NovelToon NovelToon

TURUN RANJANG

Salah paham

Plak!

Annisa memegangi pipinya yang berdenyut akibat tamparan dari Damian, suaminya. Lelaki itu menatap tajam serta lekat ke arah Annisa sebelum mencengkeram kedua bahu Annisa, memaksanya untuk melihat netra Damian yang menyala marah.

“Kau ingin menjadi jal*ng, Annisa?” tanyanya serak yang tentu dibalas gelengan oleh Annisa.

Lelaki itu tengah terbakar api cemburu setelah melihat kebersamaan Annisa dengan Robert, rekan kerjanya.

Damian menatap Annisa dengan kemarahan yang semakin membara, seolah-olah api cemburu yang menyulut hatinya semakin berkobar-kobar. Suaranya gemetar, penuh dengan luapan amarah dan kekecewaan yang telah lama terpendam, "Kau pikir aku buta? Aku lihat bagaimana Robert memandang mu!"

Tatapan tajamnya seakan menembus Annisa, membuat wanita itu terdiam kaku, hatinya mencelos. Masih terkejut dengan tamparan yang baru saja mendarat keras di pipinya, Annisa merasakan panas di wajahnya bercampur dengan perasaan takut dan sedih. Air mata yang menggenang di sudut matanya mulai jatuh, membasahi pipinya yang perih. Ia mencoba mengatur napas, suaranya serak ketika ia akhirnya berbicara,

"Mas Damian, aku... aku hanya bekerja dengannya. Tidak ada yang lebih dari itu. Aku tak pernah berpikir untuk menyakitimu," suaranya pecah, terbata-bata, mencoba menenangkan suaminya yang terlihat semakin marah.

Namun, Damian tampaknya tidak mendengarkan. Kata-kata Annisa seolah terbang ditiup angin. Wajah lelaki itu semakin keras, dan cengkeramannya di kedua bahu Annisa semakin kuat, membuat Annisa merasakan sakit yang semakin menusuk.

"Jangan berani-berani berbohong padaku, Annisa! Aku bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi. Aku takkan pernah memaafkan pengkhianatan, apa pun alasannya." Suaranya rendah namun penuh ancaman, dan sorot matanya membuat Annisa merasa seolah terpojok.

Tubuh Annisa mulai gemetar, bukan hanya karena rasa sakit fisik yang dirasakan, tapi juga karena ketakutan yang mulai merayap perlahan. Hubungannya dengan Damian kini terasa seperti jebakan yang tak bisa ia lepaskan, semakin erat menggenggam tanpa memberi ruang untuk bernapas.

"Mas Damian, tolong... Aku tidak pernah melakukan apa yang kau pikirkan. Aku setia padamu. Percayalah padaku, aku tidak akan pernah mengkhianatimu," Annisa memohon dengan suara bergetar, air matanya mengalir semakin deras.

Tapi Damian tetap tidak bergerak. Tatapannya tetap dingin dan penuh kecurigaan. Ia melepaskan cengkeramannya dengan kasar, membuat Annisa terhuyung ke belakang, hampir terjatuh.

"Kita lihat saja nanti. Kalau aku melihatmu lagi dengan dia, aku tidak akan segan-segan membuatmu menyesal, Annisa. Kau akan tahu seperti apa aku saat benar-benar marah," katanya dengan nada dingin yang membuat Annisa semakin terpuruk.

Tanpa menunggu jawaban, Damian berbalik dan berjalan keluar dengan langkah berat, meninggalkan Annisa yang kini jatuh terduduk di lantai. Tubuhnya gemetar, mencoba menahan rasa sakit yang masih terasa di pipinya. Namun, lebih dari rasa sakit fisik, hatinya kini terasa hancur, seolah tidak ada lagi harapan untuk memperbaiki apa yang rusak dalam rumah tangganya.

Tangannya terangkat pelan, menyentuh pipi yang memerah, merasakan denyutnya yang semakin menyakitkan. Air mata yang jatuh tidak berhenti, dan ia hanya bisa berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk yang bisa segera berakhir. Namun, di sudut hatinya yang terdalam, Annisa tahu bahwa kenyataan ini jauh lebih kejam daripada mimpi mana pun.

Annisa dan Damian menikah dua tahun yang lalu, dalam sebuah pernikahan yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi. Pernikahan itu bukanlah hasil dari kisah cinta yang romantis atau pilihan hati, melainkan amanah yang harus dipikulnya setelah kematian Arum, kakak perempuannya.

Arum adalah cinta pertama dan satu-satunya bagi Damian. Mereka telah membangun kehidupan bersama hingga lahirnya Clara, anak perempuan mereka yang kini berusia tujuh tahun. Kehilangan Arum secara mendadak meninggalkan luka mendalam di hati Damian dan kekosongan besar dalam hidup Clara. Annisa, dengan segala kesedihan dan rasa tanggung jawab terhadap keluarga, menerima tugas yang berat: menggantikan Arum sebagai istri Damian dan ibu bagi Clara.

Namun, sejak awal, Annisa tahu bahwa ini bukan pernikahan yang normal. Meskipun dia mencintai Damian dengan tulus, hatinya penuh dengan harapan bahwa suatu hari Damian akan mencintainya kembali, kenyataannya jauh dari apa yang ia impikan. Damian tak pernah bisa melihat Annisa lebih dari bayangan Arum. Di matanya, Annisa hanyalah pengganti, seseorang yang datang karena kewajiban, bukan karena cinta. Setiap kali Damian menatapnya, Annisa merasakan jarak yang begitu besar, seolah-olah ia selalu dibandingkan dengan kakaknya yang tak tergantikan.

Hari-hari mereka dipenuhi keheningan yang berat. Damian jarang berbicara banyak padanya kecuali untuk hal-hal yang penting. Bahkan ketika mereka bersama, kehadiran Arum selalu terasa mengintai di antara mereka. Damian sering kali masih mengingat Arum dalam kata-katanya, pandangannya, dan bahkan dalam cara ia merawat Clara.

Clara sendiri, meskipun telah menerima Annisa sebagai figur yang merawatnya, masih sangat merindukan ibunya. Setiap kali Clara menyebut nama Arum, Annisa merasakan sakit yang tajam di hatinya, menyadari bahwa ia tidak akan pernah bisa sepenuhnya mengambil posisi kakaknya dalam hidup Damian maupun Clara.

Annisa mencoba menenggelamkan kesedihannya dalam pekerjaannya. Di kantor, ia menemukan tempat untuk sejenak melarikan diri dari tekanan rumah tangga yang terasa semakin berat. Robert, rekan kerjanya, sering kali menjadi tempatnya bercerita tentang tekanan yang ia rasakan, meski percakapan mereka tak pernah lebih dari sekadar rekan kerja. Bagi Annisa, Robert hanyalah seorang teman yang memberikan ruang untuknya bernapas. Namun, bagi Damian, kebersamaan Annisa dengan pria lain adalah sesuatu yang tak bisa diterima.

Damian, yang masih hidup dalam bayang-bayang masa lalu dan rasa kehilangan Arum, mulai dipenuhi oleh rasa cemburu yang irasional. Ia tak bisa menerima bahwa Annisa, istri yang dianggapnya seharusnya setia menjalankan perannya sebagai ibu dan istri pengganti, bisa memiliki kehidupan di luar dirinya. Setiap kali Annisa pulang terlambat atau menceritakan hari-harinya di kantor, wajah Damian selalu menegang. Diam-diam, ia merasa bahwa Annisa sedang mencari kebahagiaan di luar pernikahan mereka, sesuatu yang tak pernah ia duga akan terjadi.

Suatu hari, setelah melihat Annisa dan Robert tertawa bersama saat mereka kebetulan bertemu di sebuah acara kantor, kemarahan Damian mencapai puncaknya. Ia tidak bisa lagi menahan api cemburu yang membakar hatinya. Setibanya di rumah, tanpa menunggu penjelasan apapun, Damian menampar Annisa dengan keras, membuatnya terkejut dan jatuh terdiam. Pipi Annisa yang memerah tidak hanya karena tamparan itu, tapi juga karena luka yang lebih dalam—luka karena pernikahan ini tak pernah berlandaskan cinta, dan kini bahkan rasa hormat pun seolah-olah hilang.

Dengan suara gemetar dan amarah yang tak terbendung, Damian menatap Annisa tajam. "Kau ingin menjadi jalang, Annisa? Kau pikir aku tidak melihat apa yang terjadi antara kau dan Robert?"

Annisa terguncang. Ia mencoba menjelaskan dan tangisannya tertahan.

Namun, Damian tak mendengarkan. Bagi Damian, pengkhianatan adalah sesuatu yang tidak bisa diterima. Kehilangan Arum sudah menghancurkannya, dan sekarang, meskipun Annisa tidak melakukan apa-apa, Damian merasa bahwa dia sedang dihadapkan pada ancaman kehilangan lain, kehilangan kendali atas hidup yang telah rusak sejak Arum pergi.

Damian mencengkeram bahu Annisa dengan kuat, memaksanya menatap matanya yang dipenuhi kemarahan.

"Aku tidak akan membiarkanmu mempermalukan aku, Annisa. Jika aku melihatmu lagi dengan dia, kau akan menyesal seumur hidup." Kata-kata itu dingin, penuh ancaman, dan tanpa sedikit pun rasa belas kasih.

Annisa gemetar, menahan sakit tidak hanya di pipinya yang masih berdenyut, tetapi juga di hatinya yang semakin hancur. Ketakutan menyelimutinya, tapi yang paling membuatnya takut bukanlah ancaman Damian, melainkan kenyataan bahwa cinta yang selama ini ia harapkan dari suaminya mungkin tidak akan pernah datang.

Setelah melepaskan cengkeramannya, Damian meninggalkan Annisa yang terduduk lemas di lantai. Tubuhnya gemetar, menahan tangis yang akhirnya pecah. Di antara isakannya, Annisa menyadari bahwa apa yang ia jalani selama dua tahun ini hanyalah bayangan dari kehidupan yang seharusnya. Cinta yang ia berikan kepada Damian tidak pernah terbalas, dan dirinya hanyalah sosok yang diinginkan karena kewajiban, bukan karena cinta.

Dalam keheningan rumah yang sunyi, Annisa merasa lebih kesepian dari sebelumnya, terperangkap dalam pernikahan yang tidak hanya tanpa cinta, tetapi juga tanpa harapan untuk bisa diperbaiki.

Ketegangan

Saat sarapan pagi ini, Imelda, ibu dari Damian, memperhatikan sesuatu yang mengganggunya. Dari sudut matanya, ia melihat pipi Annisa yang memerah. Entah karena matahari pagi yang baru saja menerobos jendela, atau... ada hal lain. Namun, wanita paruh baya itu tetap diam, memilih untuk tidak menanyakan apapun. Dia mengaduk kopinya perlahan, pikirannya berkelana jauh.

Sementara itu, Annisa, yang selalu mencoba menahan perasaan di hadapan keluarga ini, tetap tersenyum meski hatinya sedikit tercekat.

“Susu mu, sayang,” katanya lembut, sembari menaruh segelas susu putih di depan Clara, anak perempuan Damian.

Namun, bocah tujuh tahun itu tidak membalas dengan senyuman seperti biasanya. Ia hanya mengerutkan kening, lalu menggeser gelas susu itu menjauh dari dirinya.

“Aku sudah bilang, aku ingin jus pagi ini,” Clara berkata dengan nada yang tajam, suaranya bergetar dengan ketidaksabaran.

Annisa terpaku sejenak, senyum yang tadi melengkung di bibirnya perlahan memudar. Dalam hatinya, ia merasa gagal lagi, meski hanya soal minuman. Tapi ia tidak ingin membuat masalah besar dari itu.

“Maaf, sayang. Tante akan ambilkan jusmu,” ujarnya pelan, berusaha tetap tenang, meski ada sedikit rasa pedih di sudut hatinya.

Dengan gerakan lambat dan penuh hati-hati, ia berdiri dari kursinya, melangkah menuju dapur.

Imelda terus memandang Annisa, tapi kali ini dengan tatapan yang lebih tajam. Pipinya yang memerah tadi seolah memanggil perhatian Imelda kembali. Ada sesuatu yang tak terucap di udara, sesuatu yang mengganggu pikiran ibu itu. Namun, seperti sebelumnya, ia memilih untuk menahan diri, meskipun firasat buruk mulai merayapi hatinya.

Clara, yang masih duduk di meja, menyilangkan kedua tangannya di dada. Dia melirik neneknya dengan mata yang tak sepenuhnya polos seperti anak seumurannya.

"Kenapa Tante Annisa selalu salah, Nek?" suaranya dingin, mencerminkan ketidakpuasan yang entah dari mana asalnya. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya, mungkin kemarahan yang belum dia pahami sepenuhnya.

Imelda menghela napas panjang, mencoba mengatasi ketegangan yang mulai merambat di antara mereka. “Tante Annisa hanya ingin yang terbaik untukmu, sayang,” jawabnya, dengan senyum yang dipaksakan.

Namun, pikirannya terus berputar, menimbang apakah seharusnya dia mulai bertanya lebih dalam tentang apa yang terjadi di rumah ini.

Sejak Annisa menjadi istri Damian, Imelda, ibu mertuanya, tidak pernah benar-benar memperhatikan keberadaan Annisa di rumah. Imelda jarang berinteraksi dengan menantunya itu, seolah Annisa hanyalah bayangan di rumah besar mereka.

Imelda tahu bahwa pernikahan Annisa dengan Damian tidak didasari oleh cinta yang tulus, terutama dari pihak Damian. Yang ia lihat, Damian memperlakukan Annisa dengan dingin, sering kali tak acuh dan bahkan terlihat seperti tidak peduli pada perasaan istrinya. Imelda pun menyadari bahwa Clara, cucunya yang berusia tujuh tahun, memperlakukan Annisa jauh dari yang seharusnya dilakukan seorang anak kepada ibu sambungnya.

Bagi Clara, Annisa lebih seperti pembantu rumah tangga daripada sosok pengganti ibunya, Arum, yang telah meninggal. Meski Imelda tahu semua ini, ia memilih untuk tidak terlibat lebih jauh. Dalam pikirannya, mungkin ini adalah nasib yang harus dijalani Annisa, apalagi sejak awal pernikahan ini terjadi bukan karena cinta, melainkan karena amanah yang ditinggalkan oleh Arum untuk menjaga Damian dan Clara.

Tetapi pagi ini, ada perasaan berbeda yang muncul dalam hati Imelda. Untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit kasihan melihat Annisa. Pagi itu, saat Annisa dengan sabar melayani Clara yang merengek karena tidak mau sarapan, ada kilatan simpati yang melintas di benak Imelda. Ia memperhatikan dengan lebih seksama bagaimana Annisa terus tersenyum meski jelas terlihat lelah, berusaha memenuhi setiap keinginan Clara tanpa pernah mengeluh.

Imelda menyadari betapa berat beban yang dipikul Annisa—menjadi istri dari pria yang tak mencintainya, serta harus menghadapi anak kecil yang memperlakukannya seperti pelayan. Meski demikian, Imelda tetap diam, masih terpaku dalam kebiasaannya untuk tidak terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangga putranya.

Namun, perasaan kasihan itu terus menggelayut di pikirannya, mengusik hati kecilnya yang selama ini ia biarkan tertutup.

Terlebih lagi, pagi ini Imelda menangkap sesuatu yang lebih mengganggunya—pipi Annisa tampak kemerahan, seperti ada bekas tamparan seseorang.

Imelda tertegun sesaat, mencoba menyangkal apa yang baru saja dilihatnya. Pikirannya mulai berputar, bertanya-tanya dari mana bekas itu berasal. Damian mungkin memang tidak menyukai Annisa, tetapi putranya tidak mungkin melakukan hal sekejam itu, bukan?

Imelda selalu melihat Damian sebagai sosok yang dingin, namun ia tak pernah membayangkan Damian akan bertindak kasar secara fisik. Tapi bekas di wajah Annisa terlalu jelas untuk diabaikan. Muncul rasa tak nyaman di hati Imelda, seolah-olah selama ini ada sesuatu yang ia abaikan, sesuatu yang mungkin jauh lebih gelap dari sekadar sikap acuh Damian terhadap istrinya.

Namun, seperti biasanya, Imelda menahan diri untuk bertanya lebih lanjut. Mungkin Annisa hanya terbentur sesuatu, pikirnya, mencoba meredakan kecemasan yang mulai mengusik benaknya.

Tapi tatapan Annisa yang sejenak menunduk ketika Imelda memandangnya membuatnya tidak bisa sepenuhnya percaya pada penghiburan itu. Terlebih saat Annisa membungkuk untuk menghidangkan makanan di meja, Imelda kembali menangkap sesuatu yang tidak biasa—pipi Annisa memerah, seolah ada bekas tamparan.

"Annisa," panggil Imelda, suaranya terdengar tenang tapi penuh tanya. "Pipimu... kenapa bisa seperti itu?"

Annisa tersentak sedikit, lalu menyentuh pipinya dengan gerakan gugup. “Oh, ini, Bu? Tidak apa-apa. Saya hanya terbentur tadi pagi saat terburu-buru menyiapkan sarapan.” Senyumnya muncul, tapi matanya menghindari tatapan Imelda.

Imelda mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres. "Terbentur? Bagaimana bisa? Damian tidak—" Imelda menghentikan dirinya.

Ia tahu putranya tidak pernah menunjukkan kasih sayang yang mendalam pada Annisa, tapi memukul? Itu terlalu sulit untuk dipercaya.

Annisa buru-buru memotong, suaranya tenang tapi tegang, "Mas Damian tidak melakukan apa-apa, Bu. Dia sibuk dengan pekerjaannya tadi malam dan pagi ini."

Imelda memandangi Annisa sejenak, merasakan ada sesuatu yang lebih besar yang disembunyikan menantunya itu. Namun, seperti kebiasaannya, ia menahan diri untuk tidak mendorong lebih jauh.

"Baiklah," katanya akhirnya, meskipun keraguan tetap mengganjal dalam hatinya. "Kalau ada sesuatu, kau bisa ceritakan padaku."

Annisa tersenyum tipis, "Terima kasih, Bu," jawabnya, lalu dengan cepat melanjutkan tugasnya.

Namun, Imelda tahu, di balik senyum itu, ada sesuatu yang Annisa tidak ingin, atau tidak bisa, katakan.

Tak lama setelah percakapan dengan Annisa, Imelda mendengar langkah kaki Damian memasuki ruang makan. Damian, seperti biasanya, tampak tenang dan berwibawa dengan wajah dingin yang sudah sering dilihatnya. Ia langsung menuju meja, seolah tak menyadari ketegangan yang baru saja terjadi di antara Annisa dan Imelda. Saat ia duduk, Imelda memutuskan untuk mencoba mencari tahu lebih banyak.

“Damian,” panggil Imelda dengan nada tenang, meskipun dalam hatinya ia merasa was-was. “Ada sesuatu yang ingin Ibu tanyakan.”

Damian mendongak dari piringnya, alisnya sedikit terangkat. “Ada apa, Bu?”

“Annisa... pipinya memerah pagi ini, katanya dia terbentur. Kau tidak tahu apa-apa soal itu?” Imelda bertanya, menatap tajam putranya, mencoba mencari reaksi apapun dari wajahnya yang dingin itu.

Damian menoleh sekilas ke arah Annisa yang berdiri di dekat dapur, sebelum menjawab dengan datar, “Tidak. Aku tidak tahu. Mungkin dia memang terbentur, seperti yang dia bilang.”

Annisa yang mendengar percakapan itu tampak tegang, tapi Damian tidak menunjukkan tanda-tanda emosi.

Imelda menatapnya lebih dalam, mencoba menembus pertahanan Damian. “Kau tidak... memukulnya, kan?”

Damian tertawa kecil, seolah pertanyaan itu tidak masuk akal. “Memukul? Ibu serius? Tentu saja tidak. Aku mungkin tidak sehangat yang Ibu harapkan, tapi aku tidak akan sekejam itu.” Ucapannya terdengar tajam, seperti tersinggung oleh pertanyaan ibunya.

Imelda terdiam sejenak, matanya berpindah dari Damian ke Annisa. "Baiklah," katanya akhirnya, meskipun perasaan tidak nyaman masih menggantung di benaknya.

Damian memang tidak memperlihatkan tanda-tanda bersalah, tapi sesuatu tetap terasa salah. Annisa diam di tempatnya, menunduk, berusaha menghindari pembicaraan lebih lanjut, dan itu semakin membuat Imelda tak tenang.

“Kalau ada sesuatu, kau harus memberitahu Ibu, Damian,” ucap Imelda, kali ini nadanya sedikit lebih tegas. "Dan Annisa juga, jangan ragu untuk bicara."

Damian hanya mengangguk ringan. “Tentu, Bu. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Damian melirik Annisa sekilas dengan sorot mata tajam, dan Imelda tidak melewatkan momen itu. Meski singkat, tatapan Damian cukup membuat Annisa semakin canggung. Dia menunduk, seolah berusaha menghilang dari pandangan. Rasa kesal jelas terpancar di wajah Damian, meskipun dia tidak mengatakannya secara langsung.

“Aku sudah bilang tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Bu,” kata Damian lebih tegas, suaranya sedikit lebih keras dari sebelumnya, menandakan ketidaksenangan. "Annisa sudah cukup dewasa untuk mengurus dirinya sendiri."

Imelda memperhatikan ketegangan di antara mereka. "Tapi, Damian, aku hanya ingin memastikan. Kalian hidup bersama, dan aku tidak ingin ada yang terluka, baik secara fisik maupun emosional."

Damian mendesah, suaranya dingin dan jelas-jelas kesal. “Ibu terlalu khawatir. Annisa tahu batasannya.” Sekali lagi, tatapan Damian mengarah pada Annisa, kali ini lebih menusuk, seolah memperingatkannya untuk tidak membuat masalah lebih lanjut.

Annisa tetap diam, tangannya yang memegang piring tampak bergetar sedikit, namun ia berusaha menyembunyikannya. "Tidak apa-apa, Bu," ucap Annisa pelan. “Mas Damian benar, saya baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Imelda menghela napas dalam, merasa ada yang salah tapi juga tahu bahwa percakapan ini tidak akan membawa hasil apa-apa jika dilanjutkan.

Namun, sorot kesal Damian dan sikap Annisa yang terlalu menahan diri membuatnya semakin curiga. "Baiklah," kata Imelda akhirnya, meski hatinya masih diliputi keraguan.

Penjaga ketenangan?

Selesai sarapan, Annisa buru-buru naik ke kamarnya untuk bersiap. Dengan cepat dia berganti pakaian dan mengambil ponselnya di atas nakas. Saat Annisa sibuk memeriksa ponselnya untuk memastikan semua dokumen pekerjaan sudah siap, dia merasakan kehadiran Damian di belakangnya.

Dia berbalik dan melihat Damian berdiri di ambang pintu kamar, kedua tangannya terlipat di dada, wajahnya tanpa ekspresi, namun sorot matanya dingin.

Damian tak langsung berbicara, hanya menatap Annisa dari ujung kepala sampai kaki. Annisa yang sedang mengenakan kemeja putih dengan blazer abu-abu, merasa seolah-olah dinilai. Dia tak nyaman, tapi sudah terbiasa dengan sikap Damian yang seperti itu.

“Cepat sekali siap-siapnya. Mau ke mana?” tanya Damian akhirnya, nada suaranya dingin dan datar.

Annisa menahan napas sejenak sebelum menjawab. “Aku harus ke kantor. Ada meeting penting hari ini,” jawabnya sambil memasukkan laptop ke dalam tas.

“Kantor? Lagi-lagi kantor,” Damian mendesis pelan, tapi cukup untuk didengar Annisa. “Apa kau tak pernah berpikir untuk lebih sering di rumah? Clara butuh perhatianmu.”

Annisa tersentak mendengar Clara disebut. Ia menatap Damian sejenak sebelum kembali mengatur barang-barangnya. “Aku selalu ada untuk Clara, Mas. Aku berusaha yang terbaik untuknya, tapi aku juga punya tanggung jawab di kantor,” ucapnya lembut, mencoba tetap tenang meski hatinya teriris oleh sindiran suaminya.

Damian tertawa kecil, tawa yang terdengar lebih seperti ejekan. “Kau selalu punya alasan. Kerja, kerja, kerja. Apa kau benar-benar menikah untuk menjadi istri, atau hanya untuk kariermu itu?” Nada sinis tak bisa disembunyikannya.

Annisa menghentikan gerakannya dan menatap Damian. Ini bukan pertama kalinya Damian meremehkan pekerjaannya, dan setiap kali, Annisa harus menahan sakit di hatinya. Namun kali ini, dia tak bisa menahan untuk tidak membela diri. Meskipun pekerjaan tersebut tidak sebanding dengan Damian yang notabenenya adalah pemilik perusahaan.

“Aku bekerja bukan hanya untuk diriku, Mas. Aku juga berusaha membantu keuangan keluarga. Pekerjaan ini penting bagiku, bukan hanya karena karier, tapi juga untuk kita,” katanya tegas, meski suaranya tetap tenang.

Damian mencibir. “Keluarga? Kau bicara soal keluarga, tapi kau bahkan tak ada saat Clara butuh. Kau hanya datang kalau dia sudah tidur atau terlalu sibuk di kamar. Lagipula, apakah uang yang kuberikan tidak cukup untuk menghidupi mu?”

Annisa mengepalkan tangan di samping tubuhnya, merasakan frustasi mulai memenuhi dirinya. “Aku selalu mencoba menghabiskan waktu dengan Clara, Mas. Tapi kau juga tahu, tidak mudah baginya menerima kehadiranku.”

Damian menatapnya tajam, lalu mendekat beberapa langkah, membuat Annisa sedikit tegang. “Tentu saja tidak mudah. Clara tidak membutuhkan orang asing di rumahnya. Dia butuh ibunya, bukan seseorang yang hanya muncul di waktu senggang.”

Annisa menunduk, rasa bersalah menggerogoti dirinya, meski dia tahu bahwa dia sudah melakukan yang terbaik. Menjadi istri pengganti dan ibu tiri bukanlah hal yang mudah, terutama ketika Damian dan Clara terus-menerus memandangnya sebagai sosok luar.

“Aku tidak pernah mencoba menggantikan Mbak Arum,” ucap Annisa pelan, menahan emosinya agar tidak pecah di depan Damian. “Aku hanya ingin membantu, untukmu dan untuk Clara.”

Damian terdiam sejenak, wajahnya tetap keras. “Kau tidak perlu mencoba. Kau tidak akan pernah bisa menggantikan dia. Jangan lupa posisimu di sini, Annisa.”

Jleb!

Kata-kata itu menohok hati Annisa seperti pisau tajam. Meski sudah menduganya, mendengar langsung dari mulut Damian membuat luka itu terasa semakin dalam. Dia ingin berbicara lebih, menjelaskan bagaimana dia berusaha menjaga semua tetap seimbang—pekerjaan, keluarga, perasaan—tapi dia tahu itu akan sia-sia. Damian sudah memutuskan untuk tidak mendengarnya.

Annisa menarik napas panjang dan berusaha menenangkan diri. “Aku tidak ingin menggantikan siapa pun, Mas. Aku hanya ingin melakukan yang terbaik untuk kita semua.”

Damian menatapnya tajam sebelum mengalihkan pandangan. “Terserah. Kau selalu punya alasan,” katanya dingin.

Dia melangkah pergi, meninggalkan Annisa yang masih berdiri di kamar, terdiam dalam kesunyian setelah konfrontasi itu.

Annisa menunduk, merasa lelah. Dia melihat bayangan dirinya di cermin, wanita yang tampak tegar di luar, tapi di dalam hatinya penuh dengan perasaan yang terpendam. Menghembuskan napas pelan, dia mengambil tas kerjanya dan berjalan keluar.

Di depan pintu, Imelda, ibu mertuanya, muncul dengan pandangan yang penuh arti. Tanpa bicara banyak, Imelda hanya menatapnya sekilas sebelum melangkah pergi, seakan mengerti apa yang baru saja terjadi antara Annisa dan Damian.

Annisa tak ingin memikirkannya lebih lanjut. Dia tahu hari ini akan panjang, dan di kantor, setidaknya dia bisa sejenak melupakan masalah-masalah di rumah. Di sana, di bawah bimbingan Swan, dia bisa menjadi dirinya sendiri, seorang desainer yang diakui, bukan hanya "istri pengganti" yang selalu terjebak dalam bayangan masa lalu.

Annisa membuka pintu dan melangkah keluar, membiarkan udara segar pagi menyapa wajahnya. Hari baru, tantangan baru—baik di rumah maupun di kantor. Tapi dia tahu, tak peduli betapa sulitnya, dia akan terus maju.

Setibanya Annisa di kantor, suasana sibuk sudah terasa. Tim desain sedang bersiap-siap untuk meeting besar hari itu, dan Annisa berjalan cepat menuju ruangannya. Saat dia membuka pintu, seorang pria tinggi berambut pirang dengan senyum lebar segera menyambutnya. Itu Robert, salah satu kolega sekaligus sahabat baiknya di perusahaan.

"Annisa! Tepat waktu seperti biasa," sapa Robert sambil mendekat. "Kau sudah siap untuk meeting besar hari ini?"

Annisa tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa lelahnya setelah percakapan dengan Damian pagi tadi. "Siap, meskipun agak gugup. Swan sangat detail kalau soal proyek kali ini."

Robert tertawa kecil sambil menepuk bahunya dengan ramah. "Itu pasti, Swan memang terkenal perfeksionis. Tapi aku yakin kau bisa menghadapinya. Desainmu selalu jadi andalan, kan?"

Annisa tersenyum lebih lebar kali ini. Robert selalu tahu cara membuatnya merasa lebih baik. "Terima kasih, Robert. Aku memang sudah menyiapkan semuanya, tapi tetap saja, rasanya seperti selalu ada yang kurang."

"Ya, itu wajar. Aku juga merasa seperti itu setiap kali ada proyek besar. Tapi justru di situ tantangannya, kan?" Robert menyandarkan tubuhnya di tepi meja Annisa sambil menatapnya penuh keyakinan. "Lagipula, kalau ada yang kurang, kita bisa mengatasinya bersama. Kau tahu aku selalu siap membantu."

Annisa merasa sedikit lega mendengar itu. "Kau benar, Robert. Kadang aku terlalu fokus pada kekhawatiranku sendiri."

"Yup, dan justru itu yang kadang membuat kita kehilangan perspektif. Kadang aku merasa kau terlalu keras pada dirimu sendiri, Annisa. Kau sudah hebat, kau harus lebih percaya diri," Robert menambahkan dengan nada serius namun tetap santai.

Annisa tertawa kecil, merasa lebih ringan. "Baiklah, aku akan coba lebih santai. Tapi kau harus janji akan membantuku kalau aku mulai panik."

Robert mengangkat tangannya seolah membuat sumpah. "Janji! Aku akan jadi penjaga ketenanganmu hari ini."

Mereka berdua tertawa sebelum Robert kembali ke mejanya, meninggalkan Annisa dengan perasaan sedikit lebih baik. Di balik segala tekanan dan masalah yang dia hadapi di rumah, setidaknya di kantor ini, dia memiliki teman seperti Robert yang selalu mendukung dan memahami posisinya.

Annisa duduk di kursinya, menarik napas dalam, dan bersiap membuka laptopnya. Meeting besar ini adalah kesempatan penting, dan meskipun hatinya masih berat karena hal-hal di rumah, dia tahu bahwa di sini, dia bisa menunjukkan potensinya sebagai desainer yang andal.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!