" Kamu harus mau ya sayang. Papa dan mama memilihkan lelaki yang terbaik untukmu." Bujuk rayu mama Danita. Wanita paruh baya ini, terus mencoba merayu putrinya. Netra matanya terus menatap penuh permohonan. Membuat Lasya bingung dan sungkan.
" Lasya, papa dan mama sudah semakin tua. Keinginan papa dan mama hanya mau kamu segera menikah agar kami bisa mendapatkan cucu." Sambung papa Lasya, Edwin Greyson.
Mata Lasya langsung berkedip-kedip. Tubuhnya langsung terasa berkeringat dingin juga. Jangan tanyakan bagaimana bingung dan gugupnya dia saat ini. Perjodohan seperti ini sama sekali tidak pernah dia sangka.
Dalam benaknya masih menikmati masa-masa bebasnya. Dimana dia bisa bebas bekerja, bebas melakukan apa saja yang dia mau.
" Sya...." panggil mama Danita dengan mengusap lembut punggung tangan Lasya. " Kamu mau ya sayang!" Sambung mama Danita.
Seolah semakin terpojok dan tidak bisa berkutik. Mau tidak mau akhirnya mengangguk pasrah adalah jalan satu-satunya bagi Lasya. Melihat ini mama Danita langsung tersenyum bahagia. Dia langsung menarik putri satu-satunya ini kedalam dekapannya.
" Mama senang kamu memilih ini sayang. Sekarang mama merasa tenang, sebab kamu disana akan terlindungi." Ucap mama Danita dengan lembut dan tenang.
" Baiklah, aku akan menghubungi Hendrik. Aku harus segera mengatakan ini, biar pernikahan kalian segera di tetapkan." Dengan begitu semangat dan antusias, papa Edwin beranjak bangun dari tempat duduknya. Dia lalu melangkah pergi keluar dari kamar Lasya.
••
" Kamu ini apa-apaan sih pa! Kamu main seenaknya menjodoh-jodohkan putra kesayanganku dengan perempuan. Kenapa kamu tidak menanyakan aku lebih dulu? Aku juga berhak lo atas hidup Adrian?" Rutuk mama Frida. Dia kesal bukan main, bagaimana bisa putra kesayangannya di jodohkan dengan perempuan yang sama sekali tidak dia kenal. Padahal dia harus memperhatikan bobot,bibit dan bebet perempuan tersebut. Tidak bisa sembarangan wanita menjadi pendamping putranya. Dia harus menyeleksinya!
" Memangnya kenapa? Aku kenal dengan ayahnya dia. Dia juga putri dari sahabatku, lalu apa salahnya?" Balas papa Hendrik berusaha tetap santai.
" Salahnya kamu tidak rundingan sama aku dulu. Aku tidak mau sembarangan wanita menjadi istri Adrian! Susah payah aku membesarkan dia, dan hal sepenting ini kamu malah tidak menanyakannya padaku?! Enak sekali kamu langsung mengambil keputusan sepihak." Amarah mama Frida. Dia bersedekap dada dengan raut wajah yang memerah menahan kesal.
" Terserah kamu. Kalau kamu tidak setuju, aku akan membatasi fasilitas yang aku berikan untukmu."
" HAH!" Wajah mama Frida sontak menoleh, dia merasa terkejut sekaligus tidak menyangka. Matanya menatap penuh heran suaminya yang pergi begitu saja setelah melayangkan ancaman terhadapnya.
Kepalan tangan erat terlihat begitu kencang, otot-otot besar leher Frida nampak menonjol, terlihat dia sangat kesal dan marah dengan apa yang sudah diucapkan oleh Hendrik.
Benar mabuk.
" Ndri.... hey ndri..." Damian menepuk-nepuk sebelah pipi Andrian, berusaha memanggil temannya ini agar kembali sadar.
" Bagaimana? Dia sadar nggak?" Tanya Jarvis.
Damian lantas menggeleng dengan menoleh menatap Jarvis.
Jarvis berdecak. " Ada apa dengannya? Pasti dia sedang ada masalah." Ucapnya.
" Yah mungkin saja. Lebih baik kita antar saja dia dulu."
Damian dan Jarvis menunduk siap membantu Andrian untuk berdiri. Dengan susah payah, mereka membantu Andrian berjalan.
Mereka terus membawa Andrian hingga di parkiran. Memasukkan tubuh Andrian ke bangku belakang.
" Aku antar dia dulu." Kata Damian.
" Hm, aku pulang duluan kalau begitu."
Damian mengangguk, dia langsung berlari kecil ke arah kursi kemudi. Menyalakan mobilnya dan mebawa pria mabuk itu pulang.
••
Damian memarkirkan mobilnya. Dia berdiri dan memanggil penjaga di rumah Andrian.
" Ya tuan, ada yang bisa saya bantu?"
" Kalian bawa Andrian ke kamarnya. Jangan sampai om dan tante tau." Titah Damian.
Penjaga itu melirik sekilas ke arah kaca mobil, ingin melihat keadaan tuan mereka.
" Dia ada di kursi belakang." Kata Damian yang tau apa yang di pikirkan oleh salah satu penjaga ini.
" Baik tuan, baik."
Damian membuka pintu belakang, disana terlihat Andrian terbaring.
Kedua penjaga itu lantas langsung membantu Andrian, membawanya dengan hati-hati masuk ke dalam rumah mewah nan megah.
Damian menghela napasnya, dia memijat keningnya sebelum masuk ke dalam mobilnya lagi.
••
Malam cepat sekali berganti, kini sang surya sudah menampakkan kegagahannya. Silauan cahaya mulai menembus celah-celah rumah.
Seperti biasa, Lasya sudah bangun terlebih dulu. Sudah menjadi kebiasannya, dia selalu bangun lebih awal dari kemunculan surya.
Dia kini tersenyum bahagia di halaman belakang rumahnya. Menikmati silauan cahaya serta semiliran angin kecil yang menghembus dengan begitu teduhnya.
Senyuman yang merekah indah, menambah kesan kebahagian di pagi hari ini.
Dengan begitu ceria, Lasya menata kebun kecilnya yang selalu dia rawat.
" Nona, ini susu dan camilan anda."
Lasya menoleh ke arah suara, dia lantas mengangguk kecil dengan begitu sopan. " Terimakasih." Ujarnya dengan lembut.
Maid itu membalas anggukan itu, dia lalu berdiri di belakang Lasya dengan jarak jauh.
" ARGH....." Lasya merintih dan langsung menekan jarinya yang tanpa sengaja tertusuk duri. Dia menekan luka itu.
" Nona, anda terluka?" Dengan sangat khawatir maid itu mendekati Lasya. Ikut melihat jari nona-nya yang berdarah.
" Tidak apa-apa, ini hanya luka kecil. Bisa tolong ambilkan aku obat."
" Ya nona, saya akan segera mengambilkan."
Maid itu langsung berlari. Sedangkan Lasya meniup-niupi jarinya, guna meredakan rasa sakit.
•••
" Andrian tunggu." Seru Papa Hendrik. Menghentikan langkah putranya yang ingin pergi.
Andrian berdiri diam memunggungi kedua orang tuanya yang tengah duduk di meja makan ingin melakukan sarapan.
Tanpa berbalik, Andrian masih diam saja.
" Tunggu, papa harus bicara sesuatu denganmu." Sambung papa Hendrik.
Andrian menghela napasnya. Mau tidak mau dia harus berbalik dan duduk di tempat yang sama dan berhadapan dengan sang papa.
" Oke, papa tidak akan buang-buang waktu lagi. Papa rasa kamu sudah tau bukan jika kamu besok lusa akan papa nikahkan dengan putri sahabat papa. Bukankah sebaiknya hari ini kamu cuti dan mempersiapkan fitting baju pengantinmu?" Mandat papa Hendrik.
Andrian tersenyum smirk. " Kenapa aku harus mempersiapkan baju. Bukankah papa yang mau aku menikah! Jadi siapkan saja semua, kurang menurut apalagi aku! Jadi papa jangan pernah lagi memintaku untuk ikut serta dalam mempersiapkan pernikahan ini, aku sama sekali tidak mau!"
Andrian langsung berdiri dan pergi.
" Andrian, kamu harus mempersiapkan bajumu." Seru Papa Hendrik. Namun seruannya ini sama sekali tidak digubris oleh sang putra.
Papa Hendrik mendengus kasar. Dia menggenggam sendoknya ini dengan erat.
" Lebih baik kamu batalkan saja pernikahan ini. Kamu sudah lihatkan, Andrian sudah sangat jelas kesal dan tidak terima dengan perjodohan ini. Lagian dia sudah besar....."
" Diam." Papa Hendrik langsung memotong ucapan istrinya.
" Apaan sih pa. Aku bicara fakta ya, kamu harusnya dengar aku, lebih baik batalkan saja." Mama Frida belum menyerah.
" Aku bilang diam ya diam. Seharusnya kamu bujuk Andrian untuk patuh dengan apa yang aku katakan. Pantas saja dia tidak menurut, jika kamu saja seperti ini."
Mata mama Frida seketika membelalak. " PA! Kenapa kamu jadi menyalahkan aku dan Andrian." Ujarnya dengan nada yang naik satu oktaf.
" Lebih baik kamu diam dan makan. Aku harus ke kantor pagi." Balas Papa Hendrik.
Mama Ida berdecak kesal, dia memulai sarapannya serta pagi harinya dengan tidak semenyenagkan biasanya.
Belum juga di panggil, wanita itu sudah mengetuk pintu di ruangan Andrian. Andrian dan Salsa lantas memperhatikan ke arah sana.
" Hallo Andrian." Sapanya dengan senyuman yang merekah.
" Nona, anda belum dipersilahkan masuk." Cegah Salsa.
" Aku rasa, aku tidak perlu membutuhkan ijin dari Andrian. Dia pasti mengijinkanku kok." Jawabnya dengan sangat percaya diri. Dia bahkan tanpa rasa malu dia mengedipkan sebelah matanya.
Salsa yang melihat ini merasa takut. Dia was-was Andrian akan marah karena wanita ini lancang masuk.
" Salsa, tinggalkan kami berdua."
" Hah!! Baik, baik tuan." Salsa mengangguk hormat, dia lantas pergi darisana dan menutup pintunya.
Bianka seketika merasa bahagia, dia melangkah maju semakin dekat kearah mantan kekasihnya itu.
" Hallo Andrian. Bagaimana kabarmu, aku lihat kamu semakin tampan." Ujarnya setelah meletakkan tas limited edition-nya ke meja kerja Andrian.
" Kenapa kamu diam saja, hmm? Kamu masih marah ya denganku?"
Pantang menyerah, Bianka langsung menggoda Andrian demi meraih perhatiannya lagi. Diusapnya bahu kekar Andrian dengan begitu manja, bahkan tanpa rasa malu Bianka duduk di pangkuan mantannya.
" Kenapa kamu kembali." Terdengar ketus dengan tidak mengenakan. Tapi Andrian berkata demikian.
" Ck, ayolah Andrian. Jangan marah terus. Bukannya kamu tau alasan aku kesana. Ya aku salah, aku tau. Aku minta maaf." Kata Bianka dengan mengalungkan kedua tangannya di leher Andrian.
" Maafin aku ya. Aku salah, tapi aku lakuin itu kan demi cita-cita aku." Sambung Bianka dengan nada yang manja.
Tapi bagaimana reaksi Andrian? Ternyata dia hanya diam saja, bahkan dia sama sekali belum melihat Bianka saat wanita itu berada di atas pangkuannya.
Bianka mulai jengah, dia berdecak dan sedikit kesal. " Ck, ayolah Andrian. Stop marahnya, aku sudah balikkan! Terus kenapa kamu masih saja marah. Aku sekarang ada disini, disamping kamu lo!" Oceh Bianka.
Diraihnya dagu orang yang sangat dia rindukan. Membuat Andrian mau tidak mau menatap ke arah Bianka.
Bianka tersenyum manis, wajahnya kini semakin menunduk. Tanpa rasa malu dia mengecup bibir Andrian.
••
Lasya saat ini sedang bekerja. Dia yang bekerja sebagai sekretaris ayahnya sendiri tidak pernah membuka jati dirinya di depan pegawai lain. Bukan kehendak papa-nya, melainkan ini keputusannya sendiri.
" Papa, ini ada beberapa dokumen yang harus papa tanda tangani." Lasya menyerahkan beberapa dokumen ke depan papa Edwin.
Papa Edwin menatap putrinya sesaat. " Duduklah, papa ingin bicara."
Lasya menurut, tanpa ekspresi bingung atau ekspresi apapun, dia duduk di kursi depan papa sekaligus atasannya. " Ada apa pa? Papa ingin bicara apa?"
Papa Edwin membisu beberapa detik. Membuat Lasya yang melihatnya menjadi bertanya-tanya sendiri.
" Pa?" Panggilnya.
" Ya, papa dengar." Jawab papa Edwin.
" Papa mau bicara apa? Kenapa papa tiba-tiba diam?"
Papa Edwin meyakinkan dirinya sendiri. Dia kini berani bertanya. " Papa cuma mau bilang. Bukannya hari ini kamu harus mempersiapkan baju pengantin? Kenapa kamu masih disini dan bekerja?"
Bibir Lasya seketika bungkam. Pupil matanya seketika menatap bawah.
" Apa kamu keberatan dengan perjodohan ini? Papa bertanya bersungguh-sungguh?" Sambung papa Edwin.
Jari-jemari Lasya saling meremat, ingin menjawab jujur. ' Kalau aku bilang iya, pasti papa akan sakit hati. Aku sebagai anak sebaiknya menurut saja. Aku yakin papa menjodohkan aku dengan pria yang sangat baik.' Gumamnya dalam hatinya.
" Aku tidak keberatan kok pa!" Kilah Lasya. Demi meyakinkan ucapannya dia mengatakan ini dengan senyuman yang melengkung indah.
Papa Edwin seketika berbinar. Lega sudah hatinya ketika putrinya menerima dengan senang hati jodoh yang sudah dia tetapkan.
" Kalau begitu lebih baik kamu datang ke Fabric charm beautique. Buatlah pakaianmu sesukamu, papa mau kamu tampil cantik dan anggun di pelaminanmu."
" Baik pa. Tapi bagaimana dengan pekerjaanku pa? Aku masih banyak pekerjaan disini?" Balas Lasya.
" Jangan pikirkan pekerjaan. Papa bisa menghandle-nya."
" Baiklah kalau begitu. Aku akan ke butik."
" Ya, berhati-hatilah. Tampillah membanggakan sebagai putri papa." Kata Papa Edwin dengan mata yang berbinar-binar.
Lasya yang melihat ini langsung mengangguk seolah dia sangat yakin.
••
Lasya berdiri di depan butik yang akan membantunya menyiapkan baju pengantin. Jantung Lasya rasanya berpacu dengan cepat, debaran kencang ini bahkan terasa membuat tubuhnya bergetar juga.
' Huufft...'
Lasya mengatur napasnya, menetralkan dirinya agar lebih tenang. Di lihatnya jam yang ada di ponsel, waktu sudah berputar ke arah angka 10.
" Hari ini aku dan dia akan bertemu, ini pertama kali pertemuan antara aku dan dia. Kira-kira dia sudah datang apa belum ya?" Lasya menipiskan bibirnya, menatap area dalam seakan mencari sosok pria calon suaminya.
" Nona.."
Lasya sedikit terkejut saat tiba-tiba seorang wanita memanggilnya dan mendekat ke arahnya dengan senyuman yang merekah.
" Nona kenapa anda masih ada di sini. Mari kita masuk ke dalam.
" Ehm apa pria itu sudah ada di dalam?"
Starla menaikkan kedua alisnya secara bersama. Lasya yang melihat ekspresi itu buru-buru meralat ucapannya.
" Maaf-maaf, maksutku calon suami ku apa sudah datang?"
" Ooh..." Starla manggut-manggut paham. " Calon suami anda belum datang. Tapi akan lebih baik jika kita menunggunya di dalam." Balas Starla.
' Sudah jam segini dia belum datang? Apa dia tidak akan datang ya?' Lasya mulai overthinking.
" Mari nona, cuaca di luar sudah mulai panas lo."
" Ah iya ayo."
Lasya dan Starla masuk bersama-sama ke arah butik ternama ini. Lasya memandang takjub koleksi baju serta gaun yang terpajang dengan sangat menawan.
" Anda bisa melihat-lihatnya dulu, ini semua adalah rancangan saya. Hanya ada beberapa yang saya buat. Karena saya menginginkan karya saya tidak terlalu pasaran di luar. Saya hanya menargetkan orang-orang khusus." Jelas Starla dengan memegang salah satu gaun berwarna hitam dengan tali spageti.
Lasya manggut-manggut. Dia ikut memegang gaun yang mencuri perhatiannya.
" Silahkan anda lihat-lihat dulu, untuk koleksi gaun pengantin ada di sebelah sana. Jika ingin melihat lebih lengkapnya, pramuniaga saya akan memberikan katalog."
" Iya, aku ingin lihat-lihat di sini dulu. Nanti aku akan kesana." Jawab Lasya.
Starla tersenyum dan mengangguk. " Baiklah."
Sudah satu jam lebih lamanya Lasya menunggu di sini. Dia sudah mulai merasa bosan dan lelah. Dua gelas minuman sudah dia habiskan demi menunggu sang calon suaminya.
" Anda mau minum lagi nona?" Tawar pramuniaga yang sudah membawa nampan di tangannya.
Malu, Lasya sungguh malu. Ketidak datangan calon suaminya ini bak sebuah aib.
" Tidak perlu, lebih baik aku langsung mencoba baju pengantin saja." Jawab Lasya.
" Tapi calon suami anda belum tiba."
" Tidak apa-apa. Aku baru saja menelponnya, dia mengatakan tidak bisa datang karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan."
" Baiklah, anda sudah memilih gaun yang anda suka?"
Lasya mengangguk. " Iya, aku memilih gaun yang ini. Menurutmu apa bagus?" Ya setidaknya ada pramuniaga yang bisa dia tanyai.
" Ini sangat bagus dan cantik nona." Jawab Pramuniaga ini dengan senyuman yang tertarik di wajahnya.
" Kamu yakin? Aku membutuhkan kejujuranmu." Ucap Lasya.
" Benar nona. Saya sangat yakin anda pasti akan sangat cantik dan memukau saat memakainya."
Lasya nampang menimbang-nimbang lagi pilihannya. Dia menatap gambar gaun ini.
" Baik aku percaya. Tolong ambilkan gaun ini ya, aku ingin mencobanya."
" Baik nona. Anda tunggu saja disini saya akan mengambilkan gaun yang anda minta."
" Iya."
Pramuniaga itu pergi meninggalkan Lasya sendirian di sofa hanya ditemani minuman dan kukis.
Lasya menatap ponselnya. Ingin sekali dia menghubungi papanya untuk sekedar bercurhat, namun jelas saja dia tidak akan melakukan hal itu. Dia tidak akan membuat papanya bersedih dan merasa bersalah, toh wajar saja jika pria itu tidak datang. Mungkin saja pekerjaan sedang diurusnya.
" Nona ini lihatlah gaun pengantin yang anda pilih."
Lasya menatap penuh pesona gaun yang terlihat lebih cantik dari gambar. Gaun ini benar-benar cantik. Gaun Full sparkly ini terlihat sangat-sangat mewah. Bahkan mungkin bintang saja dikalahkan oleh gaun ini.
" Bagaimana nona! Sudah saya duga anda pasti akan terpesona dengan gaun ini."
Lasya lalu mengangguk. " Ini benar-benar sangat cantik. Bisa aku mencobanya sekarang?"
" Tentu saja. Mari saya antarkan anda ke ruang ganti."
••
Lasya menatap foto dirinya saat menggenakan gaun tadi. Dia senyum-senyum sendiri, tidak sabar ingin memakainya di hari pernikahan nanti. Ya walaupun dia belum pernah bertemu dengan calon suaminya, tapi ia sangat yakin jika pilihan papanya tidak akan pernah salah.
" Lebih baik aku pergi ke salon kecantikan dulu. Besok adalah hari sakral untukku, aku harus merawat tubuhku dengan sangat baik."
Lasya memutar setir mobilnya menuju sebuah salon langganannya.
Rasa bosan yang melanda membuatnya memutuskan untuk menyalakan sebuah musik.
Lantunan musik terdengar mulai berbunyi. Alunan-alunan nyanyian yang terasa merasuk ke jiwa mengambil alih ke fokusan Lasya.
Tanpa dia sadari, mobil yang berlawanan arah dengannya juga melaju hampir menyentuh garis tengah, begitu pula dengan Lasya.
Tiiiiinnnn....
" ARGH..." Lasya yang sangat terkejut bukannya membanting setirnya ke kiri malah membantingnya ke sisi kanan.
BRAKKK...
Tabrakan pun tak terindarkan. Kepala Lasya membentur dengan sangat kerasnya ke depan. Untung saja double airbag di mobilnya ini berfungsi dengan sangat baik.
' hah hah hah,' Dadanya bergerak naik turun, tubuhnya seketika tremor akibat kecelakaan ini.
" Tuan, anda tidak apa-apa?" Bastian membalikkan tubuhnya ke belakang mengecek keadaan Andrian.
" Jangan lepaskan dia. Bawa dia ke kantor polisi." Perintah Andrian dengan wajah merah padam.
" Baik tuan." Bastian melepaskan seat bell, bergegas keluar menghampiri mobil yang menjadi penyebab kecelakaan ini.
Tok..
Tok...
" Keluar kamu." Seru Bastian dengan memukul-mukul kaca pintu mobil Lasya.
Lasya seketika gugup bukan main, dia kebingungan sekarang.
" Cepat keluar." Seru Bastian lagi.
" Bagaimana ini? Bagaimana kalau dia marah?" Lasya mengigit ujung kukunya. Dia mencoba berpikir tapi otaknya sama sekali tidak bisa bekerja.
" KELUAR." Seru Bastian dengan suara lebih kencang. Lasya sampai-sampai berjenggit kaget, dia lalu menekan tombol di pinggiran pintu dan membuat kaca pintu mobil itu perlahan terbuka.
" Ma-maaf aku tidak sengaja." Ujar Lasya dengan wajah yang pucat.
" Keluar." Seru Bastian dengan tangan yang menunjuk ke arah Lasya.
" Cepat keluar."
" iya-iya aku keluar." Dengan ketakutan yang memenuhi dirinya Lasya berusaha untuk keluar.
Dia menunduk takut. Meremat bajunya sebagai pelampiasan rasa yang melandanya.
" Kalau tidak bisa nyetir lebih baik jangan nyetir. Kamu tau, kamu membuat atasanku terluka." Amuk Bastian.
" Ma-maaf, aku tidak sengaja." Balas Lasya dengan bibir gemetar.
" Aku tidak mau tau. Kamu harus di tangkap polisi."
Mata Lasya langsung membulat. Dia menggeleng keras. " Tolong, tolong jangan penjarakan aku. Tolong kasihani aku, aku... aku besok harus menikah." Ucap Lasya dengan mengatupkan kedua tangannya.
" Apa urusannya denganku. Salah tetap salah, kamu hanya mau mencoba lari dari hukuman bukan." Tuduh Bastian.
" Tidak, aku tidak berbohong. Aku benar-benar harus menikah besok. Tolong lepaskan aku, aku akan menanggung semua kerusakan mobil mu dan biaya perawatan lukamu." Ujar Lasya mencoba bernegosiasi.
Bastian berdecih mendengar ini. Karena saking kesalnya seluruh kancing jasnya dia buka.
" Kamu kira atasanku tidak punya uang untuk memperbaiki ini. Dia sangat mampu sangat-sangat mampu." Balas Bastian dengan menunjuk-nunjuk ke arah Lasya.
" Kalau begitu biarkan aku meminta maaf kepada atasanmu, aku akan meminta maaf kepadanya. Kalau perlu aku mau jika harus bersujud di depannya asal dia membebaskanku."
Bastian menungkikkan sebelah alisnya. " Baik kamu tunggu sebentar. Aku akan mengatakannya kepada atasanku."
Lasya manggut-manggut. " Iya tolong katakan padanya. Tolong katakan padanya jika aku besok harus menikah." Pinta Lasya.
Bastian kembali berjalan kearah mobil. Dia terlihat mengatakan sesuatu kepada seseorang yang ada di dalam.
Semua itu tak luput dari tatapan Lasya. Dalam hatinya dia berdoa agar atasan pria itu mau membebaskannya tanpa syarat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!