Adara menatap cermin di kamarnya dengan perasaan campur aduk. Hari ini adalah hari pertama ia akan bekerja sebagai sekretaris pribadi di perusahaan besar milik Arga Pratama, salah satu pengusaha muda paling sukses di negeri ini. Pekerjaan ini adalah impian banyak orang, termasuk dirinya. Namun, di balik kegembiraan itu, ada perasaan gugup yang menggerogoti perutnya. Dia tahu betul reputasi Arga. Pria itu dikenal sebagai sosok dingin dan tidak berperasaan. Tidak banyak orang yang bisa bertahan bekerja dengannya.
Sambil merapikan rambutnya yang tergerai lurus, Adara menarik napas dalam-dalam. Dia memilih mengenakan setelan blazer hitam yang pas dengan tubuhnya, terlihat profesional namun tetap elegan. Penampilannya sempurna untuk menampilkan kesan pertama yang baik, tetapi di dalam hatinya, dia terus berdoa agar segala sesuatunya berjalan lancar.
Dia mengecek ponselnya untuk memastikan tidak ada pesan yang terlewat, lalu segera memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Aku bisa melakukan ini,” bisiknya kepada dirinya sendiri. Meskipun merasa gugup, Adara tahu bahwa kesempatan ini bisa menjadi titik balik dalam hidupnya. Dia membutuhkan pekerjaan ini, bukan hanya karena karier, tetapi juga untuk membuktikan kepada keluarganya bahwa dia bisa mandiri dan sukses.
Sesampainya di gedung Pratama Corporation, jantung Adara berdetak lebih cepat. Gedung kaca modern yang menjulang tinggi itu tampak megah, mencerminkan kekayaan dan kekuasaan perusahaan. Dengan ragu, dia melangkah masuk ke dalam lobi yang luas dan mewah, dikelilingi oleh dinding marmer dan lampu gantung kristal yang berkilauan. Suasana kantor itu begitu tenang dan tertata, setiap orang tampak sibuk dengan urusannya masing-masing. Tanpa berpikir panjang, Adara segera menuju resepsionis.
“Selamat pagi, saya Adara, sekretaris baru Pak Arga Pratama,” katanya dengan senyum yang berusaha terlihat tenang.
Resepsionis, seorang wanita dengan senyum ramah, segera memeriksa daftar nama di layar komputernya. “Ah, selamat datang, Mbak Adara. Pak Arga sudah menunggu Anda. Silakan menuju lantai 25, ruangannya di ujung koridor sebelah kiri.”
Adara mengangguk, berterima kasih, dan berjalan menuju lift dengan langkah yang sedikit gemetar. Lift mewah dengan dinding cermin memperlihatkan refleksi dirinya yang mencoba terlihat percaya diri. Dia berlatih tersenyum beberapa kali, berharap tidak memperlihatkan ketegangannya.
Ketika pintu lift terbuka di lantai 25, suasana terasa jauh lebih sunyi. Hanya ada beberapa orang yang terlihat sibuk di meja masing-masing. Ini adalah lantai eksekutif, di mana hanya staf terpilih yang bekerja langsung dengan jajaran direksi, termasuk Arga Pratama. Adara menatap sekelilingnya dan akhirnya melangkah menuju ujung koridor. Ruangan di ujung itu terkesan lebih megah daripada yang lain, dengan pintu kayu mahoni yang tinggi dan elegan.
Dengan napas tertahan, Adara mengetuk pintu dengan pelan. Suara berat yang ia kenali dari beberapa wawancara di televisi terdengar dari dalam, “Masuk.”
Adara membuka pintu dan melangkah masuk. Ruangan itu luas, dengan dinding kaca besar yang menyuguhkan pemandangan kota dari ketinggian. Di balik meja kayu besar yang terletak di tengah ruangan, duduk seorang pria yang tampak memancarkan aura kekuasaan. Arga Pratama, dengan setelan abu-abu gelap yang sempurna, menatapnya dari balik layar laptopnya. Mata pria itu tajam, penuh dengan ketenangan, tetapi dingin.
“Selamat pagi, Pak Arga,” sapa Adara dengan suara yang ia usahakan tetap stabil.
Arga mengangguk tipis tanpa senyum. “Duduklah.”
Adara dengan cepat duduk di kursi di depan meja besar itu. Tangannya sedikit berkeringat, tetapi dia berusaha tetap tenang.
Arga menutup laptopnya dan menatap Adara dengan intens. “Saya tidak punya banyak waktu untuk basa-basi. Di sini, saya butuh orang yang bisa bekerja cepat, efisien, dan tidak membuat kesalahan. Sekali saja Anda melakukan kesalahan, Anda bisa keluar dari sini. Jelas?”
Adara menelan ludah. Ini adalah tantangan yang lebih besar dari yang ia bayangkan, tetapi dia sudah memutuskan untuk tidak mundur. “Jelas, Pak. Saya akan melakukan yang terbaik.”
Tatapan Arga tidak berubah. “Baik. Mulai hari ini, Anda akan mengatur semua jadwal saya, termasuk pertemuan, perjalanan bisnis, hingga urusan pribadi saya. Saya tidak suka menunggu, dan saya berharap Anda mengerti pentingnya ketepatan waktu. Jika ada sesuatu yang mendesak, Anda langsung lapor kepada saya. Mengerti?”
“Mengerti, Pak.”
Arga memberikan tumpukan dokumen kepada Adara. “Ini jadwal saya minggu ini. Susun dengan baik, dan pastikan tidak ada yang tumpang tindih.”
Adara mengambil dokumen-dokumen itu dengan hati-hati. “Baik, Pak. Akan segera saya kerjakan.”
Arga hanya mengangguk, lalu kembali membuka laptopnya, seolah-olah Adara sudah tidak ada di ruangan itu lagi. Merasa lega telah melalui pertemuan pertama tanpa kesalahan besar, Adara berdiri dan meninggalkan ruangan dengan langkah cepat.
Dia kembali ke meja kecil di luar ruangan Arga, yang kini menjadi wilayah kerjanya. Meja itu sederhana, tetapi cukup luas untuk menampung berbagai dokumen dan laptopnya. Setelah duduk, Adara langsung mulai mengerjakan tugas yang diberikan Arga. Jadwal yang harus diaturnya cukup rumit, penuh dengan pertemuan bisnis, makan siang dengan klien penting, hingga jadwal perjalanan luar negeri. Tidak ada ruang untuk kesalahan.
Sambil bekerja, Adara menyadari bahwa pekerjaannya tidak akan mudah. Dia tidak hanya harus berurusan dengan jadwal yang padat, tetapi juga harus menghadapi tuntutan Arga yang tampaknya tidak mengenal kompromi. Namun, di balik itu semua, ada semacam tantangan yang membuatnya merasa tertarik. Dia tidak bisa menyangkal bahwa Arga, dengan sikap dinginnya, memiliki daya tarik tersendiri. Setiap kali pria itu berbicara, ada aura kekuasaan yang terpancar darinya, seolah-olah dia selalu mengendalikan segalanya.
Hari pertama Adara berlalu dengan cepat. Meski sempat mengalami beberapa kebingungan kecil dalam menyesuaikan diri, dia berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik. Ketika jam kerja berakhir, Adara menatap layar laptopnya, merasa sedikit lega bahwa tidak ada masalah besar yang muncul hari ini. Namun, dia tahu bahwa ini baru permulaan. Tantangan yang lebih besar pasti akan datang, dan dia harus siap menghadapinya.
Saat meninggalkan kantor, Adara melihat ponselnya dan menerima pesan dari sahabatnya, Rina.
“Gimana hari pertamamu?” tulis Rina.
Adara tersenyum kecil dan membalas, “Lega. Tapi bosku benar-benar orang yang sulit ditebak.”
Rina segera membalas dengan emoji tertawa, “Yang penting kamu bisa bertahan. Semangat terus, ya!”
Adara mengunci ponselnya dan menatap ke luar jendela mobil yang membawanya pulang. Pikirannya melayang pada sosok Arga Pratama. Di balik sikap dingin dan profesionalismenya, ada sesuatu yang membuat Adara penasaran. Sesuatu yang ingin ia gali lebih dalam. Tapi untuk saat ini, yang paling penting adalah bagaimana ia bisa bertahan dan menjalankan tugasnya dengan baik.
Perjalanan baru saja dimulai.
Pagi berikutnya, Adara bangun dengan perasaan yang sedikit lebih tenang daripada hari sebelumnya. Meskipun ia tahu tantangan yang dihadapinya di hari pertama baru permulaan, ada kelegaan kecil karena ia berhasil melewati hari pertama tanpa kesalahan fatal. Baginya, itu sudah menjadi kemenangan kecil.
Namun, tak ada waktu untuk berpuas diri. Hari ini adalah hari kedua dan Adara harus menghadapi Arga lagi. Setelah mengenal sekilas kepribadian bosnya, ia menyadari bahwa lelaki itu bukanlah orang yang mudah didekati atau dipahami. Dia profesional, tegas, dan sangat dingin dalam berbicara. Tak ada senyum, tak ada basa-basi, hanya perintah-perintah yang jelas dan langsung.
Setelah memastikan penampilannya tetap rapi dengan setelan blazer biru tua yang lebih santai dibandingkan hari pertama, Adara turun ke dapur. Di sana, ibunya, yang selalu bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, sudah menunggunya dengan segelas kopi dan sepotong roti.
"Kamu tampak lebih siap hari ini," kata ibunya sambil tersenyum.
Adara hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. "Ya, kemarin tidak seburuk yang kupikir, Bu. Bosku memang sulit, tapi aku akan berusaha."
Ibunya menepuk bahu Adara dengan penuh kasih sayang. "Kamu pasti bisa, Adara. Tidak ada tantangan yang terlalu besar untukmu. Ingat, kamu bekerja keras untuk sampai ke sini."
Adara mengangguk lagi, kali ini dengan sedikit lebih percaya diri. Setelah sarapan cepat, ia bergegas menuju kantor. Hari ini mungkin akan penuh dengan pekerjaan yang menumpuk, tetapi ia bertekad untuk tetap tenang dan fokus.
Sesampainya di kantor, Adara langsung disambut dengan tumpukan dokumen baru di meja kecilnya. Ia baru saja meletakkan tas ketika ponselnya berbunyi. Pesan dari Arga.
"Masuk ke ruang saya dalam lima menit."
Pesan itu singkat, padat, dan jelas. Tidak ada salam atau basa-basi, seperti yang sudah ia duga. Adara menghela napas dan bersiap masuk ke dalam ruangan Arga. Pikirannya mulai berputar, bertanya-tanya apa yang akan terjadi kali ini. Apakah ada kesalahan yang ia buat kemarin? Apakah ia akan mendapatkan tugas baru?
Lima menit kemudian, Adara mengetuk pintu ruang Arga dengan hati-hati.
"Masuk," suara berat itu terdengar dari balik pintu, lagi-lagi tanpa emosi.
Adara membuka pintu dan melangkah masuk, berusaha tetap tenang. Arga duduk di belakang mejanya, sama seperti kemarin, mengenakan setelan hitam yang membuatnya tampak lebih dingin dan tak terjangkau. Mata tajamnya menatap layar laptop di depannya, sementara tangannya terus mengetik dengan cepat. Adara berdiri di depan meja, menunggu instruksi lebih lanjut.
Tanpa mengalihkan pandangan dari layar, Arga berkata, "Bagaimana pekerjaanmu kemarin?"
"Semuanya sudah saya atur sesuai jadwal, Pak. Tidak ada tumpang tindih dan semua pertemuan sudah dikonfirmasi," jawab Adara, berusaha agar suaranya terdengar tenang meskipun jantungnya berdegup cepat.
Arga akhirnya menghentikan kegiatannya dan menatap Adara dengan mata yang tampak meneliti setiap detailnya. "Bagus. Tapi ingat, ini baru permulaan. Saya tidak ingin ada kesalahan di masa depan."
Adara mengangguk pelan. "Tentu, Pak."
Arga menutup laptopnya dan bersandar di kursi, lalu melipat tangannya di depan dada. "Hari ini kamu akan mendampingi saya dalam rapat dengan investor penting. Ini bukan hanya tentang mendengarkan dan mencatat. Saya ingin kamu memperhatikan detail setiap pembicaraan, karena itu akan memengaruhi keputusan yang akan kita buat ke depannya."
Adara mengerutkan kening sedikit. Dia tidak menyangka akan diberikan tugas sepenting itu di hari kedua. Mendampingi Arga dalam pertemuan dengan investor? Itu bukan hal kecil. Namun, Adara tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk membuktikan dirinya. Dia tidak boleh membuat kesalahan.
"Saya mengerti, Pak. Saya akan melakukannya dengan baik," jawabnya dengan suara yang lebih tegas.
Arga mengangguk tipis, tampak puas dengan responsnya. "Rapat dimulai pukul 10. Pastikan semua materi sudah siap sebelum kita masuk ke ruang pertemuan."
Setelah menerima perintah itu, Adara segera keluar dari ruangan dan mulai mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Dia mengecek ulang jadwal rapat, memastikan semua materi sudah diatur dengan baik dan dipersiapkan dalam bentuk presentasi. Dia tidak bisa membiarkan dirinya kehilangan kendali di hadapan para investor penting. Ini adalah ujian nyata bagi kemampuannya.
Waktu berjalan cepat, dan sebelum Adara menyadarinya, sudah hampir jam 10. Dia mengecek segala sesuatunya sekali lagi sebelum berjalan kembali ke ruang Arga. Setelah mengetuk pintu dan masuk, dia melihat Arga sudah siap dengan berkas-berkas di tangan. Tanpa banyak bicara, mereka berdua langsung menuju ruang rapat yang terletak di lantai yang sama.
Saat mereka memasuki ruang rapat, Adara merasa seluruh perhatian tertuju pada mereka. Ruangan itu sudah diisi oleh beberapa orang, semuanya tampak penting dengan setelan jas rapi dan wajah serius. Di tengah meja oval besar, layar proyektor sudah siap menampilkan presentasi yang akan mereka bahas.
Arga duduk di kursinya di ujung meja, sementara Adara berdiri di sampingnya, siap dengan catatan dan laptopnya. Meskipun ruang itu dipenuhi dengan orang-orang penting, Arga tampak sangat tenang dan penuh kendali, seolah dia tidak terpengaruh oleh tekanan situasi.
Rapat dimulai dengan Arga memimpin pembicaraan. Dia memperkenalkan beberapa poin utama tentang proyek baru yang sedang dikembangkan perusahaan, yang tampaknya menjadi alasan utama pertemuan ini. Adara mencatat setiap detail dengan cepat dan teliti, berusaha mengikuti alur pembicaraan yang kadang-kadang terasa sangat teknis.
Saat pembicaraan mulai memanas tentang masalah investasi dan keuntungan jangka panjang, salah satu investor, seorang pria tua dengan rambut abu-abu dan tatapan tajam, menyuarakan keraguannya.
"Proyek ini memang terdengar ambisius, tapi kami ingin jaminan bahwa risiko yang terlibat akan sepadan dengan keuntungan yang kami dapatkan," katanya dengan suara tegas.
Arga tetap tenang. "Risiko adalah bagian dari setiap bisnis. Namun, kami telah melakukan analisis mendalam, dan saya yakin bahwa dengan strategi yang kami rencanakan, proyek ini akan menghasilkan keuntungan yang signifikan dalam waktu yang lebih singkat dari perkiraan awal."
Pria tua itu masih terlihat tidak yakin. "Kata-kata bagus, tapi kami membutuhkan lebih dari sekadar keyakinan."
Adara bisa merasakan ketegangan di ruangan itu meningkat. Di bawah tekanan ini, Arga tetap tampil tenang, namun Adara tahu bahwa jika pertemuan ini berakhir dengan keraguan, dampaknya bisa sangat besar bagi perusahaan.
Tanpa disangka, Arga melirik ke arah Adara. "Adara, bisakah kamu menjelaskan bagian analisis risiko yang telah kita bicarakan?"
Jantung Adara hampir berhenti. Dia tidak menyangka akan diminta berbicara dalam rapat sepenting ini, apalagi di depan para investor. Namun, dia tidak punya pilihan. Ini adalah momen di mana dia harus menunjukkan bahwa dia layak berada di sini.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Adara membuka laptopnya dan mempersiapkan data yang telah ia pelajari. “Tentu, Pak,” jawabnya dengan suara yang berusaha tenang.
Sambil menampilkan beberapa poin penting di layar, Adara mulai menjelaskan secara rinci tentang analisis risiko yang telah dilakukan oleh tim. Dia menjelaskan bagaimana perusahaan telah memitigasi risiko dengan strategi-strategi tertentu, termasuk diversifikasi portofolio dan pembentukan tim manajemen proyek yang berpengalaman.
Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar rapi dan terstruktur, meskipun jantungnya berdegup kencang. Beberapa investor mulai mengangguk pelan, menunjukkan bahwa penjelasannya mulai meyakinkan mereka. Ketika dia selesai, ruangan terasa lebih tenang.
Arga menatap Adara sejenak, sebelum kembali mengarahkan perhatian ke para investor. "Seperti yang Anda lihat, kami telah mempertimbangkan semua faktor risiko. Kami tidak mengambil keputusan sembarangan."
Pria tua itu akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah. Kami akan mempertimbangkan tawaran ini dengan lebih serius."
Adara merasa lega. Ia berhasil melalui salah satu momen paling menegangkan dalam kariernya, dan yang terpenting, ia berhasil memenuhi harapan Arga. Saat rapat berakhir, dan para investor mulai keluar dari ruangan, Adara merapikan dokumen-dokumen di meja.
Sebelum keluar dari ruangan, Arga mendekatinya dan berkata pelan, “Kerja bagus. Tapi jangan cepat puas.”
Adara mengangguk, tersenyum tipis. Dia tahu, ini baru awal dari banyak ujian yang akan datang.
Hari itu dimulai seperti biasa. Adara tiba di kantor lebih awal, memastikan dirinya siap untuk hari yang mungkin penuh dengan tugas-tugas baru. Meski hari ini terasa sedikit lebih tenang daripada hari sebelumnya, ia tetap merasa gugup. Pengalaman kemarin—berbicara di hadapan para investor—masih membekas di pikirannya. Ia berhasil melalui tantangan itu dengan baik, tetapi Adara tahu betul bahwa tantangan di hari-hari berikutnya bisa jauh lebih berat. Dia tak boleh lengah.
Setelah mempersiapkan jadwal harian Arga, Adara duduk di mejanya dan mulai bekerja. Sesekali, pikirannya melayang pada interaksi yang singkat namun mendalam dengan bosnya. Tatapan mata Arga ketika ia memintanya menjelaskan analisis risiko itu begitu dingin, namun mengandung sesuatu yang lebih dari sekadar profesionalisme. Ada ketenangan yang mengintimidasi, seolah Arga mampu membaca pikiran orang hanya dengan melihat mereka.
Adara merasakan perasaan aneh setiap kali ingatan itu muncul. Dia tidak bisa memungkiri bahwa Arga memiliki daya tarik yang kuat. Namun, itu bukan sekadar ketertarikan fisik. Ada sesuatu yang lebih mendalam, sesuatu yang sulit dijelaskan. Mungkin itu adalah cara pria itu mengendalikan situasi, atau mungkin caranya berbicara tanpa pernah menunjukkan emosi yang sebenarnya. Arga selalu tampil tenang, terkendali, dan tak pernah menunjukkan kelemahan sedikit pun.
Di tengah lamunannya, suara dering telepon di mejanya mengembalikannya ke realitas. Adara segera mengangkat telepon itu.
“Selamat pagi, ini Adara,” sapanya.
“Adara, saya butuh Anda di ruang rapat. Bawa berkas-berkas presentasi dari kemarin,” suara Arga terdengar dari seberang telepon. Seperti biasa, suaranya penuh ketegasan, tanpa celah untuk pertanyaan.
Adara mengangguk, meskipun Arga tak bisa melihatnya. “Baik, Pak. Akan segera saya bawa.”
Setelah meletakkan telepon, Adara dengan cepat mengambil berkas-berkas yang diperlukan dan bergegas menuju ruang rapat. Dia berjalan dengan cepat, berusaha untuk tidak terlambat. Pikirannya mulai bersiap menghadapi situasi yang mungkin terjadi di ruang rapat itu, apakah akan ada diskusi penting atau mungkin presentasi lanjutan yang harus ia urus.
Ketika dia sampai di depan pintu ruang rapat, Adara mengetuk pintu dengan pelan, seperti biasa.
“Masuk,” suara Arga terdengar dari dalam.
Adara membuka pintu dan masuk, hanya untuk menemukan Arga sedang berdiri di dekat jendela besar yang memamerkan pemandangan kota. Dia memegang cangkir kopi, terlihat sangat santai namun tetap memancarkan aura yang tegas. Di atas meja, terdapat beberapa dokumen yang tampak terkait dengan proyek yang mereka bahas kemarin.
Namun, bukan itu yang membuat Adara terkejut. Di ujung ruangan, duduk seorang wanita yang tidak ia kenal. Wanita itu memiliki penampilan yang sangat memukau. Rambutnya yang hitam pekat tergerai dengan rapi, dan matanya yang tajam menatap Adara seolah-olah sedang menilai setiap gerak-geriknya. Dia mengenakan setelan elegan berwarna merah yang memperlihatkan bahwa dia bukan sembarang orang.
Adara berdiri sejenak di pintu, merasa sedikit tidak nyaman dengan tatapan wanita itu. Namun, ia segera melangkah masuk dan menghampiri meja, menaruh berkas-berkas yang diminta Arga.
“Ini dokumen yang Anda minta, Pak,” kata Adara sambil memberikan map kepada Arga.
Arga mengambil dokumen itu tanpa mengalihkan pandangannya dari Adara. “Terima kasih,” ucapnya singkat. Kemudian dia berbalik ke arah wanita itu dan memperkenalkannya, “Ini Adara, sekretaris baru saya. Adara, ini Andini, salah satu mitra bisnis saya.”
Adara menoleh ke arah Andini dan mengangguk sopan. “Senang berkenalan dengan Anda.”
Andini tersenyum tipis, tetapi ada sesuatu di balik senyumnya yang membuat Adara merasa canggung. “Senang bertemu denganmu, Adara,” katanya, suaranya lembut namun penuh makna. “Arga sering bercerita tentang betapa pentingnya memiliki staf yang kompeten di sekelilingnya.”
Adara merasa ada nada yang samar dalam kata-kata Andini, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya. Ia tersenyum kecil, mencoba tetap tenang. “Saya akan berusaha melakukan yang terbaik.”
Setelah perkenalan singkat itu, Arga kembali fokus pada berkas-berkas yang telah ia terima. Sementara itu, Adara merasa suasana di ruangan itu agak aneh. Ada sesuatu dalam interaksi antara Arga dan Andini yang tampak tidak biasa. Meskipun keduanya bersikap profesional, Adara merasakan adanya ketegangan yang tersirat di antara mereka.
Pertemuan itu berjalan lancar, dengan Arga dan Andini berdiskusi tentang detail proyek yang sedang mereka kembangkan. Adara mencatat beberapa poin penting, meskipun sebagian besar percakapan antara mereka berdua terasa terlalu teknis dan bisnis untuknya. Namun, yang paling menarik perhatian Adara adalah cara Arga dan Andini saling menatap dan berbicara.
Tatapan Arga terhadap Andini berbeda dari tatapan dingin yang biasa ia tunjukkan kepada orang lain. Ada sedikit kehangatan, meskipun sangat samar. Sementara itu, Andini tampak sangat nyaman berada di dekat Arga. Mereka jelas sudah mengenal satu sama lain sejak lama, mungkin lebih dari sekadar hubungan bisnis.
Pertanyaan mulai muncul di benak Adara. Apakah ada hubungan pribadi antara mereka? Mengapa mereka terlihat begitu akrab? Adara berusaha fokus pada tugasnya, tetapi tidak bisa mengabaikan perasaan penasaran yang semakin kuat.
Setelah diskusi selesai, Andini berdiri dan merapikan setelannya. “Baiklah, Arga. Aku rasa semua sudah jelas. Kita akan lanjutkan pembicaraan ini minggu depan.”
Arga mengangguk. “Terima kasih atas waktumu, Andini. Saya akan siapkan semua yang kamu butuhkan sebelum pertemuan selanjutnya.”
Andini kemudian berbalik dan menatap Adara lagi dengan senyum yang penuh teka-teki. “Adara, pastikan kamu selalu siap ketika Arga membutuhkanmu. Dia sangat menuntut.”
Adara tersenyum kaku. “Tentu, saya akan melakukan yang terbaik.”
Setelah Andini pergi, keheningan menyelimuti ruangan. Adara merasa sedikit lega karena kehadiran wanita itu yang menimbulkan tekanan tersendiri kini sudah pergi. Namun, saat dia hendak meninggalkan ruangan, Arga tiba-tiba berkata, “Tunggu.”
Adara berhenti dan menoleh kembali ke arah Arga. “Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?”
Arga berjalan mendekat, tatapannya masih tetap tajam dan penuh kendali. “Apa pendapatmu tentang Andini?”
Pertanyaan itu membuat Adara terkejut. Dia tidak menyangka Arga akan menanyakan hal seperti itu, apalagi tentang seorang mitra bisnis. Adara bingung harus menjawab apa, tetapi ia mencoba tetap tenang. “Dia tampak sangat profesional dan berpengalaman. Saya yakin dia sangat kompeten dalam pekerjaannya.”
Arga menatap Adara dengan seksama, seolah menunggu jawaban yang lebih dari sekadar penilaian profesional. “Benar. Tapi Andini bukan hanya mitra bisnis biasa. Kami sudah lama bekerja sama, dan dia tahu banyak tentang cara saya menjalankan perusahaan ini.”
Adara merasa ada sesuatu yang tersirat dalam kata-kata Arga, tetapi ia memilih untuk tidak menanyakannya lebih lanjut. “Saya mengerti, Pak.”
Setelah itu, Arga mengangguk pelan, lalu kembali ke mejanya. “Baiklah. Kamu bisa kembali bekerja.”
Adara menghela napas lega dan meninggalkan ruangan itu dengan langkah cepat. Pikirannya masih dipenuhi oleh pertanyaan tentang hubungan antara Arga dan Andini. Dia tahu bahwa dalam pekerjaannya sebagai sekretaris, dia harus menjaga profesionalisme dan tidak terlibat dalam urusan pribadi atasannya. Namun, ada sesuatu yang membuatnya sulit untuk tidak penasaran.
Seperti tatapan pertama Arga yang begitu dingin dan menembus, tatapan Andini juga menyimpan misteri. Dan entah bagaimana, Adara merasa bahwa ini baru awal dari rahasia-rahasia yang akan ia temukan di balik sosok Arga Pratama dan dunianya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!