NovelToon NovelToon

DIANA

Bab 1. Prolog

Pada tahun 1998 lahirlah bayi mungil yang diberi nama Diana Saraswati ia hidup di keluarga sederhana Ayah Diana kerja serabutan dan Ibunya hanya ibu rumah tangga.

Diana mempunyai adik yang umurnya lebih muda 2 tahun darinya bernama Andi Setiawan, keluarga Diana tidak memiliki rumah sehingga selalu berpindah-pindah tempat tinggal dan akhirnya orang tua Diana memutuskan mengontrak rumah di desa S.

Tepat umur Diana yang ke lima tahun Diana bermain bersama adiknya didepan rumah sedangkan sang Ibu berada di dalam rumah.

Beberapa menit kemudian Diana dipanggil seorang pria yang mana tetangga sebelah dan dengan polosnya Diana menghampirinya tanpa tahu bahaya sedang mengancam didepannya.

Diana diajak masuk kedalam rumah pria tersebut seketika itu Ibu Diana merasa tidak enak hatinya beliau mencoba melihat keadaan anak-anaknya Bu Sari (ibunda Diana) hanya melihat Andi saja lalu Bu Sari menghampirinya.

"Andi dimana kakakmu?"

Dengan rasa penasaran Bu Sari memperhatikan telunjuk Andi yang mengarah ke sebuah rumah yang tak jauh dari kontrakannya seketika itu perasaan Bu Sari tidak karuan dalam benaknya terdapat banyak sekali prasangka buruk yang bersarang di otaknya.

Tepat didepan sebuah rumah yang terbuat dari anyaman bambu itu Bu Sari mencoba mengintip apa yang terjadi didalamnya.

Dengan perasaan campur aduk dan tangan yang gemetar Bu Sari melihat seorang pria sedang menidurkan sang putri tercinta di pembaringan seraya melucuti pakaian anaknya.

Dengan sekuat tenaga menahan emosinya Bu Sari menjauh dari rumah pria itu sambil berteriak memanggil anaknya.

"Diana pulang!!!"

Dengan tergesa-gesa pria tersebut memakaikan kembali pakaian Diana lalu menyuruhnya pulang Diana pun bingung dengan situasi yang ada lalu ia melangkahkan kakinya keluar dari rumah pria tersebut.

Dengan langkah gontai Diana menghampiri Ibunya namun dari kejauhan Diana merasakan atmosfer yang tidak seperti biasanya perlahan namun pasti Diana menatap mata ibunya lekat-lekat dilihatnya bahwa sang Ibunda menahan emosi.

Diana hanya bisa diam seribu bahasa namun dalam benaknya banyak sekali pertanyaan yang tak mampu ia lontarkan.

"Kenapa Ibu marah, Ibu marah kepada siapa, Apa Ibu marah kepadaku, tapi aku salah apa kok Ibu sampai marah?"

Perlahan namun pasti Diana mengikuti sang ibu menuju rumahnya sesampainya dirumah sang ibu menyuruh anak-anaknya masuk rumah dan dilarang keluar lagi dari rumah Diana yang penasaran bertanya kepada sang adik.

"Dik Ibu kenapa marah?"

Andi melihat kakaknya sambil memainkan mobil - mobilan nya.

"Tidak tahu Kak tadi Ibu mencari Kakak ya sudah aku kasih tahu saja kalau Kakak di panggil bapak - bapak yang ada disana lalu Ibu menghampiri rumah orang tersebut setelah itu beberapa menit kemudian Ibu balik lagi terus teriak - teriak memanggil Kakak."

Diana yang mendengar sang penjelasan Adiknya hanya membulatkan mulutnya saja tanpa bertanya lagi.

Malam hari ketika semua anak-anaknya tertidur Bu Sari bercerita kepada sang suami mengenai kejadian tadi siang.

Pak Ahmad yang notabene orang baik dan sabar tidak ingin memperbesar masalah yang terpenting sang anak tidak sampai celaka dan beliau bersyukur sang istri berhasil menggagalkan peme*k*s*an itu.

"Terimakasih sayang Kamu menyelamatkan Nana misal Kamu tidak mengawasi mereka Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kepada Nana dan akan Aku pastikan Aku akan menghajar orang itu sampai mati!"

Bu Sari yang mendengar ucapan sang suami menghampirinya dan mengelus dada sang suami untuk meredam emosinya lalu Bu Sari bersandar di dada bidang suaminya sambil mendengar alunan detak jantung yang membuat beliau hanyut dalam irama yang menenangkan.

"Sayang bagaimana kalau kita mencari kontrakan lagi atau kita mencari tanah kosong yang disewakan?"

Memeluk erat sang istri sambil mengelus rambut hitam legam sebahu nan halus tersebut.

"Ide bagus itu sayang besok Mas coba tanya kepada Pak Rahim barangkali ada tanah yang disewakan,"

"Ya sudah Mas kalau begitu semoga kita segera mendapatkan tempat tinggal yang baru Mas Aku masih was - was karena kejadian tadi siang dan melarang anak - anak bermain di depan rumah juga bukan keputusan yang tepat,"

Pak Ahmad mencium bibir ranum sang istri agar berhenti berbicara.

"Sudah ya sayang jangan di bahas lagi malam ini Mas ingin bermesraan dengan Kamu dan masalah tempat tinggal Mas besok ke rumah Pak Rahim semoga ada tanah kosong atau rumah yang di sewakan asal jauh dari pria bajing*an itu!"

Bu Sari mengecup lembur bibir sang suami dan terjadilah malam panas yang panjang.

Pagi harinya Pak Ahmad mengunjungi rumah Pak Rahim menanyakan perihal tanah kosong atau rumah yang disewakan tanpa menceritakan tentang Diana yang hampir diperk*s*.

Setelah berbincang mengenai tempat tinggal Pak Rahim menyarankan untuk kerumah Pak Abidi karena beliau diamanahi menjaga tanah yang ditinggal oleh pemiliknya.

Sore harinya Bu Sari dan Pak Ahmad mengunjungi rumah Pak Abidi untuk membicarakan perihal tanah yang akan disewa oleh Pak Ahmad.

"Assalamualaikum,"

Pak Ahmad mengetuk pintu.

"Waalaikumsalam, silahkan masuk apa ada yang bisa saya bantu Nak?"

Tanya pria paruh baya yang mana beliau adalah Pak Abidi.

"Perkenalkan Pak Saya Ahmad dan ini istri Saya Sari kedatangan kami kesini untuk menanyakan perihal tanah kosong yang berada di depan kandang sapi milik bapak,"

Ucap Pak Ahmad lugas.

"Oh iya Nak ada apa ya dengan tanah tersebut?"

"Saya ingin menyewa tanah tersebut Pak agar anak dan istri saya tidak selalu berpindah - pindah tempat,"

Pak Abidi mengamati Pak Ahmad dan istrinya dengan seksama.

"Saya tanyakan dulu kepada pemiliknya ya Nak kurang lebih dua minggu kalian kesini lagi karena saya harus mengirim surat kepada beliau,"

Mendengar jawaban Pak Abidi tersebut Pak Ahmad dan Bu Sari bernafas lega entah bagaimana keputusan sang pemilik tanah yang terpenting Pak Ahmad ada kepastian dari Pak Abidi.

Dua minggu kemudian Pak Ahmad dan Bu Sari kembali mengunjungi rumah Pak Abidi untuk mengetahui jawaban dari sang pemilik tanah.

Dalam ruangan yang sempit membuat Bu Sari harap-harap cemas dengan keputusan sang pemilik tanah dalam hati beliau berdoa semoga sang pemilik tanah berbaik hati menyewakan tanahnya.

"Pak Soni memperbolehkan tanahnya didirikan rumah dan beliau akan menyewakan tanahnya kepada kalian."

Mendengar hal tersebut membuat Pak Ahmad dan Bu Sari bernafas lega dan mengucap syukur dan tidak henti - hentinya mengucap terimakasih kepada Pak Abidi setelah itu mereka pamit pulang dan minggu depan Pak Ahmad mulai mendirikan rumah diatas tanah kosong tersebut.

Setelah rumah berdiri kokoh diatas tanah kosong itu Pak Ahmad dan Bu Sari mulai pindah kerumah tersebut tidak hanya itu Bu Sari mengajak serta Kakak dan Ibunya pindah tapi Kakak Bu Sari menyewa ditanah Lurah yang harus membayar setiap tahunnya yang mana tanah tersebut bersebelahan dengan tanah yang disewa Bu Sari.

Semua berjalan sebagaimana mestinya tidak terasa umur Diana sudah lima tahun dan tahun ini Diana mulai memasuki sekolah yaitu sekolah di Taman Kanak - kanak.

Diana setiap hari diantar sang Ayah ke sekolah setelah mengantar Diana Pak Ahmad langsung kerumah orang tuanya beliau bekerja dengan orang tuanya membuat pisau, parang, dan lain sebagainya.

Bu Sari bekerja sebagai ART yang mengharuskan Bu Sari berangkat kerja pagi-pagi sekali dan Diana berusaha memaklumi sang Ibunda karena tuntutan kerja dan ia mencoba tidak merepotkan orang tuanya.

Dari bangun pagi, mandi, dan berpakaian Diana lakukan sendiri karena sudah menjadi rutinitasnya setiap pagi membuat ia terbiasa akan hal sekaligus mengajarkan hidup mandiri sejak dini.

Tanpa sarapan terlebih dahulu Diana diantar oleh sang Ayah ke sekolah kala itu semua serba murah dengan uang 500 rupiah dapat membeli berbagai macam makanan ringan.

Awalnya Diana baik-baik saja setelah jam menunjukkan pukul sembilan Diana lemas tak berdaya tanpa sarapan ia memulai aktivitas yang membuat energi terserap habis.

Sang guru mengajak Diana ke UKS sesampainya di UKS Diana disuapi oleh sang guru.

"Diana apa kamu tadi pagi tidak sarapan Nak?"

Dengan polosnya Diana menganggukkan kepala.

"Iya Bu Ibu Diana belum masak dan Ibu langsung berangkat kerja tadi pagi."

Dengan tatapan iba sang guru menyuapi makanan yang beliau beli hingga tandas setelah menghabiskan makanannya Diana kembali ke kelasnya dan ia aktif lagi mengikuti pelajaran.

Hampir setiap hari Diana selalu masuk UKS dan Bu Hindun pun selalu menyuapi Diana tanpa pertanyaan sama sekali karena Bu Hindun tahu apa yang membuat Diana selalu lemas setiap pelajaran.

Suatu hari tepatnya sepulang sekolah Diana menunggu sang Ayah yang tak kunjung datang untuk menjemputnya dengan pikirannya yang tidak ingin selalu merepotkan orang tuanya akhirnya Diana nekat pulang sekolah jalan kaki.

Dengan perasaan bangga Diana pulang sendiri ia melangkah riang dengan kaki kecilnya agar sampai kerumahnya.

Jarak dari sekolah ke rumahnya lumayan jauh Diana nekat jalan kaki dan harus menyeberangi jalan raya ketika menyeberangi jalan raya Diana dibantu oleh bapak - bapak yang mangkal di Terminal.

Sesampainya dirumah Neneknya kaget melihat Diana pulang sendiri tanpa sang Ayah ataupun sang Ibu lalu nenek Tia (nenek Diana) bertanya

"Kamu pulang sama siapa Nak, mana ayahmu?"

Diana mengatur nafasnya yang terengah - engah akibat jalan kaki di bawah terik matahari yang menyengat kulit.

"Diana jalan kaki Nek,"

Kaget tidak percaya Nenek menyuruh Diana mengganti pakaiannya dan menyiapkan makanan untuk Diana selesai mengganti pakaiannya Diana menuju meja makan tanpa banyak bicara Diana menghabiskan makanannya setelah itu Diana memilih tidur siang.

Sore hari orang tua Diana pulang sesampainya di rumah sang Ibu marah besar.

"Awas kalau kamu pulang dulu tidak menunggu Ayah datang Ibu akan ikat kaki Kamu, Kamu mau diculik orang yang tidak dikenal?!!"

Diana hanya menundukkan kepala tanpa menjawab sepatah katapun lalu sang ibu menyuruhnya masuk ke kamar dan melarang Diana keluar dari rumah.

Setelah kejadian itu Diana tidak berani lagi pulang sekolah sendiri ia takut sang Ibu marah dan takut diculik orang yang tidak dikenal.

Semua berjalan sebagaimana mestinya, hingga Diana memasuki Sekolah Dasar.

Bab 2. Sekolah baru, teman baru

Sekolahku dekat dengan rumah hanya membutuhkan waktu lima menit saja dan aku berharap dapat menimba ilmu di sekolah baruku ini dan mendapat teman yang baik yang saling support satu sama lain.

Dihari pertama aku hanya kenal dengan satu anak dia bernama Selvi. Selvi menjadi teman pertamaku awal masuk kelas aku duduk dengannya kita berkenalan dan pada saat jam istirahat tiba Selvi mengajakku ke kantin dan dia meminta tolong kepadaku untuk membelikan sesuatu di kantin tersebut.

"Na tolong belikan apa saja di kantin dengan uang ini,"

Dengan ekspresi bingung aku menerima uang tersebut lalu menuju kantin untuk membeli sesuatu setibanya di kantin ibu kantin mempertanyakan darimana aku mendapatkan uang sebesar itu kala itu aku masih belum tahu nominal uang itu sebesar apa dan aku hanya bisa membaca bahwa uang tersebut seratus ribu rupiah ibu kantin menolak uang tersebut.

"Maaf Dik Kamu dapat uang ini darimana, kalau bisa beli pakai uang pas saja,"

Aku menganggukkan kepala lalu berkata,

"Ini uang teman saya Bu saya hanya disuruh membeli jajan saja,"

Mendengar penjelasanku ibu penjaga kantin tersebut menjawab,

"Oalah gitu to ya sudah Kamu bawa kembali uang itu ke teman Kamu kalau bisa pakai uang yang lain saja ya Nak".

Sambil tersenyum aku menganggukkan kepala lalu kembali ke kelas dan menyampaikan apa yang ibu kantin tersebut ucapkan.

"Sel Ibu kantin bilang Kamu dapat uang itu darimana?"

Dengan raut wajah sedikit syok Selvi menjawab,

"Aku diberi Kakekku Na tidak mungkinkan Aku mencuri!"

Dengan polosnya aku mengiyakan ucapan Selvi yang ternyata dia berbohong kepadaku lalu aku kembali lagi ke kantin membeli makanan ringan dan setelah itu kami berbincang - bincang sambil menunggu jam istirahat selesai.

Tepat pukul 09.00 WIB aku pulang sekolah sesampainya dirumah ibu bertanya pengalaman pertama masuk sekolah.

"Nak bagaimana tadi disekolah baru apa kamu sudah mendapatkan teman baru?"

Dengan antusias aku menjawab

"Iya Bu dia baik sekali Bu tapi tadi aku disuruh belikan dia jajan di kantin dia ngasih uang ke Diana Ibu tahu tidak uangnya ternyata di tolak Ibu kantin,"

Dengan raut wajah bingung Ibuku bertanya

"Kok di tolak uangnya?"

Aku yang semula melepas sepatu dan seragam sekolahku berhenti melakukan aktivitas itu sejenak dan berkata

"Uang temen Na tadi besar sekali nominalnya Bu saat Na baca nominalnya seratus ribu rupiah Na juga tidak tahu kenapa uang itu di tolak Ibu kantin tersebut."

Lalu aku menaruh sepatu ke tempatnya dan memasukkan seragam di dalam lemari tanpa berpakaian hanya memakai pakaian dalam setelahnya aku menuju meja makan.

Setelah makan aku mengambil buku dan pensil saat membuka tempat pensil aku melihat ada uang di dalamnya dan aku langsung memanggil Ibu

"Bu didalam tempat pensil Na ada uang seratus ribu,"

Aku menyodorkan uang tersebut kepada Ibu dengan wajah bingung Ibu bertanya

"Kamu dapat uang darimana ini Na?"

Dengan wajah sama bingungnya aku pun menjawab

"Lah Diana juga bingung Bu pada saat Nana membuka tempat pensil ternyata ada uang itu apa itu uangnya Selvi ya Bu?"

Sambil memegang uang itu Ibu mengajakku kembali ke sekolah untuk memberikan uang tersebut ke wali kelasku.

Hanya memakai pakaian dalam aku kembali ke sekolah bersama Ibu ( lupa pakai baju gaes wkwkwk ) menemui Bu Roro (wali kelasku).

Sesampainya disekolah Ibu menemui Bu Roro dan menceritakan semua kronologinya setelah menyerahkan uang tersebut aku dan Ibu memutuskan pulang dan berharap tidak ada masalah kedepannya.

Keesokan harinya aku berangkat ke sekolah seperti biasa setibanya di sekolah ternyata Selvi sudah sampai di sekolah terlebih dahulu dan aku bertanya kepada Selvi mengenai uang yang kemarin aku temukan.

"Sel Kamu kemarin naruh uang di dalam tempat pensilku?"

Dengan wajah tanpa dosanya Selvi menjawab

"Iya itu buat Kamu Na tidak apa - apa pakai saja uang itu,"

Aku menatap lekat-lekat mata Selvi lalu berkata

"Sudah Aku kembalikan kepada Bu Roro kemarin saat Aku bicara kepada Ibuku kalau ada uang di dalam tempat pensilku lalu Ibu mengajakku ke sekolah bertemu Bu Roro sekalian mengembalikan uang yang Kamu kasih kemarin."

Selvi syok mendengar perkataanku itu lalu dia pindah tempat aku bingung kenapa dia pindah tempat aku yang kala itu dilanda kebingungan hanya bisa melihat Selvi yang berlalu tanpa kata aku yang berharap mendapat teman yang baik tapi kenyataan berkata sebaliknya.

Selvi pindah tempat salah satu teman kelasku pindah duduk disampingku lalu aku mencoba mengakrabkan diri dan memberi banyak pertanyaan.

"Hai nama Kamu siapa?"

Sambil menyodorkan tanganku dan dia pun menyambut uluran tanganku

"Namaku Milen kalau nama Kamu siapa?"

Sambil tersenyum aku menjawab

"Namaku Diana Kamu bisa memanggilku Diana atau Nana oh iya rumah Kamu dimana, apa dekat dengan sekolah, Kamu jalan kaki atau diantar orang tua?"

Aku yang notabene cerewet melontarkan banyak pertanyaan dan Milen hanya tertawa mendengarkan berbagai macam pertanyaan yang aku lontarkan dan aku pun malu-malu karena tingkahku yang seperti itu.

"Iya Na rumahku tidak terlalu jauh Aku sekolah diantar Ibuku."

Mendengar jawaban Milen aku hanya menganggukkan kepala dan bel masuk telah berbunyi aku menjalani pembelajaran tanpa ada kendala apapun hingga jam pulang sekolah.

"Na rumah kamu dimana, kapan - kapan Aku main kerumahmu ya,"

Dengan antusias aku menjawab

"Boleh Len rumahku dekat kok cuma lima menit saja dari sekolah,"

Merapikan meja sambil menganggukkan kepala Milen menjawab

"Okelah hari minggu Aku kerumahmu ya,"

Dengan mata berbinar aku menjawab

"Aku tunggu ya."

Kami berpisah di gerbang sekolah aku melanjutkan perjalanan kerumah sedangkan Milen dijemput ibunya.

Sesampainya dirumah aku melihat Ibu duduk santai di ruang tamu lalu aku menghampirinya setelah itu aku menceritakan semua yang terjadi disekolah.

"Bu tadi Selvi pindah tempat duduknya untung ada Milen yang mau duduk disamping Na jadi Nana tidak sendirian,"

Mendengar ceritaku ibu tersenyum lalu berkata

"Alhamdulillah kalau seperti itu berteman yang baik ya Nak jangan bertengkar sesama teman kalau teman Nana minta bantuan Nana bantu ya jangan pernah menolak kalau Nana memang bisa membantu,"

Ibu menasihati ku dan aku akan mengingat semua nasihat itu lalu aku melihat Andi masuk kedalam kamarnya.

"Pasti itu Bu oh iya Bu Adik tidak sekolah, kok masih ada dirumah?"

Ibu melihat ke arah kamar adikku

"Sebelum berangkat tadi Adik Kamu tiba - tiba badannya panas ya sudah libur dulu sekolahnya,"

Aku menganggukkan kepala mendengar jawaban Ibu lalu aku bertanya kepada beliau

"Oalah Ayah kerja Bu?"

"Iya Na ya sudah Nana makan dulu terus istirahat Kamu ingat ya Na jangan capek - capek kamu itu mudah sekali sakit kalau sudah kecapekan,"

Aku tersenyum sambil menampakkan deretan gigiku kepada ibu

"Siap bos."

Setelah makan siang aku memutuskan istirahat sejenak sedari kecil aku sudah sakit-sakitan dan terkadang aku kasihan melihat adikku yang mungkin kekurangan kasih sayang dari Ayah dan Ibu karena kondisi tubuhku yang sering kali drop.

Hari-hari disekolah cukup menyenangkan walaupun aku hanya berteman dengan Milen dan hari minggu Milen mengajak bermain bersama di rumahku dan aku mengiyakan ajakannya namun sebelum pulang sekolah aku mengajak Milen ke rumahku agar dia tahu rumahku terlebih dahulu.

Sore harinya Ayah dan Ibu mengajak kami jalan-jalan ke taman Aku dan Adikku antusias sekali lalu kami bersiap-siap sebelum berangkat ke taman.

Ayah memilih mengayuh sepeda ontelnya Aku, Ibu dan Adikku menggunakan angkutan umum dan setibanya di taman yang dimaksud aku dan adik bermain ayunan sedangkan Ibu menunggu Ayah.

"Dik Kakak dulu ya yang naik ayunannya kamu yang dorong tapi pelan-pelan saja oke!"

Aku duduk di ayunan sedangkan adikku mendorong ayunannya lumayan keras dan aku memberi peringatan kepadanya

"Dik jangan keras-keras kamu juga jangan terlalu dekat nanti kena ayunannya!"

Belum ada satu menit aku berkata seperti itu adikku tiba-tiba menghampiriku padahal ayunan melaju kencang alhasil adikku terkena ayunan dan diatas bibir adikku lukanya terlalu dalam.

Momen yang seharusnya menyenangkan menjadi tragedi yang memilukan bagiku dan aku yang tidak pernah mendapat amukan begitu keras dari Ibu saat itu hanya bisa mendengarkan tanpa bisa menjelaskan kejadian yang sebenarnya.

Rumah Nenek yang dari Ayah kebetulan dekat dengan taman itu lalu aku diantar ayah kesana setelah itu Ayah mengikuti Ibu kerumah sakit.

Berjam - jam lamanya aku menunggu Ayah dan Ibu dirumah Nenek sampai Ayah datang menjemputku dengan rasa takut aku mencoba bertanya kepada Ayah

"Yah bagaimana keadaan Adik?"

Ayah tersenyum lalu berkata

"Adik bibirnya harus dijahit Nak ayo kita pulang Ibu masih berada di rumah sakit menunggu Adik kamu selesai ditangani oleh dokter."

Dengan perasaan lega aku memeluk ayah dari belakang lalu aku mencoba menjelaskan kronologi kejadiannya kepada Ayah

"Ayah tadi Nana sudah memberi peringatan kepada Adik kalau jangan mendekat karena Adik mendorong ayunannya terlalu keras tapi bukannya menjauh Adik malah semakin mendekat akhirnya Adik terkena ayunan tersebut,"

Seraya menghela nafas Ayah mencoba memahami situasi yang ada.

"Iya Nak sudah jangan kamu pikirkan lagi ya yang penting adik kamu sudah tidak apa-apa."

Dengan perasaan campur aduk aku mencoba berpikiran tenang karena aku tahu kalau terlalu larut dalam rasa bersalah itu akan berimbas ke kesehatanku sendiri sebab sedari kecil aku sudah sakit-sakitan aku pun tidak mau selalu membuat orang tuaku cemas.

Sesampainya di rumah Ayah menyuruhku masuk ke kamar dan di dalam kamar aku masih tidak tenang harap-harap cemas dan berdoa semoga ibu tidak marah seperti tadi di taman.

Tidak terasa langit sudah menampakkan senjanya Ibu baru pulang bersama Adik lalu aku mencoba menenangkan diri sebelum menampakkan diri di hadapan Ibu dengan langkah perlahan aku memberanikan diri membuka pintu.

"Ibu maafkan Nana tadi Nana sudah memberi peringatan kepada adik untuk menjauh tapi adik malah mendekat dan adik..."

Belum sempat melanjutkan ucapanku Ibu memotong pembicaraanku

"Lain kali jangan diulangi lagi Ibu tidak mau kejadian seperti ini terulang lagi!"

Aku menundukkan kepala lalu mengangguk setelah itu aku melihat keadaan adikku dan adikku pun mengangguk ia memberi kode kepadaku dengan matanya agar aku masuk kembali ke kamarku tanpa basa-basi aku memilih berlalu.

Keesokan harinya tepat pukul 06.00 WIB Milen datang kerumahku saat itu aku belum bangun tidur lalu Ibu membangunkan ku.

"Nana ada temanmu di depan ayo cepat bangun terus mandi setelah itu temui temanmu di ruang tamu!"

Tanpa komando dua kali aku langsung bangun lalu menuju kamar mandi beberapa saat kemudian aku menemui Milen di ruang tamu

"Maaf ya aku baru bangun kamu pagi sekali kerumahku baru juga jam 6 pagi Len."

Seruku seraya memonyongkan bibirku Milen yang melihatku seperti itu hanya tertawa terbahak-bahak.

"Hahaha maaf ya Na aku terlalu semangat ingin bermain denganmu,"

Aku yang melihat antusiasme Milen yang ingin bermain denganku pun akhirnya mengurungkan niatku yang ingin merajuk kepadanya.

"Len tapi main apa ya, Aku kan tidak punya banyak mainan,"

Milen melihat sekitarku lalu bertanya

"Nana kamu tinggal dengan siapa saja disini, Eh tunggu dulu kayaknya itu temen sekelas kita ya?"

Seraya menunjuk sepupuku yang memang satu kelas dengan kami lalu aku pun menganggukkan kepalaku

"Iya dia kakak sepupuku entah mengapa di sekolah dia menghindar malah tidak mau aku ajak bicara memang sih aslinya dia tidak banyak bicara. Aku disini tinggal dengan orang tuaku, Nenek dari Ibuku, Buyut dari Ibuku, dan juga Budeku (Kakak dari Ibu) nah yang tadi kamu tunjuk itu anak dari Budeku, kamu tahu kan namanya?"

Milen mengangguk menatap lekat ke dalam bola mataku lalu berkata

"Rohman kan?"

Aku mengangguk dan aku menceritakan tentang Bang Rohman

"Kasihan tahu Bang Rohman itu Len dia tidak pernah bertemu ayahnya dan dia juga termasuk anak broken home mungkin itu ya yang membuat dia kurang percaya diri karena itu dia tidak mau berbaur dengan yang lain aku ingin mengajak dia berbicara saja tidak digubris sama sekali alhasil aku dan dia seperti orang asing dan kamu tahu sendiri kan disekolah dia seperti apa?"

Mendengar ceritaku Milen hanya menganggukkan kepala.

"Sudahlah kita tidak usah membicarakan hal seperti itu dunia orang dewasa memang rumit."

Ucapnya sambil cengengesan.

"Na kita main kerumah Falah yuk!"

Aku menimbang-nimbang ajakan Milen akhirnya aku memberanikan diri berpamitan ke Ibu untungnya Ibu mengizinkan aku bermain bersama Milen.

"Ayo berangkat!"

Milen memakai sepeda ontelnya aku duduk di boncengannya kala itu aku masih belum punya sepeda ontel dan Milen tidak keberatan akan hal itu beberapa saat kemudian kami sampai di depan rumah Falah.

"Assalamualaikum Falah!"

Seorang Ibu berwajah cantik bak orang Arab keluar dari dalam rumah

"Waalaikumsalam Falah nya masih tidur ya kalian mau menunggu atau bagaimana?"

Dengan sopan kami memilih menunggu

"Di tunggu saja Tan,"

Beliau mempersilahkan kami memasuki rumahnya sambil menunggu Falah aku dan Milen menjawab pertanyaan dari orang tua Falah

"Nama kalian siapa, tinggalnya dimana, kok tahu rumahnya Falah?"

"Saya Milen Tante rumah saya dekat dari sini Tan dan saya sering melihat Falah saat lewat disini,"

Jawab Milen secara lugas

"Kamu anaknya siapa Nak barang kali Tante tahu,"

Tanya Ibu Falah penasaran

"Saya anak Bu Miska Tante,"

Mendengar jawaban Milen Ibu Falah berseru

"Oalah kamu anaknya Miska to,"

"Iya Tante."

Ucap Milen lalu Tante Emy (Ibunya Falah) melihatku sambil tersenyum aku yang ditatap seperti itu hanya bisa senyum malu-malu.

"Nama saya Diana Tante rumah saya baratnya SD."

"Oalah iya oh iya Milen dan Diana mau minum apa?"

"Tidak usah repot-repot Tante,"

"Tidak repot kok Tante senang ada teman Falah yang main kerumah sering-sering main kesini ya soalnya Tante tidak punya anak cewek anak Tante tiga-tiganya cowok semua Tante disini paling cantik sendiri,"

Ucapnya lalu mengambil beberapa camilan dan air putih untukku dan Milen beberapa saat kemudian Falah menghampiri kami di ruang tamu.

"Pagi sekali kalian kesini mau kemana coba?"

Ucapnya sambil mencomot kue diatas meja.

"Tahu Milen dia tadi kerumah jam 6 pagi dan aku masih enak-enakan tidur itu,"

Ucapku sambil meminum air putih yang disuguhkan Tante Emy sedangkan Milen dengan wajah tanpa dosanya berkata

"Sengaja biar kalian tidak bangun kesiangan dan aku itu bosan sekali dirumah mau mainan gitu mumpung hari minggu."

Aku dan Falah yang mendengar perkataan Milen hanya menggelengkan kepala.

Bab 3. Ular terbang?

Falah mengajakku dan Milen kerumah Syarif teman sekelas kami yang mana rumahnya berada di sebuah perumahan di dalam lingkungan pabrik (serupa dengan rumah dinas).

Dalam perjalanan semua berjalan lancar tanpa ada hambatan sesampainya di pos satpam kami di cegah satpam yang menjaga disana sambil bertanya

"Mau kemana adik-adik?"

Kami bertiga saling lempar pandangan lalu Falah menjawab

"Kami mau kerumah Syarif Pak,"

Setelah mendengar perkataan Falah Pak satpam tersebut mempersilahkan kami masuk beberapa meter kami berjalan dan tidak jauh dari pos satpam tersebut Aku melihat ada ular melintas anehnya ular itu dominan berwana putih namun memiliki corak seperti pelangi dan memiliki sayap kecil ular tersebut melintas tepat di depanku dengan spontan Aku berkata

"Loh ada ular terbang!"

Sambil menunjuk ke arah ular itu Milen dan Falah mengernyitkan dahi heran

"Na kamu halusinasi atau bagimana, mana mungkin ada ular terbang di siang bolong begini aneh-aneh saja kamu ini,"

Ucap Milen tidak percaya dengan apa yang Aku lihat dan tanpa mendebatnya lalu Aku menjawab

"Oh iya kali ya."

Ucapku sambil nyengir terpaksa sedangkan Falah hanya menggelengkan kepala melihat tingkahku lalu kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Syarif.

Sesampainya di depan rumah Syarif lalu Falah mengetuk pintu.

"Assalamualaikum Syarif."

Lalu Syarif membukakan pintu Aku yang tidak fokus karena ular terbang itupun tidak antusias seperti sebelumnya dalam benakku Aku bertanya

"Itu tadi ular terbang kan ya, kok bisa ada ular terbang, apa yang di ucapkan Milen tadi benar ya kalau Aku hanya halusinasi, tapi tidak lah ngapain juga halusinasi kurang kerjaan sekali. Kalau misal tidak halusinasi berarti itu tadi nyata dong! Ah sudahlah biarkan saja yang penting kita baik-baik saja."

Setelah mencoba melupakan kejadian tadi Aku mencoba fokus lalu Syarif mengajak kami mencari buah kismis yang ada didepan rumahnya setelah itu kami di ajak melihat-lihat isi perumahan.

Di dalam perumahan itu ada kolam renang, tempat tenis, lapangan untuk sepak bola (Anak SD setiap olahraga pasti diajak kelapangan itu bersama gurunya) namun kolam renangnya tidak terawat malah terkesan angker perasaanku tidak enak berlama-lama disana lalu Aku mengajak yang lainnya untuk menjauh dari kolam renang tersebut.

Setelah puas kami keliling satu komplek kami memutuskan kembali kerumah Syarif dan tidak terasa matahari semakin terik jam pun menunjukkan pukul 10.00 WIB kami bertiga undur diri.

"Syarif kami pulang dulu ya kalau ada tugas kami kerja kelompok di rumahmu saja tempatnya asri dan bisa sambil memetik buah kismis,"

Ucap Falah sambil cengengesan dan Milen menyetujuinya

"Benar sekali kita adakan kerja kelompok pasti seru,"

"Boleh sekalian ajak yang lain juga ya."

Jawab Syarif lalu kami menganggukkan kepala bersama setelahnya kami pamit pulang.

Karena keseruan yang kami lakukan tadi Aku mulai lupa dengan ular terbang tersebut Milen mengantarku pulang lalu kami berpisah di depan rumahku.

"Terimakasih ya Len, Falah ketemu besok di sekolah,"

Ucapku dengan tulus lalu Milen dan Falah mengacungkan jempol mereka bersamaan.

"Ya sudah kami pamit pulang ya Na see you tomorrow Nana bye bye."

Sambil melambaikan tangan Aku tersenyum melihat tingkah Milen dan Aku yang melihat Milen dari kejauhan merasa bersyukur memiliki teman yang tidak memandang status sosialnya Milen termasuk orang berada Ayahnya bekerja di Pabrik sebagai Manager.

Setelah Milen dan Falah tidak terlihat lagi Aku memutuskan masuk ke dalam rumah dirumah sepi Ayah, Ibu, Bude bekerja dan Buyutku jualan keliling menjajakan kue buatan Nenek lalu Aku melihat Adikku bermain bersama Kakak sepupuku yang tak lain adalah Bang Rohman.

"Bang kalau ada tugas dari Bu Roro ikut tidak kerja kelompok dirumah Syarif, asyik loh bang kalau banyak teman sekali-kali lah Abang ikut gabung dengan yang lain jangan menyendiri terus Bang,"

Ucapku sambil melihat Bang Rohman yang acuh tak acuh mendengarkan Aku bicara.

"Ih Abang selalu seperti itu kalau ada orang bicara itu dengarkan Bang!"

Bang Rohman menatap lekat mataku lalu berkata

"Kamu saja sana yang berbaur dan jangan hiraukan Aku!"

Dengan rasa penasaran Aku mencoba bertanya dengan hati-hati takut menyinggung perasaan Kakak sepupuku itu.

"Abang kenapa sih tidak mau bersosialisasi dengan yang lain, tidak pernah mengajak Aku berbicara di sekolah, kita seperti orang asing loh Bang disekolah padahal kita sepupu."

Tanpa menjawab pertanyaan ku Bang Rohman berlalu pergi sedangkan Aku yang di acuhkan seperti itu memilih pulang kerumah dan membiarkan Adikku bermain dirumah Nenek bersama Kakak sepupuku itu.

Hari menjelang sore semburat orange menghiasi langit yang cerah kala itu Ibuku sudah pulang kerja sedangkan Ayahku belum pulang mungkin masih banyak pesanan sehingga Ayah pulang terlambat.

Awalnya semua baik-baik saja namun setelah Ayah pulang dan memasuki rumah Ibu marah besar dan bertengkar hebat dengan Ayah Aku yang saat itu melihat Ayah dengan raut wajah lelahnya merasa kasihan dan memilih memasuki kamar dan di dalam kamar Aku mendengar semuanya.

"Ibumu itu di otaknya hanya ada uang uang dan uang dan hutang sana sini atas nama kamu setelah itu tidak mau membayar memang kamu itu Direktur, yang seenak jidat hutang dan lepas tanggung jawab setelah itu kamu yang melunasi hutangnya!"

Ayahku hanya mendengarkan tanpa membantah ucapan Ibu sama sekali Aku yang di dalam kamar hanya termenung dan menahan tangis.

Jujur sebagai seorang anak tidak ada yang ingin melihat orang tuanya bertengkar semuanya ingin melihat orang tua mereka harmonis tanpa menunjukkan kalau sedang berseteru dan dalam diam Aku mencoba menahan isak tangisku walau airmata bercucuran tanpa bisa di bendung.

Malamnya Aku tidak bisa tidur nyenyak yang ada dalam benakku hanya memikirkan Ayahku.

"Ayah tidur dimana ya, kalau Ayah dan Ibu satu ranjang berarti mereka sudah baikan nanti subuh Aku mau lihat ayah tidur dimana."

Ucapku dalam hati dan mencoba memejamkan mata jam menunjukkan pukul 02.00 WIB Aku yang penasaran Ayah tidur dimana akhirnya memutuskan untuk mengecek kamar orang tuaku.

Dengan memanjat meja belajar yang ada d depan kamar orang tuaku Aku melihat dari atas meja belajar tersebut dan mengintip apakah Ayahku tidur seranjang dengan Ibu atau tidak.

Ternyata kekhawatiranku tidak menjadi nyata Aku melihat Ayah tidur bersama Ibu dan dengan perasaan lega Aku turun dari meja belajar lalu kembali ke dalam kamarku.

Matahari mulai menyinari bumi semua mulai melakukan aktivitasnya masing-masing setelah berpakaian rapi Aku kerumah Nenek minta sarapan.

Ayah mengantar adikku yang sekolah di TK yang tak jauh dari rumah Nenekku (dari Ayah) sedangkan Ibu sudah berangkat kerja.

Aku menikmati makanan yang dihidangkan Nenek begitu juga dengan Bang Rohman tiba-tiba Pak Awi (Kakek Santoso) datang kerumah (Santoso teman sekelas Diana dan Rohman).

Tanpa aba-aba Pak Awi memukul perut Bang Rohman padahal Bang Rohman baru saja menyuapkan makanan ke dalam mulutnya Aku yang melihat kejadian itu kaget tidak percaya karena ada orang dewasa memukul seorang anak kecil tanpa ampun.

Nenekku yang mendengar kegaduhan di ruang tamu akhirnya melihat apa yang terjadi akhirnya adu mulut tidak bisa di hindari dan Aku memilih berangkat sekolah tanpa menghabiskan sarapanku.

Aku mencoba melupakan kejadian tadi pagi tapi Aku masih kepikiran dengan Bang Rohman dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi Aku bertekad pulang sekolah akan menanyakan penyebab dia sampai di pukul seperti itu oleh Kakeknya Santoso.

Jam pulang sekolah telah berbunyi Aku tidak sabar mendengarkan cerita yang sebenarnya dan sesampainya dirumah Aku langsung menemui Bang Rohman.

"Bang kenapa Abang sampai dipukul seperti itu dengan Kakeknya Santoso, memangnya Abang ada masalah apa dengan Santoso?"

Dengan raut wajah datar Bang Rohman menjawab

"Santoso bohong ke Kakek Neneknya dia bicara kepada mereka kalau kemarin Aku yang yang memukul dia sepulang sekolah padahal dia di keroyok anak lain saat Aku lewat di tempat kejadian dan Aku hanya melintas tanpa ikut campur Aku juga tidak tahu kenapa Santoso menyebutkan Aku yang memukul dia."

Mendengar penjelasan Bang Rohman Aku mengambil kesimpulan kalau Santoso memang sengaja menjadikan sepupuku sebagai kambing hitam entah apa alasan dia seperti itu padahal kita sekelas dan sepupuku juga tidak pernah mengusik kehidupan orang lain.

"Ya sudah lain kali Abang hati-hati jangan berteman dengannya bikin emosi saja kok bisa-bisanya dia memfitnah Abang terus Nenek tadi bicara apa dengan Kakeknya Santoso Bang?"

Aku yang penasaran akan kejadian tadi pagi tidak mendapat jawaban dari sepupuku itu dia hanya mengedikan bahu Aku yang melihat tingkahnya seperti itu semakin emosi di buatnya lalu Aku memutuskan kembali ke rumah dan mengerjakan tugas yang diberi Bu Roro tadi disekolah.

Pada malam yang gulita tidak ada hujan tidak ada angin Ibuku tiba-tiba mengabarkan bahwa akan kerja ke luar negeri dan Aku yang kala itu masih kecil tidak tahu menahu apa yang ada dipikiran orang dewasa.

"Nana Ibu mau bekerja di luar negeri Kamu dan Adik harus bisa mandiri ya Ibu yakin Ayah kalian akan menjaga kalian jadi kalian jangan khawatir ya walaupun tidak ada Ibu."

Suara itu selalu terngiang saat Aku mencoba memejamkan mata dan tidurku tidak nyenyak sama sekali.

Pada magi harinya saat disekolah tiba-tiba perasaanku tidak enak pada saat itu bertepatan ada petugas puskesmas untuk memberikan imunisasi Aku yang biasanya tidak pernah menangis saat disuntik tiba-tiba nangis dan Aku pun tidak tahu penyebabnya.

Bel pulang berbunyi Aku yang tidak sabar untuk pulang kerumah sejurus kemudian lari dari sekolah sesampainya Aku dirumah bak tersambar petir disiang bolong ternyata perasaan tidak enakku pertanda Ibu berangkat menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita).

Tanpa berpamitan kepadaku Ibu pergi begitu saja Aku masuk ke kamar dan nangis sejadi-jadinya menahan sakit yang teramat dalam Aku mengurung diri di dalam kamar hingga malam.

Keesokan harinya Aku mimisan seperti biasa Aku tidak bisa terlalu banyak mikir dan itu akan mempengaruhi kekebalan tubuhku akhirnya Aku drop.

Satu bulan sudah Ibu meninggalkan kami dan Aku tidak tahu apa Ayah sudah menghubungi Ibu atau tidak anak sekecil itu tidak bisa memahami apa yang terjadi dan kenapa bisa terjadi hanya bisa menerima tanpa mendengar penjelasan ataupun alasan.

Sudah biasa atau telah terbiasa hari-hariku tanpa seorang Ibu membuatku terbiasa sendiri walau Aku sedikit manja kepada Ayahku tapi tidak membuatku bermalas-malasan.

Setiap libur sekolah Aku dan Adikku membantu Ayah bekerja. Tanpa figur seorang Ibu yang seharusnya memperhatikan anak-anak dan suaminya tak bisa di pungkiri Aku terkadang iri melihat teman yang orang tuanya harmonis dan Aku tidak bisa menyalahkan keadaan.

Entah berapa lama kami harus menunggu kedatangan Ibu tanpa kusadari airmata menetes saat mengingat kenangan bersamanya walau penuh dengan bentakan tapi Ibu tetaplah Ibu yang melahirkan ku didunia ini dan mengajarkan ku bagaimana bertahan dalam keadaan genting sekalipun.

Hari ini Ayah mengajakku ke sebuah wartel dengan berbekal nomor yang ada di genggaman tangannya Aku melihat Ayah mengatur nafasnya perlahan namun pasti Ayah memencet setiap deretan nomor yang ada di dalam tulisan itu sambil menunggu panggilan terhubung Ayah menoleh kepadaku.

"Nak bisa tunggu Ayah di luar?"

Antusiasme yang semula ku pancarkan perlahan menyurut kala mendengar Ayah menyuruh menunggu di luar dengan terpaksa Aku melangkah kaki keluar dari dalam wartel tersebut dan Aku bergumam lirih

"Apa salahnya sih ikut mendengar apa yang Ayah dibicarakan Aku kan penasaran!"

Beberapa saat kemudian Ayah keluar dari wartel dan mengajakku pulang tanpa bertanya Aku mengikuti Ayah dari belakang.

Keesokan harinya saat disekolah Milen mengajakku bermain kerumahnya bermain dengan Milen membuatku melupakan semua rasa rinduku terhadap Ibu dan membuatku sedikit bisa bernafas lega karena disaat seperti ini Aku mempunyai teman yang bisa membuatku melupakan sejenak kesedihanku.

"Na nanti sore kamu kerumahku ya tapi kamu sibuk tidak?"

Aku yang semula melamun mengakhiri lamunanku dan menoleh kepada Milen.

"Sepulang Aku ngaji ya Len Aku pulangnya sekitar jam 4 bagaimana, apa kamu tidak dimarahin Mamamu kalau bermain sore sekali?"

Berpikir sejenak lalu Milen menjawab

"Tidak papa dong kan mainnya di rumahku pasti boleh-boleh saja lah."

Setelah mendengar jawaban Milen Aku mengangguk kepala dan melanjutkan kegiatan yang semula tertunda.

Hari berganti minggu minggu pun berganti bulan tidak terasa hampir 4 bulan lamanya Ibu meninggalkan kami tanpa tahu bagaimana kabar Ibu disana.

Tepat pukul 00.00 terdengar pintu di ketuk dari luar Aku yang semula terlelap merasa terganggu dengan ketukan pintu tersebut saat Aku membuka pintu kamarku kulihat Ayah menuju pintu depan saat Aku mengikuti Ayah betapa terkejutnya Aku melihat Ibu pulang kerumah.

Tanpa basa-basi Aku memeluk erat Ibu sambil berkata

"Bu Na kangen Ibu,"

Meluapkan kesedihanku Aku memeluk Ibu dengan deraian airmata setelah itu Ibu bercerita kepadaku dan Ayah bahwa selama ini Ibu di jual temannya entah bagaimana cerita spesifiknya yang pasti Ibu berhasil kabur dari penampungan dan berkat satpam yang ada di tempat penampungan tersebut Ibu bisa melarikan diri.

Tanpa membawa pakaian Ibu melarikan diri dari sana dan di beri ongkos untuk pulang dalam hati Aku bersyukur masih ada orang baik yang menolong Ibu pergi dari sana setelah puas bercerita Aku tertidur lelap dan berharap kejadian malam ini bukan mimpi belaka.

"Ya Allah terimakasih engkau telah menyelamatkan Ibuku hanya engkau yang mampu membalas kebaikan orang tersebut Aamiin."

Kujalani hari-hariku seperti biasanya dan saat ini untuk pertama kalinya Aku menerima raport semester ganjil Aku deg-degan ingin melihat nilai raport ku dengan gelisah Aku menanti Ibu pulang tidak lama kemudian Ibu datang dan membawa hasil raport ku alhamdulilahnya Aku mendapat peringkat pertama.

Aku senang sekali tapi sayang tidak ada apresiasi sama sekali dari orang tuaku seakan-akan apa yang Aku capai itu hal wajar tanpa perlu d apresiasi Aku merasa sakit kala itu tapi Aku mencoba untuk melupakannya dan mengganggap hal itu hanya masalah sepele yang tidak perlu di permasalahkan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!