"Gadis lusuh seperti kamu tidak pantas berada disamping Putraku. Miskin, yatim piatu, murahan..." Mata tajamnya menatap kearah perut datar Zea, "Gugurkan kandunganmu!"
Tangan Zea memeluk perutnya sambil memilin ujung bajunya sangat erat.
"Saya melihat sendiri malam itu kamu sengaja merayu Acel yang sedang mabuk. Berani beraninya kamu memiliki benih dari seorang Akash Ceilo Sandrio pewaris Sky Grup?!"
Wanita itu menatap jijik pada Zea yang mencoba menahan diri untuk tidak menjelaskan bahwa tuduhan ibu dari pria yang sangat dia cintai itu tidaklah sepenuhnya benar.
"Acel belum tahu tentang kehamilan kamu, bukan?"
"Be-belum, Tante."
"Bagus. Sebaiknya Acel tidak tahu tentang ini sampai akhir. Jadi, singkirkan kandungan haram kamu itu."
"Maaf, Tante. Saya akan menjauhi anak Tante dan saya berjanji tidak akan muncul lagi dalam kehidupan anak Tante. Namun, saya tidak akan pernah membunuh bayi ini!"
"Berani kamu berteriak membantah seperti itu pada saya?"
Plakkk
Tangan ringan Alia mendarat di wajah pucat Zea. Dia geram karena Zea tidak mau membuang bayi yang menurutnya tidak pantas lahir kedunia.
"Lenyapkan bayi itu, atau saya akan membuat hidupmu seperti dineraka?!"
"Sampai mati sekalipun, saya akan tetap melindungi bayi ini!"
Dua wanita beda usia yang terpaut jauh itu sama sama tidak mau mengalah. Mereka sama sama keras dan berjuang demi anak mereka.
"Kamu mau melawan saya? jangan salahkan saya atas apa yang akan kamu lalui dalam hidupmu!" ancamnya sebelum akhirnya dia pergi begitu saja seakan telah menyerah pada Zea.
Huh!
Zea terduduk lemah di kursi cafe sambil mengelus perutnya yang masih datar, kehamilannya baru berusia lima minggu. "Mama akan melindungi kamu, nak. Tidak apa, Papa tidak pernah tahu kehadiran kamu, karena kita bisa bertahan tanpa Papa." bisiknya pada calon bayi nya.
Dua hari sudah berlalu sejak pertemuan Alia dengan Zea. Sejak hari itu, Zea menghilang tanpa kabar dan jejak sedikit pun. Acel yang tadinya mengira kekasihnya mungkin sedang sibuk dengan tugas kuliahnya sebagai mahasiswa tahun terakhir kebidanan, mulai merasa khawatir karena tidak bisa menghubungi sang kekasih sama sekali.
"Lui, cari Zea sampai ketemu. Saya tidak bisa mencarinya sekarang karena harus segera menghadiri rapat penting."
"Baik, Tuan muda."
Lui bergegas pergi mencari keberadaan Zea, dimulai dari asrama putri tempat dia tinggal selama ini, lalu kampus, panti asuhan dan bertanya pada teman temannya, namun tidak ada hasilnya sama sekali. Tidak satu pun dari mereka yang mengetahui keberadaan Zea, sampai akhirnya Lui bertemu dengan seseorang yang mengaku teman satu kamar diasrama putri tempat Zea tinggal.
"Zea sudah tidak kuliah lagi, mas. Dia hamil."
"Apa?! Kamu jangan asal menuduh..."
"Saya tidak asal menuduh, mas. Zea sendiri yang mengatakan kalau dia hamil dan dia berhenti kuliah karena akan menikah dengan lelaki yang menghamilinya."
"Siapa lelaki yang menghamilinya?!" Selidik Lui penasaran meski dia tidak sepenuhnya percaya pada cerita gadis itu.
"Pacarnya lah, si Rudi."
Mata Lui melotot kala nama itu disebutkan sebagai pacar Zea. Lui maupun Acel mengenal Rudi sebagai kakak angkat bagi Zea. Setidaknya begitulah pengakuan Zea selama ini, namun setelah mendengar cerita barusan Lui seakan mendapat kilas balik dari setiap interaksi Rudi dan Zea selama ini yang memang terlihat seperti pasangan kekasih dibanding kakak adik.
Tanpa pikir panjang, Lui mencari Rudi bermaksud mencari tahu kebenaran dari cerita yang tidak sepenuhnya dia percayai, namun sayang Lui tidak bisa menemukan keberadaan Rudi sama sekali. Dengan keberadaan dua orang itu yang tidak diketahui, memperkuat dugaan bahwa cerita itu benar adanya.
Lui pun segera menemui Acel dan menceritakan cerita itu pada tuan muda Acel yang memperlihatkan reaksi diluar dugaan. Lui kira Acel akan marah, mengamuk atau mencaci maki Zea atau bahkan mungkin memerintahkan untuk mencari dua orang itu sampai ketemu. Justru sebaliknya, dia hanya diam saja selama beberapa menit, lalu mengatakan satu kalimat yang membuat semuanya menjadi seakan tidak pernah terjadi apa apa.
"Mulai saat ini, jangan ada yang membahas atau mengungkit masalah ini selamanya."
.
.
.
(9 bulan kemudian)
Suara rintihan tertahan menggema memenuhi setiap sudut salah satu kamar kecil di rumah kos kosan itu. Ruangan itu pengap dengan cahaya remang, tidak ada udara dan cahaya yang dapat masuk karena pemilik kamar sengaja menutupi semua jendela kaca dan gorden untuk melindungi dirinya yang sedang berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan buah hati pertamanya.
"Mmmppphhh... akh..."
Tangannya menarik erat kedua kakinya menekan kearah perutnya agar memperbesar jalan keluar bayinya, "Mmmph... Bunda... sakit..."
Sudah hampir seharian Zea berjuang untuk melahirkan bayinya, tapi belum juga kunjung selesai. Pembukaannya sudah hampir sempurna, rasa sakit karena desakan bayi yang akan lahir pun semakin menyiksanya. Disaat seperti ini hanya bunda yang teringat olehnya. Andai Ibu nya masih ada di dunia ini, tentu rasa sakit yang dialaminya saat ini tidak akan sesakit ini.
"Akhgrrr... mmmppphhh..."
Zea mengejan untuk terakhir kalinya dan akhirnya bayi mungilnya lahir. Air mata menetes kala dia menatap wajah mungil itu tepat di bawahnya.
"Anakku!" Tangannya yang masih gemetar itu menyentuh tubuh mungil dengan mata berbinar indah, namun bayinya tidak bergerak dan juga tidak menangis seperti seharusnya.
"Gak... anakku..."
Zea memeluknya erat mencoba menghangatkan tubuh mungil itu.
"Sayangku, anakku..."
Dia teringat mengambil gunting yang memang telah dia siapkan untuk memotong tali pusar. Beruntungnya dulu Zea pernah kuliah kebidanan dan dia tahu betul apa apa yang perlu dipersiapkan untuk proses melahirkan.
"Anakku, menangis sayang... ini Mama, nak..." tubuh mungil itu dia selimuti dengan kain bedongnya yang juga sudah dia siapkan sebelumnya.
Bayi itu tetap tidak menunjukkan reaksi apapun. Mata yang tadi berbinar indah itupun mulai menutup sempurna. Perlahan detak jantung dan napas bayinya melambat hingga tak lagi dapat dia rasakan, tentu saja karena bayinya memilih kembali ke surga dibanding harus menemani sang Ibu menjalani kehidupan yang keras dan menakutkan di dunia ini.
Zea yang sudah tahu bayinya tidak selamat pun menciumi berulang kali seluruh tubuh mungil itu sambil terisak. Hanya pelukan hangat yang terus dia berikan pada bayinya dengan penuh rasa bersalah.
"Maafkan Mama, sayang. Maafkan Mama, nak... harusnya Mama melahirkan kamu di rumah sakit."
Zea tentu punya alasan mengapa dia memilih melahirkan bayinya sendirian di kamar kosnya. Dia tidak punya uang untuk melahirkan di rumah sakit, untuk makan saja susah apalagi untuk membayar biaya persalinan.
Sejak awal kehamilan, Zea bekerja keras tanpa henti demi mendapatkan makanan yang cukup gizi untuk bayinya. Dia benar benar hidup sendirian di kota ini, tidak ada sanak saudara juga teman. Zea bahkan tidak pandai berbicara dalam bahasa di Negara asing ini. Dia berada di kota Hoi An Negara Vietnam.
"Anakku, maafkan Mama nak..."
Zea terus menangis tanpa henti sampai seseorang yang melewati kamar kosnya mendengar tangisannya. Wanita itu mengetuk berulang kali pintu kamar kos Zea yang membuat Zea bergerak perlahan menarik tubuhnya yang masih lemah setelah melahirkan itu untuk membuka pintu kamarnya.
"Help my baby... my baby... help please..."
"Oh my God?!" Wanita itu terkejut melihat keadaan Zea yang berdarah darah.
Wanita itu terus berceloteh dengan bahasanya sendiri yang tidak banyak dimengerti oleh Zea, sedikit yang dia pahami wanita itu sepertinya mencoba membantunya.
~Adakah rindu yang lebih menyakitkan selain rindu yang tak berujung?~
Menatap langit senja, menjadi pengobat kerinduan yang tak berujung itu. Rasa yang selalu menggerogoti relung hati secara perlahan dari waktu kewaktu yang membuat pemilik tubuh itu merasakan sakit yang semakin tak tertahankan sebab rasa itu tak pernah menemukan tempat berlabuhnya. Hanya langit senja lah yang mampu memberikan sedikit rasa sejuk direlung hati yang terasa perih.
Namun tahukah kamu bahwa langit senja berwarna orange itu hanya dapat dilihat kurang dari satu jam saja setiap harinya. Lalu, bagaimana rindu yang mendalam hingga menciptakan rasa sakit itu bisa terobati dengan hanya sepersekian menit setiap harinya? Sangat menyakitkan bukan?
Namun, itulah satu satunya cara Zea Emila Kurnia bertahan sampai sejauh ini. Setiap harinya dia akan menyibukkan dirinya hingga tubuhnya menjerit merasakan sakit pada setiap persendiannya. Dia hanya memberikan waktu istirahat pada tubuhnya dari jam 6 sore sampai langit berubah menjadi hitam kelam tak terlihat. Selanjutnya dia akan kembali bekerja hingga jam 11 malam, tidur selama empat jam, lalu bangun lagi dan kembali beraktivitas mulai dari jam 4 pagi hingga senja menjelang. Begitu setiap harinya, dia lakukan agar rasa sakit bernama rindu itu tidak terus terusan menyiksa batinnya.
Delapan tahun sudah Zea berada di kota kecil Negara Vietnam. Keberadaannya di tempat ini tidak diketahui siapapun termasuk seseorang yang dirindukannya itu. Dia dikirim ke tempat ini dengan menggunakan indentitas orang lain yang sengaja diatur agar keberadaannya tidak pernah ditemukan oleh siapapun.
Sore ini, seperti biasa Zea duduk di teras rumah atapnya sambil menatap matahari yang mulai berubah menjadi warna keemasan. Air mata menetes dari pelupuk matanya setiap kali dia mulai menyaksikan langit senja.
"Sayang, Mama masih disini nak. Mama tidak bisa meninggalkan tempat ini, sebab kamu disini..."
Dalam genggaman tangannya, dia menggenggam erat kain bedong yang dulu menjadi selimut pertama bayi nya.
"Mama sangat merindukan kamu, sayang. Mama juga merindukan Papa mu yang mungkin sudah bahagia dengan kehidupan barunya tanpa pernah mengetahui kamu pernah hadir dalam rahim, Mama. Maafkan Mama, nak... maafkan, Mama..."
Warna orange keemasan itu mulai hilang dan Zea masih menangis, mengingat hari ini tepat tujuh tahun lalu saat dia melahirkan bayi nya. Jika bayi itu selamat, mungkin kini sudah mulai bersekolah.
"Haruskah, Mama kembali, nak?! Haruskah Mama kembali tanpa kamu..."
Zea sangat ingin kembali, menemui Acel dan menceritakan semuanya pada pria itu. Tapi, apakah Acel akan mendengarkan ceritanya setelah kepergiannya yang tanpa kabar dan dituduh berselingkuh dengan seorang pria yang dianggapnya sebagai satu satunya keluarga. Lalu, dimana Rudi saat ini?
Rudi telah meninggal dunia delapan tahun yang lalu. Dia satu satunya orang yang tahu tentang keberadaan Zea dan apa yang telah diperbuat oleh Alia terhadap Zea. Sayangnya, Alia mengetahui itu dan memerintahkan anak buahnya untuk membungkam Rudi agar tidak mengadu pada Acel.
Rudi berhasil kabur dari kejaran anak buah Alia, namun sayangnya takdir berkata lain, dia malah tertabrak kereta api saat motornya melintasi rel kereta api yang sedang melaju. Berita kematian Rudi di rahasiakan atas perintah Alia, karena itulah Lui tidak bisa menemukan keberadaan Rudi dimana pun waktu itu.
.
.
.
Keluarga Sandrio berduka, tepatnya pagi tadi Burhan Sandrio pemilik Sky Grup perusahaan real estate terbesar telah menghembuskan napas terakhirnya setelah lima hari di ruang ICU karena penyakit jantungnya. Burhan Sandrio meninggal di usia 80 tahun dua hari yang lalu, dimana pesta perayaan bertambah usianya telah disiapkan sedemikian rupa. Namun, takdir berkata lain, dia justru memilih pulang ke tempat perhentian terakhirnya.
Jika yang meninggal adalah manusia dengan segala keterbatasan harta, sudah pasti malam ini masih dalam berduka. Namun, berbeda dengan keluarga konglomerat itu, begitu pemilik kekuasaan dikeluarga mereka meninggal, setelah di kuburkan siangnya, maka malam harinya semua keluarga berkumpul untuk mendengarkan surat warisan pembagian harta.
Diruangan keluarga di rumah utama kediaman Burhan Sandrio, dua anaknya, dua menantu dan tiga cucunya berkumpul bersama untuk mendengarkan pembacaan surat wasiat yang akan dibacakan oleh orang kepercayaan Burhan semasa hidupnya.
Kuasa hukum kepercayaan Burhan mulai membacakan isi surat wasiat itu dihadapan seluruh anggota keluarga Sandrio.
"25% Saham yang saya miliki, akan saya bagikan pada setiap anggota keluarga tanpa terkecuali."
Dania tampak tersenyum senang mendengar isi pertama surat wasiat itu.
"Point pertama, 2% saham, rumah utama beserta isinya, termasuk rumah bakti sosial peduli perempuan diberikan pada Alia Susmita, selama dia tidak menikah lagi dan apabila yang bersangkutan menikah lagi, maka seluruh warisan yang dia terima akan diserahkan pada yayasan panti sosial."
Senyum diwajah Dania berpindah pada Alia dan keduanya saling menatap seakan mereka sedang bicara satu sama lain dalam tatapan itu.
"Point kedua, 3% saham, rumah singgah dan salon kecantikan diberikan pada Amel Ceila Sandrio."
Amel sudah menduganya, karena Kakeknya sering membahas tentang hal ini dan Amel merasa lega saat ini. Kakeknya mempercayainya untuk mengurus rumah singgah.
"Selanjutnya, 3% saham, klinik hewan dan showroom mobil diberikan pada Randi Gabriel, selama yang bersangkutan tidak menceraikan istrinya atau menduakan istrinya. Jika bercerai atau ketahuan selingkuh, maka semua warisannya akan disumbangkan pada yayasan panti sosial."
Mendengar itu membuat Randi menundukkan kepala merasa malu pada almarhum mertuanya, karena dia pernah berpikir untuk meninggalkan Dania. Tapi, dia merasa lega, karena ternyata Mertuanya itu tidak seburuk yang dia pikirkan selama ini. Diana sendiri menatap sebentar suaminya dan berharap agar suaminya tidak pernah berpikir untuk selingkuh.
"Berikutnya, 3% saham, serta Beuaty grup diberikan pada Dania Putri Sandrio."
Kali ini Dania membalas senyuman Alia yang beberapa saat lalu sempat mengejeknya.
"4% Saham, serta R.D grup diberikan kepada Raka Gabriel Sandrio. Lalu, 3% saham, serta Day grup diberikan pada Dandi Putra Sandrio. Kemudian 7% Saham sisanya, diberikan pada Akash Ceilo Sandrio yang juga akan menjadi pimpinan Sky grup apabila yang bersangkutan segera menikah seminggu setelah seratus hari peringatan kematian. Namun, jika yang bersangkutan belum menikah sampai waktu yang telah ditentukan, maka 7% saham dan Sky grup akan diberikan kepada Dandi Putra Sandrio."
Point terakhir itu membuat setiap pasang mata menatap pada Acel yang tampak tidak begitu bersemangat mendengar keputusan Kakeknya yang memberikan perusahaan padanya. Acel, tidak begitu menginginkan Sky grup, dia lebih senang mengurus perusahaannya sendiri meski belum sebesar Sky grup.
"Aku rasa, om Dandi yang pantas menjadi pimpinan perusahaan!" serunya sambil menatap kearah Om nya itu.
"Kenapa? Apa kamu masih tidak mau menikah?" tanya Dandi dengan nada bercanda.
"Om tahu itu dengan baik."
Dandi mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum menatap keponakannya yang sama sekali tidak punya ambisi untuk menjadi pemilik Sky grup, tapi malah dipercayai oleh pendiri Sky grup untuk mengurus perusahaan tersebut.
{Bandara Soekarno-Hatta}
Akash Ceilo Sandrio, kembali menginjakkan kakinya di tanah kelahiran setelah hampir dua bulan di Korea untuk urusan bisnisnya. Kepulangannya disambut oleh asisten pribadinya, Lui.
"Selamat datang kembali, tuan muda Acel." sambutnya yang dibalas dengan sedikit senyuman diwajah tuan mudanya itu.
Acel melangkah lebih dulu menuju mobil yang sudah disiapkan untuk perjalanannya menuju rumah utama untuk menemui wanita yang sangat dirindukannya. Lui buru buru mengejar langkahnya sambil menarik koper berukuran kecil milik tuan mudanya.
"Apa Mama baik baik saja selama aku di Korea?"
"Nyonya baik baik saja, selain kekhawatirannya karena tuan muda belum juga memutuskan untuk segera menikah, sementara peringatan seratus hari Kakek semakin dekat."
"Haruskah aku mengurus Sky grup?"
"Karena Kakek mempercayakan Sky grup pada Tuan muda, tentu Tuan muda harus melakukan itu." Acel menanggapi dengan anggukan pelan, sementara Lui mulai melajukan mobil menuju rumah utama.
Alia menyambut kedatangan putranya dengan merentangkan kedua tangannya dimana sang putra langsung menghambur dalam pelukan hangat yang selalu dirindunya setiap saat. Acel sangat menyayangi Mamanya terlepas dari rahasia besar yang disembunyikan sang Mama darinya tentang Zea Emila Kurnia.
"Aku rindu pelukan hangat, Mama."
"Tapi, Mama sudah bosan memeluk tubuh tinggi besar ini. Mama ingin memeluk tubuh mungil yang bisa memanggil Mama dengan sebutan, Nenek." goda Alia sambil melepas pelukannya.
"Aku tidak akan pernah memberikan itu untuk, Mama."
"Kenapa? Apa kamu tidak bergairah terhadap wanita?!"
Acel tersenyum malas mendengar pertanyaan Mamanya. Kakinya dia bawa melangkah masuk ke rumah besar itu.
"Lui, ayo masuklah dulu. Mama sudah menyiapkan makanan untuk kalian."
Alia mengajak Lui ikut masuk dan dia selalu meminta Lui memanggilnya Mama sama seperti Acel, tapi Lui tidak pernah mewujudkan keinginan Nyonya besarnya itu. Sampai saat ini dia terus memanggil Alia dengan sebutan Nyonya.
"Apa kamu benar benar tidak suka wanita?"
"Ya, aku tidak suka wanita. Mereka cerewet seperti, Mama."
"Mama akan carikan wanita yang tidak cerewet..."
"Aku tidak mau, Ma."
"Ayolah, sayang. Kamu sudah 33 tahun, sudah saatnya kamu menikah dan punya anak."
"Ma, please jangan membuatku malas datang kesini karena Mama terus mendesakku untuk segera menikah."
"Mama tidak mendesak, hanya penasaran apakah putra mama ini normal atau malah..." matanya melirik kearah Lui yang baru saja tiba di ruang tengah itu.
Tatapan itu membuat Lui seperti dituduh menjadi penyebab Acel tidak mau menikah, dengan cepat Lui menggelengkan kepalanya.
"Tidak, Nyonya. Jangan salah paham, saya sungguh masih sangat normal terlepas apakah tuan muda Acel masih normal atau tidak."
"Lui!!" Teriak Acel sambil melemparkan batal kecil Sofa kearah asisten kepercayaannya itu.
"Saya rasa Tuan muda masih sangat normal, Nyonya." Ulang Lui setelah mendapat lemparan dari tuan mudanya yang membuat Alia tertawa gemas melihat interaksi dua pria dewasa yang masih setia melajang itu.
.
.
.
Handi, asisten kepercayaan David yang kini menjadi asisten Alia, baru saja tiba di Bandara untuk memastikan apa yang baru saja dia dengar dari anak buahnya yang mengabarkan bahwa hari ini Zea kembali ke Negara kelahirannya.
Mata lelaki paruh baya itu tak berkedip saat menangkap sosok yang ditunggunya itu benar benar telah kembali. Ada sedikit air menggenang di pelupuk matanya melihat gadis itu tampak sehat dan semakin putih, serta berpenampilan berbeda dari delapan tahun yang lalu.
Zea terlihat celingukan entah siapa yang dicarinya. Saat matanya hampir saja menemukan Handi, dengan cepat lelaki paruh baya itu bersembunyi di balik punggung punggung orang yang ada didekatnya.
"Zea!" Seorang wanita seumurannya melambaikan tangan dan dengan langkah pasti Zea menghampiri lalu mereka berpelukan.
"Lia, aku kembali."
"Hmm, selamat datang kembali Zea."
Lia melepaskan pelukannya untuk melihat dengan jelas sahabat baiknya yang tiba tiba menghilang delapan tahun yang lalu, kemudian tiba tiba mengabarinya bahwa dia akan segera kembali. Tentu Lia sangat bahagia dan merindukan sahabat yang sudah dianggapnya sebagai keluarga karena mereka sama sama tumbuh dan besar di panti asuhan.
"Zea, kamu makin putih, makin cantik dan..." mata Zea menatap perut sahabatnya itu yang tampak datar. "Bayimu..." tanya Lia ragu.
Delapan tahun yang lalu, tepatnya dua hari sebelum Zea menghilang dia memberitahu Lia tentang kehamilannya. Karena itulah kini Lia mempertanyakan keberadaan bayi yang dikandung sahabatnya itu.
"Aku tidak memilikinya. Dia lahir, tapi tidak sempat melihat wajah cantikku." jawabnya dengan nada suara gemetar menahan rasa sakit dan sedihnya karena tidak bisa menyelamatkan bayinya.
Lia kembali memeluk erat Zea. Dia menitikkan air matanya dibalik punggung sahabatnya. Dia sangat mengerti bagaimana perasaan sahabatnya itu hanya dari cara bicaranya barusan.
"Suatu saat nanti, kamu akan mendapatkan penggantinya lagi, Zea."
"Entahlah Lia. Aku tidak pantas menjadi seorang Ibu. Aku jahat, aku egois, aku tidak berhak dipanggil Ibu."
"Zea..."
Lia mengeratkan pelukannya. Merasakan sakit yang dialami sahabatnya itu yang berjuang sendirian di Negara asing tanpa ada seorangpun disisinya dan tidak berani mengabari siapapun karena teringat ancaman dari Nyonya Alia sebelum mengirimnya pergi jauh dari kehidupan putra kesayangannya.
.
.
.
Lia membawa Zea ke apartemen kecilnya. Dia bisa tinggal di apartemen ini karena menjadi karyawan tetap di perusahaan besar yang gajinya fantastis untuk dirinya yang tidak pernah mendapat uang sebanyak itu sebelumnya. Lia sudah bekerja di R.D grup sejak tiga tahun lalu dan baru diangkat sebagai karyawan tetap bagian Pemasaran setahun yang lalu. R.D Grup adalah anak perusahaan milik keluarga Sandrio yang kini dipimpin oleh Raka dan sudah menjadi miliknya seperti surat wasiat sang Kakek.
"Zea, kamu istirahat saja yang nyaman ya. Anggap rumah sendiri. Makanan juga ada di kulkas, tinggal panas-in aja."
"Terimakasih, Lia."
"Iya. Gak usah sungkan, tau."
"Hmm."
"Aku tinggal dulu, ya. Aku cuma izin bentar tadi. Kalau telat nanti boss aku ngomel ngomel."
Zea menanggapi dengan anggukan saja. Dia menatap kepergian Lia hingga menghilang dibalik pintu apartemen yang kembali tertutup rapat. Kini dia sendirian, digunakannya suasana sepi sunyi itu untuk mengistirahatkan matanya yang terasa perih akibat menahan rasa ngantuk sejak masih di pesawat tadi.
Mata itu terpejam ketika punggungnya bertemu dengan kasur empuk milik Lia. Setitik air mata tiba tiba keluar dari kedua ujung matanya. Ada rasa sakit, sedih dan kerinduan yang membuat bulir bening itu jatuh begitu saja.
Tangannya menggenggam erat leher bajunya, melampiaskan rasa rindu yang tak tertahankan begitu raganya telah kembali ke Negara dimana dia sempat meninggalkan prianya tanpa kabar berita delapan tahun yang lalu.
"Kak Acel, maafkan aku..." gumanya untuk pertama kalinya menyebut nama itu lagi setelah delapan tahun mencoba untuk tidak menyebut atau mengingat pria itu lagi.
Tidak jauh berbeda dengan Zea, Acel yang tidak pernah mengungkit tentang belahan jiwanya itu sejak dia kehilangannya, saat ini tiba tiba saja hatinya terasa sakit karena merindukan gadisnya. Padahal selama ini dia terus menanamkan rasa bencinya kepada Zea yang tiba tiba menghilang pergi dengan pria lain dalam keadaan hamil.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!