenapa setidaknya Valerie butuh CEO yang berjiwa muda agar wanita itu juga tampak lebih berwarna dan sedikit mencair. Sebab Valerie terkenal dengan aura dinginnya di kantor tersebut.
Devan juga tersenyum di dalam hati, terus menatap si cantik Valerie yang terkesan tenang namun memiliki daya tarik di mata Devan.
* * *
Wanita ini menghela nafas berat, entah kenapa ia jadi memikirkan calon CEO barunya tersebut yang baru ia kenal tadi. Valerie memikirkan pekerjaannya nanti seperti apa jika di pimpin oleh Devan. Kini gadis itu sedang duduk santai di balkon kamar mewahnya menatap langit malam dan gedung-gedung perkotaan.
Kebiasaan Valerie jika malam hari selesai makan malam, ia akan duduk disana seorang diri sembari membaca buku maupun majalah bisnis kesukaannya. Terkadang ia juga memeriksa data bisnis-bisnisnya yang kian sukses saja.
Namun satu hal, antara sepi atau memang inilah kemauannya. Valerie banyak merenung sendirian. Kesibukan lah teman hidupnya selama ini, apalagi adik-adiknya juga mulai tampak sibuk hingga mereka hanya bisa kumpul saat weekend saja.
Pernikahan? Jelas Valerie sering di tuntut perihal pernikahan oleh siapapun terutama para rekannya di kantor. Sebab melihat wanita itu begitu cantik, memiliki pekerjaan yang bagus, tapi masih terlihat menyendiri bahkan teman kencan pun tidak ada.
Namun Valerie tak pernah mau menjawabnya, ia hanya memilih diam. Pernikahan, cinta? Tidak sama sekali di dalam hidup Valerie sejak kejadian delapan tahun yang lalu. Disaat ia merasa lemah, hanya butuh sebuah sandaran untuk menguatkan dirinya sebagai anak sulung dengan adik-adik yang harus ia biayai. Tapi kenyataannya, ia justru di rendahkan oleh keluarga pria yang ia cintai.
Valerie memejamkan mata sejenak mengingat kejadian itu, menyakitkan sungguh masih sangat menyakitkan. Dan kini mata sang wanita terbuka kala tersentak atas ponselnya yang bergetar. Valerie menautkan alis melihat nomor asing disana. Ia tak mau mengangkatnya dan membiarkan saja.
Nomor itu terus menghubunginya, namun Valerie tetap tak mau menjawabnya. Sebab banyak hal seperti itu, ia tidak mau mengangkat jika tidak jelas siapa yang menghubunginya atau setidaknya sudah membuat janji dengannya.
Namun kini nomor itu mengirimkan pesan padanya, Valerie pun membukanya. Kini matanya membulat dan punggungnya menegak kala melihat sebuah foto pria tampan disana yang tampak tersenyum.
Devan Horwitz, pria itulah dalangnya. Ia kini mengirimkan foto selfienya pada Valerie dengan caption. "Ini aku Devan, please angkat teleponku."
Seketika ponsel Valerie bergetar kembali, Devan menghubunginya lagi. Valerie pun langsung mengangkatnya, "Iya tuan?"
"Devan..panggil Devan saja Vale.."
Valerie menghela nafas pelan, "Ya Devan?"
"Kau sedang dimana?"
Alis Valerie bertaut, "Di rumahku."
"Mari bertemu sekarang. Aku sedang tersesat saat ini. Aku akan mengirimkan lokasinya padamu. Ok? Aku tunggu." cecar Devan lalu langsung menutup panggilan telepon dan sebuah share lokasi pun terkirim ke ponsel Valerie.
Valerie hanya diam dengan wajah bengongnya, "Astaga, dia ini pria seperti apa? Pria unik." lirih Valerie.
* * *
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!