NovelToon NovelToon

Dimensi Rakaluna

Dunia yang Asing

Di sebuah kota kecil di dimensi teknologi yang biasa saja, hiduplah seorang pria bernama Raka. Bukan seorang pahlawan, bukan pula orang penting—dia hanya seorang penjual keliling yang senang berpetualang dan tidak pernah bisa menolak godaan untuk mencoba hal baru, meski sering kali berakhir dengan masalah. Hari itu, langit di atas kota begitu cerah, namun di dalam benak Raka, selalu ada rasa gelisah yang tak pernah bisa diabaikan. Keinginan untuk meninggalkan rutinitas membosankan dan menemukan sesuatu yang baru selalu membakar hatinya.

Dengan sepeda motornya yang sudah tua namun setia, Raka berkeliling pasar, menjual pernak-pernik yang ia kumpulkan dari berbagai penjuru kota. "Barang-barang antik! Barang-barang aneh! Siapa tahu, kalian butuh sesuatu yang tak pernah kalian sadari sebelumnya!" teriaknya sambil tersenyum lebar pada kerumunan yang lalu-lalang.

Di tengah perjalanan pulangnya, Raka melewati toko tua yang sudah lama ia abaikan. Toko itu terletak di sudut jalan kecil, terjepit di antara dua gedung tinggi yang lebih modern. Sesuatu dalam dirinya mendorongnya untuk berhenti. Dia menatap papan nama yang sudah pudar, bertuliskan “Barang-Barang Kuno dan Rahasia.” Namanya cukup menarik perhatian, meskipun Raka tahu bahwa tempat seperti ini biasanya menjual barang-barang yang tidak berguna. Namun, rasa ingin tahunya lebih kuat dari logika. Dia mendorong pintu kayu yang berderit dan masuk.

Di dalam, suasananya redup. Rak-rak dipenuhi benda-benda berdebu yang terlihat tidak terawat. Pemilik toko, seorang pria tua dengan kacamata tebal, menyapanya tanpa banyak bicara. "Mencari sesuatu yang spesial, Nak?"

Raka mengedarkan pandangannya ke seluruh toko, tangannya menyentuh satu-dua benda tanpa niat membeli. "Sebenarnya, saya hanya ingin lihat-lihat. Tapi siapa tahu, mungkin ada sesuatu yang menarik." Tawa kecil keluar dari mulutnya, namun pandangannya tiba-tiba tertuju pada sebuah benda di sudut ruangan, tertutup kain lusuh. Sesuatu tentang benda itu menarik perhatiannya—entah bentuknya, atau mungkin auranya yang berbeda dari barang lain di toko itu.

"Yang itu?" tanya pemilik toko sambil mengangkat alisnya. "Ah, itu cuma barang antik yang rusak. Alat kuno yang tidak bisa digunakan lagi. Saya tidak yakin fungsinya, tapi kamu boleh membawanya kalau tertarik."

Dengan rasa penasaran, Raka berjalan mendekat dan mengangkat kain yang menutupi benda itu. Sebuah kotak logam kecil dengan tombol-tombol di permukaannya terlihat. Benda itu terlihat tua dan rumit, seperti teknologi dari masa lalu yang sudah dilupakan. Tanpa pikir panjang, Raka mengambil kotak itu dan mengamatinya. "Berapa harganya?"

"Ah, anggap saja hadiah. Barang itu hanya duduk di sana dan tidak ada yang membutuhkannya," jawab si pemilik toko, tersenyum tipis.

Dengan semangat yang tiba-tiba, Raka membayar sedikit barang-barang lain yang ia ambil dan membawa alat misterius itu pulang. Di rumah kecilnya yang sederhana, rasa penasaran semakin membakar dirinya. Ia duduk di kursi usang di tengah ruangan, memandangi kotak itu. "Apa ini?" gumamnya sambil menekan salah satu tombol di atasnya.

Saat itu juga, dunia di sekitarnya berubah drastis.

Cahaya terang menyilaukan mata Raka, dan dalam sekejap, ia merasa seperti terhisap ke dalam pusaran energi yang tidak terlihat. Segalanya terasa melayang, dan sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, tubuhnya mendarat dengan keras di atas tanah yang asing. Ia merasakan aroma yang berbeda, mendengar suara angin berdesir melalui pepohonan yang aneh. Ia sudah tidak berada di dimensi asalnya lagi.

"Dimana aku...?" Raka meraba-raba tanah di bawahnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Sekelilingnya bukan lagi kota kecil yang biasa ia kenal. Pohon-pohon besar dengan daun berkilauan berdiri menjulang, dan di kejauhan, ia bisa melihat istana besar yang tampak seperti keluar dari cerita dongeng. Di langit, awan bergerak dengan warna-warna yang tidak biasa, seolah-olah alam di sini hidup dengan cara yang berbeda.

Raka mengedarkan pandangannya, mencoba mencerna semua yang ada di sekitarnya. Pohon-pohon besar dengan daun berkilauan, tanah yang terasa lembut di bawah kakinya, dan suara burung-burung aneh yang bernyanyi di kejauhan. “Ini pasti mimpi… ya, mimpi buruk!” gumamnya, mulutnya terbuka lebar sambil melihat sekeliling dengan kebingungan yang kentara.

“Bagaimana aku bisa sampai di sini? Apa ini dimensi... fantasi? Sihir? Apa aku baru saja jatuh ke dalam buku dongeng?” Suaranya naik beberapa oktaf saat ia berjalan mondar-mandir, terlihat seperti anak kecil yang tersesat di taman hiburan. “Oke, tenang, Raka. Tenang. Semuanya akan baik-baik saja. Kau hanya harus menekan tombol yang benar dan—"

Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara langkah kaki yang berat di belakangnya. Ia menoleh dan terkejut melihat seorang perempuan muda dengan gaun mewah yang tampak seperti baru keluar dari buku dongeng.

“Kau siapa?” tanya perempuan itu, suaranya tegas tapi sedikit bergetar, seolah-olah dia juga berada dalam keadaan darurat.

Raka terperanjat, matanya membelalak lebar. “Aku? Siapa aku?” Dia melihat ke sekeliling, seolah-olah berharap ada orang lain di situ yang bisa memberikan jawaban. “Aku... aku Raka! Dan... ini di mana? Apa ini bagian dari permainan? Apa aku sedang di prank? Kamu ini siapa?”

Aluna, yang tidak terbiasa dengan sikap aneh semacam itu, memandangnya dengan bingung. “Aku Aluna, putri dari Kerajaan Eldar. Dan aku bukan sedang bercanda.” Suaranya serius, membuat Raka semakin panik. Ia merogoh sakunya dengan cepat, berharap menemukan sesuatu yang bisa membantunya keluar dari situasi ini. Alat dimensi kuno itu masih ada di tangannya, tapi tidak ada yang terjadi ketika ia menekan tombolnya.

Raka mulai berjalan mundur, semakin bingung. "Tidak, tidak, ini pasti mimpi! Aku pasti masih di rumah, atau di toko itu. Iya, aku pasti tertidur di kursi! Mungkin aku kebanyakan makan gorengan tadi pagi, itu dia!"

Aluna hanya mengerutkan kening, lalu mendekatinya. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, tapi aku tahu satu hal: kau jelas bukan dari sini, dan kau harus membantuku. Kita tidak punya waktu. Prajurit kerajaan sedang mencariku, dan mereka tidak akan berhenti sampai mereka menemukanku.”

Raka menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tunggu, tunggu! Aku bahkan tidak tahu kenapa aku ada di sini! Aku baru saja menekan tombol ini dan... boom, aku di sini!" Tangannya menunjuk-nunjuk ke alat kecil di tangannya, matanya liar seperti anak kecil yang takut dimarahi.

“Apa itu?” tanya Aluna, melihat alat aneh di tangan Raka.

“Aku... tidak tahu! Ini cuma benda tua yang aku temukan di toko kumuh! Aku bahkan nggak ngerti cara kerjanya!” Raka mengeluh dengan nada putus asa, wajahnya berubah semakin panik. Dia menekan tombol di alat itu beberapa kali, berharap ada sesuatu yang bisa mengembalikannya ke rumah, tapi alat itu hanya bergetar dan mengeluarkan suara aneh, sama sekali tidak membantu.

Aluna memandangnya dengan tatapan yang sedikit kesal. "Alat itu bisa membawamu ke dimensi lain, kan? Kau pasti bisa membawaku keluar dari sini juga."

Raka berhenti sejenak, ekspresinya bingung. “Dimensi lain? Seriusan? Aku pikir ini cuma... mainan rusak atau semacamnya.” Matanya menyipit saat ia menatap alat itu lagi, seakan-akan baru sadar bahwa benda di tangannya mungkin lebih dari sekadar rongsokan antik. Namun, alih-alih merasa bersemangat, ia semakin bingung. “Tapi kenapa harus aku yang diseret ke dalam kekacauan ini? Aku cuma penjual keliling yang... salah pencet tombol!”

Sementara Raka masih merutuk dirinya sendiri, tiba-tiba terdengar suara kuda mendekat. Derap kaki mereka semakin keras, dan jantung Raka langsung melonjak ke tenggorokannya. “Apa itu?” Dia menoleh ke Aluna, dan kali ini benar-benar panik.

“Prajurit kerajaan,” jawab Aluna, dengan suara yang penuh kewaspadaan. “Mereka mencariku. Dan sekarang mereka akan mencarimu juga kalau tahu kau bersamaku.”

Raka mulai gemetar. “Mereka mencarimu? Kenapa mereka mencarimu? Apa yang kau lakukan? Kau... penjahat?”

Aluna menghela napas, frustasi. “Aku kabur dari istana. Mereka ingin menikahkanku dengan pangeran dari kerajaan tetangga, dan aku tidak mau. Jadi aku kabur. Sekarang, kalau kau tidak mau ikut ditangkap, kita harus cepat kabur sebelum mereka menemukan kita!”

Raka hanya bisa menatapnya tanpa berkedip. "Menikah? Pangeran? Apa ini benar-benar dunia sihir? Aku... aku nggak bisa!" Dia memutar-mutar alat di tangannya, menekan tombolnya secara acak. "Ayo, ayo, kerjalah lagi! Bawa aku pulang, bawa aku ke tempat lain! Bawa aku... ke tempat yang tidak ada prajuritnya!" Tangannya gemetar hebat, dan alat itu mengeluarkan suara derak yang tidak menyenangkan.

“Apa yang kau lakukan?” Aluna bertanya, sekarang mulai terlihat sedikit panik juga.

“Aku mencoba menyelamatkan kita, oke? Alat ini berhasil membawaku ke sini, jadi harusnya bisa membawa kita keluar, kan? Harusnya! Aku cuma... butuh... pencet tombol yang tepat!” Raka terus menekan tombol tanpa berpikir, tapi tidak ada yang terjadi kecuali suara-suara aneh dari alat tersebut.

Aluna menghela napas panjang, menatap Raka dengan putus asa. “Kau benar-benar tidak tahu cara menggunakannya, ya?”

Raka hanya bisa mengangkat bahu, tangannya masih memegang alat itu dengan keringat dingin mengucur di dahinya. “Jangan salahkan aku! Ini pertama kalinya aku memegang alat ini!” Di saat yang sama, suara derap kaki semakin mendekat, membuat Raka semakin panik. “Kita mati, kita mati! Ini akhirnya! Aku bahkan belum sempat jual barang daganganku hari ini!”

Aluna menarik napas panjang, menahan diri agar tidak meledak marah. “Dengar, kita tidak akan mati kalau kita segera bergerak. Alat itu tidak bisa diandalkan sekarang, jadi kita harus kabur dengan cara lama—lari.”

Raka menatapnya seolah-olah Aluna baru saja menyarankan sesuatu yang mustahil. “Lari? Dengan kaki? Aku bukan pelari!”

“Baiklah, kau bisa tetap di sini dan tertangkap. Aku akan pergi sekarang,” kata Aluna dengan nada datar, mulai bergerak menjauh.

Raka mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu dengan cepat berlari mengejar Aluna. “Oke, oke! Aku ikut! Tapi kau harus tahu, aku ini lebih cocok naik motor daripada lari marathon!”

Aluna meliriknya dengan kesal tapi juga sedikit geli. “Asal kau bisa menjaga kakimu tetap bergerak, kita mungkin masih punya kesempatan.”

Mereka berdua mulai berlari menyusuri hutan, suara kuda yang semakin mendekat di belakang mereka. Meski Raka masih diliputi kebingungan dan ketakutan, ada bagian kecil dalam dirinya yang mulai menyadari satu hal—ini bukan sekadar mimpi buruk. Ini adalah kenyataan, dan ia harus beradaptasi secepat mungkin, atau ia tidak akan pernah kembali ke rumah.

---

Menjauh dari Prajurit

Raka berlari dengan napas terengah-engah, melirik ke belakang seolah-olah prajurit berkuda bisa melompat keluar dari semak-semak kapan saja. Kakinya terasa berat, dan pelarian ini terasa seperti mimpi buruk yang tidak ada habisnya.

“Apa... mereka... akan menangkap kita?” Raka bertanya di sela-sela napasnya yang tersengal-sengal. “Kalau ketangkap, apa yang akan mereka lakukan? Aduh, aku nggak mau dipenjara di dimensi ini!”

Aluna, yang berada sedikit di depannya, tidak menoleh dan terus berlari dengan fokus. “Mereka tidak akan menangkap kita kalau kau terus bergerak. Tapi percayalah, penjara adalah hal terkecil yang perlu kau khawatirkan.”

Raka semakin panik mendengar jawabannya. “Penjara hal terkecil?! Terus apa yang lebih buruk dari penjara? Dibakar hidup-hidup? Atau... dipaksa menikah dengan pangeran?”

“Fokus saja pada lari, Raka!” sahut Aluna, suaranya terdengar kesal namun tetap tegas. Meski ia sudah terbiasa dengan kejenakaan Raka, situasi genting ini bukanlah waktu yang tepat untuk bercanda.

Raka mencoba fokus, tapi suara kuda yang semakin mendekat dari belakang membuatnya semakin panik. Tanpa sadar, ia mulai menggoyang-goyangkan alat dimensi di tangannya, berharap benda itu akan menyelamatkan mereka.

“Mungkin kalau aku guncang-guncang sedikit, alat ini bakal bekerja lagi...”

Aluna meliriknya sekilas dengan frustrasi. “Berhenti menggoyangkan benda itu! Kau hanya akan merusaknya!”

“Apa lagi yang bisa kulakukan? Ini satu-satunya harapan kita!” sahut Raka dengan nada panik. Sambil terus berlari, ia menekan tombol-tombol alat tersebut secara acak, berharap ada keajaiban yang terjadi.

Namun, tidak ada yang terjadi. Alat itu tetap diam, dan suara kuda dari belakang semakin mendekat.

“Di depan, ada tebing,” kata Aluna tiba-tiba, suaranya berubah lebih tenang namun tegas. Raka hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya, namun saat ia menoleh ke depan, ia melihat tebing curam di ujung jalur mereka.

“Jadi... apa kita akan loncat?!” tanya Raka, setengah bercanda tapi jelas-jelas ketakutan. “Kalau nggak bisa lari, kita bisa terbang, kan?”

“Ini bukan saatnya bercanda, Raka,” balas Aluna dengan nada datar, matanya fokus mencari jalan keluar. “Aku bisa mencoba memperlambat mereka dengan sihir, tapi kita harus cepat.”

“Sihir? Sejak kapan kau bisa sihir?” Raka menatapnya dengan kaget, seolah baru menyadari sesuatu yang penting.

“Aku dari dimensi sihir, tentu saja aku bisa sihir!” Aluna menahan kesabarannya. “Tapi sihirku terbatas. Kita harus cepat atau mereka akan mengejar kita lagi.”

“Cepat ke mana?” Raka melambai ke arah tebing. “Aku nggak ada sayap! Dan alat ini rusak!”

Aluna tidak menghiraukannya. Ia mulai merapal mantra dengan suara pelan, tangannya bergerak dengan anggun di udara. Raka melihat udara di sekitar mereka berubah, menjadi lebih berat dan dingin. Perlahan, kabut mulai naik dari tanah, menyelimuti jalur di belakang mereka.

“Bagaimana kau bisa melakukan itu?” Raka bergumam sambil menatap kagum. Namun Aluna tidak menjawab. “Oke, oke, aku ikut!” lanjutnya sambil berlari mengejar Aluna yang sudah bergerak menuju jalan sempit di samping tebing.

Jalur itu sangat curam dan dipenuhi bebatuan licin. Raka merasa kakinya hampir terpeleset beberapa kali, dan napasnya semakin memburu. “Kita pasti akan jatuh!” teriaknya panik, tangannya mencengkeram alat dimensi semakin erat seolah benda itu bisa menyelamatkannya dari jatuh.

“Kau akan baik-baik saja kalau bisa menjaga keseimbangan,” sahut Aluna tanpa menoleh. Ia bergerak cepat, tubuhnya lincah melewati bebatuan, sementara Raka terlihat seperti bayi yang baru belajar berjalan.

Langkah mereka semakin cepat meskipun jalur di depan semakin sulit. Raka mencoba fokus untuk tidak jatuh, sementara suara kuda dari atas tebing semakin jauh, kabut tebal sihir Aluna berhasil menyembunyikan jejak mereka.

“Aku nggak percaya kita berhasil lolos,” gumam Raka, hampir tidak mempercayai kenyataan. “Tunggu, kita lolos, kan? Mereka nggak bisa lihat kita lagi, kan?”

Aluna berhenti sejenak, menatap ke belakang dengan waspada. “Untuk saat ini, kita aman. Tapi ini hanya sementara. Kita harus terus bergerak sampai benar-benar keluar dari wilayah mereka.”

“Aman sementara? Itu nggak terdengar seperti kabar baik,” kata Raka sambil menelan ludah, tangannya masih memegang alat dimensi yang tampaknya tidak banyak membantu.

“Kita tidak punya pilihan lain,” Aluna menambahkan. “Kita harus menemukan tempat untuk bersembunyi sebelum mereka kembali.”

Raka hanya bisa mengangguk, meski di dalam dirinya masih bergolak antara rasa panik, bingung, dan takut. Di tengah kekacauan perasaan itu, ia mulai merasakan sesuatu yang aneh. Rasa tanggung jawab yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"Baiklah, baiklah... aku akan ikuti rencanamu untuk sekarang," katanya dengan nada pasrah, meskipun jelas masih ada nada kebingungan dalam suaranya.

Aluna menatapnya sejenak, lalu mengangguk sebelum kembali bergerak menuruni tebing dengan langkah cepat. “Percayalah, ini bukan pertama kalinya aku melarikan diri.”

Raka menghela napas panjang dan mengikuti di belakangnya. “Kalau ini berhasil, aku janji nggak akan menekan tombol sembarangan lagi... mungkin.”

Mereka terus bergerak turun, semakin jauh dari suara kuda yang sebelumnya membuat jantung Raka berdetak kencang.

Menuju Tempat Aman

Raka dan Aluna terus menuruni tebing dengan hati-hati, meskipun napas mereka semakin berat. Jalur yang licin dan terjal memaksa mereka memperlambat langkah, dan Raka hampir terpeleset lebih dari sekali. Alat dimensi masih berada dalam genggamannya, tapi dia mulai menyadari bahwa benda itu tidak akan menjadi penyelamat kali ini.

"Kita nggak bisa terus berlari seperti ini, kan?" tanya Raka dengan nada terengah. Ia mulai lelah, dan meski ketakutan terus mendorongnya untuk tetap bergerak, tubuhnya semakin sulit untuk mengikuti.

“Kita harus,” jawab Aluna singkat, matanya fokus pada jalur di depan mereka. Meskipun dia terlihat lebih tenang dan terlatih, Raka bisa merasakan bahwa bahkan Aluna mulai merasa tegang. “Jika mereka tidak menemukan kita di sini, mereka akan mencari di tempat lain. Kita harus menemukan tempat yang aman untuk bersembunyi.”

Raka menelan ludah, merasakan tenggorokannya kering. “Tempat yang aman? Tempat seperti apa yang aman di dunia sihir ini? Aku bahkan nggak tahu apa yang bisa dianggap normal di sini.”

Aluna menatapnya sekilas, ekspresi wajahnya sedikit melunak. “Aku tahu beberapa tempat... kita hanya perlu keluar dari wilayah hutan ini. Ada sebuah desa di kaki bukit, kita bisa bersembunyi di sana.”

“Desa?” Raka terkejut. “Kita bakal sembunyi di desa? Bagaimana kalau mereka mengenalimu?”

Aluna berhenti sejenak di satu titik yang lebih landai, mengatur napas sebelum menjawab. “Desa itu penuh dengan orang-orang yang tidak terlalu peduli dengan urusan kerajaan. Mereka hidup di pinggiran dimensi ini, jauh dari politik istana. Tidak ada yang akan memperhatikan kita jika kita menyamar dengan baik.”

Raka mengerutkan kening. “Menyamar? Maksudmu aku harus berpakaian seperti orang-orang sihir? Pakai jubah atau semacamnya?”

Aluna tersenyum kecil, meski jelas sekali senyuman itu dipaksakan di tengah ketegangan. “Mungkin kita akan mencari jubah untukmu... tapi untuk sekarang, fokus saja pada langkahmu. Kita hampir sampai.”

Raka hanya mengangguk, meski dalam hati masih merasa bingung dan ragu. Ia tidak pernah membayangkan dirinya harus bersembunyi di dimensi lain, apalagi menyamar seperti penduduk dunia sihir. Semuanya terlalu cepat dan terlalu aneh baginya. Namun, dalam situasi seperti ini, dia tahu bahwa dia tidak punya banyak pilihan selain mengikuti Aluna.

Setelah beberapa menit lagi menuruni tebing dengan susah payah, mereka akhirnya mencapai dasar bukit. Hutan di sini lebih lebat, dengan pepohonan besar yang tinggi menjulang dan akar-akar yang mencuat dari tanah, membuat jalan semakin sulit dilalui. Aluna terus melangkah tanpa ragu, dan Raka berusaha sekuat tenaga untuk tetap mengikuti langkahnya.

Namun, ketika mereka sampai di sebuah titik yang lebih terbuka, Aluna tiba-tiba berhenti. Tangannya terangkat, memberi isyarat kepada Raka untuk berhenti juga.

"Ada apa lagi?" bisik Raka, meskipun dia tidak melihat apa-apa yang mencurigakan di sekitarnya.

Aluna menatap lurus ke depan, ke arah sekelompok semak-semak yang tampak bergoyang sedikit, meski angin tidak berhembus. “Kita tidak sendirian,” katanya pelan. “Ada sesuatu di depan.”

Raka mengerutkan kening dan mulai mengintip ke arah yang ditunjukkan Aluna. “Tunggu... sesuatu? Maksudmu, binatang buas?”

Aluna menggeleng pelan. “Bukan binatang... lebih seperti penjaga hutan.”

“Penjaga hutan? Apa itu seperti satpam?” Raka masih bingung, tapi nada serius di suara Aluna membuatnya merasa sedikit lebih khawatir.

Penjaga hutan yang dimaksud Aluna adalah makhluk magis yang biasanya menjaga batas wilayah tertentu di dimensi sihir. Mereka bukan bagian dari kerajaan, tapi tugas mereka adalah memastikan bahwa tidak ada yang melanggar aturan alam atau membahayakan keseimbangan magis di wilayah yang mereka lindungi.

“Kita harus berhati-hati. Penjaga hutan biasanya tidak agresif, tapi mereka bisa melaporkan keberadaan kita ke kerajaan jika merasa ada ancaman.”

“Lapor ke kerajaan? Jadi, kita dalam bahaya lagi?” Raka berbisik, merasa ketakutan mulai kembali melanda. Rasanya seperti tidak ada tempat yang benar-benar aman di dimensi ini.

“Belum tentu,” jawab Aluna dengan nada datar. “Jika kita bisa melewati mereka tanpa menarik perhatian, mereka tidak akan melakukan apa-apa.”

Mereka berdiri dalam keheningan, menunggu pergerakan dari semak-semak di depan mereka. Raka merasa jantungnya berdetak lebih kencang, seolah-olah tubuhnya tahu bahwa mereka berada di ambang bahaya lain.

Akhirnya, semak-semak itu berhenti bergoyang, dan keheningan melingkupi hutan. Aluna menarik napas dalam-dalam dan memberi isyarat kepada Raka untuk mulai bergerak lagi, kali ini lebih perlahan dan hati-hati. Mereka melangkah di antara pepohonan, mencoba tetap secepat mungkin namun tanpa membuat suara yang mencurigakan.

Namun, baru beberapa langkah, Raka merasa kakinya menginjak sesuatu yang keras. “Apa ini...?” gumamnya tanpa sadar, sebelum ia sadar bahwa ia baru saja menginjak ranting besar yang patah.

“Krak!”

Suara ranting itu bergema di udara, dan Raka merasakan seluruh tubuhnya membeku. Mata Aluna langsung melebar, dan ia berbalik cepat ke arah Raka, tapi sudah terlambat.

Dari balik semak-semak, muncul dua sosok besar berwujud humanoid, tapi jelas bukan manusia. Mata mereka bercahaya hijau, tubuh mereka dipenuhi kulit kayu, dan tangan mereka bersinar dengan energi magis yang jelas-jelas tidak bersahabat.

“Penjaga hutan...” bisik Aluna dengan nada cemas.

“Kita lari lagi?” tanya Raka, suaranya bergetar ketakutan.

“Kita tidak akan bisa lari kali ini...” jawab Aluna dengan nada lebih tegas. Ia mulai bergerak ke depan, berdiri di antara Raka dan dua makhluk itu. “Biar aku yang bicara. Jangan lakukan apa-apa.”

Raka mengangguk pelan, meski rasa paniknya semakin memuncak. Dia belum siap untuk menghadapi makhluk magis yang tampak seperti monster pohon. Tapi dalam hatinya, dia tahu satu hal—ini adalah dunia Aluna, dan jika ada yang tahu bagaimana cara menghadapi masalah ini, itu adalah dia.

Aluna mengangkat tangannya dengan hati-hati, berbicara dalam bahasa sihir yang tidak dipahami Raka. Kedua penjaga hutan itu berhenti mendekat, tapi mata mereka masih menatap dengan waspada. Raka hanya bisa menahan napas, berharap Aluna tahu apa yang dia lakukan.

---

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!