Savira Azalea, seorang gadis berkulit putih, mata sipit, hidung mancung dangan pipi yang chubby. Rambutnya panjang berwarna hitam asli sedikit pirang. Ditahun ini umurnya genap dua puluh dua tahun.
Pukul 17.30 pm
Gadis cantik yang kerap disapa dengan nama Zea ini baru menginjakkan kaki di kota Jakarta, suasana baru untuk seorang gadis desa yang baru kali ini merasakan yang namanya kebebasan.
Zea tidak pernah bertemu dengan seseorang yang dipanggil dengan kata ibu, apalagi ayah. Sedari kecil Zea tinggal dengan sepasang suami istri yang ia panggil dengan panggilan bibi Santi dan paman Darman. Jika Zea bertanya soal orang tuanya mereka hanya bilang bahwa orang tua Zea meninggal karena kecelakaan, namun hingga kini letak yang dikata makam orang tua-nya pun tak pernah Zea lihat.
Santi ; wanita yang mengaku adik dari almarhum ibu Zea, namun tidak ada sifat yang baik yang bisa ia cerminkan layaknya orang tua, Santi memperlakukan Zea layaknya seorang pembantu, mencuci baju, mengepel, dan seluruh pekerjaan rumah Zea yang mengerjakan, tidak ada hari untuk sekedar tidur dengan nyaman, jika satu pekerjaan rumah belum Zea kerjakan maka tidak akan ada jatah makan untuk Zea, dan satu lagi hal yang paling menyakitkan adalah tali pinggang Darman akan melayang di punggungnya.
Dimata Zea saat itu Santi dan keluarganya adalah orang baik yang dengan rela menyekolahkan Zea hingga tamat dibangku SMA, Zea menganggap semua kekerasan fisik yang ia terima hanyalah tentang bahasa balas budi.
Wira lelaki yang umurnya dibawah dua tahun dari Zea adalah putra tunggal Santi, Wira dan Darman adalah alasan yang selalu membuat Zea hidup penuh dengan ketakutan, Zea takut tidur dengan pintu yang tidak terkunci, Zea takut menatap mata kedua pria yang penuh dengan hawa lapar, setiap malam Zea selalu terjaga, dia takut sangat takut.
Hingga suatu ketika Zea dijodohkan dengan Bisman lelaki tua bau tanah, ia dikenal dengan sebutan rentenir kaya raya di desanya. Hutang puluhan juta yang tak kunjung dibayar, membuat Zea terjebak dalam perjanjian yang Santi lakukan. Sabar,,, kata yang sedari dulu jadi penguat dalam kehidupan tak lagi bisa untuk Zea tahan, akhirnya dalam waktu kesempatan singkat Zea bertemu dengan ketiga istri Bisman, ia meminta tolong agar ia bisa pergi dari desa ini, Zea juga meminta tolong pada Faisal anak dari istri pertama Bisman. Pengaduan itu membuahkan hasil. Sehari sebelum prosesi akad berlangsung, dengan rencana yang sudah dipersiapkan matang-matang akhirnya Zea bisa pergi dihantar Faisal.
Helaan nafas panjang penuh syukur Zea ucapkan untuk hari ini, hari dimana ia bebas dan keluar dari keluarga toxic.
Krukkk
Biasa lambat makan, Zea tidak menyadari bahwa sedari tadi ia belum mengisi perutnya, pandanganya megedar mencari pedagang kaki lima. Angin malam membuat rambutnya yang dikucir kuda tersapu lembut olehnya, wajah putih cantiknya kini berubah memucat, mungkin tadi ada rasa senang bisa keluar dan merantau ke kota, tapi ekspresi itu hanya sebentar. Sekarang yang ada dalam pikiran Zea adalah tempat istirahat untuk tidur, masalah pekerjaan bisa dicari esok setelah istirahat malam ini.
'risol mayo? satu mika isi tiga dua puluh ribu?'
gumamnya mengingat pedagang kaki lima yang baru saja ia lewati.
Langkah kaki Zea berhenti pada satu penjual Bakso, ada banyak penjual lain tapi tak ada makanan yang Zea kenali, semua yang di jual adalah makanan aneh.
"Pak, mau bakso nya satu"
"sisa bakso original neng, bakso urat sama rudal sudah habis"
"yaudah Pak yang original aja satu, makan sini"
"Okey, tunggu sebentar ya neng"
Zea duduk di kursi plastik setelah menaruh tas ransel nya dibawah, sebelah kakinya. Banyak aroma semerbak seperti nasi goreng, sate dan berbagai makanan kaki lima lainnya yang sempat mampir untuk sejenak Zea hirup aromanya.
"jam segini udah habis, bapak mangkal dari jam berapa?" Zea bertanya
Sibapak tukang bakso yang masih sibuk meracik bumbu dimangkuk jadi menoleh, ia tersenyum tipis, "saya mangkal dari jam empat sore mbak, ini mah sudah biasa apalagi malam Minggu, banyak muda mudi yang apelan ngajak pacarnya makan disini" jelas bapak itu dibarengi dengan kekehan
'muda mudi yang pacaran?' Ahh,,, Zea juga pernah merasakan itu, indah sangat indah, hal termanis dalam hidup Zea adalah jatuh cinta.
"nih mbak pesenannya"
memang sudah lapar, Zea langsung menyantap makanan berkuah ini.
Enak, satu kata yang terucap terus dari bibir tipis berwarna asli pink itu, ia terus tersenyum disepanjang acara makannya, enak bisa merasakan lagi makanan yang satu ini, bisa dikata ia hanya sesekali membeli waktu zaman SMA, setelahnya itu tidak pernah lagi.
"mbak dari mana?" tanya bapak penjual bakso
"Saya dari Semarang pak" jalasnya yang membuat pedagang bakso ini sedikit kaget
"wihh... jauh juga mbak, disini merantau atau mau kerumah kerabat?"
"saya disini gak ada kerabat Pak, ini juga kali pertama saya merantau"
Sibapak hanya ber 'o' saja, ia juga tidak bisa bereaksi seperti apa.
Keduanya saling diam hingga kemenit berikutnya,Zea bangkit dari duduk, ia membuka dompet kecil yang berisi uang empat ratus ribu, uang yang diberikan oleh Yuni istri pertama Bisman, ia menyerahkan uang seratus ribu pada bapak penjual bakso, namun ditolak.
"udah mbak gak usah, mbak disini juga baru saja merantau, hari ini rezeki saya sudah Alhamdulillah, yang tadi biar jadi perkenalan kita"
"perkenalan kita" Zea membeo dibarengi dengan wajah nya yang bingung.
"semoga kelak nanti mbak sudah dapat pekerjaan mbak jadi ingat sama saya" jelasnya yang langsung dipahami Zea
"Makasih pak, makasih banyak" ucapnya tulus
"Iya mbak sama-sama" ucapan tulus sibapak dibarengi dengan senyuman," oh,,iya mbak, mm disini harus hati-hati ya mbak ya. ini kota, banyak orang jahat, banyak juga orang baiknya, lebih hati-hati lagi bertemu dan berteman dengan orang baru" lanjutnya lagi
Zea mengangguk paham, untuk itu Faisal sudah mengingatkan, bagaimanapun Faizal dulunya seorang mahasiswa yang sudah lebih dulu mencicipi kerasnya kehidupan dikota.
"kalau gitu saya pamit pak, permisi"
"Iya mbak hati-hati"
***
Zea duduk di halte sambil memainkan kakinya, langit Jakarta yang tadinya penuh dengan gemerlap bintang kini berganti dengan gelapnya awan dan kilatan suara guntur yang siap mengguyur kota Jakarta dengan tangisnya, udara disekitar kian terasa sejuk, membuat Zea terus menggosokkan telapak tangannya agar terasa hangat.
Netranya berubah saat melihat seorang wanita tua sedang berjalan dan duduk di sampingnya sambil membawa palstik belanjaan penuh, Zea tersenyum sambil sedikit menganggukkan kepalanya.
"kamu mau kemana nak?" wanita tua tadi bertanya sambil menepuk paha Zea pelan
"saya mau cari tempat kost, emm ibu tau dimana cari kost gak?" awalnya takut untuk bertanya
wanita itu terkekeh pelan, "haduhhh.... Saya terlalu muda buat kamu sebut ibu, Oma saja ya"
Merasa tidak mendapatkan jawaban, Zea hanya mengangguk pelan, ia melirik wanita disampingnya, dia sedang mengetik pesan lewat ponsel berlayar sentuh. Dalam hati juga ingin bertanya, seberapa umurnya, wajahnya tidak menggambar kan bahwa dia seorang nenek-nenek.
Selang belasan menit suara decitan angkutan umum berhenti, bisa dilihat dari kaca buram jika penumpang didalam ada banyak, dan hampir penuh, tapi yang namanya kernet pasti akan dibilang kalau masih kosong.
Zea segera bangkit dari duduk, tak disangka wanita tua itu juga ikut bersamanya. Zea naik dan duduk tepat di depan pintu, dari posisi duduknya sini bisa dilihat wanita yang meminta dipanggil Oma tadi sedang berjalan pelan untuk naik, didalam sudah penuh, bisa dilihat bahwa orang-orang itu seperti orang yang sibuk betul karena membawa tas totebag besar dan berpakaian formal.
Prakk
Plastik belanjaan yang dibawa robek, semua belanjaan milik wanita tua tadi yang berisi buah dan berbagai cemilan jatuh berceceran.
"haduh buahnya kotor, ini untuk cucu saya" wanita tua itu sedikit bingung saat membereskan semuanya, sepertinya ia tidak bisa berjongkok untuk mengambil
Zea turun dan langsung melepas ikat rambutnya, ia mengikat bagian bawah plastik dengan ikat rambutnya, segera ia membantu memasukan satu per satu barang, dengan cepat.
"Ini Oma"
"makasih ya sayang"
Whusss
Angkutan tadi melewati begitu saja, sempat dengar ada beberapa orang yang mengeluh karena menunggu terlalu lama, Zea pikir dia tidak akan ditinggal, mengingat tas ranselnya sengaja ia tinggalkan.
"Woiiii"
"Berhenti"
"Woii... itu ada tas aku",teriak Zea, ia mengejar hingga jauh, seluruh tubuhnya lelah, ia tak kuat lagi untuk berlari hingga ia kelelahan dan menangis.
***
Setelah beberapa saat ia kembali ke halte itu, dan wanita tua tadi ternyata masih disana dan terlihat jika dia baru saja menutup telpon. Zea mendudukan diri dengan kasar, air matanya belum kering sempurna
Wanita tua itu tertunduk, merasa bersalah ia menghampiri Zea, "maaf ya gara-gara Oma kamu jadi ketinggalan angkot"
Zea menggeleng lemah,"Oma gak salah, kalau pun saya gak naik angkot tadi juga gapapa, tapi masalahnya tas sama dompet saya ada didalam"
Wanita itu jadi menyadari ternyata sedalam itu kesalahan nya, ia benar-benar merasa tak enak hati.
Tin Tin
Mobil Alphard berwarna hitam berhenti tepat didepan mereka, pintu mobil terbuka pelan dari dalam, seorang pemuda tampan keluar dengan senyum manisnya.
"Lain kali kalau mau berkunjung kabari dong Oma" ucapnya sopan sambil menyalam tangan wanita tua itu, "ayo kita pulang mama sama papa udah nunggu dirumah"
ajaknya
Sekarang wanita tua itu akan pergi tapi bagaimana dengan Zea, jangankan untuk menghadapi besok, hari ini saja Zea juga tidak tahu harus berbuat apa.
"ayo kamu ikut Oma" ajak wanita paruh baya itu, menyentuh bahu Zea
"enggak usah Oma" tolaknya pelan, jujur saja Zea takut
"Kenapa tidak? tas dan dompetmu saja ada dalam angkot tadi, bagaimana caramu pulang, hemm?" tanyanya lembut
Zea menunduk, dia takut diajak orang asing, dari segi mobilnya terlihat bahwa ia keluarga berada, tapi bisa sajakan mereka oang jahat yang bekerja sama.
"Rumah anak saya besar, dia memerlukan seorang pembantu, apa kamu mau?"
Ucapan yang langsung membuat Zea mengangkat wajahnya, "Oma menawari saya pekerjaan?" Wanita itu menangguk sambil tersenyum lembut
Pria tampan itu sedikit tersenyum, "Dirumah saya tidak ada pembantu, kalau kamu bersedia?"
"Saya mau" final Zea langsung berdiri dari duduknya
***
Mobil Alphard hitam melaju membelah jalanan ibu kota yang cukup lengang, Zea duduk di samping Oma, mereka berkenalan dan bercerita banyak, sebagai bumbu pelengkap suatu perjalanan. Sementara cucu Oma ia memilih duduk di samping supir.
"Zea, kenalkan dia cucu oma yang tertua, namanya Vandra" ucap Oma Atma mengenalkan, Vandra menoleh kebelakang dan tersenyum tipis pada Zea.
"anak saya tuh orangnya sibuk mulu gak pernah ada waktu buat main ke Bogor"oma Atma mulai bercerita
"saya kalau sendirian jadi suka kangen sama cucu saya yang paling kecil" lanjutan yang membuat Vandra menyahuti
"udah jadi mahasiswa tingkat akhir oma"
"di mata Oma dia yang paling kecil kok"
"Keyvara tuh yang anak kecil masih belasan tuh umurnya"
"si Calvin yang paling kecil kok, dia paling piyik-piyik nya Oma" gemas Oma meremas angin
Zea jadi terkekeh pelan, seru juga ngeliat cucu dan Omanya debat.
Sekitar setengah jam mobil Alphard hitam bergerak pelan memasuki gerbang tinggi, yang dibukakan pak satpam, Zea cukup antusias, saat netranya menatap rumah mewah dua tingkat yang bercat putih bersih.
"ayo turun sayang" ajak Oma Atma
Zea menyusul untuk turun, ia terpesona dengan rumah megah yang ada didepan matanya saat ini, "ayo masuk Oma, ayo kamu juga masuk" ajak Vandra, ia menggandeng tangan Oma, sementara supir ikut membawakan belanjaan Oma.
Pintu rumah terbuka lebar, sungguh mata Zea menatap dengan penuh kagum, ada lemari full kaca yang didalam nya banyak barang yang terlihat mewah dan mahal, ada sofa berwarna cream yang menambah aksen manis dalam rumah megah ini, semua terlihat sempurna, ada vas bunga besar yang berisi bunga artificial, sepertinya calon nyonya Zea adalah pengoleksi barang brended.
Deg
Netra menganggumi itu terhenti saat melihat figura berisi foto keluarga yang terpampang, benar jika Vandra pria yang menjemput Oma Atma adalah anak nyonya rumah ini, tapi siapa lelaki yang bersama dalam foto itu, dia terlihat lebih muda dari Vandra, dia...
"Kaiden"
"Kaiden," gumamnya pelan, jantungnya berdebar tak menentu, bagaimana bisa?
Kenapa takdir seolah sedang mempermainkan nya?
Kaiden, lelaki daftar favorit nya dulu, kini menjadi luka tak berdarah dalam hidupnya.
Dari sekat ruang tamu sini, sepasang suami istri dan seorang gadis datang dan menyalami Oma Atma.
Pria itu menggeleng dengan senyum mengambang,"Kalau kesini tuh ngabarin dong mah."
Seorang wanita yang disebelah pria itu langsung menggeser tubuh dan maju untuk cepika-cepiki,"Emm.... mama mertua-ku sayang.... kalau kesini tuh' ngabarin dong."
"Tau tuh Oma, gak ada ngabarin, pinomat ngabarin Vara gitu loh," omel gadis disebelah wanita itu
Oma Atma tersenyum tulus,"Aku sudah mengabari tadi."
Ketiga orang yang ada didepan oma Atma saling pandang satu sama lain, seolah mempertanyakan siapa yang sudah menerima kabar bahwa ia akan datang, "mamah gak ada ngabarin ke El, mama ngabarin siapa?"
Wanita disebelah pria itu mengangguk cepat,"iya mah, mama juga gak ngabarin Esti."
"Oma tadi udah ngabarin cucu manja mengkek piyik-piyik Oma."ucapan yang membuat ketiga orang didepannya geleng-geleng.
"Calvinnnn...." teriak Oma Atma
"Orangnya gak dirumah mah."
"Loh kemana? Oma-nya datang malah pergi," wajah cerita oma Atma berubah jadi sedikit sedih
Vandra yang respect langsung merangkul pundak oma Atma."Besok pagi pasti dah pulang kok oma, namanya juga anak muda pasti malam mingguan sama pacarnya."
"Dihh, mana ada malam mingguan, tiap hari kak Kaiden sama pacarnya ketemuan, bosen liatnya," cibir gadis yang langsung dapat tatapan tajam dari Vandra
Zea hanya mendengar dalam diam, batinnya terasa sedikit teriris, Kaiden lelaki yang pernah menjadi bentuk senang dan bahagia Zea, lelaki itu juga yang membuat Zea membencinya.
"Oh iya oma sampai lupa," Atma menarik tangan Zea, untuk berdiri sejajar dengannya
"Namanya Zea, dia yang tadi oma ceritain ditelpon," ucapan yang membuat Zea jadi menoleh.
"Oma sudah cerita yang tadi sayang," seolah mengerti arti tatapan Zea Oma menjelaskan, ia mengusap punggung Zea pelan
"Zea, mereka berdua anak dan menantu saya, dan gadis itu adiknya Vandra." ucap Oma Atma
Zea maju untuk menyalami, membuat kedua orang didepannya tertegun, sangat santun. Itu yang ada dalam pikiran mereka, anak mereka saja hampir tidak pernah menyalami tangan mereka dengan cara dicium
"Zea kamu bisa panggil saya ibu Esti."
"Dan kamu bisa panggil saya pak Elias."
Gadis cantik yang berdiri disebelah Esti terkekeh pelan, "Hai mbak Zea, nama aku Keyvara, panggilan nya Vara," ia menyalami Zea.
"Nama panjang aku Keyvara Stevania Maverick," ia menutupi bibirnya, bicara dengan nada centil dan malu-malu. Lebih tepatnya malu-malu in, ia mengangkat tangannya dan menyelipkan rambutnya di telinga
Vandra berdecih dengan wajah malas."Dasar pikmi," ledek Vandra
"Bacot," jawab Vara sambil memberikan jari tengah, setelahnya menarik tangan Zea. "Ayok mbak," ia langsung berlari saat Vandra hendak mengejar
"Dasar adik gak guna!" teriak Vandra geram
"Aku adiknya Kaidennnn," diundakan tangga sini Vara menyahuti sambil teriak
Atma menghela nafas sambil menggelengkan kepalanya pelan,"Inilah yang membuat aku cuman cinta sama Calvin."
Oma Atma yang langsung melewati sepasang suami istri, sengaja bahkan ia menabrak bahu Esti.
Esti menghentakkan kakinya kesal,"Sayang lihat tuh mama kamu, dia sakitin akuhh... huhu..." mengadu dengan nada manja, ia memajukan bibirnya, agak imut. Tapi majunya berlebihan, seperti sedang cosplay donald duck.
Elias merangkul sang istri,"Uluh-uluh cintanya papa."
Keduanya berjalan beriringan, menyusul Oma Atma, yang sudah melenggang ke dapur, tepatnya meja makan.
Atma mengeluarkan semua isi tas belanjaan nya, ada beberapa bungkus mananan ringan, ada aneka buah segar yang ia beli sewaktu dijalan. Segera ia membersihkan buah-buahan yang sempat terjatuh dijalan.
Elias berdiri dibelakang oma Atma yang masih sibuk mencuci buah,"mah jangan kasar-kasar dong sama Esti, dia itu cintanya aku loh mah."
"Huhu sakit sayang," Esti mendramatisir
Atma tak pedulikan itu, ia segera beranjak meninggalkan anaknya yang menjengkelkan, menantu cantiknya juga selalu membuat ia naik darah dengan segala tingkahnya. Atma masih disibukan dengan urusannya menyusun satu per satu buah yang sudah ia cuci dan ia keringkan dengan tissue ke dalam keranjang buah.
"Sayang....huhu...." rengek Esti dengan suara manja
Atma berbalik dan menunuding wajah Elias dan Esti bergantian."Gak usah sok romantis kalian." amuknya
"Sopan kah kalian begitu didepan janda," ucap Oma Atma yang langsung mengundang tawa Vandra
"Bwahahah" Vandra tertawa geli mendengar omelan Omanya
"Mama, Papa, udah. Udah! kasihan noh sama yang janda."
"Oh iya maap," Esti melepas dan langsung mendorong suaminya untuk menjauh, ia langsung merangkul mama mertuanya.
Atma mendengus melihat kelakuan menantunya, "Ngapain rangkul-rangkul. Kamu pasti ada maunya kan" tanya Oma Atma
Esti mengangguk,"Mama mertuaku sayang, masa anakmu si Elias itu, ganti sekretaris Mah. Mana pakaiannya sexi lagi, ish,,, pokoknya Elias sekarang jadi nakal dan ganjen Mama" pengaduan Esti yang langsung membuat Elias tertunduk
Atma yang tadinya malas menanggapi langsung menoleh dengan mata melotot, dia mengambil buah duku dan langsung melemparkan di kepala sang putra.
"Aww... Mah kok main kekerasan sih, kalau kepala Elias bocor gimana!"
"Ya mampus!"
"Kalau setelah ini Elias gagar otak gimana?"
"Orang gila mana yang gagar otak karena dilempar buah duku!" desis Atma, dia mendekat membawa sendok sayur stainless steel ditangannya, "Berani kamu nyakitin menantu cantikku, aku jadikan umpan Arapaima kamu!"
Vandra menahan tawa, tangannya menyenggol tangan Esti. Saat keduanya saling menoleh mereka langsung tertawa renyah
"Bwhahaha.... umpan Arapaima gak tuhhh" Vandra tertawa barengan dengan Esti
"Haiiiiii....."dilantai atas sana Vara teriak
Vandra jadi mengangkat wajahnya, ia berdecih malas melihat adiknya, karena malas ia jadi membuang muka ke arah lain, karena di undakan tangga sana Vara melet, mengejek.
"Zea kamu cantik sekali" pujian yang keluar dari bibir Omanya membuat Vandra mengajat wajah ia jadi menatap Zea, yang ternyata tadi jalan dibelakang Vara, jadi baru kelihatan.
Tik
Sedetik kemudian Vandra menatap kagum pada pesona gadis desa yang kini menjadi pembantunya, cantik.
Kenapa bisa gadis yang tadinya terlihat kusut dengan wajah yang berminyak kini berubah jadi secantik ini.
Zea memakai kaos lengan pendek berwarna putih, yang dipadukan dengan celana oversize berwarna hitam. Rambut nya yang memang panjang ia kucir kuda, ikat rambut yang memang bekas Vara.
"Nah baju kamu yang overload kasih ke mbak Zea aja Ra" ucap Esti.
"Zea kamu gapapa kan dapet baju bekas dari Vara?" Esti bertanya.
Zea jadi menatap ke arah Vara, "Ini baju bekas non?" tanya Zea pelan
"Lahh, iya emang bekas"
"Saya kira tadi ini baju baru non, soalnya masih cantik." ucap Zea terkekeh pelan
Zea bingung, seberapa mahal kah baju yang ia kenakan sekarang, ini masih sangat bagus, jika dijual lagi mungkin masih bisa untuk beli es cekek.
"Saya mau kok Bu, cuman saya gak nyangka aja kalau baju-baju yang di kerdus itu semuanya baju bekas non Vara" jawab Zea dengan suara pelan
Vara menutupi mulutnya yang tertawa dengan kedua tangan, "baju-bajuku masih bagus, oh jelas." Vara mengibaskan rambut panjangnya
"saya kan princess" Vara tertawa pelan sambil menutup bibirnya
"Bacot lu! udah ayok makan" Vandra menjentikan jari di kening Vara membuatnya kesal
Vara mengambil nafas panjang dan,"Kak Vandraa-"
"Anak gadis kok teriak-teriak yang santun gitu loh! yang sopan jadi anak!" Atma mengomel
Vara menunjuk tepat wajah Vandra, "Kak Vandra yang mulai Oma." rengeknya
Atma menipiskan bibir, "Udah diam, kamu mau, besok Oma jadikan umpan Arapaima kayak papa kamu!"
"Bhahahha..." Vandra tertawa sambil memegang perutnya, jokes orang tua satu ini memang patut diacungi jempol kaki.
"Udah, udah ayok Van, Ra kita makan" lerai Esti, ia menarik kursi untuk Elias setelahnya ia menarik kursi untuk Atma.
Atma tersenyum, "Makasih menantu cantikku, besok mama beliin kamu bakso aci."
Vandra menahan senyum, saat melihat wajah Esti yang melirik sebal.
Elias duduk di kursi meja makan kedudukannya sebagai kepala keluarga, disebelah kanannya ada Esti tepat di depan Esti diisi oleh Atma. Vara dan Zea berdampingan, sementara Vandra menghadap ke arah Vara.
Zea sudah menolak dan memilih untuk makan di belakang, tapi dilarang oleh Atma, tak hanya Atma tapi Esti juga melarang.
Pembantu dirumah itu, baru mengundurkan diri dua minggu yang lalu, karena anaknya meninggal. Pembantu yang bekerja dirumah besar itu tidak dituntut harus memasak, karena Elias dan keluarga biasa memesan menu restoran. Seperti malam ini, karena tadi Vandra mengabari jika Oma akan berkunjung kerumah, Esti memesan menu kesukaan ibu mertuanya.
Dimeja besar itu tersedia, menu dari restoran favorit Atma, ada Ikan Bakar. Ayam Taliwang. Ayam Serundeng. Sayur Capcai dan sayur sop.
Acara makan malam sangat senyap tanpa ada satupun yang bersuara, hanya terdengar suara denting sendok yang beradu di atas piring hingga selesai.
Esti memperhatikan cara makan Zea, lalu ia memandang kearah Vandra, mereka berdua berhadapan, tapi Zea tidak ada sesekalipun mengangkat pandangan, padahal Vandra itu tampan, tapi kenapa Zea berbeda dan tak sesekali mencuri perhatian.
Esti menahan senyum karena Vandra lah yang berulang kali menatap ke arah Zea, dan ketahuan Esti.
Esti melihat semua sudah selesai dengan acara makan nya,"Zea, besok pagi kamu gak usah masak, karena besok hari minggu cukup kamu siapin jus buah aja, soalnya besok rumah pasti kosong." ucap Esti memberitahu
"Naik Bu" patuh Zea, ia mengangkat wajah hanya sekedar untuk menjawab setelahnya ia tertunduk lagi
"Apa kamu punya ponsel yang bisa saya hubungi?" tanya Esti
"Saya gak punya ponsel Bu" jelas Zea
"Oke kalau gitu"
Semua beranjak dari duduk, Vandra berjalan merangkul oma Atma dan menghilang di skat pembatas sana. Vara, Elias dan Esti menaiki undakan tangga, mereka semua meninggalkan Zea sendirian, jam didinding sudah menunjukan pukul sembilan malam, udara terasa begitu sejuk, mungkin diluar hujan belum berhenti.
Esti berjalan mendekat, "Ini ada ponsel lama milik Vandra anak saya, bisa kamu pakai"
Ponsel itu masih bagus, layarnya masih kilat dan apa tadi katanya, ponsel lama milik Vandra?
Zea menggeleng menolak, "Gak usah Bu, ini terlalu berlebihan"
Esti membuka tangan Zea dan menyerahkan ponsel itu, "Udah ambil aja, besok kamu tinggal beli kartu prabayar di konter."
Tanpa menunggu jawaban Zea, Esti langsung pergi dari sana. Zea menarik nafas panjang, diletakan hp pemberian itu di meja dengan hati-hati. Terakhir kali pegang ponsel itu sewaktu SMA dan itu ponsel yang bukan layar sentuh, gak bisa untuk foto, bisanya main game ular-ular yang bakal mati kalau nabrak pembatas, dan paling parahnya lagi, ular itu bisa mati kalau kena ekornya sendiri.
Ia mengangkat semua piring yang ada diatas meja ke wastafel. Mengelap dan membersihkan meja, memindah dan menyimpan makanan, setelahnya ia langsung mencuci piring kotor, dengan sangat hati-hati ia mencuci, takut kalau jatuh dan pecah, alamak!.
Tanpa ia sadari sedari tadi ada yang terus memperhatikannya, ia mengulas senyum tipis.
Selepas mengerjakan pekerjaan yang memang sedikit itu, Zea mendekat ke meja makan, Zea diam dengan tangan yang sibuk membolak-balik ponsel,"Ini pasti ponsel baru." Gumamnya pelan
"Apanya yang baru"
Zea tersentak kaget ketika ada Vandra di belakangnya, "Emm... ini tadi Ibu kasih saya hp, katanya bekas tuan muda, tapi masih kelihatan baru." jawab Zea pelan, sedikit gugup saat berbicara dengan lawan jenisnya apalagi dia anak nyonya. Di sebelah Vandra ada kardus pakaian yang Zea lihat sewaktu dikamar Vara.
"Oh..." Vandra banyak manggut-manggut pelan, "Itu memang ponsel bekas saya Ze, kalau kamu gak suka besok' kamu ikut saya kita beli ponsel baru."
Zea melotot, "Eh gak usah tuan gak usah. Ini aja masih bagus kok."
"Dari mana kamu tau hp itu masih bagus?" Vandra menadahkan tangan, "Sini coba kita tes kameranya."
Menurut, Zea menyerahkan hp itu.
Ponsel dalam keadaan mati daya itu langsung Vandra hidupkan. Hingga seper sekian detik ponsel itu menyala, Zea tersenyum lebar.
"Ayok pose, saya fotoin" perintah Vandra yang membuat Zea bingung
"Untuk apa saya pose Tuan muda?"
"Tapi' tes kamera!" dengus Vandra
Vandra menjauh sementara Zea berdiri disamping meja makan, satu tangannya dia naikan untuk memegang ikat rambutnya.
Cekrek
"Udah Tuan?"
"Nih" Vandra menunjukan hasil jepretan nya
Zea antusias, "Hihi... Masih bagus banget kameranya. Saya jadi kelihatan agak cantik" kalimat terakhir Zea ucapkan pelan. Zea menerima hp yang Vandra sodorkan. Ia tersenyum menatap jepretan wajahnya.
"Ze kamu mau langsung tidur kan, ayo biar saja tunjukin kamar kamu."
"Iya Tuan Muda saya juga sudah mengantuk" Zea menguap
"Panggil saya mas Vandra aja, saya gak suka dipanggil Tuan muda gitu" ucap Vandra sambil berjalan membuka pintu yang terbuat dari kaca.
"Tapi kan memang gitu Tuan?" Zea mengikuti dari belakang
Vandra berhenti, membuat Zea jadi menabrak punggungnya, "Eh maap Tuan" Zea menjauh, ia menunduk.
Vandra mengangkat sebelah alisnya, "Panggil saya apa tadi?" tanyanya
"Tu-"
"Hemm teruss?"
"Maaf mas Vandra, saya gak sengaja"
"Good" Vandra memberikan jempol, "Ayok saya tunjukin kamarnya." ajak Vandra, ia membawa kerdus pakaian yang kata Vara untuk Zea.
***
Pukul 04.00 am
Zea sudah terbangun dari tidurnya, suara hujan terdengar jelas di atap kamar yang ia tempati. Iya merapikan selimut dan bantal. Ia meregangkan sedikit anggota tubuhnya yang terasa pegal, setelahnya ia bangkit dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Untuk ukuran kamar pembantu dengan fasilitas ada kamar mandi itu sudah hal yang wah dimata Zea.
Dua puluh menitan, Zea keluar dengan wajah yang segar, ia mengucir rambut menggunakan jedai secara asal. Setelahnya ia keluar dan mengunci kamar, sengaja dikunci karena kata Vandra diujung sana ada kamar supir dan tukang kebun.
Pagi sebelum orang-orang bangun, niat Zea adalah mengepel, ia menyapu seluruh area lantai satu hingga seluruh bawah kolong sofa. Setelah dirasa bersih Zea mulai mengepel, ia mengerjakan dengan sangat cepat.
Brumm
Suara motor yang memekakkan telinga masuk di indera pendengaran, Zea membuka gorden dan mengintip. Motor itu diparkiran sembarangan, orangnya pun sudah menghilang.
Duarr
Zea kaget memegangi dadanya. Hujan semalam tak ada hentinya masih mengguyur langit Jakarta, suara gemuruh diluar begitu kuat memekakkan telinga.
Tok
Tok
Pintu itu diketuk dari luar, Zea enggan membukakan pintu, menyibukkan diri dengan mengepel, mungkin itu perkenalan pertama makhluk halus kepadanya, pikirnya.
Tok
Tok
"Ra bukain" teriak seseorang dari luar
Zea yang memang penakut, mengepel dengan kecepatan ekstra. Ia berlari kecil ke dapur untuk mengembalikan ember dan kain pel.
"Eh mbak Zea" diundakan tangga sini Vara memanggil dengan suara seraknya
"Iya non" Zea mendekat
"Tolong itu bukain pintu buat kak Kaiden, dia kehujanan diluar" perintah Vara, ia balik badan, tapi balik lagi menghadap Zea, "Oh iya lupa, ini handuknya." Vara melepar handuk dan ditangkap Zea.
"Maaf ya mbak, saya lempar. Saya ngantuk banget. Tadi malam maraton liat drakor"
"Hoamm" ia menguap dan langsung balik badan. Untuk sesaat Zea mematung, dia disuruh bukain pintu untuk Kaiden? Yang bener aja?
Mengingat Kaiden adalah tuannya, Zea berlari kecil.
Ceklek
Mendengar pintu yang dibuka, Kaiden langsung berdiri dan memeluk Zea. "Makasih ya adik ku sayang, jangan ngadu ke Mama sama Papa ya kalau gue kehujanan" ucapnya dengan suara bindeng.
Seluruh tubuh Zea bergetar, apa tadi Kaiden memeluknya?
Apa Kaiden gak tau kalau dia ini Zea bukan Vara?
Zea melepaskan pelukan, ia hendak pergi tapi tangannya dicekal.
"Eeits!"
"Muach." Kaiden mencium kening Zea. Setelahnya ia mengambil handuk yang merosot dibawah kaki Zea.
"Besok gue beliin lo jam tangan, asal tutup mulut oke"
Kaiden berjalan dengan kaki yang geloyoran, seperti orang mabuk.
Sementara disini Zea terpaku, tubuhnya merosot luruh jatuh ke lantai, ia mengusap bekas ciuman di keningnya dengan kasar. Ia menatap bajunya yang tadi dipeluk oleh Kaiden jadi basah, lagi satu hal yang membuat Zea marah adalah lantai nya jadi tercetak jejak kaki Kaiden.
Iya mengepalkan tangan dan meninju angin secara kasar,"Iiihh...dasar Kaiden gilaaa" erangnya lirih.
Revandra Dallin Maverick, ia biasa dipanggil dengan nama Vandra. Umurnya tahun ini tepat 24 tahun. Vandra terlahir dari keluarga kaya, memiliki harta yang berlimpah, tapi ia tidak seberuntung Kaiden, adik lelakinya. Vandra pernah mengalami kecelakaan yang mengharuskan ia menjalani perawatan intensif selama setahun lamanya di negeri Paman Sam, Amerika Serikat.
Elias Maverick papanya, adalah orang terkaya di kota ini. Di umurnya sekarang ini Vandra menjabat sebagai Manager di perusahaan milik papanya.
Vandra hidup dengan bebas, tidak memiliki pacar itu bukan masalah, ia sering kali mendapat julukan dari alumni kampusnya sebagai cowok yang menyimpang, menyakitkan memang, tapi mana Vandra peduli. Berulang kali Estiana, mamanya. Menjodohkan Vandra dengan anak teman sosialita nya, yang setara dengan derajatnya pun jika Vandra tak mau dia akan keras menolak. Sikapnya yang dingin dan cuek membuat siapapun enggan mendekat. Tapi jika Vandra suka, ia akan mencair dan menenggelamkan seseorang didasar hatinya.
Vandra akan bilang, "Anakmu ini ganteng Ma, masalah jodoh, aku bisa cari sendiri."
Pukul 04.30 am
Suara kebisingan dini hari membuat seseorang yang sedang bergelung dibawah selimut menjadi terjaga. Ia bangun dan melihat jam digital nya, alarm nya belum berbunyi.
Iya membuang nafas secara kasar. Iya beranjak dan masuk ke kamar mandi untuk cuci muka. Setelahnya ia keluar dengan wajah basah. Ia mengganti piyama tidurnya dengan baju biasa, pagi ini ia ingin membuat teh panas sebagai teman untuk mengerjakan beberapa berkas kantor.
Ceklek
Brakk
Diseberang sana pintu kamar adiknya, Keyvara tertutup dengan sedikit kasar, ia menggeleng kan kepala, "Kasar banget jadi cewek, siapa yang bakalan suka sama dia" gerutunya sambil berjalan hendak menuruni tangga.
Matanya menyipit melihat Zea yang sudah bangun dan sedang berlari ke arah ruang tamu sambil membawa handuk. Vandra mempercepat langkah, dan mengikuti arah Zea. Ia menginjak lantai yang masih terasa lembab, ia bersembunyi di skat pembatas sana. Meja yang menjadi duduknya pot bunga artificial milik mamanya, menjadikan tempat persembunyian nya.
Ceklek
Matanya menatap awas pergerakan Zea, "Mau ngapain dia." tanyanya tanpa suara, ia menyembulkan sedikit kepalanya, agar lebih mudah melihat. Karena merasa curiga ia mengambil hp, membuka menu kamera dan merekam.
Matanya melotot kaget saat Kaiden adiknya memeluk erat Zea. Bisa Vandra lihat bahwa Zea memejamkan mata, ia seperti menikmati pelukan itu. Vandra tersenyum tipis, "Bener berarti dugaan ku." batin Vandra.
Hingga beberapa detik, Zea melepas dan mendorong tubuh Kaiden, namun Kaiden menarik pergelangan tangannya dan.
Cup
Kecupan di kening itu terdengar begitu jelas ditelinga Vandra. Pikiran Vandra penuh dengan banyak praduga, ia berfikir bahwa Zea sengaja masuk kedalam keluarga nya, agar bisa mendekati Kaiden.
Tapi secara langsung semua ucapan Kaiden mengarah pada kata 'adik'. Saat Kaiden pergi dari sana ia baru menyadari bahwa Kaiden sepenuhnya mabuk berat, jalannya juga tak menentu. Hingga ia mendengar pintu kamar mandi yang tertutup.
Vandra memfokuskan kembali pandangannya pada Zea, gadis itu diam mematung dan setelahnya ia terlihat marah hingga meninju angin sejara kasar.
Lucu, satu kata yang secara spontan keluar dari bibir Vandra secara lirih, bibirnya mengulas senyum seringainya.
Setelah memastikan Zea pergi meninggalkan ruang tamu, ia berdiri dan dengan santai ia berjalan, membuat Zea menatap dengan wajah syok.
"Mas Vandra?" seru Zea
Zea datang membawa ember dan kain pel untuk mengepel ulang lantai yang kotor karena jejak Kaiden, tapi ia dikagetkan dengan munculnya Vandra di skat pembatas sana.
"Eh Zea?" Vandra pura-pura terkejut
"Mas dari mana?" Zea menoleh ke kanan kiri, dia gugup.
"Dari ruang tamu Ze, kemarin kayaknya flashdisk saya jatuh ke kolong sofa, saya cariin tapi gak ada" bohong-nya
Vandra mendramatisir dengan wajah bingung, dan garuk-garuk kepala.
"Emh... tadi saya nyapu bagian kolong gak ada nemuin flashdisk Mas." terang Zea
Vandra menyipitkan matanya, "Seriusan gak ada Ze?"
Zea takut kalau saja ia salah menjawab, urusannya akan panjang, mana dia baru mulai kerja. Zea takut jika saja Vandra tahu bahwa tadi ada Kaiden yang memeluk dan menciumnya, bisa-bisa ia dianggap pembantu penggoda, oh tidak!
"Tadi memang gak ada Mas, tapi nanti kalau saya ada nemuin saya kasih ke Mas Vandra." jawab Zea sambil menunduk.
Vandra maju mendekat tanpa Zea sadari, ia mengangkat dagu Zea, dan mendekatkan wajahnya, membuat Zea memundurkan kepalanya, dan spontan memejamkan mata.
Vandra, lelaki itu tersenyum tipis, ia mengelus wajah Zea dengan gerakan yang erotis,"Tolong nanti kalau ketemu, anterin ke kamar saya ya." pintanya dengan suara serak dan menggoda
Seluruh tubuh Zea terasa ngilu, apa tadi itu? Minta tolong dengan nada seperti itu?
Zea membuka matanya perlahan, ia berkedip pelan, netranya menatap takut pada wajah Vandra yang berulang kali menelan salivanya, Zea memberanikan diri menggenggam tangan besar Vandra untuk ia turunkan dari wajahnya. Ia mundur dan menunduk, "Maaf mas Vandra saya permisi dulu." Zea berlari membuka pintu sliding kaca.
Vandra menggeleng sambil terkekeh melihat wajah takut Zea. Gadis itu terlihat begitu polos dan cantik!
Vandra berjalan dengan santai ke arah dapur, seperti niatnya diawal. Dia merebus air untuk membuat teh panas. Sementara seorang lelaki datang dengan handuk yang hanya melilit bagian pinggang.
"Gue mau juga dong, gue kedinginan." pinta Kaiden dengan suara menggigil
Vandra memutar tubuh menatap Kaiden dari atas sampai bawah, "Lain kali nginep aja sekalian, dari pada pulang kehujanan." ucap Vandra perhatian namun dengan nada dinginnya.
Kaiden berdecak, "Ckk,, gue cowok normal, gak baik kalau sampek staycation." ucapnya dengan sedikit kekehan, setelahnya Kaiden berlari mengudaki anak tangga saat ada sendok yang Vandra lempar kearahnya
"Ashuu" umpat Vandra tertahan
Srettt
Pintu sliding kaca terbuka dari luar, Zea masuk dengan tatapan dinginnya. Zea harus segera melanjutkan ulangan pel nya tadi. Ia berjalan lurus tanpa menoleh pada Vandra yang sedari tadi memperhatikan.
***
"Zea" panggil Esti
Esti dan sang suami sudah bersiap, mereka selalu berpergian berdua, apalagi jika weekend, mereka akan bermain golf bersama teman, terkadang sedikit banyaknya juga membicarakan tentang perusahaan.
Vandra menuruni undakan tangga dengan perlahan, "Van, Zea mana?" tanya Esti
Vandra tersenyum tipis jika mengingat tentang Zea.
Esti menyipitkan matanya menatap sang putra, "Heh! Ditanya malah senyum-senyum!"
Vandra tertawa,"Si Zea lagi digodain pak Vincent tuh didepan."
"Pak Vincent" Elias membeo
"Duda bau tanah itu godain Zea?" Esti naik pitam, ia menyisihkan lengan baju pajangnya ke atas, ia melangkah cepat untuk keluar.
Di halaman luas paving block depan sini, Zea sedang menyapu daun pohon karsen yang berjatuhan akibat hujan semalam. Zea hanya diam menanggapi cerita dari orang yang berdiri diluar pagar besi, yakni seorang pria tua berumur 50 tahun lebih. Benar seperti yang dikatakan oleh Vandra. Vincent, lelaki tua itu sedang mengajak Zea bercerita.
Berulang kali tangan Vincent ingin menggapai, tapi tak bisa karena terhalang oleh pagar besi, Zea merasa sedikit risih karena sedari tadi Vincent sedang garuk-garuk alat vitalnya.
Penampilan nya ya biasa saya kayak bapak-bapak kompleks, cuman si Vincent ini sedikit aneh, ia hanya menggunakan sarung kotak-kotak berwarna merah menyala, dipadukan dengan kemeja berwarna hijau Sage yang kancingnya tidak terpasang pada tempatnya.
Melihat Esti yang sedang emosi, Vandra mengejar dengan langkah cepat, "Mah sabar Ma."
Zea ditarik paksa oleh Esti, hingga tubuhnya jatuh membentur paving block, "Aargh" dingin Zea memegang lututnya
"Zea kamu gapapa?" Vandra menolong ia memegang tangan Zea yang sedikit terluka, lututnya juga tergores dan berdarah
"Dasar sinting, pergi kamu." usir Esti emosi
Vincent adalah lelaki tua yang akan selalu mengganggu wanita daerah kompleks, sudah berulang kali ia berulah, ia akan mengejar. Vincent juga kerap kali berprilaku tak senonoh, seperti menunjukan alat vitalnya.
"Ayo sini sayang." Vincent membuka sarungnya dan menunjukan alat vitalnya pada Esti.
Vandra langsung mendekap Zea dalam pelukannya, ia melarang Zea untuk melihat.
Esti mengambil sapu lidi milik Zea, dan memukul ujung gagang sapunya.
Tak
Tak
Tak
Gagang sapu Esti pukul ke arah pagar besi itu, "ih titidmu burik."
Tak
Hampir kena dan membuat Vincent meringis, ia langsung memegang burung perkutut nya, "Burung saya jadi miring gara-gara kamu." Ia menuding wajah Esti.
Vincent berlari dan berteriak kuat, "Burung saya miring."
"Burung saya miringg..."
"Tolongg... Burung saya miring digigit Esti."
Vincent berlari dan terus berteriak sepanjang kompleks, sebelum. "Arkhhh."
"Burung ku, Arkhhhh.... Anjing sialan" suara Vincent menggema diiringi lolongan anjing yang mengejar.
"Mampuss!" tetangga Esti menghampiri
"Teriak di wilayah pojokan yang punya banyak anjing, ya kapok!" ia tertawa bersamaan dengan Esti
"Lain kali jangan gigit punya pak Vincent ya Buk Esti, punya pak Eli-"
"Ashuu!" Esti memukul gagang sapu tadi ke pagar besi, membuat tetangganya pergi dengan tawa renyahnya.
"Hadiii..."
"Hadi Cahyono Kumolonimbus" teriak Esti memanggil satpam
"Iya Bu" Hadi datang berlari
"Buang dan bakar sapu ini." Esti melempar jijik
Esti memegang tangan Zea, "Ze maaf ya, saya gak bermaksud kasar begini, dia itu lelaki gila, kamu bisa liat sendiri tadi kalau dia nunjukin titid nya."
"Iya Bu gapapa."
Bilangnya gapapa padahal kenapa-napa, dasar cewek, huu.
"Udah ayo masuk, kita obatin lukanya." ajak Esti
Vandra menuntun, "Bisa cepet gak jalannya?"
"Sakit mas, mana bisa cepet!" omel Zea
"Mah kata Zea, mpfhh-" bibir Vandra dibekap Zea.
Vandra melotot ia segera menggendong Zea ala karung beras.
"Mas Vandraaa..."
"Turuninnn..."
"Mas Vandra..."
Dilantai atas sini Kaiden menatap seluruh interaksi yang Zea lakukan, sebelum adanya keributan, dan berakhir melihat Vandra memeluk dan mendekap Zea.
Matanya memanas, "cewek yang tadi pagi bukain pintu gue, bukan Vara?"
"Dia kembali"
"Zea-nya Kaiden kembali"
Detik kemudian air matanya menetes.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!