Readers 😇 Mohon untuk tidak membaca karya ini dengan cara melompat-lompat bab. Alur memang terkesan santai, tapi, saya memang sengaja.
Tujuannya adalah ingin membawa pembaca untuk meresapi sesak nya menjadi tokoh utama.
Diremehkan, direndahkan. Lalu,dengan usaha yang pantang menyerah, perlahan-lahan derajatnya di angkat.
Mohon kerja samanya ya, Readers 😍
*
*
"Raga, kamu itu kayak gak tau adikmu saja. Rama itu gak bisa di harapkan, anak sialan itu selalu saja menyusahkan ibumu ini. Memangnya kamu ada masalah apa sih?!"
Sore itu ku dengar, ibu mertua sedang menelfon Mas Raga yang sedang merantau di luar pulau. Mas Raga merupakan kakak tertua dari suami ku, Mas Rama.
Aku mengurut dada, hati ku serasa teriris ketika ibu mengatai suamiku dengan sebutan anak sialan. Memang ini bukan yang pertama kali, tetapi aku masih bingung hingga sekarang. Ada luka batin apa ibu pada suamiku? Sebagai ibu kandung, makiannya kejam sekali. Bagaimana kondisi Mas Rama saat masih kecil dulu? Aku benar-benar tidak bisa membayangkan.
"Terus nasib ibu bagaimana, Ga? Banyak banget loh ini iuran-iuran dan tagihan-tagihan yang perlu di bayar, sementara bapakmu baru pulang seminggu lagi. Masa sih, istrimu tidak bisa keluar sebentar untuk mentransfer uang, sesusah itu apa?!"
Sudah seminggu ini ibu mertua selalu uring-uringan karena Mas Raga telat mengirim uang bulanan. Biasanya paling telat tiga hari. Namun, entah kenapa kali ini kakak iparku itu telat, sampai-sampai ibu melampiaskan kekesalan nya padaku sejak pagi tadi.
"Astaga, kan ibu sudah bilang, adikmu itu gak berguna, Raga. Anak itu hidupnya selalu menyusahkan orang tua terus ...!" nada ibu semakin tinggi.
Hatiku kembali tercubit di dalam sana, rasanya tidak terima saat suamiku di hina seperti itu. Padahal sejauh ini, tagihan listrik dan air, iuran kampung, iuran RT, ku bayar dari gaji Mas Rama. Bahkan belanja makanan pun menggunakan uang suamiku. Berarti, sudah jelas uang yang di beri bapak mertua dan Mas Raga utuh di pegang ibu. Malah terkadang Mbak Raya, kakak dari Mas Rama, juga memberi ibunya uang, meskipun tidak rutin. Tapi, entah lah, di pakai untuk apa uang-uang itu.
...****************...
"Assalamu'alaikum."
Ku dengar suara dari ruang tamu, suara duniaku, Mas Rama.
"Wa'alaikumsalam." Aku menyambut kepulangan suamiku dengan senyum hangat. Segera ku sambar tangan kanannya dan ku cium dengan takzim.
Mas Rama menyandarkan tubuhnya di sofa, menyeruput es teh manis yang baru saja ku sediakan.
"Seger banget, terimakasih ya wahai istriku sayang, Alana." Mas Rama mengulum senyum.
Aku mengangguk pelan sambil mengulas senyuman tipis.
"Alana, Mas Raga sedang tertimpa musibah." Ucap Mas Rama setengah berbisik.
Ku lihat wajahnya yang mendung, ada kesedihan di wajahnya.
"Mas Raga kenapa, Mas?"
"Mas Raga masuk rumah sakit, Al. Kecelakaan waktu lagi panen sawit kemarin. Kata Mbak Utami, mesti di rawat inap semingguan. Untuk biaya pengobatan, di tanggung perusahaan, karena termasuk kecelakaan di jam kerja."
"Kalau Mbak Utami jagain Mas Raga di rumah sakit, Nanda dan Nindi siapa yang jagain, Mas?" Aku memikirkan kedua ponakanku yang masih belum cukup umur itu.
"Untuk sementara di titipin ke rumah tetangga, Al. "
"Syukurlah kalau begitu, Mas. Besok, aku telfon Mbak Utami ya, Mas. Oh iya, apa ibu sudah tau soal ini, Mas?"
"Sudah, Sayang. Mas Raga sudah menelpon ibu untuk mengabari."
"Oh, pantesan tadi ku dengar ibu ngobrol sama Mas Raga di telepon."
Mas Rama beranjak dari duduknya menuju kamar mandi, tampaknya pria ku itu sudah mulai gerah.
Semoga kejadian ini tidak berbuntut panjang, tapi, kok firasat ku mengatakan sebaliknya ya?
...****************...
"Kopi dan sarapannya sudah siap, Mas." Ucapku ketika melihat Mas Rama sudah rapih dengan baju kerja nya.
Mas Rama mengulas senyum tipis. "Ibu mana, Al?"
"Belum keluar kamar, Mas. Tadi sudah ku ketuk kamarnya, tapi tak ada jawaban. Apa mau di coba lagi, Mas? " tawarku.
Mas Rama menggeleng pelan. "Ayo sarapan bareng, Al."
Mas Rama mengunyah sarapan yang tersaji sambil sesekali menerawang. Entah apa yang tengah suamiku pikirkan.
Setelah menghabiskan sarapannya, Mas Rama bergegas berangkat ke pabrik.
Entah sengaja atau tidak, setelah Mas Rama berangkat, ibu baru keluar dari kamar dengan wajah masam dan langsung menuju ke kamar mandi. Ekspresi yang sudah biasa aku dapatkan setiap hari di rumah ini.
Ku lihat ibu keluar dari kamar mandi dan hendak belok ke kamarnya.
"Sarapannya gak di makan, Bu? Nanti magh Ibu bisa kumat, tadi malam juga kan gak makan." ucapku dengan harapan Ibu akan menyentuh sarapannya.
"Gak usah sok baik deh kamu, Lana. Kamu dan Rama itu sama saja, sama-sama bawa sial di rumah ini!" hardik Ibu dengan wajah ketus.
Ah, Ibu. Sikapnya semakin menjadi-jadi, aku benar-benar sudah tidak tahan lagi. Apalagi dia terus-terusan menyebut suamiku pembawa sial.
"Bawa sial? Emang kesialan seperti apa, Bu? Bu, ucapan itu adalah doa. Ibu tuh orang tua kandung suamiku loh, kok tega banget mulutnya mendoakan yang seperti itu?"
"Heh, Alana! Rama itu sejak lahir sudah bawa sial untuk keluarga ini, syukur-syukur aku tidak membuangnya ke jalanan ...!" nada bicara Ibu semakin tinggi, bahkan dadanya sampai naik turun.
"Astagfirullah, Bu. Anak itu anugrah dari Allah, tiap anak punya rezekinya masing-masing. Gak ada anak yang bawa sial, Bu. Allah menitipkan suamiku di rahim ibu dengan maksud tertentu."
"Iya, dengan maksud untuk bertemu wanita sial sepertimu. Ingat ya, Lana. Kamu itu hanya orang luar yang di bawa anak sial itu untuk menumpang hidup di rumah ini. Untung saja kamu mandul, coba kalau subur dan beranak pinak? Amit-amit deh harus menanggung beban dari anak sialan yang lahir dari pasangan sialan seperti kalian ...!"
Ya Allah, sakitnya hatiku.
Hatiku begitu tercabik-cabik mendengar perkataan ibu yang menusuk hati. Aku tak kuasa menahan air mataku, rembes sudah.
"Alana gak mandul, Bu. Kami bukan pasangan mandul, hanya saja Allah belum menitipkan rezeki itu pada kami. Kami juga bukan pembawa sial, dan anak yang terlahir dari Alana nanti, bukan lah anak sial, Bu." sahut Mas Rama di ambang pintu.
Mas Rama berjalan masuk menghampiri ku dan menggenggam erat jemariku.
Ibu sempat kaget dengan kedatangan Mas Rama, tapi hanya sebentar saja. Wajahnya kembali ketus, seperti biasa.
"Kamu itu memang pembawa sial, Rama. Pembawa musibah! Kamu mana ingat tentang kebun bapakmu yang terbakar tak lama setelah kamu lahir. Tentang kakekmu yang meninggal karena kepikiran kebunnya yang habis di lahap api. Terus, bapakmu kecelakaan dan harus istirahat berbulan-bulan. Semua itu terjadi sejak kau lahir, Rama. Masih juga gak nyadar?!" teriak ibu sekuat hati.
"Itu musibah, Bu. Hanya saja musibah itu terjadi setelah Rama dilahirkan, Ya Allah. Kenapa Ibu berburuk sangka seperti itu, Bu? Andai Rama bisa memilih kapan Rama di lahirkan, pasti Rama memilih lahir saat orang tua Rama sudah kaya raya, Bu. Tapi kenyataan nya, Rama gak bisa milih, Bu." Bergetar suara suamiku.
"Itu namanya pembawa sial, Ram. Dan setelah kalian menikah, anakku kecelakaan sampai-sampai tak bisa mengirimi ku uang. Itulah yang terjadi jika kau juga menikah dengan wanita pembawa sial." Ibu menoleh padaku, menatapku sinis.
"Astagfirullah. Bu, kami menikah sudah satu tahun, dan baru kali ini Mas Raga terlambat mengirim uang bulanan. Apa kesialan bagi Ibu hanya di ukur dengan uang? Tega sekali Ibu mengatai kami seperti ini, Apa kurang bakti ku selama ini, Bu? Selama ini aku berusaha melakukan yang terbaik, agar di anggap ada oleh Ibu dan Bapak. Tapi, selama ini, Ibu memperlakukan aku dengan berbeda di banding anak-anak ibu yang lain. Jatah makan, mainan, baju, bahkan sampai pendidikan, aku selalu di bedakan. Aku terima, Bu. InshaAllah aku ikhlas, tapi, kenapa seolah belum cukup Ibu menyakiti perasaan ku?" papar Mas Rama panjang lebar dengan suara bergetar.
"Intinya kamu memang anak pembawa sial, Rama. Padahal aku sudah ingin membuangmu ke panti asuhan, tapi bapakmu melarang. Kalau saja Bapakmu menurut, pasti hidup kami sekarang sudah senang." Ibu menatap sinis Mas Rama.
"Astagfirullah, Ya Allah. Benarkah aku dilahirkan dari rahimmu, Bu?" Suara yang bergetar itu, kini mulai terisak. Sakit sekali perasaan suamiku tentunya.
"Seandainya saja tidak, tapi, mau bagaimana lagi? Sudah nasib ku melahirkan anak sepertimu, bahkan masih menyusahkan ku sampai hari tua seperti ini. Ah, malangnya nasibku." cicit Ibu.
"Menyusahkan? Apa karena kami menumpang di rumah ini? Bu, meski menumpang, kami tidak berdiam diri. Istriku bahkan nyaris seperti pembantu di rumah ini, aku menyisihkan gaji ku untuk membantu Ibu. Meskipun tak banyak," sahut Mas Rama.
"Oh, jadi kamu mau mengungkit uangmu yang gak ada apa-apanya itu? Kamu mau hitung-hitungan? Yakin? Memangnya sebanding dengan pengorbanan orang tuamu , demi membiarkan mu hidup? Jadi kamu dan istri sial mu yang mandul ini mau hitung-hitungan? Ibu sumpahin kamu ya, kamu dan keturunan mu nanti akan selalu hidup dalam kesialan ...!"
"Astagfirullah, nyebut bu, nyebut. Surgaku memang lah ada di bawah kakimu, Bu. Namun aku percaya, Allah maha adil dan maha mengetahui. Aku masih diam saat ibu selalu mengatai aku anak sial, tapi, tidak dengan istriku, Bu. Aku tidak terima jika ibu menyumpahi istri dan keturunanku, Bu. Demi Allah aku tidak terima, Bu. Aku akan buktikan pada Bapak dan Ibu, bahwa anak yang selalu kalian bilang sial ini akan membawa rezeki untuk kalian di masa tua nanti."
"Halah, banyak omong! Sekarang juga, pergi kalian berdua dari sini. Bawa istri sial mu ini, melihat wajahnya saja aku mau muntah!" Ibu membanting pintu kamar sekuat hati.
Mas Rama terbelalak, air matanya sudah membasahi kedua pipi. Aku mengerti, dari semua makian ibu, hari inilah yang paling menyakitkan.
Aku memeluk erat tubuh suamiku, seolah memberinya kekuatan dan kesabaran.
Lihatlah ibu, akan ku buktikan bahwa suamiku bukanlah pembawa sial!
*
*
*
Setelah perdebatan panas antara Mas Rama dan ibunya, kami berdua segera berkemas. Sudah cukup, ibu memperlakukan kami dengan tak pantas.
Kami berkemas dalam diam, mata Mas Rama begitu bengkak. Entah sudah berapa banyak air mata yang ia tumpahkan sejak pagi ini. Jika saja bekal nya tak ketinggalan, tak akan Mas Rama mendengar kalimat menyakitkan dari ibunya. Ah, Mas Rama, malangnya nasibmu.
Kami mengetuk pintu kamar ibu, berpamitan dari luar, meskipun tak ada sahutan. Gegas kami keluar kala jemputan sudah datang.
"Ayo buruan, nanti keburu hujan," peringat Bang Dono, sahabat suami ku. Bang Dono lah yang mengurus transportasi kami dalam pindahan rumah hari ini.
Ku lihat bentangan langit, memang mulai gelap. Semoga kami tiba di rumah baru sebelum hujan turun.
Untung saja ada Bang Dono yang membantu mencari rumah sewa untuk kami, beruntung nya rumah yang akan kami tempati, tak berjarak jauh dari pabrik.
"Cuma ini saja barang kalian, Ram?" tanya Bang Dono pada Mas Rama.
"Iya, Don. Perabotan sengaja aku tinggal, biar tidak terjadi perdebatan lagi," jawab Mas Rama dengan suara serak.
"Yang sabar ya, Ram. Aku mengerti, semua ini pasti sulit. Tapi, percayalah, semua pasti ada hikmahnya." Bang Dono menepuk-nepuk pelan bahu Mas Rama.
...****************...
Empat puluh menit kami berkendara, akhirnya tiba juga di sebuah rumah dengan cat kuning, tampilan rumah yang lumayan bagus. Terlihat juga ada ibu-ibu yang tengah mengangkat jemuran nya, rintik gerimis mulai luruh.
"Permisi, Bu. Ini saya yang tadi kemari." ucap Bang Dono pada ibu yang tengah mengangkat jemuran.
"Oh, iya, yang mau bawa penyewa ya?" tanya Ibu dengan daster pink ramah.
"Iya, Bu. Ini orangnya sudah datang." Kedua telapak tangan Bang Dono mengarah pada aku dan Mas Rama.
Ibu yang tangannya sudah dipenuhi baju, tersenyum ramah. "Sebentar ya, saya bawa masuk baju-baju ini dulu."
Kami pun mengangguk paham. Tak berselang lama, ibu tadi sudah datang kembali.
"Ayo, saya antar lihat kontrakan," ajak Ibu yang belum ku ketahui siapa namanya.
Aku dan Mas Rama mengangguk setuju, dan gegas mengekor di belakang wanita paruh baya itu. Sedangkan Bang Dono menjaga barang-barang kami yang di titip ke rumah induk semang.
Setelah lima menit berjalan kaki, tibalah kami di sebuah rumah kontrakan yang dimaksud. Sebuah rumah empat pintu, bewarna hijau.
"Nah, yang ini yang kosong." Induk semang membuka sebuah pintu rumah yang berada paling pojok.
"Kondisi nya masih bagus, sering Ibu bersihkan juga. Rumahnya terdiri dari satu kamar tidur, satu ruang tamu, satu kamar mandi, dan dapur. Ada terasnya juga ya, meskipun tidak luas."
Aku dan Mas Rama berkeliling mengikuti induk semang memperlihatkan kondisi rumah.
"Oh, iya. Sampai lupa memperkenalkan diri, saya Nurma. Panggil saja Nur."
Bu Nur mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan, dengan senang hati aku menyambutnya.
"Saya Alana, Bu." Aku tersenyum ramah.
"Saya Rama." Mas Rama menjabat tangan Bu Nur.
Aku merasa cocok dengan kontrakan ini, cat nya juga masih terlihat bagus. Tinggal harga nya saja yang perlu aku pastikan.
"Untuk harga sewanya berapa ya, Bu?" tanya ku sopan.
"Nak Alana, mau bayar bulanan atau tahunan? Kalau tahunan, setahunnya tujuh juta rupiah. Kalau bulanan, perbulannya tujuh ratus ribu rupiah."
Lumayan juga selisihnya, tapi gak bisa juga jika langsung ambil setahun. Dana darurat kami pasti ujung-ujungnya akan terpakai untuk kebutuhan sehari-hari.
Mas Rama melihat ke arahku, seolah mengerti dengan kalkulator yang tengah menghitung di dalam kepala istrinya.
"Jika kami ambil enam bulan, apa ada potongan harga, Bu?" tanya Mas Rama.
"Hmm, gini aja. Saya kasih enam bulan, tiga juta tujuh ratus ribu, gimana?" kata Bu Nur.
Tentu saja kami setuju. Sepulang dari kontrakan, kami mampir ke rumah Bu Nur. Melakukan pembayaran, sekalian mengambil barang-barang kami yang dijaga oleh Bang Dono.
...****************...
Selesai berbenah rumah, aku dan Mas Rama menuju ke pasar terdekat untuk mencari beberapa perabotan.
Kami membeli kasur, kompor, lemari, kulkas, alat kebersihan, alat makan, rice cooker, dan beberapa macam panci dan wajan.
Hitung punya hitung, uang tabungan kami masih tersisa sepuluh juta setelah membeli semua yang kami butuhkan.
Tak berselang lama kami sampai di rumah, mobil pickup yang membawa barang perabotan kami tiba. Selesai barang diturunkan, gegas kami menata semua perabotan yang kami beli.
"Mas mandi duluan, atau kamu duluan yang mandi, Sayang?" tanya Mas Rama dengan peluh bercucuran.
"Alana duluan ya, Mas." jawabku.
"Ok, Sayang. Selesai mandi, baru kita cari makan untuk nanti malam ya."
Aku mengangguk kemudian berlalu meninggalkan Mas Rama seorang diri.
*
*
*
Aku dan mas Rama sudah menikah hampir satu tahun. Sebelas bulan tepatnya.
Aku, Alana, anak sulung dari dua bersaudara yang saat ini berumur 22 tahun.
Kami sudah yatim piatu sejak ibu meninggal sesaat setelah aku lulus SMA 4 tahun yang lalu. Ayah sendiri sudah meninggal waktu aku masih SD, dan adikku Bima masih TK. Ayah dan ibuku meninggal karena serangan jantung.
Semasa hidupnya dulu, Bapak adalah seorang buruh tani, sementara ibu hanya ibu rumah tangga yang menyalurkan hobinya yaitu membuat kue untuk membantu ekonomi keluarga. Ibu menerima pesanan kue yang tidak rutin.
Ibu punya tangan ajaib. Bahan apapun yang diolah ibu akan menjadi masakan yang enak. Menu andalan ibu adalah pepes. Apapun bahannya, jika diolah menjadi pepes oleh ibu, kami akan makan dengan lahap Bapak sampai menambah nasi.
Dulu waktu aku masih batita, ibu selalu memasak sambil menggendongku. Saat aku sudah agak besar, ibu membiarkanku membantunya di dapur, meski seringnya hanya membuat berantakan, sehingga sekarang aku sudah akrab dengan berbagai masakan dan bumbu dapur.
Saat bapak meninggal, dengan mewariskan rumah dan sepetak sawah. Sejak bapak sakit, sawah tersebut disewakan ke orang dengan sistem bagi hasil. Hasilnya tentu tidak sebesar saat digarap sendiri. Sementara kebutuhan semakin bertambah dengan bertambahnya umur kami, tidak mungkin ibu terus meminta-minta ke saudara-saudara. Akhirnya ibu mulai serius berjualan kue. Ibu menjual kue-kue buatannya untuk menghidupi dan menyekolahkan kami.
Malam hari kami buat kue untuk paginya kubawa ke sekolah untuk dititip ke kantin sekolah. Dan setelah subuh lanjut lagi buat beberapa kue untuk dijajakan ibu dan dititip ke warung-warung kenalan di kampung.
Dulu saat bapak masih hidup, bapak dan Bima lah yang menjadi pencicip resep-resep baru percobaan kami. Seringnya resep percobaan ibu berhasil, meski kadang-kadang gagal juga sih.
Kalau gagal, bapak tidak akan bilang kuenya tidak enak atau bantet. Tapi pakai kalimat-kalimat saran yang tidak menjatuhkan mental.
"Kalau pandannya ditambah, mungkin akan lebih wangi, Dek."
"Tadi mas lihat coklatnya sampe ada yang luber gitu."
Kalau hasilnya enak, bapak akan makan sambil manggut-manggut dan memberikan jempolnya. Bima ikut-ikutan bereaksi seperti bapak. Dia mencontoh apa yang bapak lakukan.
Aahhhh jadi kangen bapak dan ibu.
Setelah lulus SMA, aku pingin melanjutkan kuliah, tapi karena tidak mau membebani paman dan bibi, jadi aku mencari kerja saja.
Bima juga masih butuh biaya sekolah. Aku pingin dia sekolah sampai jadi sarjana. Tidak apa-apa aku cuma lulus SMA. Dan untungnya diterima kerja di sebuah toko roti di kota. Jadi bisa mengobati rasa kangenku ke ibu. Kuanggap aku sedang membuatkan kue untuk bapak dan ibuku.
Saat ini Bima sedang kuliah dengan jalur beasiswa. Kuliahnya masih separuh jalan lagi. Sejak SMA, dia tidak pernah minta uang padaku, meski aku rutin mengirimkan uang untuk biaya sekolahnya. Bima terbiasa mandiri karena menjadi satu-satunya pria dalam keluarga, dia merasa harus mandiri dan menjadi tulang punggung. Didikan bapak yang sangat sukses menurutku, meski melalui ibu. Sampai sekarang, rumah peninggalan almarhum bapak, kami sewakan dengan harga murah. Yang penting ada yang merawat rumah itu. Begitu juga dengan sewa sawah masih dilanjutkan.
Sementara aku dan Bima kos terpisah karena kami tinggal di kota yang berbeda.
Di toko kue ini awal mula aku ketemu mas Rama.
Kalau mas Rama adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Biasanya anak bungsu adalah anak yang paling dimanja. Tapi rupanya kondisi itu tidak berlaku untuk mas Rama.
Sebagai anak bungsu, justru nasibnya paling mengenaskan dibanding dua saudaranya yang lain.
Mas Rama sudah terbiasa bekerja sejak kecil. Sejak hampir lulus SMP tepatnya. Mulai dari penjaga warnet sampai tukang sapu di toko elektronik, dilakoninya setelah pulang sekolah. Bapak, ibu, dan kakak-kakaknya tidak ada yang tahu. Tidak ada yang peduli tepatnya. Justru yang memberinya nasihat adalah orang tua bang Dono. Orang tua bang Dono berjasa banyak dalam pendidikan mas Rama. Mas Rama pernah bilang, kalau ada kesempatan suatu saat nanti, dia pasti akan membalas hutang budinya.
Sebelum bekerja di pabrik yang sekarang, mas Rama bekerja sebagai staff di perusahaan tour and travel di ruko samping toko kue tempatku bekerja. Bosnya langganan kue di toko bosku untuk acara-acara kantornya maupun acara pribadi, dan biasanya mas Rama yang disuruh ambil pesanannya.
Karirnya di agen travel itu dimulai sebagai office boy karena hanya lulusan SMA, meski nilainya memuaskan. Katanya mau melanjutkan kuliah tapi dilarang oleh ibu. Padahal mas Rama dapat beasiswa. Entahlah kenapa ibu sampe segitu teganya ama mas Rama.
Bos mas Rama melihat kejujuran dan kegigihannya sampai beliau mendidik dan ajari mas Rama untuk menjadi staff ticketing.
Kantornya dekat dengan toko kue tempatku bekerja. Dari situlah kami dekat dan akhirnya menikah.
Tapi sayang, karena pandemi kantor itu harus tutup. Pak Imran, bos mas Rama yang merekomendasikan mas Rama ke pabrik temannya, tempat sekarang mas Rama bekerja. Pak Imran sebenarnya sayang harus melepaskan karyawan seperti mas Rama, tapi, kondisi memang tidak memungkinkan untuk tetap menggaji mas Rama.
Mas Rama ini orang yang mudah disukai sebenarnya, makanya aku heran kalo orang tuanya sendiri membencinya, terutama ibunya. Pria hangat, cerdas dan bertanggung jawab yang tidak pernah mengeluh dalam kondisi apapun.
Kakak-kakak mas Rama yaitu Mas Raga dan mbak Raya sendiri sebetulnya tidak membenci suami ku. Tapi juga tidak bisa bilang menyayangi dan besikap hangat selayaknya saudara kandung. Mungkin terbiasa melihat perlakuan ibu ke mas Rama. Dan kata mas Rama mereka juga dilarang untuk berbaik-baik ke mas Rama.
Aku hanya bertemu keluarga mas Rama dengan lengkap beberapa kali saja. Salah satunya waktu pernikahan kami. Mas Raga sekalian mudik bersama keluarga kecilnya.
Mendengar cerita mas Rama dan melihatnya sendiri selama hampir satu Kehidupanku tahun ini, aku bertekad tidak akan membedakan anak-anakku nanti. Dan pokoknya nanti akan kudukung mereka untuk terus sekolah atau berkarir sesuai yang mereka mau.
Tahun ini mas Rana berumur 26 tahun. Dia menikah denganku saat berumur 25 tahun, sementara aku masih berumur 21 tahun saat itu.
Aku tidak bercita-cita muluk, hanya ingin keluargaku bahagia dan sehat, pernikahanku langgeng.
Sekarang setelah pindah ke kontrakan, rasanya lebih bebas. Nanti aku akan minta ijin mas Rama untuk buka usaha di rumah. Siapa tahu warisan ibu yang berupa resep-resep masakan dan kue bisa membawa peruntungan untukku dan keluarga.
Kulihat ada kesempatan di kontrakan kami ini, karena penghuninya kebanyakan karyawan pabrik alias pegawai, dan warteg baru ada di depan kalau kami keluar gang.
Sementara posisi kontrakan ini ada di perempatan kampung.
Rencanaku pagi akan kujual menu sarapan, dan mungkin akan kuselipkan kue-kue dijualanku.
Aku berharap pilihan yang ku ambil ini akan membuka ladang rezeki untukku.
*
*
Jangan lupa subscribe ya readers 😬
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!