Penjara bawah tanah Kastel Valyria dikenal sebagai tempat di mana mimpi mati. Di balik dinding batu yang lembap dan tak bernyawa, banyak prajurit tangguh, pemberontak, dan pengkhianat berakhir—terkubur dalam kegelapan, terlupakan. Di antara mereka, hanya satu nama yang tak bisa dihapus oleh sejarah: Ares Arvenius.
Sepuluh tahun telah berlalu sejak dunia melupakan nama itu, sejak kekaisaran mencabut semua gelar dan kehormatan yang pernah disandangnya. Namun, bagi Ares, setiap hari yang dilewatkan di dalam kegelapan itu hanyalah bahan bakar untuk api dendamnya.
Pagi ini, udara di selnya terasa berbeda. Angin yang menusuk dari ventilasi sempit membawa bisikan ke telinganya. Ares membuka matanya perlahan, mendengar gemerincing rantai di luar sel. Langkah kaki cepat, gemuruh yang tak biasa.
Dari tempatnya duduk, tangan dan kaki masih terbelenggu, Ares bisa merasakan ada sesuatu yang bergerak di luar sana. Malam ini adalah malam yang berbeda.
---
Tepat di luar sel, dua penjaga dalam zirah baja lengkap berjalan cepat, obor mereka memercikkan cahaya redup di lorong sempit. Mereka berbicara dengan suara rendah, tapi cukup keras bagi Ares untuk menangkap kata-kata kunci.
“Perintah dari atas... harus dipindahkan... segera."
Ares mendengar nama Ragnar Velheim disebut—nama yang membuat amarahnya semakin memuncak. Ragnar, sosok yang dulu dia anggap sahabat, kini menjadi musuh bebuyutannya. Jenderal besar yang menjadi dalang dari semua penderitaan yang ia alami. Ares tersenyum tipis di balik kegelapan. Jika Ragnar ingin memindahkannya, itu berarti waktunya telah tiba.
Penjaga tiba di depan selnya. Kunci besar dimasukkan ke lubang, dan pintu berderit terbuka. Mata mereka beralih ke tubuh Ares yang kurus dan kumal, rantai yang menggantung di tangannya membuat suara samar di lantai batu. Mereka mendekat, mengendurkan belenggunya.
"Saatnya," salah satu dari mereka bergumam. "Jangan coba-coba sesuatu yang bodoh, Arvenius."
Namun, sebelum kata-kata itu sempat tenggelam dalam udara, Ares bergerak lebih cepat daripada yang bisa mereka perkirakan. Sebuah pukulan keras ke dada penjaga pertama, diikuti dengan hentakan ke tenggorokan yang kedua. Tubuh mereka jatuh dengan dentuman berat, darah merembes di lantai kotor. Ares mengambil belati dari pinggang salah satu penjaga dan mengakhiri hidup mereka tanpa ragu.
Di balik baja tipis, tubuh mereka lebih lemah dari yang dia bayangkan. Sudah lama Ares tidak merasakan darah di tangannya, dan malam ini, dia merasa kekuatannya kembali. Dia mengambil pedang dari penjaga yang masih mengerang dan merapikan jubah kumalnya.
Dunia luar menunggu, tapi Ares tahu bahwa keluar dari penjara ini bukan hanya tentang kekuatan fisik. Penjara ini dibangun dengan sihir kuno, penghalang magis yang melingkupi setiap sudut dinding. Namun, selama bertahun-tahun terkunci di sini, Ares tidak hanya duduk tanpa berbuat apa-apa. Dia telah mempelajari segala cara untuk menaklukkan tempat ini.
---
Setelah memastikan kedua penjaga benar-benar mati, Ares merayap keluar dari sel. Lorong-lorong gelap di depannya terasa lebih panjang dari yang diingatnya, namun dia tidak gentar. Dia menghitung langkahnya dengan hati-hati, menjauh dari cahaya obor yang tersebar di beberapa titik, menghindari perhatian.
Di ujung koridor, Ares tiba di sebuah pintu besar yang dijaga dua rune sihir biru bercahaya. Sihir ini dulu dibuat untuk mencegah pelarian, dan hanya kaisar yang dapat membatalkan mantra ini. Tapi Ares telah bersiap.
Dari balik jubahnya yang robek, dia mengeluarkan talisman yang terbuat dari batu hitam dengan ukiran kuno. Talisman ini adalah kunci, sesuatu yang dia peroleh dengan harga mahal dari sesama tahanan beberapa tahun yang lalu. Saat dia menempelkannya ke rune di pintu, cahaya biru mulai memudar perlahan hingga hanya kegelapan yang tersisa. Pintu besar itu terbuka, mengeluarkan angin malam yang menggigilkan tulang.
Dia bebas.
---
Di atas benteng, di istana yang menjulang megah, seorang pria berusia lima puluhan berdiri di depan jendela besar, memandang kota Valyria yang berkilauan di bawah cahaya bulan. Wajahnya tegas, matanya penuh perhitungan. Jenderal Ragnar Velheim, penguasa militer kekaisaran yang tanpa ampun.
Ragnar mendengar ketukan di pintunya, dan seorang perwira masuk dengan wajah pucat. "Yang Mulia, tahanan Ares Arvenius... dia berhasil kabur."
Ragnar tak menoleh, namun rahangnya mengeras mendengar laporan itu. Sudah lama dia tahu ini akan terjadi, namun kabar ini tetap saja mengguncang. “Kabur?” gumamnya pelan. “Dia tidak seharusnya bisa melarikan diri dari penjara itu.”
“Semua penjaga di koridor utara mati. Kami... kami yakin dia memiliki bantuan dari luar.”
Ragnar memejamkan mata, pikirannya berputar. Ares Arvenius, prajurit yang pernah dia anggap seperti saudara, kini kembali sebagai ancaman terbesar bagi kekaisaran yang ia pertahankan dengan darah dan besi. Dia tahu bahwa Ares tidak akan berhenti hanya dengan kabur. Dia akan datang untuk Ragnar, dan Ragnar harus bersiap untuk menghadapi sosok yang pernah menjadi salah satu prajurit paling mematikan di seluruh kekaisaran.
"Tangkap dia. Hidup atau mati," kata Ragnar dengan suara dingin. "Dan kali ini, jangan ada yang gagal."
Ketika perwira itu mundur dengan gugup, Ragnar menatap langit malam. Ares akan datang. Dan Ragnar harus memastikan bahwa kali ini, dia tidak akan membuat kesalahan yang sama.
---
Di luar, di balik tembok-tembok tinggi kota Valyria, Ares berlari cepat, memotong jalan melalui gang-gang sempit yang penuh dengan bayangan. Angin malam terasa seperti kebebasan, meskipun tubuhnya masih terasa berat setelah bertahun-tahun terkurung.
Namun di balik kebebasan ini, ada kemarahan yang menggelegak dalam hatinya. Ragnar, pengkhianat yang mencuri hidupnya, masih berkuasa. Setiap langkah yang ia ambil membawa ingatan tentang pengkhianatan itu, tentang pertempuran yang menjerumuskannya ke dalam penjara ini.
Ares berhenti di puncak bukit kecil yang menghadap kota. Lampu-lampu Valyria berkedip di kejauhan, seperti bintang yang tenggelam di bawah lautan korupsi dan darah. Di sana, di pusat kota yang gemerlap, berdiri istana besar di mana Ragnar memerintah. Ares mengepalkan tinjunya.
Balas dendam telah menunggu terlalu lama.
Dengan mata yang menyala penuh kebencian, Ares memutuskan satu hal: Kaisar dan seluruh kekaisaran akan terbakar dalam api balas dendamnya.
Malam di Valyria tidak pernah benar-benar tenang. Meskipun terbungkus keheningan, kota ini selalu bergemuruh dengan rahasia, intrik, dan kekacauan yang tersembunyi di bawah kilauan lampu-lampu megahnya. Di bawah bayangan tembok kekaisaran, Ares Arvenius bergerak seperti siluman. Setiap sudut kota mengingatkannya pada apa yang telah hilang. Di masa lalu, ia adalah bagian dari kemegahan ini—seorang pahlawan yang disambut dengan sorak-sorai dan penghargaan. Kini, ia hanyalah hantu yang memburu masa lalunya.
Jubah hitam yang ia kenakan berbaur dengan kegelapan, menyembunyikan tubuhnya dari mata-mata yang mungkin mengawasi. Ares berhenti di ujung jalan, matanya mengamati sekeliling dengan cermat. Kota ini telah berubah sejak terakhir kali ia melihatnya. Bangunan-bangunan baru berdiri, dan setiap sudut terasa lebih asing daripada sebelumnya. Namun, yang tidak berubah adalah bau busuk korupsi yang menyelubungi Valyria—bau yang tercium dari setiap orang yang berkuasa.
Di kejauhan, menara istana yang menjulang ke langit gelap menarik perhatiannya. Ragnar Velheim ada di sana, duduk di atas kekuasaannya yang rapuh. Jenderal yang mengkhianatinya dan menghancurkan hidupnya. Ares tahu bahwa untuk mencapai Ragnar, ia harus bergerak hati-hati. Valyria dipenuhi dengan mata-mata dan kaki tangan Ragnar, siap untuk menangkapnya jika ia membuat kesalahan sekecil apa pun.
Namun, malam ini, ada langkah pertama yang harus ia ambil. Dia memutuskan untuk menuju ke distrik barat kota, di mana dia pernah mengenal seseorang yang bisa memberinya informasi penting—seorang perempuan bernama Mira, mantan informan dan mata-mata yang memiliki akses ke setiap rahasia kotor di kekaisaran. Jika seseorang tahu cara untuk mendekati Ragnar tanpa terdeteksi, Mira adalah orangnya.
---
Lorong-lorong di distrik barat terasa lebih sempit, dan bau sampah serta air kotor memenuhi udara. Ares terus bergerak, menyelinap melalui gang-gang gelap tanpa suara. Setiap sudut dipenuhi oleh bayangan, tetapi dia sudah terbiasa dengan kegelapan selama sepuluh tahun terakhir. Penjara bawah tanah telah mengajarkannya satu hal: hanya yang paling waspada yang bisa bertahan.
Saat ia mendekati sebuah bangunan kecil yang tampak usang, Ares berhenti. Di depan pintu kayu yang hampir lapuk, dia mengetuk tiga kali, sesuai dengan pola yang dulu pernah diajarkan Mira. Tak lama kemudian, pintu terbuka sedikit, dan sepasang mata mencurigakan menatapnya dari celah itu.
"Siapa kau?" suara perempuan yang serak terdengar dari dalam.
"Ares," jawabnya dengan nada rendah, memastikan hanya dia yang mendengar. "Aku datang untuk menagih janji lama."
Mata di balik celah pintu tampak membesar, lalu pintu terbuka sedikit lebih lebar. "Kau seharusnya sudah mati," Mira bergumam dengan ketidakpercayaan. "Mereka bilang kau tak akan pernah keluar dari penjara itu."
"Penjara tak cukup untuk membunuhku," jawab Ares datar. "Aku butuh bantuanmu."
Mira memandangnya sejenak sebelum akhirnya membukakan pintu sepenuhnya, mempersilahkan Ares masuk. Begitu dia melangkah ke dalam, pintu ditutup rapat di belakangnya, meninggalkan hanya lilin-lilin kecil yang menerangi ruangan sempit dan kumuh itu.
---
Mira duduk di sudut ruangan, menatap Ares dengan tatapan penuh curiga. Wajahnya yang dulu cantik kini tampak letih, keriput menghiasi sudut matanya, namun ketajaman mata itu masih ada. "Apa yang kau inginkan, Ares? Kau muncul setelah sepuluh tahun, dan aku tidak percaya ini hanya kebetulan."
"Aku butuh informasi," kata Ares tegas. "Tentang Ragnar Velheim. Dia masih memegang kekuasaan?"
Mira mendesah. "Lebih dari sebelumnya. Setelah kau dijatuhkan, Ragnar naik lebih tinggi. Dia bukan hanya jenderal sekarang; dia hampir mengendalikan seluruh kekaisaran. Kaisar hanya boneka yang tak pernah terlihat di depan umum. Semua orang tahu siapa yang sebenarnya memerintah."
Ares mengepalkan tinjunya di bawah jubahnya. "Lalu, aku membutuhkan cara untuk mendekatinya. Sesuatu yang bisa menghancurkannya dari dalam."
Mira menggelengkan kepalanya, tatapannya penuh rasa khawatir. "Ragnar itu cerdik, Ares. Dia dikelilingi oleh penjaga, mata-mata, dan sihir kuno. Mendekatinya saja bisa membunuhmu, bahkan sebelum kau mencoba apa pun. Tapi..." suaranya merendah, seolah takut ada yang mendengar. "Ada desas-desus tentang sesuatu yang lebih besar."
Ares mengangkat alis. "Apa maksudmu?"
Mira melirik sekeliling, lalu mendekat. "Kaisar. Ada sesuatu yang aneh tentang kaisar. Mereka bilang dia tak pernah terlihat di istana selama bertahun-tahun. Beberapa mengatakan bahwa dia sebenarnya telah mati, sementara yang lain percaya bahwa Ragnar menggunakan sihir hitam untuk mengendalikan tubuhnya. Jika kau ingin menghancurkan Ragnar, kau harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kaisar."
Ares terdiam sejenak, memproses informasi itu. Kaisar yang hilang? Sihir hitam? Ini lebih dalam dari yang dia duga. Dia mengira Ragnar hanya mengkhianatinya untuk mendapatkan kekuasaan, tetapi ini melibatkan sesuatu yang jauh lebih gelap dan berbahaya.
"Aku tahu satu tempat," lanjut Mira. "Ada sebuah kuil kuno di luar kota, di mana para pendeta kekaisaran menyimpan rahasia-rahasia paling kelam. Jika kau benar-benar ingin tahu apa yang terjadi dengan kaisar, itulah tempatnya. Tapi ingat, Ares, tempat itu tidak akan mudah dimasuki."
Ares mengangguk pelan. Kuil kuno itu mungkin tempat di mana semua jawaban berada. Jika dia bisa mengungkap rahasia kaisar, dia bisa mengoyak fondasi kekuasaan Ragnar dari dalam. Tapi perjalanan ini akan berbahaya, dan dia tidak bisa melakukannya sendiri.
"Aku butuh lebih dari sekadar informasi," kata Ares. "Aku butuh sekutu. Orang-orang yang bisa aku percaya."
Mira tertawa kecil, suaranya pahit. "Kepercayaan? Di Valyria? Orang-orang di sini akan menjualmu untuk sepotong roti. Tapi..." Dia berhenti sejenak, tatapannya menjadi serius. "Ada seseorang. Liora Vex. Dia memimpin kelompok pemberontak bawah tanah yang ingin menggulingkan kekuasaan Ragnar. Tapi hati-hati dengan dia. Liora tidak pernah benar-benar mempercayai siapa pun, dan dia punya caranya sendiri untuk mencapai tujuannya."
"Liora Vex..." Ares mengulangi nama itu dalam pikirannya. Nama yang asing, namun tampaknya penting. Mungkin dengan bantuan Liora, ia bisa mengumpulkan kekuatan yang cukup untuk melawan Ragnar.
Sebelum Ares pergi, Mira memberikan petunjuk terakhir. "Kuil itu terletak di pegunungan di utara kota. Namun, jalannya berbahaya dan penuh dengan pengikut sihir lama. Jangan pergi tanpa persiapan."
Ares menatap Mira untuk terakhir kalinya, mengangguk sebagai tanda terima kasih. "Kau telah menyelamatkan hidupku malam ini, Mira. Kau tidak akan kulupakan."
Mira tertawa getir. "Jangan terlalu yakin. Dunia ini berubah, dan tidak ada yang selamat dari pengkhianatan. Bahkan kau, Ares."
---
Malam semakin larut saat Ares keluar dari tempat persembunyian Mira. Dia berjalan cepat melalui gang-gang kota, pikirannya dipenuhi oleh rencana. Dia harus menemukan Liora Vex, mengumpulkan sekutu, dan bersiap untuk perjalanan menuju kuil kuno di utara. Ragnar mungkin tidak tahu bahwa malam ini adalah awal dari akhir bagi kekuasaannya, tetapi Ares siap untuk menghancurkan semuanya.
Di langit, bulan menyinari Valyria dengan dingin, sementara di bawahnya, bayangan-bayangan bergerak dalam diam, menyusun rencana mereka sendiri. Kaisar yang terbakar mungkin akan segera mengungkapkan rahasia tergelapnya, dan di tangan Ares, seluruh kekaisaran akan runtuh dalam api.
---
Ares menyusuri jalanan gelap di Valyria dengan langkah pasti. Pikirannya penuh dengan bayangan dan rencana yang mulai terbentuk. Nama Liora Vex terus berputar di benaknya—sosok misterius yang Mira sebutkan sebagai kunci untuk menjatuhkan Ragnar. Tapi tidak ada orang di Valyria yang benar-benar bisa dipercaya, termasuk pemimpin pemberontak ini.
Udara malam terasa semakin dingin saat dia mendekati distrik selatan kota, tempat di mana kelompok-kelompok pemberontak bawah tanah bersembunyi dari mata-mata kekaisaran. Distrik ini berbeda dari pusat kota yang megah dan gemerlap. Bangunan-bangunan di sini runtuh dan penuh dengan graffiti yang mencerminkan perlawanan rakyat. Ares tahu bahwa setiap langkah yang dia ambil di sini diawasi. Ini adalah wilayah yang berbahaya, bahkan bagi seseorang seperti dia.
Dia melangkah ke sebuah gang sempit, seperti yang diarahkan Mira, menuju pintu yang hampir tersembunyi oleh bayangan. Di sana, di balik dinding-dinding gelap, terletak markas rahasia pemberontak. Dia mengetuk pintu tiga kali dengan pola khusus—sinyal yang sudah disampaikan Mira kepadanya.
Suara langkah kaki mendekat dari balik pintu, lalu terdengar suara berat dari balik kayu, “Siapa kau?”
“Ares Arvenius,” jawabnya tegas, tanpa ragu. “Aku datang untuk menemui Liora Vex.”
Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan mata tajam yang menilai Ares. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, pintu itu terbuka lebar, memperlihatkan seorang pria besar dengan jubah hitam. Dia memberi isyarat kepada Ares untuk masuk.
Di dalam, suasana penuh ketegangan. Markas pemberontak bukanlah tempat yang nyaman—ruangan ini gelap, berbau lembap, dan dipenuhi dengan senjata serta peta yang tertempel di dinding. Beberapa orang duduk di sekitar meja, wajah mereka penuh waspada, menatap ke arah Ares saat dia melangkah masuk.
Di ujung ruangan, berdiri seorang wanita dengan postur tegap dan mata yang tajam. Wajahnya dihiasi oleh luka bekas pertempuran, namun aura kekuatannya tidak dapat disangkal. Inilah Liora Vex, pemimpin pemberontak yang penuh teka-teki.
“Ares Arvenius,” Liora memulai dengan suara datar, matanya mengamati setiap inci tubuhnya. “Prajurit yang seharusnya mati di penjara bawah tanah, kini berdiri di hadapanku. Apa yang membuatmu berpikir aku akan mempercayaimu?”
Ares tidak gentar di bawah tatapannya. “Aku tidak meminta kepercayaanmu, Liora. Aku hanya menawarkan kesempatan. Kau ingin menjatuhkan Ragnar. Aku juga. Kita punya musuh yang sama.”
Liora mendekat, menyilangkan tangannya di dada. “Musuh yang sama bukan berarti kita punya tujuan yang sama, Arvenius. Aku bertarung untuk rakyat, untuk menghancurkan korupsi yang telah menghancurkan kekaisaran ini. Apa yang kau inginkan? Balas dendam pribadi?”
Ares menatap langsung ke mata Liora, menunjukkan tekadnya. “Ragnar bukan hanya masalah pribadiku. Dia adalah racun yang menghancurkan seluruh Valyria. Jika dia tidak dihentikan, kekaisaran ini akan jatuh lebih dalam ke dalam kegelapan. Aku ingin menghentikannya, sama seperti kau.”
Ruangan itu hening sesaat. Semua mata tertuju pada mereka berdua, dua sosok yang sama-sama tangguh namun penuh ketidakpercayaan. Liora menimbang kata-kata Ares, tatapannya tajam dan penuh perhitungan.
“Aku mendengar banyak hal tentangmu, Arvenius,” Liora berkata perlahan. “Kau prajurit yang hebat, tapi kau juga pernah menjadi alat kekaisaran. Kau pernah berdiri di sisi Ragnar. Mengapa aku harus mempercayai bahwa kau benar-benar ingin menghancurkannya?”
Ares menahan napasnya sejenak, ingatan tentang pengkhianatan itu kembali menghantuinya. “Ragnar menghancurkan hidupku, menuduhku pengkhianat, dan menjebakku di penjara bawah tanah selama sepuluh tahun. Aku kehilangan segalanya karena dia. Jika kau ingin bukti niatku, lihat apa yang telah dia lakukan padaku.”
Liora terdiam, matanya melihat luka-luka lama di tubuh Ares, bekas-bekas rantai yang telah membelenggunya selama bertahun-tahun. Akhirnya, dia mendesah pelan dan mengangguk.
“Aku bisa memberimu kesempatan,” katanya dengan nada lebih tenang. “Tapi jangan berpikir bahwa kepercayaan datang dengan mudah di tempat ini. Kau harus membuktikan dirimu, Arvenius. Ada sesuatu yang harus dilakukan, dan jika kau berhasil, maka kita bisa berbicara tentang aliansi.”
“Apa yang kau butuhkan?” tanya Ares tanpa ragu.
Liora melangkah ke meja besar di tengah ruangan, menunjukkan sebuah peta kota yang penuh dengan tanda-tanda dan simbol. Dia menunjuk ke sebuah tempat di bagian timur Valyria. “Di sini, di bawah tanah istana lama, ada tempat yang dikenal sebagai Ruangan Hitam. Itu adalah tempat di mana Ragnar menyimpan dokumen-dokumen penting, termasuk catatan tentang semua perjanjian rahasia yang dia buat untuk menguasai kekaisaran. Jika kita bisa mendapatkan bukti dari sana, kita bisa memulai langkah untuk menjatuhkannya.”
Ares mengamati peta itu dengan cermat. “Apa yang membuat tempat itu begitu sulit dijangkau?”
Liora menatapnya serius. “Ruangan itu dijaga ketat oleh pasukan elit Ragnar, dan sihir kuno melindungi pintu masuknya. Hanya sedikit yang tahu cara memasukinya, dan bahkan lebih sedikit yang bisa keluar hidup-hidup.”
“Lalu, bagaimana kita bisa masuk?”
Liora menyeringai tipis. “Kita punya cara. Tapi untuk saat ini, kita butuh orang yang cukup berani untuk menyusup ke sana dan mencuri dokumen-dokumen itu. Itulah ujianmu, Ares.”
Ares menyadari tantangan yang dia hadapi, tapi dia tidak akan mundur. Ini adalah langkah yang dia butuhkan untuk mendekati Ragnar, untuk menghancurkan jenderal yang telah menghancurkan hidupnya.
“Aku akan melakukannya,” jawab Ares tegas.
Liora tersenyum kecil, sebuah senyuman yang menunjukkan kepercayaan diri dan sedikit kekaguman. “Baiklah. Tapi ingat, ini bukan sekadar misi bunuh diri. Kau harus kembali dengan dokumen itu, atau semua rencanaku akan berantakan.”
“Aku tidak pernah gagal dalam misi,” kata Ares sambil menatap lurus ke arahnya.
“Bagus. Kita akan lihat apakah kau bisa bertahan dalam dunia bayangan ini, Ares Arvenius.”
---
Malam itu, Ares memulai perjalanan pertamanya dengan kelompok pemberontak. Liora memberinya peta jalan menuju Ruangan Hitam, serta beberapa informasi tentang sihir yang melindungi tempat itu. Meskipun dia sudah bertarung dalam berbagai pertempuran sebelumnya, ini adalah misi yang berbeda. Bukan hanya kekuatan fisik yang dibutuhkan, tetapi juga kecerdikan dan kemampuan untuk bertahan hidup dalam bayangan.
Dalam perjalanannya menuju istana lama, Ares terus memikirkan apa yang dia pelajari dari Mira dan Liora. Ragnar Velheim bukan hanya jenderal yang korup; dia menguasai kekaisaran melalui intrik, sihir, dan kekuatan gelap yang belum sepenuhnya terungkap. Jika benar apa yang Mira katakan, bahwa kaisar mungkin sudah mati atau dikendalikan oleh sihir hitam, maka Ragnar adalah ancaman yang jauh lebih besar dari yang dia bayangkan.
Ares bergerak cepat di bawah bayangan malam, menuju ke istana lama yang sekarang telah ditinggalkan. Bangunan megah itu dulunya adalah simbol kejayaan kekaisaran, tetapi kini menjadi sarang misteri dan bahaya. Di bawah permukaannya, Ruangan Hitam menunggu, bersama dengan rahasia yang bisa mengubah arah pertempuran ini.
---
Beberapa jam kemudian, Ares tiba di gerbang istana lama. Tempat itu sunyi, dikelilingi oleh reruntuhan, tetapi dia tahu bahwa bahaya mengintai di setiap sudut. Dengan hati-hati, dia melangkah masuk, mengikuti petunjuk yang diberikan Liora.
Lorong-lorong istana terasa dingin, seperti tempat yang terlupakan oleh waktu. Ares merasakan getaran magis yang samar di udara—sihir kuno yang melindungi tempat ini. Setiap langkahnya dihitung dengan hati-hati, menghindari jebakan atau pengawasan yang mungkin dipasang oleh para penjaga Ragnar.
---
Di depan, Ares melihat sebuah gerbang besar dari baja yang berkarat, tertutup rapat oleh rune-rune bercahaya yang melingkari seluruh permukaannya. Ini adalah pintu menuju Ruangan Hitam, tempat di mana semua rahasia Ragnar disimpan. Dia bisa merasakan energi yang berdenyut melalui udara—sihir kuno yang menjaga pintu ini hanya bisa dibuka oleh mereka yang memiliki akses atau kunci khusus.
Ares mendekati pintu dengan hati-hati, mengingat petunjuk yang diberikan oleh Liora. Salah satu hal pertama yang dia pelajari adalah bahwa rune ini tidak hanya mengunci pintu, tetapi juga berfungsi sebagai jebakan mematikan bagi siapa pun yang berusaha meretasnya tanpa kunci yang benar. Rune ini bisa menghancurkan siapa pun yang salah langkah, melepaskan semburan energi yang bisa membakar seseorang hidup-hidup.
Ares mengeluarkan talisman yang diberikan oleh Liora, sebuah artefak kecil yang diambil dari pendeta kuno yang dahulu melayani kekaisaran. Talismannya terlihat sederhana—sekeping batu hitam dengan ukiran kuno—tapi Liora yakin bahwa benda ini bisa menetralkan sebagian sihir yang melindungi tempat itu.
Ares menempelkannya di salah satu rune utama, dan perlahan, cahaya yang berdenyut di sekitar gerbang mulai meredup. Seiring dengan itu, suara gerigi besi yang saling berputar terdengar samar, menandakan pintu mulai terbuka. Setelah beberapa saat, celah kecil cukup besar untuk seseorang masuk terbentuk di tengah pintu baja raksasa itu.
Ini baru permulaan. Ares tahu bahwa di balik pintu ini, tantangan sesungguhnya menunggunya.
---
Di dalam Ruangan Hitam, atmosfer berubah drastis. Dinding-dinding batu di sini terasa lebih tua, dipenuhi dengan simbol-simbol kuno yang hampir tak terlihat di bawah debu dan kegelapan. Udara di sini berat, seolah-olah menyimpan ribuan tahun rahasia yang tak pernah terungkap. Ruangan itu diterangi oleh beberapa obor yang tergantung di dinding, memberikan cahaya temaram yang nyaris tak cukup untuk menerangi jalan.
Di tengah ruangan, di atas meja besar yang terbuat dari batu hitam, terdapat tumpukan gulungan perkamen, catatan yang usianya mungkin sudah ratusan tahun. Ares melangkah hati-hati, memastikan tidak ada perangkap yang menunggu. Setiap langkahnya diiringi suara lembut gemerisik angin, meski tidak ada jendela di sini.
Dia mendekati meja itu dan mulai memeriksa gulungan-gulungan perkamen satu per satu. Kebanyakan berisi dokumen-dokumen tua—perjanjian antara bangsa-bangsa, persetujuan perdagangan, dan kontrak militer. Namun, di antara dokumen-dokumen itu, Ares menemukan sesuatu yang menarik: sebuah buku hitam tebal dengan simbol kekaisaran di sampulnya.
Dengan hati-hati, dia membuka buku itu. Halaman-halaman pertama tampak seperti catatan biasa—tanda tangan bangsawan, daftar aliansi—namun semakin dia membacanya, semakin gelap isinya. Buku ini mencatat perjanjian gelap yang dibuat Ragnar dengan entitas-entitas gaib untuk menjaga kekuasaannya tetap kuat. Di dalamnya tertulis ritual-ritual yang dilakukan untuk memperpanjang masa hidup Kaisar dengan sihir hitam, serta upaya untuk memperbudak kekuatan kuno demi memperkuat militer kekaisaran.
Ares menggenggam buku itu erat. Ini adalah bukti yang cukup untuk menjatuhkan Ragnar, tetapi dia tahu mengambil buku ini berarti dia akan segera menjadi target buruan. Ragnar pasti telah memastikan bahwa siapa pun yang mengambil rahasia ini tidak akan lolos dengan mudah.
Namun, sebelum dia bisa menyimpan buku itu, dia mendengar suara di belakangnya. Langkah-langkah ringan namun jelas terdengar mendekatinya.
Ares segera menyarungkan pedangnya dan memutar tubuh, bersiap menghadapi siapa pun yang datang. Di hadapannya, berdiri seorang pria tinggi dengan baju zirah hitam. Wajahnya terselubung oleh helm, namun matanya yang menyala merah memberi kesan bahwa ini bukan manusia biasa.
"Siapa kau?" tanya pria itu dengan suara berat, seolah-olah berasal dari kedalaman bumi.
"Siapa aku tidak penting," jawab Ares tenang, mengangkat buku hitam itu sedikit sebagai ancaman tersirat. "Tapi aku tahu siapa Ragnar Velheim, dan aku tahu apa yang dia lakukan di sini."
Pria itu tersenyum dingin, matanya bersinar lebih terang. "Ragnar sudah lama menunggu seseorang seperti kau, Arvenius. Dan aku di sini bukan untuk membunuhmu. Aku di sini untuk memastikan kau mendapatkan pesan yang jelas."
Ares mempersempit matanya, menyiapkan pedangnya untuk kemungkinan serangan. "Pesan apa?"
Pria itu tidak menjawab secara langsung. Sebaliknya, dia melangkah lebih dekat, hingga wajah mereka hampir sejajar. "Kaisar tidak lagi memerintah Valyria. Hanya bayangannya yang tinggal di atas takhta. Jika kau benar-benar ingin menghancurkan Ragnar, kau harus memahami bahwa dia tidak bertarung sendirian."
Pria itu mengulurkan tangan dan dari telapak tangannya muncul api biru kecil yang menari di udara. "Kau akan menghadapi sesuatu yang lebih dari sekadar kekuatan manusia biasa. Kau harus siap kehilangan lebih dari sekadar nyawamu."
Sebelum Ares bisa bereaksi, pria itu menghilang, menyatu dengan bayangan di ruangan. Ruangan itu kembali sunyi, seolah-olah dia tak pernah ada di sana.
Ares berdiri diam untuk sesaat, mencerna pesan aneh itu. Bayangan di atas takhta? Apa maksudnya? Jika kaisar sudah tidak lagi berkuasa, siapa yang sebenarnya mengendalikan kekaisaran ini? Dan apa hubungan Ragnar dengan entitas gaib yang disebutkan pria itu?
Dengan hati-hati, Ares menyimpan buku hitam itu di bawah jubahnya. Dia tahu bahwa waktunya terbatas. Penjaga istana atau mungkin lebih banyak makhluk seperti tadi bisa muncul kapan saja. Dia harus keluar dari Ruangan Hitam ini sebelum jebakan sihir lain mengunci tempat ini.
Ares melangkah cepat kembali ke pintu masuk, memastikan bahwa talisman yang dia gunakan untuk masuk masih berfungsi. Setelah memastikan bahwa rune telah dinetralkan, dia menyelinap keluar dari gerbang baja besar dan kembali ke lorong-lorong yang gelap di bawah istana. Dia berhasil lolos—setidaknya untuk saat ini.
Dengan buku hitam di tangan, Ares tahu bahwa langkah selanjutnya adalah kembali ke markas pemberontak dan bertemu Liora. Bukti yang dia bawa bukan hanya cukup untuk menggulingkan Ragnar, tetapi juga membuka tabir misteri tentang kekaisaran yang selama ini disembunyikan dari rakyatnya. Ragnar tidak hanya korup; dia terlibat dalam sesuatu yang jauh lebih kelam dan mengerikan daripada yang pernah dibayangkan Ares.
Namun, peringatan dari pria berzirah hitam itu terus terngiang di benaknya. Bayangan di atas takhta. Ada sesuatu yang lebih besar dari Ragnar, dan jika Ares tidak hati-hati, dia mungkin tidak akan bisa melarikan diri dari kegelapan yang akan datang.
---
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!