"Kawk...kawk..." suara burung di kejauhan menerpa kesadaran seorang pemuda. Saat ini dia secara tak sadar sedang berdiri di samping reruntuhan bebatuan di sebuah planet. Matanya menyapu memandang kejauhan. Planet yang di dominasi warna orange itu sebagian besar hanya diisi bebatuan, beberapa hewan terbang dan beberapa serangga kecil yang ukurannya tak lebih panjang dari telapak kakinya.
Pemuda itu menarik satu sisi kaca dari perangkat pintar di samping matanya. Seketika kaca itu menampilkan data mengenai apa saja yang dilihatnya.
"Neron, dimana aku...?" tanya pemuda itu ke perangkat pintarnya. Namun tak ada jawaban terdengar di telinganya.
"Sial, apa ngadat lagi...?!" gumamnya. Tak ada pilihan, pemuda itu mulai berjalan tak tentu arah. Walau planet kecil itu berwarna orange, pemuda tersebut tidak merasakan panas. Menurut pengetahuannya mengenai luar angkasa seharusnya orange menandakan ketandusan sebuah planet. Namun perkataan guru dan ortunya selalu melintas di pikirannya, "Tak semua planet memiliki properti elemen yang sama..." gumam pemuda itu sambil mengikuti ucapan gurunya ketika dia masih sekolah.
Pemuda itupun berjalan kembali namun lebih berhati-hati. Beberapa serangga yang dilihatnya memiliki ciri khas sangat berbeda dari planet asalnya. Ada yang bertanduk ke samping, atau berkepala dua. Sekitar lima menit dia berjalan menuju satu arah, kepalanya tiba-tiba terasa nyeri.
"Arrghh..." geram pemuda itu. Rasa sakit itu begitu menyengat hingga dia jatuh terkapar dengan lutut menghantam tanah lembut itu lebih dulu. Barulah dia pingsan.
-----
"...memori mimpi tersimpan untuk sementara. Apakah anda ingin melakukan penyimpanan secara permanen, Tuan Muda Einstein?" suara lembut AI terdengar di telinga pemuda itu. Dia pun tersadar dan dirinya baru ingat bahwa dia sedang menjalankan proses hiatus singkat untuk pemulihan otaknya yang telah bekerja lama di laboratoriumnya.
"Lakukan, Neron..." sahut pemuda itu. "Mimpi yang aneh...tapi aku harus selalu memonitor keanehan ini..." gumamnya.
"Perintah diterima" ucap Neron si AI wanita tersebut. Pemuda itu, Valendro Einstein, kini menjabat sebagai Kepala Laboratorium di kota Vischala, planet Ring'o'Dawn. Dia bangun dari ranjang khususnya dan berjalan menuju jendela kantornya. Matanya menutup dahinya mengernyit mengingat kembali mimpinya yang terakhir.
Sepanjang hidupnya dia tak pernah mengetahui planet seperti itu baik dari didikan neneknya maupun dari sekolah. Neneknya, Merry Einstein adalah mantan kepala Laboratorium tersebut. 50 tahun berlalu sejak terakhir neneknya menjabat, hanya Valendro-lah cucu Merry yang memiliki minat terhadap penjelajahan antariksa seperti neneknya. Valendro memiliki dua saudara kandung, Sivilia dan Gredinska. Dua kakak perempuannya itu lebih berminat meneruskan usaha ibunya. Yaitu kosmetik dan fashion. Kedua orang tua mereka bertiga telah meninggal lebih awal. Merry, sebagai neneknya hanya bisa pasrah dan bersyukur cucu-cucunya sudah mandiri.
"Tuan Muda Einstein, Nona Duweina tiba di depan kan-"
"Mute." potong Valendro cepat. Tiba-tiba saja pintu kantornya dibuka begitu saja oleh seorang wanita beberapa tahun lebih tua darinya. Wanita itu berkulit merah, bertampang beringas, namun dia nyengir lebar ketika melihat Valendro.
"Yo, dro! Sibuk ga nih?" serunya sambil berjalan lantang ke arah Valendro. Pemuda itu menatapnya malas.
"Ada apa, Kak Wein? Data orang yang kukirim, apa sudah kakak temukan orang-orangnya...?" tanya Valendro sembari bersikap profesional. Wanita itu mengerucutkan mulutnya, namun detik kemudian dia kembali nyengir dan merangkul cepat bahu Valendro.
"Santai, saudaraku. Gue kesini ga cuma buat urusan kerjaan! Lo belom makan siang kan?" Valendro diam saja, tapi dia hanya mengangguk pelan setelahnya. Duweina sudah seperti tante sekaligus kakaknya, karena wanita itu adalah anak termuda dari istri kakeknya yang lain. Duweina lahir ketika istri kakeknya yang seorang Saturnian itu telah berusia 124 tahun. Karena itu wajar tak lama setelahnya istri kakeknya itu meninggal.
Sejak itulah kakek Valendro, Duron, memberi amanah ke Valendro dan kedua kakaknya untuk menerima Duweina seperti saudara sendiri walau tingkat generasi mereka berbeda setingkat.
Mereka berdua pun meninggalkan kantor sambil Duweina mengamit tangan Valendro kuat. Pemuda itu agak meringis, namun dia dalam hati tertawa memahami Duweina.
"Kak, makannya yang sesuai seleraku ya, jangan seperti yang sebelumnya..." ucap Valendro sambil mukanya meringis memohon. Duweina hanya tersenyum lebar sambil terus melangkah lebar menuju kantin karyawan.
Beberapa pekerja muda-mudi yang mereka lewati menatap iri. Karena baik Valendro maupun Duweina memiliki ketampanan dan kecantikan diatas rata-rata penduduk Saturnian. Valendro yang neneknya dan ayahnya adalah penduduk Neo-Gaia. Sementara Duweina, wanita kekar berkulit merah, namun wajahnya bak pinang dibelah dua dengan ibunya, Midara. Hanya saja fisik Duweina lebih gempal dibandingkan ibunya yang bak body-builder.
"Permisi, gue pesen-"
"Nasi goreng satu. Dan, Kak Wein..?" potong Valendro sambil nyengir menyindir. Dia tak mau lagi dipesankan makanan aneh-aneh dari saudara beda generasinya itu. Duweina hanya menatap pemuda itu tak percaya sesaat, sebelum dia pun pesan makanan yang lain. Robot Android penerima pesanan pun tersenyum singkat, mengangguk dan gegas memproses pesanan mereka berdua. Valendro dan Duweina memilih tempat duduk agak jauh dari kasir untuk menghindari banyak tatapan dari pekerja lain.
"Anjirlah, lo cepet bener sekarang motong kata-kata gue" seru Duweina namun dia tersenyum bangga. Valendro mengabaikannya dan mulai melanjutkan pertanyaan pekerjaan saudaranya itu.
"Sudah. Jadi gimana data-data kemarin, kak?"
"Mck... Makaria udah deal, dia sekarang tinggal di rumah tante Sam. Tapi..." sahut Duweina, namun dia mengakhiri dengan nada ragu.
"Kenapa dia cepet dipanggil sih? Gue rasa dia baek-baek aja di Neo-Gaia, kan?" tanya Duweina sambil mengernyit.
"Masalahnya relasi counterpart-nya sudah curiga, kak. Ga bisa kan kita ambil resiko mereka benar-benar bertemu muka? Nanti kaunsel waktu mulai rewel lagi." jawab Valendro santai.
"Secepet itu ketauan?" tanya Duweina tak percaya. Valendro mengeluarkan semacam pamflet smart berukuran kecil dari sakunya. Diutak-atik sebentar, lalu memperlihatkan sebuah log percakapan berupa suara pemuda dengan seorang gadis. Duweina mendekatkan pamflet kecil itu ke telinganya dan mendengarkan dengan seksama.
Air mukanya dari mengernyit tak percaya jadi lemas dan malas. Dia segera menghentikan log audio itu dan mengembalikannya ke Valendro.
"Perseptif sekali kakak counterpart-nya Makaria. Huff...tak menyangka orang Neo-Gaia secepat itu curiga.." ucap Duweina agak berbisik, karena dia tahu beberapa staf laboratorium itu juga berasal dari planet tersebut. Valendro mengedikkan bahunya. Tak lama, makanan mereka pun tiba.
Valendro mengerling pesanan Duweina yang tampak seperti nasi dengan lauk cah cumi agak lebih berlendir dari normalnya sayur cah. Sedikit menegukkan ludah ngeri, dia pun fokus ke makanannya sendiri. Yaitu nasi goreng ala Neo-Gaia.
"Oh iya, bagaimana dengan robot itu? Apa dia sudah siap?" tanya Duweina tiba-tiba.
"Ah..kloning kake-maksudku papa Kak Wein?" celetuk Valendro sambil membetulkan. Wajahnya antara tersenyum tak enak hati, namun juga ngeri.
"Apa? Apa lo belom kasi nama?" tanya Duweina bingung sambil mengaduk kuah berlendirnya.
"Ah itu, tante Sam butuh waktu lebih untuk merekap sistem AI robot itu... Jadi aku juga tak tau...fisik robot itu sudah siap sih..." ucap Valendro gugup. Dalam hatinya, sebenarnya saat ini robot itu sudah siap dijalankan. Hanya saja, pemuda itu tak yakin segalanya berjalan lancar.
Dia menyeruput minumnya sambil berpikir. Sementara Duweina tampak sudah selesai makan, wanita itu kini menikmati makanan penutup berupa es campur hijau toska. Yang Valendro yakin dia akan keracunan kalau memintanya.
****
Seorang gadis berusia dua puluhan sedang jogging di jalanan komplek perumahan. Dirinya telah tiba di Ring'o'Dawn sekitar seminggu sebelumnya, dia ingat sekali betapa kagum dirinya dengan planet tersebut. Sedikit mengingatkan dirinya akan planet di dimensi asalnya. Ya, Makaria adalah gadis setengah manusia setengah dewa.
Planet tempat tinggalnya sekarang memiliki sistem atmosfer yang tekanan frekuensinya lebih berat dari planet asalnya. Namun Makaria tak mengeluh. Walau hanya sementara, dia malah merasa tertantang ketika seminggu berada disini.
"Nona Ria, anda telah jogging sembilan ribu tujuh ratus langkah pagi ini. Anda boleh kembali ke rumah sekarang" sahut AI yang disematkan pada earpiece-nya. Samantha lah yang menyarankan itu, karena dia harus memonitor kesehatan Makaria dengan mendetil. Ria pun mengakui dia sudah mulai lelah.
"Aku akan membeli pesanan Sam dulu, Ara" sahut Ria teringat ketika sedang berjalan menuju rumahnya. Untunglah rumah Sam searah dengan warung kecil favourit Sam. Sekitar lima menit kemudian, tibalah dia di sebuah warung sederhana, namun dari pandangan Ria terkesan futuristik.
"Hai Ria! Apa kamu mengambil titipan Sam?" seru seorang pria berkulit merah namun lebih pendek dari Makaria.
"Hey, Thedorus. Ya kau taulah menu kesukaan Sam..." balas Ria sambil nyengir meringis, lalu mengalihkan pandangan ke ponselnya berpura-pura membaca berita. Thedorus hanya merem sejenak dan segera bergerak memilih makanan yg biasa dibeli Sam. Sudah biasa baginya para wanita merasa risih padanya. Selain pendek fisiknya, dia juga agak kurus. Sesuatu yang agak tak lumrah sebagai seorang penduduk Ring'o'Dawn yang kebanyakan berperawakan kekar dan tinggi.
Ria tidak risih, dia hanya mengingat ucapan Sam. Bahwa Thedorus agak baperan orangnya. Sekitar 10 menit pesanan Ria sudah dipacking bergaya futuristik. Setelah Ria memeriksa pesanan tersebut, Thedorus pun dengan tersenyum menjentikkan jarinya, packing tersebut segera memipih bentuknya dan terlipat sehingga memudahkan Ria membawanya.
"Thanks, Thed. Hey, jangan lupa minggu depan juga ya!" seru Ria tersenyum nyengir sambil berlalu. Thedorus hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Dia tahu wali gadis tersebut memang selalu berlangganan seminggu sekali.
"Nona Ria, jadwal keberangkatan anda di akademi akan terjadi dalam waktu beberapa minggu ke depan, apakah anda ingin saya atur alarm agar tidak terlupa?" sahut Ara di earpiece Makaria.
"Boleh, Ara. Tapi rahasiakan ini dari Sam ya! Aku tak ingin dikira suka lupa, pleasee!!" ucap Makaria antara pelan dan memohon sambil kakinya terus melangkah pulang.
"Dimengerti, Nona" sahut Ara datar. Sejenak Makaria berharap AI-nya itu dapat ditransfer ke tubuh fisik. Dalam hati dia akan menanyakan hal ini ke Sam sesampainya di rumah.
****
"Begitu...? Sangat disayangkan, tapi apa boleh buat..." ucap seorang wanita berambut pirang ponytail di meja kerjanya. Dirinya sedang menerima panggilan telepon, hanya saja dia saat ini hanya menggunakan perangkat kecil di telinganya. Wajahnya yang tirus dan cantik masih belum tersapu dari usianya yang sebenarnya sudah mencapai hampir 50 tahun.
Samantha Kron, nama wanita itu, adalah mantan seorang penjelajah waktu. Dirinya dipertemukan dengan kapten yang dia dan ibunya kagumi saat dia masih berusia 16 tahun. Sejak sang kapten pensiun, dia pun melanjutkan karirnya di Kaunsel Waktu sebagai pengawas sekaligus pengamat utama.
"Tidak, biarkan saja dulu dia di masanya. Saya tak mau ada unsur paksaan untuk perekrutan kali ini" ujarnya di telepon dengan nada agak tegas. Tak lama, dia menyentuhkan jari tengahnya ke perangkat kecil di telinganya, tanda mengakhiri sambungan. Di hadapannya terpampang monitor yang menampilkan wajah seorang gadis muda oriental. Gadis itu tak lebih dari 15 tahun menurut data yang ditampilkan.
"Hmmm....masih perlu paramedic nih. Dimana ya...?!" pikir Sam agak gusar.
*Ding*.....*buff...*
Semangkok makanan tiba-tiba saja muncul, agak jauh dari jangkauan meja Sam yang cukup besar. Mungkin agar terhindar dari tersenggol. Sam tersenyum memandang makanan itu, karena tak lama seseorang membuka pintu ruang kerjanya.
"Ehehe... Sengaja kuletakkan agak jauh, gak apa-apa kan, kak?" ucap Makaria sambil mengintip di dekat pintu. Sam hanya melambai tangan menyuruhnya masuk sambil tersenyum. Dia mengembalikan tampilan layar monitornya ke mode Screensaver. Dia beranjak dari kursinya dan membawa makanan itu ke meja sofa agar Makaria ikut menemaninya.
"Bagaimana, kak Sam, sejauh ini?" tanya Makaria pelan, karena takut mengganggu aktifitas makan Sam. Namun Sam tampak tak peduli dan mulai berpikir jawaban untuk gadis asuhnya itu.
"Perekrutan berjalan agak tersendat, Ria. Tapi tak masalah. Valendro bilang, dia juga masih ragu dengan fungsional kapal serta kaptennya. Kau tahu kan, kapten kapalnya akan dipimpin seorang Android robot?" sahut Sam tenang sambil mengunyah pelan makanan "aneh"nya.
"Oh iya, saya dengar. Tapi apakah bijak? Terus, perekrutan itu, emangnya udah berapa orang?" tanya Ria penasaran.
"Nah, sisi bijaknya itu yang masih diteliti lebih lanjut. Valendro tak mau buru-buru. Perekrutan, sejauh ini sudah empat orang, termasuk kamu!" jawab Sam santai, "sebenarnya tiga sih...satu agak sulit dicarikan waktu yang tepat untuk dipanggil..." tambahnya dengan cepat setelah dia melihat mimik cerah wajah Makaria.
"Hee...oh..." ucap Ria agak down mendengar kabar itu.
"Santai. Kamu bisa mengunjungi kolega kamu kok, selama kakak masih berkutat dengan perekrutan, heh..." sahut Sam menenangkan. Dia lalu beranjak dari sofanya untuk mengambil Tablet PC-nya. Setelah menggeser-geser sejenak, barulah dia menyodorkannya ke Makaria.
"Hmm? Manusia parasit? Dan satu lagi.... Seorang Elf?" ucap Ria mengernyit dalam keningnya sambil melirik tak percaya ke Sam. Sam membalas tatapannya dengan senyum tipis beraura kejam. Makaria bergidik sejenak,
"M-maksudku... Mereka berdua cowo kan, masa saya sendiri yang cew-" cepat-cepat dia mengalihkan topik agar dia tak dituduh meremehkan kemampuan koleganya. Memang gender agak bermasalah menurutnya dalam hati. Karena walau Makaria memiliki kekuatan demi-humannya. Dia ragu koleganya manusia normal.
"Tenang! Justru itulah aku lagi cari alternatif kolega ke empatmu, doakan saja wanita...!" sahut Sam malas, lalu beranjak dari sofanya setelah dia selesai makan dan membuang sisanya di lubang otomatis yang terbuka di meja sofanya. Makaria menelan ludah, tercekat ngeri.
< Bumi. Tahun 3216. Saitama, Jepang >
*ssshhh....zaph!* seorang pria berusia 18 tahun baru saja muncul tepat di depan garasi rumahnya. Gerakannya begitu tiba-tiba hingga dia hampir kehilangan keseimbangan.
"Oh...to. Huff....hampir aja..." ucapnya pelan sambil mengawasi keadaan sekitar, memastikan tidak ada yg melihatnya melakukan hal yang menurutnya konyol ini. Dia baru saja menyelesaikan lari paginya selama satu jam. Sejenak dia melihat pedometer pada pergelangan tangan kirinya, menunjukkan...
"Ha! 200.000 langkah persis! Dan....awh, man!!" serunya girang namun hatinya mencelos ketika melihat kantong di tangan kanannya. Dalam kantong itu dia berencana memamerkan bahwa dia dapat berlari tanpa merusak makanan didalamnya yaitu bubur ayam yang dibelinya dari kota sebelah. Tapi nyatanya, seluruh isi bubur itu sudah tumpah ruah di dalam kantong tersebut.
"Apa yang kau lakukan, Hayate Davis?" ucap seorang wanita paruh baya yang tiba-tiba saja muncul dibalik pagar. Raut mukanya tampak malas melihat anaknya yang tersenyum tercekat, dia memang paling sulit menyembunyikan ekspresi bersalah dari ibunya yang berdarah Amerika tersebut.
****
"Sudah mama bilang, jangan mulai dari makanan masak. Lain kali belilah yang kering-kering. Nanti lambat laun, belilah kue. Bukannya mama larang lho...!" ucap Thea ke anaknya, yang saat ini sudah selesai mandi dan duduk di sofa ruang tengah rumahnya. Hayate tampak memiringkan mukanya sedikit sambil menatap telapak tangannya.
"Tapi bukannya waktuku ga lama lagi, ma? Aku takut kurang berguna nanti di Serenium nanti....?!" ucap Hayate agak mencicit, takut ibunya menjadi sedih. Namun Thea tampak tegar dan tersenyum.
"Kamu nanti mama pastikan ke papamu agar kamu dapat pulang setiap beberapa waktu. Tapi sejujurnya, mama rasa setiap kamu pulang, kamu mungkin melihat mama ga berubah banyak, heh!" sahutnya mengakhiri dengan kebanggaan. Thea berpikir sejauh-jauhnya waktu berputar ketika anaknya berpetualang, dia mungkin kembali ke waktu terakhir dia meninggalkan keluarganya.
Hayate Davis adalah seorang Parahuman dengan kode nama Sprint. Memiliki kemampuan lari jauh diatas rata-rata manusia biasa. Dirinya sudah dilatih oleh ayah-ibunya sejak usia 8 tahun. Saat itu, ayahnya, Servo, telah melihat potensi anak laki-lakinya tersebut. Memang hal ini sudah diantisipasi pasangan tersebut.
Untungnya anak kedua mereka, Kana, yang berusia lima tahun dibawah Hayate, terlahir dengan kemampuan yang lebih mudah dikendalikan. Sehingga Servo dan Thea tak perlu banyak melatih fisiknya.
"Yaaah, pasti gagal ya, nii-chan?!" celetuk seorang gadis yang baru beranjak remaja, baru saja masuk dari pintu depan rumahnya. Dia adalah Kana, seorang anak yang baru saja masuk SMP. Hayate hanya bangkit dan berjalan cepat dan mengacak rambut adiknya tersebut pelan. Thea tampak paham sambil tersenyum.
"Lain kali, nii-chan bawa makanan yang kering-kering dulu ya, soalnya sekarang nii-chan masih kurang stabil larinya.." ucap Hayate lembut. Kana hanya mengangguk manja. Thea menatap agak sedih mengingat anak laki-lakinya akan segera pergi, dia merasa takut Kana sulit melepasnya kelak.
"Kana, pergilah mandi sana. Mama masih mau ngobrol dikit sama kakakmu.." ucapnya santai namun tegas. Kana segera pamit sambil tersenyum sekilas. Maka Hayate pun kembali duduk di sofa, raut wajahnya seketika serius.
"Profesor Einstein dari Kaunsel Waktu memberi kabar. Kepergianmu akan ditunda hingga beberapa bulan ke depan. Tidak secepat perkiraan sebelumnya. Jadi gunakanlah waktumu berlatih sebaik-baiknya, Sprint. Konsultasilah dengan orang-orang di GDI, mungkin mereka punya solusi buatmu" ucap Thea formal. Hayate segera paham maksud ibunya. Dia pun manggut sambil berpikir mendalam.
****
< Bumi. Tahun 70 Sebelum Masehi. Kerajaan Qin Ting, China >
"Haah...sudah beberapa Minggu aku disini. Tiba-tiba saja tak ada kasus menarik. Tampaknya ini waktu yang tepat untuk bereksperimen...hehehe..." monolog seorang Gadis berambut panjang hitam berusia 17 tahun. Saat ini dia sedang berada di pelataran istana kerajaan dinasti Qin.
Pekerjaannya sebagai peracik obat, terkadang mengundang kasus di istana tersebut. Tubuhnya yang pendek dan lincah, membuatnya mudah membantu pihak istana memecahkan kasus-kasus rumit yang berhubungan dengan keracunan ataupun kasus yang tak ada hubungannya dengan racun. Pemecah misteri, terkadang itu panggilannya.
"Mimi!" panggil seseorang dari jauh, ketika dirinya sedang memetik beberapa tanaman herbal di taman istana. Mimi segera memasang raut kesal karena melihat seorang Kasim terkeren di istana memanggilnya. Mimi jelas tak berpendapat sama dengan para kaum hawa di istana tersebut.
"Ada apa, Gao-sama...?" dengan cepat Mimi memasang senyum kaku, bagaimanapun status Gao lebih tinggi darinya. Gao tersenyum simpul sambil memintanya mengikutinya ke ruang kerja.
"Jin, ambilkan surat tadi" suruh Gao ke asisten pribadinya.
"Baik, Tuan Gao!" dengan sigap dia mengambil selembar surat dengan kertas yang sangat bagus dan putih di jaman tersebut. Mimi agak terkesima, karena biasanya perintah hanya ditulis dalam pahatan kayu atau ditulis di selembar perkamen. Tapi ini, menurut firasatnya, bukanlah surat biasa. Gao menyerahkan surat itu ke Mimi.
"Mimi, ini adalah pemindahan kerja sementara. Sebenarnya berat bagi kami melepasmu, tapi karena mereka berjanji takkan lama meminta bantuanmu. Saya tetap bertanya, apakah kamu setuju?" ujar Gao agak prihatin. Mimi membaca surat yang tak terlalu panjang tersebut. Surat itu, menurutnya agak aneh. Tadinya dia melihat huruf yang tidak dia kenal, namun tak lama tulisan di surat tersebut tiba-tiba saja menyesuaikan dengan bahasa yang dia pakai sehari-hari.
Nona Mimi yang terhormat,
Melalui surat ini kami meminta bantuanmu untuk sementara menggantikan Petugas Kesehatan yang akan ditugaskan di.... Luar negeri. Apakah anda keberatan? Jangan khawatir, anda akan kembali ke istana kerajaan seperti tidak pernah pergi. Kami menunggu info dari anda melalui plakat yang terkirim bersama surat ini.
Salam hormat,
Samantha Kron.
"Dari namanya saja aku yakin orang bule. Tapi...apakah Gao-sama akan mengijinkan...?" pikir Mimi bingung. Gao dan Jin berpandangan sejenak, mereka tahu Mimi saat ini sedang mempertimbangkan sesuatu yang kompleks. Untuk mempersingkat waktu, Gao segera menyahut sebelum gadis itu memberi jawaban.
"Kami disini tak keberatan, Mimi. Apalagi orang ini tampaknya dapat memastikan keamananmu, kan? Dan dia bisa membawamu kembali jika sudah selesai kan?" ucapnya. Gao lalu mengangguk ke Jin. Pengawal itu segera membisikkan sesuatu ke Mimi.
"Mereka bilang akan memberimu racun atau herbal apa saja, asal kamu setuju dengan pekerjaan ini..." Mimi tersentak. Hatinya berkecamuk antara tidak setuju, tapi juga tak mau melewatkan kesempatan mengetahui lebih banyak soal racun seluruh dunia! Matanya yang berbinar membuat Gao dan Jin yakin gadis itu setuju. Ada sedikit sekali rasa kehilangan di diri Gao, namun kasim itu lebih mementingkan kebahagiaan gadis tersebut.
"Baiklah, saya setuju pekerjaan sementara tersebut..." celetuk Mimi, sambil menahan senyum.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!