NovelToon NovelToon

Long Journey

1. Bjorn Erez

"Mari kita sambut dengan meriah!! Juara satu petarung kita!" seru pembawa acara dengan suara menggelegar yang membakar semangat penonton, mic di tangannya seakan menjadi tongkat komando yang mengendalikan riuh rendah arena "Pria muda master Muay Thai dan sabuk hitam Jiu Jitsu, yang telah meraih kemenangan selama beberapa tahun berturut-turut!" Sorak-sorai penonton membahana, menggetarkan seluruh arena.

"Inilah dia! Bjorn Erez!!"

Seolah disambut oleh badai tepuk tangan, Bjorn melangkahkan kaki dengan penuh percaya diri menuju podium.

Wajahnya yang tampan dihiasi senyum kemenangan, sementara sorot matanya tajam bagai elang yang siap menerkam mangsanya. Kehadirannya yang karismatik semakin membakar semangat para penonton, menciptakan atmosfer yang panas dan menegangkan.

"Terimakasih" dengan wajah datar menghadap keramaian penonton.

"Badannya tidak memar sama sekali"

"Badannya sungguh atletis"

"Dia pasti latihan keras setiap hari"

"Hah, aku hanya ingin cepat pulang, lalu tidur yang nyenyak"

Setelah hingar bingar seremoni penghargaan mereda, Bjorn melangkah menuju ruang ganti, tubuhnya yang lelah mendambakan istirahat.

Di dalam bilik pribadinya, ia mulai menanggalkan seragam bertarungnya, sementara suara riuh penonton di luar perlahan memudar, berganti dengan keheningan yang menyelimuti ruang ganti.

"Huh? Perasaanku barusan suaranya masih ramai" gumam Bjorn heran ketika ia keluar dari bilik, mendapati suasana lengang yang tak biasa. Namun, ia tak terlalu memusingkan hal itu, "Mungkin mereka sedang serius menonton pertandingan penutup" pikirnya sambil melangkah keluar, tak menyadari bahwa keheningan yang janggal itu adalah pertanda akan bahaya yang mengintai.

Baru saja Bjorn menghirup udara segar di luar gedung turnamen, melalui pintu belakang yang sepi, suara teriakan mengagetkannya, "Hei! Ada orang yang kabur!" teriak seseorang dari arah parkiran, larinya tergesa-gesa dengan seragam polisi lengkap yang membalut tubuhnya.

Bjorn mengerutkan kening, rasa heran bercampur penasaran menyeruak dalam benaknya, "Kabur? Siapa?" pikirnya, sementara langkahnya terhenti, mengamati situasi yang tiba-tiba menegang.

"Dia pasti anak buahnya Mendez!" teriak seorang polisi lain dari balik sudut gedung, suaranya dipenuhi amarah dan tekad.

Seketika, Bjorn menyadari situasi genting yang menimpanya. Gedung turnamen itu telah dikepung oleh aparat kepolisian! Ternyata, di balik hingar bingar pertandingan, sedang berlangsung operasi penangkapan besar-besaran terhadap Mendez, bos mafia kartel yang telah lama meresahkan masyarakat dengan bisnis obat-obatan terlarangnya.

Bjorn membeku di tempat, pikirannya berputar-putar mencoba mencerna situasi yang membingungkan ini. "Apa-apaan ini?" gumamnya lirih, kebingungan dan rasa takut mulai menjalari hatinya.

Tiba-tiba, seorang polisi muncul dari belakang, menghantam punggung Bjorn dengan keras hingga ia terjatuh ke tanah. "Angkat tanganmu!" bentak polisi itu, menodongkan pistolnya tepat di kepala Bjorn.

"Jangan bergerak! Kau ditangkap!"

"Tunggu dulu! Sebenarnya ini ada apa?!" protes Bjorn, suaranya bercampur dengan rasa kesal dan kebingungan.

"Aku bilang angkat tanganmu!" bentak polisi itu lagi, kali ini disertai tendangan keras yang mendarat di bokong Bjorn.

Rasa sakit dan penghinaan yang tiba-tiba membakar amarah Bjorn. "Brengsek! Setidaknya tanya aku baik-baik!" teriaknya, naluri bertarungnya bangkit seketika. Dengan gerakan cepat dan tak terduga, ia memutar tubuhnya, melepaskan tendangan mematikan yang mendarat tepat di wajah polisi itu. Terdengar suara tulang hidung patah, disertai jeritan kesakitan dari polisi yang tersungkur ke tanah. Bjorn bangkit berdiri, siap menghadapi apapun yang akan terjadi.

"Dia anjingnya Mendez! Tembak!" raung seorang polisi, suaranya bercampur dengan letusan senjata api yang memekakkan telinga. Seketika, hujan peluru menghujani Bjorn dari segala arah, menghantam dinding, memecahkan kaca jendela, dan merobek kesunyian malam.

Bjorn, yang masih terhuyung-huyung dalam kebingungan dan ketidaktahuannya, terjebak dalam pusaran kekerasan yang tak terduga. Tubuhnya tersentak setiap kali peluru panas menembus dagingnya, meninggalkan jejak-jejak merah pekat di seragamnya. Ia mencoba berlindung, mencari tempat aman di tengah kekacauan, namun sia-sia. Peluru-peluru itu tak henti-hentinya menyerangnya, merobek kulit, menghancurkan tulang, dan merampas tenaganya. Bjorn terjatuh, lututnya menyentuh aspal dingin.

"Sialan, lelucon seperti ini tidak lucu!" Bjorn terbatuk, darah menyembur dari sela-sela jarinya yang berusaha menutupi luka menganga di perutnya.

Napasnya tersengal-sengal, setiap tarikan dan hembusan napas terasa berat dan menyakitkan. Pandangannya mulai mengabur, dunia di sekitarnya berputar dan mendistorsi, berganti dengan kegelapan yang semakin pekat. Tubuhnya limbung, lalu ambruk di atas aspal dingin yang kini berlumuran darahnya sendiri. Kesadarannya menipis, namun di tengah kegelapan yang menjemput, sebuah pikiran terlintas di benaknya, "Ini... ini seperti... aku benar-benar akan mati..."

"Ah, sial"

.....

"Hei.. Nak"

"Hei, bangun" panggil seorang kakek disebelahnya.

Kelopak mata Bjorn yang terasa berat perlahan terbuka, menyipit sejenak untuk menyesuaikan diri dengan cahaya mentari yang menyilaukan. Hembusan angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, membawa serta aroma rerumputan dan bunga liar yang menenangkan. Nyanyian dedaunan yang bergesekan lembut dan kicauan burung-burung yang merdu seakan menjadi melodi penyambut bagi kesadarannya yang kembali.

Tapi, kebingungan langsung menyergap pikirannya. Ia terbaring di tengah padang rumput yang luas, tubuhnya terasa lemas dan tak berdaya. Pandangannya menyapu sekeliling, mencari petunjuk tentang di mana ia berada. Tak ada gedung pencakar langit, tak ada hiruk pikuk kota, yang terlihat hanyalah hamparan padang rumput hijau yang tak berujung dan beberapa gubuk reyot di kejauhan, tampak seperti pemukiman kumuh yang nyaris tak layak huni, "Di mana... di mana aku?" gumamnya lirih, suaranya serak dan parau. Ingatan terakhirnya adalah kepungan polisi, hujan peluru, dan rasa sakit yang luar biasa sebelum akhirnya kegelapan menelannya, "Apakah... apakah aku masih hidup?"

"Oh, kamu sudah bangun?" tanya seorang kakek dengan ramah, wajahnya dipenuhi kerutan khas orang yang telah banyak makan asam garam kehidupan. Ia berdiri di samping Bjorn, punggungnya sedikit membungkuk karena beban kayu bakar yang dipikulnya.

"Ah, iya," jawab Bjorn singkat, suaranya masih terdengar serak. Ia masih merasa linglung, pikirannya berputar-putar mencoba mencerna situasi yang dialaminya "Sebenarnya... ini di mana?" menatap sekeliling padang rumput yang asing.

Kakek itu tersenyum maklum, "Kamu kelihatan kurang sehat, anak muda. Jarang ada orang yang mengembala domba sampai ke sini. Apalagi, aku belum pernah melihatmu sebelumnya."

"Aku sendiri tidak mengingat apapun" jawab Bjorn jujur, nada suaranya datar dan kosong. Ia masih berusaha merangkai kepingan-kepingan ingatannya yang hilang, namun sia-sia. Yang tersisa hanyalah kekosongan dan kebingungan.

"Kalau begitu, mari ikut denganku. Sepertinya kamu bukan orang sekitar sini" tawar kakek itu dengan ramah, senyum tulus terukir di wajahnya yang keriput, "Rumahku tidak jauh dari sini. Kita bisa makan dan mengobrol di sana"

"Uhm... baiklah" jawab Bjorn ragu-ragu, namun dalam hatinya ia merasa sedikit lega. Setidaknya, ada seseorang yang bersedia membantunya di tengah situasi yang membingungkan ini.

"Ini mimpi? Ataukah aku sudah mati?" pertanyaan itu terus berputar-putar di benak Bjorn, sementara ia mengikuti langkah kakek itu. Suasana sekitar terasa begitu asing, seolah ia terlempar ke masa lalu, ke zaman yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Gubuk-gubuk reyot, pakaian lusuh yang dikenakan penduduk desa, dan alat-alat pertanian sederhana yang mereka gunakan, semuanya tampak seperti berasal dari zaman kuno.

Bjorn berjalan dengan kepala tertunduk, tatapannya kosong, pikirannya masih dipenuhi tanda tanya. Kakek itu memperhatikan Bjorn dengan seksama.

Ia dapat merasakan kesedihan dan kebingungan yang mendalam dari sorot mata anak muda itu. Rasa iba pun muncul di hatinya, "Sabarlah, anak muda" batinnya. "Semoga kamu segera menemukan jawaban atas semua pertanyaanmu."

Semburat jingga di ufuk barat perlahan memudar, menandai berakhirnya hari dan dimulainya malam. Kegelapan menyelimuti desa kecil itu, menghilangkan hiruk pikuk aktivitas penduduknya.

Di dalam sebuah gubuk sederhana, Bjorn duduk bersama keluarga kakek yang telah menolongnya. Mereka berkumpul di meja makan kayu yang kecil, hanya diterangi cahaya temaram sebatang lilin yang berdiri tegak di tengah meja. Suasana terasa hangat dan akrab, meski kesederhanaan tampak jelas di setiap sudut ruangan.

"Jadi, Nak? Aku bahkan belum tahu namamu" tanya Kakek Pluto, menatap Bjorn dengan ramah.

"Oh, maaf. Namaku Bjorn Erez" jawab Bjorn, sedikit tersentak dari lamunannya.

"Bjorn, ya? Nama yang bagus" komentar Kakek Pluto sambil tersenyum. "Kalau begitu, kenalkan, namaku Pluto"

Ia lalu menunjuk orang-orang yang duduk di sekeliling meja. "Itu menantuku, Sveilla, dan gadis kecil yang duduk di sampingku ini bernama Neil" Kakek Pluto mengelus kepala Neil dengan penuh kasih sayang.

"Salam kenal, Paman Bjorn!" sapa Neil dengan riang, matanya berbinar-binar, "Usiaku sepuluh tahun!"

"Lalu? Di mana ayahmu?" tanya Bjorn, mencoba mengalihkan pikirannya dari kebingungannya sendiri dengan mengajak Neil bercakap-cakap.

Namun, pertanyaan itu justru membuat Neil terdiam. Gadis kecil itu melipat bibirnya, alisnya menciut, wajahnya dibayangi kesedihan. Kakek Pluto menghela napas panjang, lalu menjawab dengan suara berat, "Anakku... tewas dimakan Naga Air saat sedang mencari ikan di selatan"

Bjorn tertegun. Matanya melotot, rahangnya mengeras. "Hei, Kek" protesnya tak percaya, "leluconmu itu tidak lucu"

"Jadi, kamu memang tidak tahu, ya?" Kakek Pluto menatap Bjorn dengan sorot mata prihatin, "Sepertinya kau memang orang jauh"

Sveilla, yang sedang sibuk menyiapkan makan malam di tungku api sederhana, menoleh sejenak dan menambahkan, "Ras manusia memang lemah, kita tidak memiliki kemampuan sihir seperti Elf, tidak memiliki fisik sekuat Ogre. Populasi manusia di dunia ini pun semakin tergerus oleh penindasan dan... hampir punah" Suaranya terdengar sendu, menyiratkan kepedihan yang mendalam.

Bjorn menggaruk kepalanya yang tidak gatal, perasaan bingung dan tidak percaya bercampur aduk dalam benaknya. "Oh, begitu" gumamnya pelan, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja ia dengar.

Ras manusia yang hampir punah? Naga air? Dunia yang dihuni oleh Elf dan Ogre? Semua terasa begitu asing dan tidak masuk akal.

"Jika kamu tidak memiliki tempat untuk pulang" Kakek Pluto memecah keheningan, suaranya teduh dan menenangkan, "kamu boleh tinggal di sini bersama kami." Tawaran itu tulus, diiringi senyuman hangat yang membuat Bjorn merasa sedikit lebih tenang di tengah kebingungannya.

...****************...

Hari-hari berlalu, dan Bjorn mulai terbiasa dengan kehidupan barunya di desa yang sunyi itu. Udara pagi yang segar dan pemandangan alam yang asri memberikan ketenangan tersendiri, membantunya melupakan masa lalu yang kelam dan membingungkan.

Pada suatu pagi, di halaman rumah Kakek Pluto, Bjorn melakukan pemanasan ringan, meregangkan otot-ototnya yang kaku.

"Bjorn? Kamu sedang apa?" tanya Kakek Pluto, muncul dari balik pintu dengan wajah penuh tanya.

"Pagi, Kek" sapa Bjorn sambil tersenyum. "Aku ingin berlari pagi, mencari keringat"

Kakek Pluto mengangguk-angguk, "Oh, begitu. Baiklah, hati-hati di jalan, ya"

"Tentu, Kek. Aku berangkat dulu," pamit Bjorn, lalu melesat pergi dengan langkah ringan, meninggalkan Kakek Pluto yang masih berdiri di depan pintu.

Berlari menyusuri jalan setapak di antara rumah-rumah penduduk desa memberikan pengalaman baru bagi Bjorn. Suasana pagi yang damai, udara segar yang menyegarkan paru-parunya, dan keramahan penduduk desa yang selalu menyapa dengan hangat membuat hatinya terasa ringan. Beberapa kali, ia bahkan ditawari untuk beristirahat sejenak di gubuk mereka, menikmati minuman hangat dan makanan ringan yang sederhana namun lezat.

Setelah berlari cukup jauh, Bjorn mulai merasa lelah. Ia pun memutuskan untuk beristirahat sejenak di tepi ladang buah milik salah seorang warga. "Hai, Bjorn. Mau teh?" sapa seorang pria paruh baya yang sedang beristirahat di bawah pohon rindang, setelah seharian mengolah ladang. Wajahnya yang ramah dan senyum tulusnya membuat Bjorn merasa diterima di komunitas kecil ini.

"Bjorn" pria itu memulai percakapan sambil menuangkan teh hangat ke dalam cangkir kayu, "wajahmu tampan dan warna rambutmu kekuningan, sangat berbeda dengan kami para penduduk desa. Apa kamu... keluarga bangsawan?" tanyanya dengan hati-hati, menatap Bjorn dengan rasa penasaran.

Bjorn mengerutkan kening. "Bangsawan? Memangnya ada yang seperti itu di sini?" tanyanya balik, kebingungan. Sejak terbangun di tempat asing ini, ia hanya bertemu dengan penduduk desa yang hidup sederhana, jauh dari kesan mewah atau kekuasaan.

Pria itu tampak terkejut dengan pertanyaan Bjorn. Raut wajahnya berubah, seolah-olah ia baru saja mengatakan sesuatu yang seharusnya dirahasiakan "Hah? Ah, maaf" ucapnya gugup, "Sebaiknya kita tidak membahas itu" Ia mengalihkan pandangannya, menghindari kontak mata dengan Bjorn. Suasana tiba-tiba terasa canggung.

Tiba-tiba, suara auman menggelegar memecah keheningan pagi, menggetarkan gendang telinga dan membuat jantung berdebar kencang. Auman itu begitu dahsyat, seolah-olah berasal dari makhluk buas yang mengerikan.

"Aaaaa! Tolong kami!" teriakan para petani terdengar dari arah ladang, diiringi langkah kaki panik yang berlarian tak tentu arah.

"Tolong! Ada Singa!"

Bjorn tersentak. Ia langsung melompat berdiri, naluri bertarungnya bangkit seketika. Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju sumber keributan, mengabaikan rasa takut yang mulai menyergap.

"Hei, Bjorn! Itu bahaya!" teriak pria paruh baya yang tadi mengajaknya minum teh, "Kau bisa dimakan oleh monster itu!" Ia berusaha menghentikan Bjorn, namun anak muda itu tak menghiraukannya. Tekadnya sudah bulat, ia harus melihat apa yang terjadi dan membantu jika memungkinkan.

Singa itu berdiri tegak di tengah jalan, bulunya yang keemasan berkibar tertiup angin, matanya yang tajam menatap Bjorn dengan sorot mengancam. Raungan dahsyatnya menggelegar, membuat tanah bergetar dan pepohonan di sekitarnya bergoyang. Bjorn berhenti berlari, menatap balik singa itu dengan tatapan menantang. Ia tak gentar, naluri bertarungnya justru semakin membara.

Dalam sekejap, singa itu melompat menerjang Bjorn, cakar-cakarnya yang tajam terjulur siap mencabik-cabik mangsanya.

Namun, Bjorn tak tinggal diam. Ia juga melompat, menghadapi serangan singa itu dengan keberanian yang luar biasa. Saat gigi-gigi tajam singa itu hampir mengoyak lehernya, Bjorn memutar tubuhnya dengan lincah, menghindari terkaman maut itu. Dalam gerakan yang sama, ia melepaskan tendangan kilat yang mendarat tepat di dagu singa.

DUAK!

Suara dentuman keras menggema di seluruh penjuru desa, bahkan sampai ke rumah Kakek Pluto. Singa raksasa itu, dengan bobot berkisar 700 kilogram, terpental jauh ke belakang, menghantam pepohonan hingga tumbang. Hening sesaat. Debu beterbangan, menutupi tubuh singa yang terkapar tak bernyawa. Bjorn berdiri tegak di tengah kekacauan itu, napasnya memburu, adrenalin mengalir deras dalam darahnya. Ia berhasil mengalahkan monster buas itu dengan tangan kosong!

"Maafkan aku, singa" bisik Bjorn, menatap bangkai singa yang terkapar tak bernyawa di antara pepohonan tumbang "Sialnya dirimu, bertemu denganku" Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, bukan senyuman kemenangan, melainkan sebuah ekspresi getir atas takdir yang mempertemukannya dengan makhluk malang itu.

Tak lama kemudian, penduduk desa berdatangan, langkah kaki mereka tergesa-gesa, penuh rasa ingin tahu bercampur cemas. Mereka mengerumuni Bjorn, mata mereka terbelalak tak percaya menyaksikan pemandangan di hadapan mereka. Seekor singa raksasa terkapar mati, dan Bjorn berdiri tegak di tengah-tengahnya, tanpa luka sedikitpun.

"Bjorn!" teriak seseorang dari antara kerumunan, suaranya dipenuhi kekaguman dan keheranan, "Sebenarnya... siapa dirimu?!"

2. Desa manusia buangan

"Aku? Aku Bjorn" jawabnya sambil memutar badan menghadap kerumunan penduduk desa yang menatapnya dengan tatapan takjub.

Jawaban polos Bjorn justru disambut dengan gelak tawa riuh dari para penduduk desa. "Kami tahu kau itu Bjorn, sudahlah!" seru salah seorang dari mereka, "Desa kami sudah memiliki pahlawan!"

Sorak sorai dan tepuk tangan bergemuruh, mengelilingi Bjorn dan memenuhi seluruh penjuru ladang. Mata Bjorn berbinar, hatinya dipenuhi kehangatan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Selama ini, sorakan dan tepuk tangan yang ia terima hanyalah untuk kemenangannya di atas arena, sebuah pengakuan atas kemampuan bertarungnya. Namun, sorakan yang ia terima saat ini terasa berbeda. Ia melihat kegembiraan dan rasa syukur yang tulus di mata para penduduk desa, seolah-olah mereka benar-benar senang memiliki dirinya. Ini bukan lagi tentang pertarungan, tentang menang atau kalah. Ini tentang melindungi, tentang arti kemenangan yang sesungguhnya.

Bjorn tersenyum, sebuah senyuman tulus yang lahir dari lubuk hatinya. Ia merasakan kekosongan di dalam dirinya perlahan terisi, digantikan oleh rasa kebersamaan dan tujuan hidup yang baru. Di desa kecil yang damai ini, di antara orang-orang sederhana yang menerima dirinya dengan tangan terbuka, Bjorn menemukan arti kemenangan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Kegembiraan penduduk desa tiba-tiba terusik oleh sebuah suara lantang dari tengah kerumunan. "Kakek Pluto" ucap seorang pria dengan nada bersemangat "Monster itu bisa membuat desa kita makmur jika kita jual di Serikat!"

Ucapannya sontak membuat suasana hening sejenak. Semua mata tertuju pada pria itu, lalu pada bangkai singa yang tergeletak tak bernyawa. Singa jenis Taring Beruang memang dikenal sebagai monster langka dan sangat sulit ditaklukkan. Tak heran jika harga jualnya di Serikat sangat tinggi.

Kakek Pluto terdiam, pikirannya berkecamuk. Di satu sisi, ia tergiur dengan keuntungan besar yang bisa didapatkan desa. Namun di sisi lain, ia merasa ngeri membayangkan bagaimana monster itu akan dimanfaatkan di Serikat. Ketakutan dan keraguan terpancar jelas di wajahnya.

"Nak Bjorn" Kakek Pluto akhirnya angkat bicara, menatap Bjorn dengan tatapan memohon "Apa tidak masalah jika bangkai monster itu kami jual?"

Bjorn, yang masih terkesima dengan sambutan meriah penduduk desa, tersentak dari lamunannya.

"Tidak apa-apa, Kek" jawabnya ringan. "Aku juga tidak punya niatan untuk mengubur hewan itu"

"Baiklah kalau begitu" Kakek Pluto menghela napas lega, "Kami para warga desa akan mengangkatnya ke kereta kuda." Ia kemudian memberi instruksi kepada beberapa warga untuk mengurus bangkai singa tersebut.

...****************...

Kakek Pluto berdiri di tengah ruangan megah dengan pilar-pilar menjulang tinggi dan lantai marmer yang berkilau.

Aroma dupa dan rempah-rempah yang eksotis menguar di udara, bercampur dengan bau kertas dan tinta yang khas. Di balik meja kayu yang kokoh, seorang pelayan resepsionis dengan seragam rapi menyambutnya dengan ramah.

"Halo, Kek? Apa kamu ingin membeli benih jagung lagi di musim ini?" sapa pelayan itu, mengenali Kakek Pluto yang memang sering datang ke Serikat untuk membeli kebutuhan pertanian.

"Kedatanganku ke sini tidak hanya untuk benih jagung, Nak" jawab Kakek Pluto dengan senyum lebar. "Aku menginginkan beberapa benih buah yang nikmat. Musim panen kali ini, aku ingin menanam sesuatu yang istimewa untuk desa kami."

"Oh? Pastikan kau membawa emas yang banyak, Kek" ucap pelayan itu sambil tersenyum, mengira Kakek Pluto akan membeli banyak barang.

"Aku tidak membawa emas ataupun perak sama sekali" jawab Kakek Pluto dengan tenang "tapi aku membawa mayat Singa Taring Beruang"

Suasana di dalam ruangan mendadak hening. Semua mata tertuju pada Kakek Pluto, termasuk para pelayan dan pengunjung lain yang sedang bertransaksi. Raut wajah mereka bercampur antara terkejut, tidak percaya, dan penasaran.

"Ka-kalau aku boleh tahu" pelayan itu tergagap, "Siapa yang melawan Singa itu, Kek?"

"Hoho," Kakek Pluto terkekeh, "Singa itu mati di ladangku, tanpa aku tahu penyebabnya" Ia sengaja menyembunyikan identitas Bjorn, takut jika anak muda itu akan terlibat masalah dengan para bangsawan licik yang haus kekuasaan.

"Baiklah, Kek" pelayan itu mengangguk hormat, "Silakan pilih benih dan peralatan yang ingin kau tukarkan. Para pelayan lainnya akan menurunkan bangkai Singa itu" Ia memberi isyarat kepada beberapa pelayan untuk segera mengurus bangkai singa yang dibawa Kakek Pluto.

...****************...

Mentari mulai terbenam, menghujani desa kecil itu dengan cahaya keemasan. Siluet gerobak Kakek Pluto tampak di kejauhan, membelah jalan setapak yang berdebu, kembali dari Serikat dengan muatan penuh barang berharga.

Para penduduk desa telah menanti kepulangannya dengan penuh harap, berkumpul di pintu masuk desa, mata mereka berbinar-binar menyaksikan gerobak yang semakin mendekat.

"Hoi, Kakek! Kami menunggumu!" seru mereka riuh, suara mereka dipenuhi kegembiraan dan rasa syukur.

Bjorn berdiri di antara kerumunan, hatinya dipenuhi kehangatan. Ia menyaksikan Kakek Pluto membagikan benih-benih unggul, peralatan pertanian baru, dan bahan makanan yang melimpah kepada penduduk desa. Wajah-wajah mereka berseri-seri, pancaran kebahagiaan terukir jelas di setiap kerutan dan senyuman. Bjorn merasakan kebersamaan yang erat di desa ini, sebuah ikatan yang terjalin oleh rasa saling peduli dan berbagi. Ia merasa diterima, diperlakukan dengan baik bahkan sejak mereka belum mengenalnya. Rasa syukur dan keharuan memenuhi hatinya. Ia telah menemukan tempat di mana ia bisa merasa diterima dan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

......................

Malam ini, di meja kayu lusuh yang sama, keluarga Kakek Pluto berkumpul untuk menikmati makan malam. Namun, suasana terasa berbeda. Tak ada lagi semangkuk sup kentang sederhana yang menjadi hidangan utama mereka. Malam ini, Sveilla telah menyiapkan berbagai hidangan istimewa. Daging sapi panggang yang menggugah selera, ikan bakar dengan aroma rempah yang harum, dan ayam panggang yang berkilauan dengan lapisan madu.

Aroma lezat memenuhi ruangan, membuat perut keroncongan dan air liur menetes. "Hari ini kita tidak perlu memakan sup kentang" ucap Sveilla dengan senyum bahagia, sambil meletakkan hidangan terakhir di atas meja. "Setidaknya, makanlah dengan rasa syukur hidangan nikmat ini."

"Aku mau daging sapinya, Bu!" pinta Neil, matanya berbinar-binar menatap potongan daging sapi panggang yang menggiurkan.

"Hei, hei, itu milik Paman Bjorn" larang Sveilla sambil menepuk pelan tangan Neil yang hendak meraih daging tersebut.

Neil langsung cemberut, bibirnya manyun, wajahnya berubah murung. Ia mengelus-elus tangannya yang ditepuk Sveilla, seolah merasa sedih karena tidak diizinkan mengambil daging yang diinginkannya.

Melihat ekspresi Neil, Bjorn pun merasa kasihan. "Kamu boleh memakannya, kok" ucap Bjorn sambil tersenyum ramah dan mengelus kepala Neil. "Makan yang banyak, ya, supaya kamu cepat tumbuh besar dan kuat"

Wajah Neil seketika berbinar kembali. "Terima kasih, Paman!" serunya riang, lalu dengan lahap menyantap daging sapi panggang yang diberikan Bjorn.

"Yasudah, sebentar lagi daging yang lainnya akan segera matang," sambung Sveilla, membalikkan daging ayam dan ikan di atas panggangan agar matang merata. "Tunggu sebentar, ya."

...****************...

Di dalam gedung Serikat yang megah, di sebuah ruangan yang dipenuhi peta-peta kuno dan dokumen-dokumen penting, para petinggi Serikat sedang mengadakan rapat mendadak.

Suasana terasa tegang, aura kekhawatiran menyelimuti ruangan yang biasanya dipenuhi dengan perbincangan bisnis dan strategi ekonomi.

"Aku dengar tadi siang ada seseorang yang menjual bangkai Singa Taring Beruang" ucap Parley, kepala Serikat, dengan nada serius. Ia duduk di balik meja kerjanya yang terbuat dari kayu mahoni, wajahnya yang tegas tampak berkerut.

"Benar, Tuan" jawab salah seorang anggota Serikat, "Dan orang yang membawa monster itu berasal dari desa jelata."

Berita tentang Singa Taring Beruang yang tiba-tiba muncul dan dibawa oleh penduduk desa jelata telah mengguncang Serikat. Para pelayan dan anggota Serikat merasa ketakutan, berbagai spekulasi dan pertanyaan muncul di benak mereka.

"Apakah ini pertanda kalau Ras Iblis sudah bergerak?" bisik salah seorang pelayan dengan cemas, menyuarakan ketakutan yang menghantui mereka semua.

"Berhenti bicara seperti itu!" potong Parley dengan tegas, suaranya berwibawa menggema di ruangan itu.

"Kita tidak boleh gegabah mengambil kesimpulan. Belum ada bukti yang menunjukkan keterlibatan Ras Iblis dalam hal ini."

"Lalu ini ulah siapa, Tuan?" bantah salah seorang anggota Serikat. "Saat diotopsi, kami melihat bekas luka parah di dagunya, dan tidak ada luka lain selain itu. Ini terlihat jelas kalau monster ini mati dengan sekali serang. Aku berasumsi kalau monster ini menerima Palu Dosa dari Raja Iblis"

Raut wajah Parley semakin serius. Ia mondar-mandir di ruangan itu, kegelisahan terpancar jelas dari gerak-geriknya. "Adry" panggilnya kepada salah seorang pelayan yang berdiri di dekat pintu, "tolong selidiki lagi kematian singa itu. Cari tahu siapa yang membunuhnya dan apa motifnya. Berhati-hatilah, jangan libatkan dirimu dalam bahaya"

Parley mengusap keringat dingin yang mulai membasahi dahinya. Firasatnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang besar sedang terjadi, sesuatu yang mungkin akan mengguncang dunia mereka.

Tanpa disadari oleh Parley dan para petinggi Serikat yang sedang asyik berdiskusi, sesosok bayangan gelap bergerak di luar gedung. Dengan lincah dan senyap, ia menyelinap di antara pepohonan dan semak-semak, mendekati jendela ruangan rapat. Telinganya yang tajam menangkap setiap kata yang terucap di dalam, menyerap informasi penting tentang Singa Taring Beruang dan spekulasi tentang keterlibatan Ras Iblis. Setelah merasa cukup puas, bayangan itu menghilang kembali ke dalam kegelapan malam, meninggalkan Serikat tanpa jejak, membawa rahasia yang baru saja ia curi.

Di dalam ruang singgasana yang megah, dihiasi ornamen-ornamen emas dan batu permata yang berkilauan, Raja Iblis Asmodeus duduk dengan angkuh di singgasananya.

Sosoknya yang tinggi besar dan menakutkan memancarkan aura kekuasaan yang tak terbantahkan. Di hadapannya, Kartos, pelayan setianya yang baru saja kembali dari misi pengintaian, berlutut dengan kepala tertunduk.

"Yang Mulia Asmodeus" lapor Kartos dengan suara rendah, "Saya mendapatkan informasi dari manusia, bahwa Anda diduga membunuh Singa Taring Beruang"

Asmodeus mengangkat sebelah alisnya, ekspresi wajahnya tak terbaca. Jari-jarinya yang lentik mengetuk-ngetuk pelan di pipinya, seolah sedang merenungkan sesuatu. "Huh?" gumamnya dengan nada heran, "Aku bahkan hanya tertidur di dalam istana ini seharian."

*(istana raja Asmodeus berada di puncak gunung, itu karena puncak gunung adalah tempat kesukaan para iblis)

"Saya hanya menyampaikan informasi yang saya terima, Yang Mulia" jawab Kartos dengan nada datar, tetap mempertahankan sikap tunduknya.

Asmodeus terdiam sejenak, jemarinya berhenti mengetuk. Tatapan matanya yang tajam seolah menembus Kartos, membuat pelayan setianya itu semakin menundukkan kepala. "Anak pintar" ucap Asmodeus akhirnya, nada suaranya terdengar dingin dan menusuk, "kalau begitu aku ingin kau segera menyelidiki desa jelata itu. Bawa 100 pasukanmu. Cari tahu siapa yang membunuh Singa Taring Beruang itu. Dan ingat" Asmodeus memberi penekanan pada kalimat berikutnya, "pastikan kau tidak membakar sedikit pun desa itu"

"Baik, Yang Mulia" jawab Kartos patuh. "Saya permisi" Ia membungkuk dalam-dalam, lalu berbalik meninggalkan ruang singgasana, meninggalkan Asmodeus yang kembali termenung di singgasananya, pikirannya dipenuhi pertanyaan dan rencana yang belum terungkap.

3. Api dan emosi

"Ngomong-ngomong, paman" Neil memulai percakapan dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu, "saat paman mengalahkan monster mengerikan itu... apa yang paman lakukan padanya?"

Bjorn terdiam sejenak, mengingat kembali pertarungannya dengan Singa Taring Beruang. "Aku hanya melakukan bela diri Taekwondo" jawabnya singkat.

Neil mengerutkan kening, tampak bingung. "Taekwondo? Bela diri? Apa itu, paman?"

"Aku juga baru dengar kalimat itu" timpal Kakek Pluto, ikut penasaran.

Sveilla, yang sedang sibuk mengaduk masakan di tungku api, menoleh ke arah mereka.Telinganya ikut menangkap percakapan yang menarik perhatiannya, sementara tangannya tetap lincah mengolah bahan makanan.

"Bela diri adalah saat di mana kamu harus bisa membela dirimu dan membela orang lain dari orang jahat" jelas Bjorn dengan sabar. "Dan Taekwondo adalah salah satu dari ilmu bela diri yang berfokus pada kekuatan kaki"

"Paman hebat!" seru Neil dengan mata berbinar-binar, kekaguman terpancar jelas di wajahnya. "Aku ingin belajar bela diri!"

"Aku juga ingin melindungi Kakek dan Ibu dari monster jahat!" tambahnya dengan semangat menggebu-gebu.

Bjorn tersenyum, tersentuh oleh keinginan Neil yang polos. "Boleh saja" jawabnya sambil mengelus kepala Neil, "Besok kita harus bangun pagi-pagi sekali jika ingin latihan"

Neil mengangguk antusias, senyum lebar menghiasi wajahnya. "Siap, Paman!"

Nyala api di tungku perlahan menari-nari lemah, kian mengecil hingga hanya menyisakan bara api yang membara. "Ah, kayu bakar kita habis" keluh Sveilla, mengamati api yang hampir padam dengan wajah cemas. "Padahal masakanku belum matang"

Aroma sedap yang menguar dari panci-panci di atas tungku terancam hangus jika api tidak segera dinyalakan kembali.

Kakek Pluto, yang sedari tadi asyik mengobrol dengan Bjorn dan Neil, menoleh ke arah Sveilla. "Bjorn" pintanya dengan nada lembut, "kalau begitu, aku minta tolong ambilkan kayu bakar di hutan belakang desa, ya? Malam semakin dingin, dan kita butuh api untuk menghangatkan diri"

"Ah, baik, Kek" jawab Bjorn sigap, selalu siap membantu keluarga yang telah menerimanya dengan tangan terbuka. Ia bangkit dari kursinya, bersiap menuju kegelapan hutan.

"Aku mau ikut!" seru Neil tiba-tiba, matanya berbinar-binar penuh semangat. "Paman pasti takut gelap!" ejeknya, menyembunyikan niat sebenarnya untuk berpetualang bersama Bjorn di bawah sinar rembulan.

Bjorn tersenyum geli mendengar celotehan Neil. "Ah, masa sih?" godanya, "Neil berani ikut ke hutan? Tidak takut ada monster di sana?"

Neil mendongakkan dagunya, berlagak berani. "Tidak takut! Kan ada Paman Bjorn yang jago bela diri!"

Melihat semangat Neil, Sveilla pun tak tega melarang. "Baiklah, baiklah, kalian boleh pergi bersama" ucapnya sambil tersenyum. "Tapi ingat, jangan terlalu jauh masuk ke dalam hutan, dan cepatlah kembali"

"Hore!" Neil bersorak kegirangan, lalu meraih tangan Bjorn dan menariknya keluar rumah. "Ayo, Paman! Kita cari kayu bakar!" Bjorn tertawa kecil, menuruti ajakan Neil.

Bersama-sama, mereka melangkah keluar, menuju kegelapan hutan yang menanti di balik pintu. Cahaya bulan purnama menjadi satu-satunya penerang, menemani langkah kaki mereka yang menapaki jalan setapak yang dipenuhi dedaunan kering.

Neil, yang awalnya bersemangat, mulai merasa takut saat kegelapan hutan semakin pekat. Ia berlari kecil di samping Bjorn, memegang erat tangan sang paman.

"Paman, kenapa kita tidak mengambil kayu itu saja?" tanyanya sambil menunjuk ke arah ranting-ranting kayu yang berserakan di tanah.

"Aku juga tidak tahu, Neil" jawab Bjorn sambil terus berlari, matanya awas mengamati sekeliling. "Kayu di sini basah semua. Tidak akan mudah terbakar"

Mereka terus berlari menyusuri jalan setapak, memasuki bagian hutan yang semakin gelap dan sunyi. Akhirnya, di antara pepohonan yang lebat, Bjorn menemukan tumpukan kayu kering yang cukup besar. "Nah, ini dia!" serunya. "Ayo kita kumpulkan, Neil"

Dengan cekatan, Bjorn mengikat kayu-kayu kering itu menjadi beberapa ikatan, sementara Neil membantunya mengumpulkan ranting-ranting kecil.

Setelah selesai, Bjorn menggendong beberapa ikatan kayu di punggungnya, sementara Neil dengan riang menaiki bahunya.

"Ayo kita pulang, paman!" seru Neil, memeluk leher Bjorn erat-erat. "Ibu pasti sudah lapar!" Bjorn tersenyum, lalu mulai berlari kembali menyusuri jalan setapak, kali ini dengan langkah yang lebih ringan dan hati yang senang karena telah berhasil menemukan kayu bakar.

Neil, yang duduk nyaman di bahunya, menikmati perjalanan pulang dengan riang gembira, tak sabar untuk segera menikmati makan malam bersama keluarganya.

Berlari kecil di antara pepohonan, Bjorn tiba-tiba mencium bau asap yang aneh.

"Aneh, di hutan selembab ini kok ada bau asap?" gumamnya heran.

"Paman, berhenti!" Neil menepuk-nepuk kepala Bjorn.

"Ada apa, Neil?"

"Aku mau pipis"

Neil turun dari bahu Bjorn dan bersembunyi di balik pohon besar. "Paman, jangan tinggalkan aku ya, tunggu sebentar" pintanya dengan suara kecil.

"Iya, Neil. Aku tunggu" jawab Bjorn sambil tersenyum kecil. Ia teringat ejekan Neil tentang dirinya yang takut gelap, padahal kenyataannya justru Neil yang ketakutan. Tak lama kemudian, Neil muncul dari balik pohon. "Sudah, Paman!"

"Paman, bau apa ini?" tanya Neil, hidung kecilnya mengernyit mencium aroma tak sedap yang semakin menyengat.

Bjorn menghentikan langkahnya, menghirup udara dalam-dalam. "Asap" jawabnya singkat, wajahnya menegang. Hidungnya yang sensitif terhadap bau dapat mengenali aroma asap dari jarak yang cukup jauh. "Dan sepertinya... asap itu berasal dari desa"

Neil terbelalak kaget. "Apa?!" serunya, kecemasan mulai menyergap hatinya. Tanpa membuang waktu, Bjorn berlari sekuat tenaga menuju desa, Neil tetap berpegangan erat di bahunya.

Semakin dekat mereka dengan desa, semakin jelas terlihat kobaran api yang menjilat-jilat langit malam. Nyala api yang ganas melahap rumah-rumah penduduk, menciptakan neraka di bumi.

Neil, yang menyaksikan pemandangan mengerikan itu dari atas bahu Bjorn, menjerit ketakutan.

"Paman! Api apa itu?!" tanyanya dengan suara gemetar, tak mampu lagi menyembunyikan rasa takutnya. Api itu begitu besar, hampir menutupi seluruh desa. Neil bahkan tak bisa lagi melihat rumah Kakek Pluto di antara kobaran api.

Bjorn tidak menjawab. Wajahnya pucat pasi, rahangnya mengeras. Ia mempercepat larinya, hatinya dipenuhi kecemasan dan amarah. Neil, yang merasakan perubahan pada diri Bjorn, semakin khawatir. Ia memeluk kepala Bjorn erat-erat, mencoba mencari perlindungan di tengah kepanikan yang melanda. Firasat buruk menghantam hatinya.

Bjorn berdiri mematung di depan desa yang telah berubah menjadi lautan api.

Gubuk-gubuk kayu yang dulu berdiri kokoh kini hanya tinggal puing-puing hangus. Asap tebal membubung tinggi, menyelimuti desa dengan aroma kematian. Neil, yang masih berada di bahu Bjorn, menangis tersedu-sedu, tak mampu berkata-kata menyaksikan pemandangan mengerikan di hadapannya. Desanya... telah lenyap.

Tiba-tiba, di antara kobaran api dan kepulan asap, terdengar suara teriakan memilukan. Seorang wanita dengan tubuh bersimbah darah muncul dari balik reruntuhan rumah yang terbakar, berlari sempoyongan sambil memanggil nama Neil.

"Neil! Neil! Jangan ke mari!" teriakan itu parau dan putus asa, namun Bjorn langsung mengenali suara itu. Itu suara Sveilla!

Bjorn dan Neil terbelalak ngeri saat melihat sesosok bayangan gelap muncul dari balik kobaran api, mengejar Sveilla dengan langkah-langkah panjang.

Sosok itu mengenakan zirah besi hitam yang menutupi seluruh tubuhnya, termasuk wajahnya, dan menggenggam kapak kecil yang berkilat mengancam.

Jantung Bjorn berdegup kencang, keringat dingin mengucur deras di sekujur tubuhnya. Ia merasakan firasat buruk yang semakin kuat.

Neil, yang melihat ibunya dalam bahaya, langsung melompat dari bahu Bjorn. "Ibu!" teriaknya sambil berlari ke arah Sveilla, air mata mengalir deras di pipinya. "Ibu! Aku di sini!"

"Ibuuu!!!" Jeritan Neil yang memilukan menggema di antara kobaran api, mencabik-cabik hati Bjorn yang dipenuhi rasa ngeri. Pria berzirah itu, dengan kekejaman yang tak terbayangkan, menebas Sveilla dari belakang.

Tubuh Sveilla yang rapuh terhuyung, lalu ambruk di tanah, darah segar mengalir deras, menodai tanah yang hangus terbakar.

Neil berlari sekuat tenaga menuju ibunya, namun pria berzirah itu tak membiarkannya. Dengan kapak teracung, ia berbalik menghadap Neil, siap untuk menghabisi gadis kecil yang tak berdaya itu. Neil berhenti berlari, kakinya lemas, tubuhnya gemetar ketakutan. Ia hanya bisa menatap pasrah kapak yang berayun ke arahnya, menunggu ajal yang tak terelakkan.

Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi. Sebuah bayangan melesat dari samping, menerjang pria berzirah itu dengan kecepatan kilat. "AARRGGHH!!" Bjorn, dengan mata merah menyala dan air mata mengalir di pipinya, menangkis kapak yang hampir mengenai Neil dengan tangan kosong. Tanpa ampun, ia menghujamkan tinjunya ke wajah pria berzirah itu, melepaskan semua amarah dan kesedihan yang membuncah di dadanya.

Pukulan Bjorn begitu dahsyat, menghantam pria berzirah itu hingga terpental jauh, menabrak bukit di depan desa. Suara benturan keras menggema di seluruh penjuru, disertai gelombang kejut yang memadamkan sebagian besar api di desa.

Neil, yang terpaku di tempatnya, hanya bisa menatap tak percaya apa yang baru saja terjadi. Bjorn... telah menyelamatkannya.

Melihat pemimpin mereka terpental tak berdaya, para prajurit berzirah hitam lainnya yang masih tersisa panik dan tercerai-berai. Mereka mengepakkan sayap-sayap hitam mereka, melarikan diri ke angkasa, meninggalkan desa yang telah mereka hancurkan dalam kobaran api dan keputusasaan.

Bjorn, yang menyaksikan kekejaman mereka dan kematian tragis Sveilla, dipenuhi amarah yang tak terkendali. Ia meraung seperti binatang buas yang terluka, suaranya menggelegar memecah kesunyian malam. "AARRGGHH!!!"

Dengan kekuatan yang melampaui batas manusia, ia mencabut batu besar yang tertanam di tanah, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya. "KEMARI!BANTAI AKU! PECUNDANG!" teriaknya, suaranya bergema di antara puing-puing desa yang hancur.

Dengan sekuat tenaga, ia melemparkan batu besar itu ke arah para prajurit yang terbang melarikan diri. Batu itu melesat bagai meteor, membelah angkasa, mengejar para pengecut yang telah menghancurkan hidupnya.

Raungan amarah Bjorn yang menggelegar, bercampur dengan suara ledakan batu yang menghantam bukit, menggema hingga ke istana Raja Iblis Asmodeus. Dinding-dinding istana yang kokoh bergetar, seolah-olah diguncang gempa bumi.

Asmodeus, yang sedang menikmati anggur merah di balkon istananya, mengerutkan kening. Ia melangkah ke tepi balkon, menatap ke arah bawah, ke arah desa yang telah luluh lantak.

"Ternyata ada ras yang mengerikan di bawah sana" gumamnya dengan nada tertarik, sebuah seringai tipis menghiasi bibirnya.

Asmodeus berbalik, melangkah kembali ke dalam istana. Matanya yang tajam menemukan Kartos yang berdiri dengan tubuh gemetar. Tanpa sepatah kata pun, Asmodeus mencengkram kerah baju Kartos, mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu membantingnya ke tanah dengan kekuatan yang mengerikan. Tubuh Kartos menghantam lantai marmer, menciptakan retakan dan lubang yang dalam.

"Bukankah sudah kubilang jangan membakar sedikit pun desa itu, Kartos?" tanya Asmodeus dengan suara lembut yang justru terdengar lebih menakutkan.

"Sa-saya bersumpah atas nama Asmodeus, saya tidak melakukannya" jawab Kartos dengan terbata-bata, kesulitan berbicara karena rasa sakit yang menyiksa.

Asmodeus mengangkat sebelah alisnya, tatapannya menusuk dan penuh kecurigaan. "Oh? Lalu ini ulah siapa?"

"Saya... saya tidak tahu, Yang Mulia" jawab Kartos dengan suara lirih, ketakutan mencengkeram hatinya.

.........

Tetes-tetes hujan mulai jatuh, membasahi bumi yang hangus dan mencuci jejak-jejak kekejaman.

Setetes demi setetes, hujan itu berubah menjadi guyuran deras, diiringi gemuruh petir yang menggelegar, seolah-olah langit pun turut menangisi tragedi yang baru saja terjadi.

Di tengah hujan yang menyayat hati, Neil masih bersimpuh di samping jasad ibunya. Ia memeluk erat tubuh Sveilla yang telah dingin dan kaku, air matanya bercampur dengan air hujan.

"Ibu..." panggilnya lirih, suaranya terbata-bata. Namun, tak ada jawaban. Sveilla telah pergi untuk selamanya, meninggalkannya sendirian di dunia yang penuh kekejaman.

"Ibu, aku sudah berjanji akan berlatih bela diri untuk melindungimu dari monster jahat" isak Neil, memeluk erat ibunya. "Tapi... bahkan yang membunuh Ibu bukanlah monster..."

Kalimat terakhir Neil tergantung di udara, terbawa angin malam yang dingin.

Ia mengerti sekarang, bahwa monster yang sesungguhnya bukanlah makhluk buas bertaring tajam, melainkan manusia itu sendiri, dengan kekejaman dan keserakahan yang tak berbatas.

Bjorn melangkah perlahan, mendekati Neil yang masih terisak di samping jasad ibunya. Air hujan membasahi rambut dan pakaiannya, bercampur dengan air mata yang tak henti mengalir. Ia berjongkok di hadapan Neil, tangannya terulur mengusap lembut kepala gadis kecil itu.

"Neil" panggil Bjorn dengan suara serak, namun penuh tekad. "Ingatlah hari ini. Aku akan mengajarmu bela diri, dan aku akan membuat mereka mati dalam keadaan paling buruk"

Neil mendongak, air mata dan air hujan memburamkan pandangannya. Ia menatap wajah Bjorn, wajah yang biasanya tenang dan ramah kini terlihat mengerikan. Tatapan Bjorn kosong, namun di balik kekosongan itu, tersimpan api emosi yang membara, amarah dan dendam yang siap membakar siapapun yang berani menghalangi jalannya.

Neil menelan ludah, merasakan aura berbahaya yang memancar dari diri Bjorn. Ia tahu, pamannya yang baik hati telah berubah. Dan ia siap mengikuti Bjorn, apapun yang terjadi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!