Seorang gadis turun dari bis antar propinsi menatap kagum ke langit kota Jakarta. Gadis manis berusia 20 tahun dengan kaos gombrong putih, leging hitam selutut, sandal jepit dan tote bag kain yang isinya tidak begitu penuh.
"Jakarta... aku datang!!!" Teriaknya penuh semangat.
Senyumnya begitu cerah, secerah sinar matahari siang itu. Kepulan asap kendaraan dan peluh yang membasahi tubuhnya tak sedikit pun menyurutkan langkah dan semangatnya.
"Okey... pertama-tama cari minum dulu biar aku bisa berpikir dengan tenang." Gumamnya. Sebotol air mineral dingin sepertinya cukup. Ah nggak!!! Air soda atau es sirup dengan bongkahan es yang banyak kayaknya lebih baik, atau jus jambu pake susu. Gadis itu masih sibuk menimbang-nimbang ketika matanya tertumbuk pada gerobak es serut warna-warni di ujung jalan.
"Ah... aku mau yang itu!!!" Serunya sambil berlari. Matanya berbinar layaknya menemukan sebongkah berlian. "Pesen satu ya pak yang tinggi banget kayak monas". Ujarnya semangat, yang langsung dibalas dua jempol oleh penjualnya.
Sekar. Sekar Galuh Pamikat Kasih. Nama gadis itu. Kabur dari Jogjakarta ke Jakarta demi memuaskan obsesinya mengunjungi banyak tempat sebagai backpacker traveler. Sekar memandangi tote bag kain di tangannya. Backpacker apaan??? Cuma tote bag lusuh ini yang berhasil dia bawa. Isinya juga cuma handphone, charger, dompet sama jaket. Udah untunglah ada tote bag ini. Lusuh.. lusuh deh, daripada pake tas kresek. Sekar masih senyum-senyum sendiri mengingat bagaimana dia bisa mengecoh mbak Sumi dan anak buah pakdhe Yanto, menyusup diantara jejeran jemuran kain batik hasil ketrampilan ibunya, naik ojek ke terminal Giwangan dan berakhir di Jakarta. Iya Jakarta... kota yang sudah lama diidam-idamkannya.
Sekar menerima mangkok berisi es serut warna warni yang tinggi menjulang di luar porsi yang semestinya.
"Ya Allah Gusti...." Serunya. Sekar siap memasukkan suapan pertama ke mulutnya ketika dia teringat semua perkataan ibunya. "Jangan beli makanan atau minuman di pinggir jalan. Nggak sehat, nggak bersih, pake sumbo (pewarna buatan), pake sari manis (biang gula), nanti sakit perut, nanti batuk dan bla bla bla..." Sekar menggeleng-gelengkan kepalanya mengusir suara ibunya yang masih terus berdengung di telinganya. Dia meletakkan sendoknya dan HAPP!!! Langsung memasukkan ujung gunungan es di tangannya ke dalam mulutnya.
"Ya Allah segernya..."
***
Sekar berjalan tak tentu arah sambil merutuki penampilannya. Kalo aja mbak Sumi tidak terus membuntutinya, mungkin aksi kaburnya kali ini akan berjalan lebih mulus. Setidaknya dia bisa keluar dari rumah dengan pakaian yang layak. Tidak seperti sekarang. Dengan baju yang menempel di tubuhnya sekarang, dia lebih terlihat seperti mbak Sumi. ART di rumahnya.
"Apa aku beli baju aja ya? Bahkan daleman aja aku gak punya." Sekar membuka dompetnya. Masih ada lima lembar uang kertas berwarna merah dan beberapa lembar uang pecahan kembalian tiket bis. KTP, SIM A, SIM C, kartu debet dan kartu kredit.
"Kalau aku pakai kartu buat belanja atau ambil uang di ATM nanti ketahuan posisiku ada dimana. Argh... harusnya sebelum kabur aku pecahin dulu itu celengan ayam di atas lemari. Seenggaknya uang cashku agak banyakan dikit." Ujarnya meratapi keputusannya yang gegabah.
Sekar memandangi handphonenya yang memang sengaja dimatikan sejak keluar dari rumah. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah mengganti nomer handphonenya, agar tidak terlacak orang rumah.
***
"Mo... Romo... Sekar hilang!!!" Teriak seorang wanita berusia 45 tahun. Ibu Sri Wedari. Wanita itu nampak sangat panik berlarian kesana kemari mencari keberadaan suaminya.
"Bune.. bune.. ini kan sudah yang ke 28 kali nya anakmu wedok minggat dari rumah. (ini kan sudah ke 28 kalinya anak perempuanmu kabur dari rumah)." Sahut pak Surya Permadi santai sambil menyeruput kopinya. "Kok yo ndak apal-apal.. wes jarke mengko kan mulih dewe. (Kok ya nggak hafal-hafal... sudah biarkan nanti kan pulang sendiri)".
"Tapi mo... Sekar itu kan anak gadis kita satu-satunya. Kalo ada apa-apa gimana? Kalo diapa-apain orang di luar gimana?" Bu Sri masih dengan argumennya. Naluri keibuannya tetap khawatir mendapati anak gadisnya kembali kabur dari rumahnya.
"Anakmu itu titisane Gatotkaca bune.. Otot kawat tulang besi. Nggak akan kenapa-kenapa. Setan ora doyan demit ora ndulit. (Setan nggak doyan hantu juga nggak mau mendekat). Harusnya dulu pas lahir nggak tak kasih nama Sekar, salah aku. Kembang kok gak ono alus-alus e (Bunga kok nggak ada lemah lembutnya)".
"Romo ki kok malah ngajak guyon! (Bapak ki malah ngajak bercanda) Cari mo... cari..." Bu Sri yang panik semakin kesal dengan jawaban suaminya.
"Iyo.. iyo... lagian si Sumi ki kemana kok bisa lengah ngawasi Sekar. Kok bisa kecolongan lagi!"
"Nyuwun pangapunten ndoro... kulo tinggal dateng lepen sekedap mbak Sekar sampun mboten wonten ndoro! (Minta maaf tuan... saya tinggal ke toilet sebentar mbak Sekar sudah tidak ada tuan)" Jawab mbak Sumi dengan suara gemetar.
"Pancen welut anakmu kae bu!!! Lunyu! Angel dicekel. (Memang belut anakmu itu bu!!! Licin! Susah dipegang.)" Pak Permadi mulai sedikit terpancing dengan ulah anaknya.
"Piye iki mo... aduh sesek dadaku. (Gimana ini pak... aduh sesak dadaku)." Bu Sri terduduk sambil memegangi dadanya.
"Iso mati ngadeg ngopeni anakmu siji kui bune! Sabar... wes rasah dipikir mundak kumat penyakitmu. (Bisa mati berdiri ngurusi anakmu yang satu itu bu! Sabar... sudah jangan dipikirkan nanti kambuh penyakitmu)." Pak Permadi menenangkan istrinya.
"To.. Yanto...! Gowo bocah-bocahmu, golekono Sekar sak kecekele. Geret gowo mulih. Ojo wani mulih nek durung ketemu! (To.. Yanto...! Bawa anak buahmu cari Sekar sampai ketemu. Seret bawa pulang. Jangan berani pulang kalau belum ketemu." Perintah pak Permadi pada orang kepercayaannya.
"Yo ojo diseret to mo... (Ya jangan diseret dong pak...)" Pinta bu Sri.
"Hubungi Bayu sama Sagara suruh bantu cari adeknya." Tambah pak Permadi.
"Nggih pak. Sendiko dawuh. (Iya pak. Sesuai perintah)". Jawab pak Yanto.
"Seret jambak rambute! Nangis yo ben. Cah wedok kok pethakilan. Njaluk diajar. TUMAN!!! (Seret tarik rambutnya! Kalo nangis ya biarkan saja. Anak perempuan kok nggak bisa diatur. Minta diberi pelajaran. Kebiasaan!!!)" Lanjut pak Permadi emosi.
"Ojo to mo... (Jangan dong pak...)" Bela bu Sri.
***
"Mas bayu... tadi pakdhe Yanto telepon". Ucap Damai lemah lembut pada suaminya.
"Sekar lagi?" Jawab Bayu yang sudah bisa mengira-ngira kabar apa yang dibawa istrinya. Damai pun mengangguk pelan. "Bikin ulah apalagi anak itu. Aku juga salah terlalu memanjakannya." Tambahnya sambil geleng-geleng kepala. Bayu Adi Wicaksana. Anak sulung keluarga Permadi. Pewaris utama perusahaan batik nomer satu di Jogjakarta.
"Sekar itu masih muda mas, masih mencari jati dirinya. Sementara kalian terlalu mengekangnya. Selalu menganggapnya anak kecil." Jawab Damai memang yang paling memahami keinginan adik iparnya itu.
Bayu menatap lekat kedua mata istrinya. "Seandainya saja Sekar memiliki 10 persen saja sisi lembutmu yang... pasti akan lebih menenangkan hati seluruh keluarga." Bisiknya sambil memeluk istrinya. Sayangnya adeknya itu lebih mirip kuda lumping yang nggak pernah ada diamnya. Ucapnya dalam hati.
***
Sementara itu di sebuah apartemen mewah seorang laki-laki berusia 24 tahun tengah duduk mesra di sofa dengan seorang gadis di pangkuannya. Mulutnya sibuk menjelajahi bibir, leher dan dada si gadis yang mendesah penuh nikmat. Tangannya bergerilya menyusuri setiap lekuk yang ia inginkan.
"Saga... " Rintih gadis itu. Laki-laki itu semakin menggebu mendengar desahan demi desahan yang keluar dari mulut si gadis. Tangannya siap melucuti pakaian gadis itu ketika tiba-tiba...
Drt..drt...drt...
Diliriknya layar ponsel itu. Siapa yang sudah mengganggu kesenangannya? Gumamnya. MAHKAMAH AGUNG terpampang di layar ponselnya. Mati aku!!! Seketika dia mendorong gadis di pangkuannya dan segera menjauh menjawab panggilan itu.
"Dalem Romo...(Saya pak)" Ucapnya dengan segenap keberanian.
"..."
"Si.. sinau romo (Be..belajar pak)." Bibirnya mulai kelu menahan dusta.
"..."
"Sekarang romo???" Matanya terbelalak.
"..."
"Nggih romo... kulo padosi sak meniko (Iya pak... saya cari sekarang juga)" Jawabnya.
Tut..tut..tut... sambungan terputus. Nafasnya juga hampir putus.
Sagara Abhiyaksa. Putra kedua keluarga Permadi. Wajah rupawan ditambah tubuh menawan membuatnya jadi laki-laki idaman perempuan di sekelilingnya. Terlebih embel-embel nama besar keluarganya menjadi nilai plus plus plus untuknya. Dari penampilan luarnya nilainya numero uno. Tp kalau dikenali lebih dekat lagi...beuh... nol gede! Kuliah jurusan manajemen bisnis ambil S1 di salah satu universitas bergengsi di Jakarta tapi sudah enam tahun dan belum juga ada tanda-tanda akan menulis skripsi. Apartemennya dipenuhi dengan koleksi dvd film-film syur dan majalah dewasa. Sama sekali tidak mencerminkan bahwa ada darah ningrat yang mengalir di dalam tubuhnya. Sifatnya yang mencintai kebebasan sebelas dua belas dengan adik semata wayangnya. Sekar... ya Sekar... dan sekarang dia harus kembali terlibat karena ulah adik kecilnya itu.
"Awas kamu setan cilik!" Geramnya sambil meraih jaket dan kontak di atas meja.
"Saga..." Panggil gadis yang tadi menemaninya. Dia menoleh hampir saja dia melupakan ada makhluk itu di apartemennya.
"Loe pulang aja gue mau cabut." Jawabnya enteng keluar dari pintu apartemen meninggalkan gadis yang sudah berantakan itu dengan tatapan tak percaya.
***
Sekar mengusap peluhnya, memijit-mijit kakinya yang mulai pegal karena berjalan tanpa tujuan. Sekar mengendus-endus tubuhnya sendiri. Bau dan lengket sudah tak terelakkan lagi. Dari semenjak keluar dari rumahnya dia memang belum bersentuhan dengan air. Berjam-jam perjalanan Jogja - Jakarta ditambah muter-muter gak jelas seharian benar-benar membuatnya bau kambing.
Kemana lagi ini ya??? Tanyanya dalam hati. Tidur di penginapan sama dengan pemborosan. Tapi tidur di emperan juga dia nggak berani. Apalagi aku kalo tidur udah kayak orang mati. Kalo pas bangun-bangun terus ginjalku tinggal sebelah? Sekar bergidik ngeri dengan khayalannya sendiri. Kalo aku ke apartemen mas Gara... yang ada aku langsung dipaketin balik ke Jogja. Sia-sia dong perjuanganku sejauh ini. Aku cari mushola atau pom bensin aja deh sekalian mandi. Putusnya dalam hati
***
TIN..TIN..TIN..
Seorang wanita paruh baya tampak sangat lelah menghadapi macetnya Jakarta petang itu. Sesekali ia memijit pelipisnya untuk menghilangkan penat. Wanita itu melirik arloji di tangannya. Pukul 06.10, bisa-bisa aku terlambat makan malam di rumah. Batinnya. Itu artinya dia akan semalaman menjawabi semua pertanyaan dari ketiga anaknya yg sudah seperti jaksa penuntut umum sekarang. Gerutunya dalam hati.
Satu tangannya memegang kemudi dan satunya lagi berselancar di atas ponselnya mencari-cari jalan alternatif yang memungkinkan. DAPAT! Wanita itu tersenyum kemudian mengarahkan mobilnya melalui jalan alternatif tersebut. Jalanan lumayan sepi sehingga wanita itu memutuskan untuk menambah kecepatan agar bisa segera sampai di rumah. Senyum cerah tergambar di wajah cantiknya yang tak terkikis usia. Dia mulai bersenandung ketika tiba-tiba muncul seseorang dari arah bahu jalan dan menyeberang dengan tiba-tiba. CITTTTT... mobil berdecit akibat gesekan ban mobil dan aspal jalanan.
Wanita itu menyipitkan matanya takut melihat adegan selanjutnya. Apa dia tertabrak? Apa dia mati? Ya Tuhan bagaimana ini? Wanita itu bertanya dalam hati tanpa berani membuka matanya.
BUG..BUG..BUG... suara kaca mobil diketuk dengan keras. Spontan wanita itu menoleh. Disana tampak seorang gadis berkaos kumal dengan penampilan berantakan berdiri panik di luar mobil. Apa ini modus baru perampokan??? Pikirnya. Wanita itu melirik jalanan sepi di depan mobilnya. Tidak ada orang. Gadis itulah yang nyaris dia tabrak tadi. BUG..BUG..BUG... kaca mobil diketuk lagi. Kali ini lebih keras. Wanita itu menatap gadis di luar mobilnya dengan lebih seksama. Mata bulatnya yang tampak panik, keringatnya yang bercucuran dan mulutnya membentuk kata "tolong". Wanita itu menurunkan sedikit kaca mobilnya.
"Tolong nyonya... tolong bawa saya dari sini... tolong selamatkan saya... saya dikejar preman" Ucap gadis itu.
"Masuk cepat." Jawab wanita itu dan setelah si gadis masuk dia langsung menanjap gas dalam-dalam meninggalkan jalan sepi itu.
***
Beberapa belas menit sebelumnya.
Sagara berjalan menyusuri kumpulan pedagang kaki lima yang berjejer di bahu jalan, mencari keberadaan setan kecilnya. Berjam-jam sudah dia habiskan melewati jalanan ibukota yang penuh dengan lautan manusia. Hampir semua terminal dia datangi, tapi setan kecilnya itu tak kunjung menampakkan diri.
"Dimana kamu nduk??" Gumamnya pelan (nduk\=panggilan untuk anak/adik perempuan). Sagara yang hafal betul kebiasaan adiknya itu memutuskan mencari Sekar di tempat-tempat yang banyak pedagang kaki limanya. Sekar pasti tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk memanjakan mulut dan perutnya dengan jajanan pinggir jalan. Karena bila di rumah, orang tuanya melarang siapapun yang tinggal di rumah itu untuk memakan atau meminum jajanan yang dijual di pinggir jalan dengan alasan kesehatan. Terutama ibunya. Dan Sekar... si petasan banting itu semakin dilarang akan semakin menjadi-jadi.
"Setan cilik... metuo... opo masmu kudu nyumet menyan sek lagi awakmu gelem metu (Setan kecil... keluarlah... apa kakakmu harus menyalakan menyan dulu baru kamu mau keluar)." Sagara yang mulai lelah mulai mengeluarkan mantra-mantranya. Lalu terkekeh sendiri menyadari ucapannya. "Nek ono romo iso ditapuk lambeku (Kalau ada bapak bisa ditampar mulutku)".
Sagara menyapukan pandangannya kesana kemari. Seolah dari matanya bisa keluar sinar infra merah yang bisa membantunya menemukan sang adik. (For your information... Sagara dan Sekar ini sama-sama punya khayalan tingkat tinggi gaes.) Entah nasib yang lagi mujur atau itu mata beneran keluar sinar infra merahnya, tapi di ujung jalan tepatnya di depan penjual cilok berdirilah sosok yang dicarinya.
"Kecekel kowe makhluk astral (Tertangkap kamu makhluk astral)". Wajah Sagara langsung berbinar layaknya orang yang menang lotre.
Sagara langsung berlari ke arah Sekar tapi... BRUKK!!! Dia menabrak seseorang dan membuat mangkok yang dipegang orang itu pecah dengan bakso berserakan di mana-mana.
"Gimana sih mas... hati-hati dong!" Teriak orang itu kesal. Sekar menoleh. Matanya melotot. Secepat kilat dia menyambar cilok dari penjualnya dan meninggalkan selembar uang dua puluh ribu di atas gerobak cilok, lalu lari tunggang langgang seperti melihat setan.
"Mbak kembaliannya...." Teriak si penjual yang sudah pasti tidak didengar oleh Sekar.
Sagara berlari tergopoh-gopoh mengejar adiknya. Nafasnya hampir putus. Bukan karena kelelahan mengejar adiknya, lari keliling alun-alun tujuh putaran pun dia masih sanggup. Tapi nafasnya terancam putus karena membayangkan kemarahan romo seandainya romo tahu dia gagal menangkap Sekar padahal bocah itu sudah ada di depan mata. Sagara menoleh ke penjual cilok di sebelahnya. Tatapannya tajam menusuk. Amarahnya sudah di ubun-ubun. Si penjual jadi mengkerut merasakan tatapan orang di depannya.
"Kenapa adik saya dibiarin lari pak... kenapa gak ditahan dulu???" Teriaknya kesal.
Krik...
krik...
krik...
Suasana hening. Si bapak penjual yang bingung tidak berani menjawab sepatah katapun.
"Welut... welut...welut...argh..." Sagara kembali berteriak dan menggeram mewakili kekesalannya.
"Mas ini kakaknya mbak itu?" Tanya si bapak hati-hati.
"Iya kenapa???" Sagara menjawab masih dengan melotot.
"Enggak itu anu... tadi mbaknya ninggal kembalian sepuluh ribu mas. Kalau boleh nitip sama mas nya aja kalau gitu." Tambah si bapak.
"Jangan.. bungkusin satu lagi aja yang sama persis sama punya adik saya. Eh nggak... sambelnya dibanyakin. Yang masih panas ya pak." Jawab Sagara dengan nada mulai melunak. Si bapak mengulum senyum mendapati perubahan emosi orang di depannya sambil menyerahkan seplastik penuh cilok ekstra pedas lengkap dengan colokannya.
"Enak..." Bisik Sagara. Lalu kembali menggerutu. "Bukan berarti ya cilok ini bikin mas maafin kamu. Awas aja kalo ketangkep. Mas peres-peres kayak kain pel biar tau rasa!"
***
Sekar pov
Here i am... di dalam mobil bersama seorang ibu-ibu yang baik hati. Nggak segampang itu mas Gara. Butuh ujian dan remidi berkali-kali buatmu bisa nangkep aku. Senyum kemenangan terukir di wajahnya. And then... sekarang aku harus ngomong apa sama ibu-ibu ini ya?
"Nama kamu siapa?" Ucap ibu itu memecah keheningan. Nah kan.. nah kan..
"Sekar nyonya..." Nggak apa-apa lah pake nama asli habis ini juga nggak ketemu lagi dan akan segera dilupain.
"Sekar mau kemana kok lari-lari... dikejar siapa?" Tanya ibu itu lagi. Matanya seperti mengamati bungkusan di pangkuanku. Iya cilok, siomay, batagor, es kelapa muda, empek-empek sama rujak potong.
"Eh itu... tadi... tadi dikejar preman nyonya." Aduh kok jadi gagu gini. "Saya mau ke rumah pakdhe saya... iya ke rumah pakdhe saya." Loh loh kok malah pakdhe, hishhh... mulutku remnya blong.
"Alamatnya dimana biar saya antar." lanjut ibu itu. Mati aku!!! Piye jal ngene iki? (Gimana coba kalo kayak gini?). Alasan apa lagi? Pikir Sekar pikir....
"Itu... alamatnya... itu tadi alamatnya jatuh pas dikejar preman nyonya" Jawabku sememelas mungkin. Ibu itu mengerutkan keningnya. Aduh... percaya gak ya... pasti gak percaya deh... "Saya bukan orang sini nyonya. Saya dari Jogja." Tambahku dengan sedikit akting sesenggukkan. Sambil mengingat-ingat akting pemain ftv favorit ibu dan mbak Sumi yang selalu teraniaya. Ibu itu menghembuskan nafas perlahan.
"Ya sudah... jangan sedih. Nanti kita pikirkan caranya biar kamu bisa ketemu pakdhe kamu atau pulang ke Jogja. Sekarang kamu ikut saya. Lagian ini udah gelap. Sama satu lagi jangan panggil nyonya. Nama saya Maya kamu boleh panggil bu Maya." Jawab ibu itu.
Oh namanya bu Maya. Baik banget kayak ibu. WHAT??? Tadi dia bilang apa? Ikut dia? Ke rumah dia maksudnya? Oh no... kenapa jadi kayak gini? Plis bu.. turunin aku disini aja. Gimana kalo rumahnya berhantu? Gimana kalau suaminya cabul terus aku diperkosa? Gimana kalo anaknya pada jahat terus aku disiksa? Gimana kalo... arghhh!!! Kok jadi di luar skenario gini. Ini gara- gara mas Gara yang suka bikin gara-gara. Awas kamu mas! tunggu pembalasanku!
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!