Pesawat yang ditumpangi Danton Aldian, tiba di bandara Adi Sucipto, Yogyakarta. Dua tahun berlalu, akhirnya Aldian bisa menghirup kembali udara kota Yogyakarta yang lumayan berkeringat jika berada di bawah terik matahari.
Atas permintaan kedua orang tuanya, Aldian terbang ke kota gudeg, kota di mana kedua orang tuanya kini tinggal dan menetap di sana.
Aldian berjalan tegak layaknya model catwalk. Sesekali tangannya memainkan ponsel pintarnya guna membalas pesan WA dari sang mama.
"Dughhhh."
Sebuah insiden tabrakan antara dua tubuh manusia tidak bisa terelakkan lagi. Hampir saja ponsel Aldian terhempas begitu saja setelah sempat terlepas dari genggaman tangannya. Nasib baik Aldian segera menangkapnya, sehingga ponselnya tidak jatuh.
"Maaf," ucap Aldian. Akan tetapi perempuan muda sekitar 25 tahun itu hanya menoleh sekilas lalu pergi terburu-buru seperti sedang ada yang dikejar.
"Gadis itu, seperti kenal," gumam Aldian sembari membalikkan badan kembali dan berjalan lurus keluar pintu bandara. Ia sudah memesan grab yang sebentar lagi akan sampai.
Beberapa saat kemudian, grab yang ditunggu Aldian tiba. Aldian segera menaiki grab dengan tujuan perumahan di sekitar Wirobrajan, Yogyakarta.
Hanya kurang lebih 20 menit, Aldian tiba di depan sebuah rumah yang lumayan mewah. Di sinilah tempat tinggal kedua orang tua Aldian beserta Alda sang adik. Alda kembali ke Yogyakarta setelah ia diterima kuliah di UGM.
"Kakakkkk," pekikan suara sambutan Alda membuat seisi rumah terkejut sekaligus kaget setelah mereka melihat siapa yanga datang.
***
Sementara itu gadis muda yang bertabrakan dengan Aldian tadi, kini berlari kecil mengejar seorang pria yang diduga kekasihnya.
Air mata mulai merembet di pipi mulusnya, ia butuh penjelasan dari pria yang sudah kurang lebih dua tahun ini menjadi kekasihnya. Kenapa tiba-tiba pria yang menurutnya romantis itu, memutuskan tali kasih diantara mereka tanpa alasan yang jelas.
"Mas, Mas Ardian. Tunggu. Aku butuh penjelasan darimu. Kenapa kamu putuskan tali kasih kita, Mas? Padahal aku sudah siap menikah denganmu. Katakan, alasan apa yang membuat kamu memutuskan hubungan kita ini?" Haliza meminta penjelasan dengan derai air mata.
Lelaki berusia 30 tahun itu menatap iba ketika air mata Haliza berderai membasahi pipi, tapi karena ada hal lain yang lebih menarik dalam dirinya, tangisan Haliza tidak lagi penting dan peduli baginya.
"Maafkan aku, aku harus pergi. Pesawat tujuanku sudah memanggil," alasannya sembari berdiri. Sebelum kakinya melangkah, bunyi ponsel lelaki bernama Ardian itu terdengar nyaring. Ardian segera mengangkat panggilan itu.
"Iya, Sayang. Sebentar lagi aku naik pesawat."
Kalimat mesra yang baru saja didengar Haliza sungguh menyentak Haliza, tubuhnya tiba-tiba lemas tidak berdaya. Perasaan sedih dan sakit hati muncul bersamaan ketika Ardian melangkahkan kaki tanpa lagi menoleh padanya.
"Mas Ardian, tunggu Mas. Kasih aku penjelasan!" pekik Haliza sembari menatap kepergian Ardian dengan nanar. Haliza ingin mengejar, akan tetapi Ardian sudah memasuki koridor menuju pesawat dengan tujuan Bali.
"Sayang? Siapa yang Mas Ardian panggil sayang itu, apakah perempuan selingkuhannya? Apakah Mas Ardian tega memutuskan hubungan ini karena ada wanita lain?" gumam Haliza sedih. Sejenak Haliza duduk di kursi ruang tunggu di bandara itu untuk mengumpulkan kembali tenaganya yang tadi tiba-tiba lemah saat mendengar Ardian memanggil kata sayang pada lawan bicaranya di telpon.
Beberapa jam sebelum berangkat ke bandara, Haliza tiba-tiba saja dikejutkan oleh kabar dari kedua orang tuanya yang ingin menjodohkan dirinya dengan anak tetangganya. Katanya dia seorang abdi negara berpangkat perwira menengah yang berdinas di salah satu kota kecil di Jawa Barat.
Haliza kurang begitu kenal dengan satu per satu tetangga atau anak tetangga sahabat dekat dari mamanya itu. Sebab ia memang jarang bergaul dengan tetangga di komplek perumahan tempatnya tinggal.
Mendengar rencana perjodohan yang digembar-gemborkan kedua orang tuanya, Haliza sama sekali tidak tertarik. Terlebih yang akan dijodohkannya adalah seorang abdi negara. Meskipun berpangkat perwira menengah, Haliza tidak tertarik dengan pria dari kalangan abdi negara. Menurutnya lelaki abdi negara bukan tipenya. Baginya pria-pria abdi negara hanya menang di seragam dan tubuh atletis saja, mengenai gaji, tentu saja terbatas sesuai pangkat dan jabatannya. Itu sebabnya Haliza tidak pernah tertarik dengan pria abdi negara, sekalipun pria itu tampan.
"Tidak! Liza tidak mau dijodohkan dengan lelaki tentara manapun dengan pangkat apapun. Lagipula Mama dan Papa tahu, bukan, kalau Liza tidak suka sama abdi negara? Selain gajinya kecil, mereka juga terancam ditugaskan di wilayah konflik yang sewaktu-waktu bisa meninggalkan anak dan istrinya berbulan-bulan di hutan. Belum lagi kalau yang tidak setia, bisa saja mereka di sana mencari perempuan lain untuk pelampiasan sepi mereka," tolak Haliza menggebu-gebu membuat kedua orang tua Haliza geleng-geleng kepala.
"Sabar dulu, jangan terlalu berprasangka buruk tentang abdi negara yang akan mama dan papa jodohkan dengan kamu. Lagipula tidak semua abdi negara seperti itu. Dia berjauhan dengan anak dan istrinya, lalu di sana mencari perempuan lain untuk pelampiasan. Kamu salah besar, Nak. Jangan menyamaratakan abdi negara seperti itu. Mereka jauh-jauh ditugaskan di wilayah konflik lalu di sana senang-senang mencari perempuan. Mereka bertugas, bukan mencari perempuan untuk pelampiasan," sangkal Pak Hasan papanya Haliza sembari menggelengkan kepala, tanda tidak setuju dengan tudingan sang anak.
"Papa juga abdi negara, dan papa pernah ditugaskan di Papua, tapi papa tetap setia dengan mama kamu. Meskipun gaji abdi negara menurutmu kecil, tapi buktinya papa masih bisa menyekolahkan kamu dan kakakmu sampai jenjang Sarjana," lanjut Pak Hasan lagi diangguki Bu Hana sang istri.
Haliza menunduk malu dengan perkataan sang papa barusan. Benar saja, sang papa juga seorang tentara yang sampai hari ini masih setia dan romantis terhadap mamanya. Meskipun Pak Hasan seorang tentara, tapi memperlakukan Bu Hana begitu lembut dan manis.
"Kamu jangan terlalu terobsesi dengan pria pengusaha itu. Buktinya, dia memutuskan hubungan denganmu begitu saja tanpa alasan yang jelas. Bisa saja dia pergi meninggalkanmu, justru ada perempuan lain. Bukan begitu, Pak?" timbrung Bu Hana mengeluarkan pendapatnya tentang pria mantan kekasih Haliza yang sudah beberapa hari diketahui memutuskan hubungan dengan sang anak tanpa alasan yang jelas.
"Tidak, Mas Ardian tidak mungkin menduakan Liza, dia pria setia. Dia memutuskan hubungan karena sikap Mama dan Papa yang kurang ramah padanya," tepis Haliza lagi seraya berlalu meninggalkan kedua orang tuanya yang bengong.
"Haliza, jangan pergi dulu. Kami bersikap tidak ramah sama Ardian karena ada alasan. Kami pernah melihat laki-laki itu mesra dengan seorang perempuan," ujar Pak Hasan sedikit berteriak supaya bisa didengar Haliza.
Haliza tergugu, bayang-bayang kejadian tadi sebelum pergi ke bandara demi mengejar sang kekasih guna meminta penjelasan dari Ardian, kini masih terbayang-bayang.
Tentang ucapan sang papa yang mengatakan bahwa Ardian pernah terlihat kepergok mesra dengan perempuan lain, menjadi penyebab kedua orang tuanya bersikap kurang ramah pada Ardian. Itulah sebabnya Haliza menyusul Ardian ke bandara untuk meminta penjelasan dari lelaki yang sudah dicintainya selama dua tahun belakangan ini.
Sebelumnya Haliza mencari info lwat teman dekat Ardian, di manakah Ardian? Dan ternyata Haliza mendapat info kalau Ardian sedang akan melakukan perjalanan udara ke pulau Dewata. Itu sebabnya Haliza sampai menyusul Ardian ke bandara untuk meminta penjelasan, kenapa Ardian memutuskan hubungan dengannya, apakah ada perempuan lain?
Dering ponsel milik Haliza berbunyi nyaring, Haliza segera mengangkatnya.
"Segera pulang ke rumah. Ada sesuatu yang lebih penting daripada mengejar penjelasan dari lelaki pengkhianat itu," ultimatum sang papa yang tidak mungkin dibantah Haliza lagi.
Terpaksa Haliza kembali ke rumah, setelah dengan nada marah sang papa menghubunginya dan menyuruhnya pulang. Rasa kecewa itu kian bertambah, setelah di bandara, Haliza tidak mendapatkan penjelasan dari Ardian, kenapa dia memutuskan tali kasih diantara mereka. Padahal Ardian sempat membicarakan keseriusannya untuk membawa hubungan itu ke jenjang pernikahan.
"Aku belum menemukan jawaban atas sikapmu itu, Mas. Sebelum aku mendapatkan jawaban itu, maka hidupku tidak akan merasa tenang. Apa salahku, Mas, sehingga kamu melukai perasaanku?" Sepanjang jalan Haliza meneteskan air mata, mengingat hubungannya bersama kekasih kandas begitu saja.
Tiba di rumah, kedatangannya sudah disambut oleh kedua orang tuanya.
"Akhirnya kamu pulang Liza. Siapkan diri kamu, nanti malam sehabis Isya, keluarga calon suami kamu akan datang kemari untuk melamarmu." Pak Hasan langsung mengatakan inti dari topik pembicaraan, sehingga membuat Haliza terbelalak tidak percaya.
"Apakah Papa tidak salah, secepat itu Liza dijodohkan? Liza tidak mau, apalagi dengan abdi negara yang Mama dan Papa ceritakan tadi siang." Haliza langsung menolaknya mentah-mentah, dia tidak terima jika dirinya dijodohkan dengan seorang abdi negara.
"Kamu pasti nanti akan menyukainya setelah tahu siapa dia," ujar Bu Hana merasa yakin kalau sang anak akan suka jika nanti melihat siapa calon suaminya.
"Tidak, Liza tidak akan suka. Setampan apapun dia." Masih dengan tampikannya, Haliza bergegas menuju kamarnya di lantai dua dengan kaki dihentak, menandakan dia sangat kecewa.
Hanin sang kakak yang kebetulan datang bersama anak dan suaminya, dengan pengertian mengikuti sang adik semata wayangnya. Dalam kondisi seperti ini, ia harus bisa memberikan rasa nyaman dan support.
"Mbak boleh masuk?" Tanpa menunggu diijinkan, Hanin sudah memasuki kamar sang adik, Hanin duduk di tepi ranjang di samping Haliza yang terlihat sangat kalut.
Hanin meraih bahu sang adik untuk sekedar memberi kekuatan.
"Mbakkk," sedihnya. Tanpa dikomando Haliza memeluk Hanin sembari menangis. Untuk beberapa saat Hanin membiarkan sang adik menangis untuk menumpahkan segala perasaan dongkol dan unek-unek di dalam dadanya.
Sepuluh menit kemudian, tangisan itu berubah isak. Hanin melerai pelukan sang adik lalu meraih kedua bahunya yang diarahkan menghadapnya. Hanin menatap sang adik dalam, mencoba memberi kekuatan dan semangat.
"Mbak, aku nggak mau dijodohkan dengan lelaki itu. Aku tidak suka abdi negara, demi apapun aku tidak suka. Meskipun papa dan suami Mbak seorang abdi negara, tolong jangan tularkan hal itu ke aku. Aku tidak mau, papa justru seolah-olah punya obsesi kalau anak perempuannya harus menikah sama Tentara, mentang-mentang papa seorang tentara," rajuknya masih terisak.
Hanin menggeleng, dia tidak setuju dengan ucapan sang adik. Papanya tidak seperti itu, dan tidak berobsesi kalau anak-anak perempuannya harus nikah sama tentara.
"Nggak, papa nggak begitu. Contohnya Mbak. Mbak dapat Mas Daffi bukan karena papa. Mbak justru dapat sendiri. Awalnya mbak juga kurang suka, tapi karena mas Daffi sangat baik dan perhatian akhirnya mbak menyukai dia dan tidak lama dari itu kami menikah tanpa mengenal pacaran lama," terang Hanin menceritakan awal mula dirinya menikah dengan Daffi yang notabene seorang tentara juga.
"Jadi, buang pikiran buruk kamu seperti itu tentang papa maupun tentang anggota TNI. Yang jelas tidak semua anggota TNI buruk. Di setiap lini kehidupan, entah pekerjaannya apa dan pangkatnya apa, semua sama. Ada sisi baik juga ada sisi buruk."
"Tapi, aku tetap nggak mau dijodohkan dengan lelaki itu. Lagipula aku masih belum bisa melupakan Mas Ardian. Dia belum memberi penjelasan kenapa dia pergi dan memutuskan hubungan kami," sergah Haliza lagi menunjukkan keengganannya.
"Kamu harus move on dari laki-laki itu, sebab dia tidak baik. Benar apa yang pernah mama dan papa bilang, kalau Ardian itu memang pernah kepergok jalan dengan seorang perempuan sangat mesra. Bahkan mbak juga pernah melihat dia keluar hotel bersama perempuan seumuran kamu saat mbak dan Mas Daffi keluar kota." Hanin mencoba menjelaskan kenapa Ardian memutuskan hubungan dengan sang adik.
"Kalau memang mas Ardian pernah kepergok keluar dari hotel bersama seorang perempuan, kenapa Mbak tidak memberitahu waktu itu, kenapa baru sekarang Mbak katakan?" cecar Haliza kecewa.
"Mbak, sudah pernah katakan sama kamu. Tapi saat itu kamu seakan tidak mau dengar mbak. Kamu marah dan bilang kalau mbak ngada-ngada. Tentu kamu masih ingat bukan mbak pernah cerita tapi kamu marah?" Hanin mencoba mengingatkan Haliza kembali terkait info tentang Ardian yang saat itu ditolak mentah-mentah oleh sang adik.
Haliza sejenak berpikir mengingat kembali apa yang pernah kakaknya katakan dulu. Haliza geleng kepala lalu meremas rambutnya, saat itu dirinya tidak percaya dengan apa yang pernah Hanin sampaikan padanya tentang Ardian yang kedapatan keluar dari sebuah hotel dengan seorang perempuan seumuran dengannya.
"Jalani dulu perjodohan ini, dia lelaki yang baik dan sopan sama orang tua. Bahkan dia juga memiliki seorang adik perempuan yang sangat dia sayang. Jadi, menurut mbak, lelaki itu tidak akan buruk untukmu, meskipun kamu tidak menyukainya," bujuk Hanin sebelum dia mengakhiri keberadaan dirinya di kamar sang adik.
Sekuat apapun Haliza menolak, pada akhirnya sebuah pertemuan itu terjadi juga. Keluarga pria yang ingin melamar Haliza, malam itu benar-benar datang. Rumah mereka yang sebetulnya bertetangga masih di komplek yang sama, hanya beda gang saja, membuat kedatangan mereka menjadi lebih mudah karena dekat.
Sedangkan Haliza, meskipun pria tentara yang akan melamarnya itu dikatakan sebagai tetangga di komplek perumahan yang sama, tapi dia sama sekali tidak mengenal sosok pria itu.
Berbalut gaun long dress berwarna krem, Haliza tampil sangat cantik dan elegan. Hanin sang kakak yang merias wajah Haliza tadi, sampai Haliza terlihat sangat cantik. Pada dasarnya Haliza memang cantik dan anggun.
Haliza menunduk sampai tamu yang akan melamarnya tiba. Pak Hasan dan Bu Hana menyambut kedatangan tamunya dengan ramah dan istimewa.
"Silahkan, calon besan dan mantu," sambut Pak Hasan ditimbrungi Bu Hana. Sepertinya antara dua keluarga itu sudah sama-sama saling kenal dekat, sebab dari obrolan mereka sudah tidak canggung lagi.
Hanin menghampiri Haliza supaya menghampiri ruang tamu dan menyambut calon mertua dan calon suami.
"Ini hanya baru sebatas pembicaraan, kan Mbak? Tapi kenapa justru seperti sebuah lamaran?" kaget Haliza tidak mengerti.
"Hampiri dulu mereka, ini perintah papa." Hanin meraih lengan Haliza lalu dibawanya menuju ruang tamu.
"Itu anak saya. Dia memang sedikit pemalu. Dunianya hanya habis dengan bekerja dan bekerja. Jadi, tidak sempat untuk bergaul di komplek perumahan ini," tutur Bu Hana memperkenalkan Haliza pada calon besannya.
Aldian yang berada di samping papanya sekilas menatap ke arah Haliza yang menunduk.
"Tidak salah lagi, gadis yang di bandara siang tadi. Pantas saja aku merasa kenal, rupanya dia Haliza. Cantik juga sih, tapi apakah dia sebaik Halwa cinta masa kecilku?" Aldian membatin sembari dengan sekilas membayangkan sosok Halwa yang dia kagumi.
"Silahkan Nak Aldian, kami persilahkan. Apa maksud dan tujuan Nak Aldian beserta mama dan papanya datang ke gubug kami," ucap Pak Diki merendah.
Haliza mendongak, ia terkesiap saat sang papa menyebutkan sebuah nama yang justru mengingatkan dirinya pada sosok pria yang sudah menorehkan luka di hatinya.
"Aldian? Kenapa namanya hampir mirip?" batinnya kaget.
Entah kenapa lamaran itu tidak mendapatkan penolakan, meskipun hati Haliza menentangnya. Haliza hanya duduk menunduk dengan wajah yang muram, sembari sesekali berkata iya dan iya.
Melihat Haliza hanya duduk diam dan tidak banyak bicara, Aldian menyimpulkan kalau Haliza menerima perjodohan ini dengan ikhlas dan suka cita. Mengenai wajahnya yang muram, Aldian menilai kalau Haliza sedang merasakan rasa canggung dan malu.
Akhirnya diputuskan, bahwa pernikahan mereka akan digelar sebulan kemudian. Sama halnya dengan keputusan tanggal pernikahan, Haliza sama sekali tidak menolak atau merasa keberatan.
Kedua belah pihak antara calon besan memutuskan untuk menyiapkan segalanya. Calon pengantin tidak diijinkan sibuk memikirkan persiapan menjelang hari H, kecuali fitting baju pengantin.
Sementara Aldian memutuskan kembali ke kota tempatnya berdinas, sebab ia harus melakukan pengajuan nikah juga di kantornya sebagai syarat-syarat naik pelaminan, supaya pernikahan mereka tercatat di kantor catatan sipil, sah secara hukum agama dan negara.
Sehari sebelum Aldian kembali ke kota Lembang, Haliza meminta Aldian untuk bertemu. Hal ini terpaksa ia lakukan, karena ada sesuatu yang harus Haliza sampaikan kepada Aldian terkait perjodohan ini.
"Aku minta waktu sebentar. Mengenai perjodohan itu, bukan berarti aku menerima begitu saja. Aku hanya terpaksa, karena paksaan mama dan papa. Asal kamu tahu, Mas. Aku belum bisa melupakan mantanku, jadi aku harap Mas Aldian tidak berharap banyak dari hubungan kita nanti," cetus Haliza to the point.
Aldian tentu saja terhenyak mendengar pengakuan Haliza barusan, dia ingin marah dan melampiaskan kekecewaannya pada Haliza. Akan tetapi tidak enak karena mereka saat ini sedang berada di tempat umum.
"Jadi sebenarnya tadi malam itu kamu pura-pura menerima perjodohan itu? Baiklah, akan aku ingat setiap kata per kata yang kamu ucapkan barusan. Tunggu saja setelah kita menikah, semua perkataanmu akan berbanding terbalik. Kamu akan mencintaiku dan melupakan mantanmu itu. Catat itu," tegas Aldian tidak mau kalah.
"Aku rasa itu tidak mungkin, Mas. Sebab namamu dengan mantanku saja namanya hampir mirip, jadi mana mungkin aku bisa cepat move on dari dia," sangkal Haliza lagi. Sayangnya, Aldian menanggapinya dengan senyum yang sulit diartikan.
"Setelah melihat kamu tadi malam yang menunduk dan diam saja, aku pikir kamu ini perempuan lembut, ramah dan baik hati, tapi sayangnya dugaan ku meleset. Ternyata penampilan luar tidak menjamin dalamnya baik," tukas Aldian seraya menyeruput kopinya yang sudah mulai berkurang panasnya.
Haliza menatap kesal pada Aldian. Baru pertemuan sekali saja, Aldian baginya sangat menyebalkan.
"Setelah kita menikah, aku tidak mau kamu ajak ke Jawa Barat, aku akan tetap di sini, karena aku bekerja. Atau kalau bisa kamu saja yang pindah tugas ke sini," tegas Haliza sudah mengultimatum duluan.
Aldian menggeleng, dalam hal ini dia tidak bisa diultimatum, terlebih oleh seorang istri. Kalau sudah menikah, otomatis dia merupakan kepala keluarga yang punya wewenang kuat ke mana arah tujuan biduk rumah tangganya akan dibawa. Aldian tidak mau, dia dikendalikan istri, meskipun dia masih belum yakin bisa mencintai perempuan modelan seperti Haliza.
"Tidak bisa, kamu harus melepaskan pekerjaanmu. Kamu istri Persit yang harus selalu mendampingi suaminya di mana dia bertugas. Lagipula, aku tidak segampang itu minta pindah tugas, sebab baru saja dua tahun aku pindah tugas ke kota kecil di Jawa Barat. Jadi, aku tidak mungkin pindah. Yang ada, aku akan boyong kamu sekalian," tandas Aldian seraya berdiri dan meninggalkan kafe tanpa menoleh lagi pada Haliza.
Haliza terbelalak dengan sikap Aldian yang baginya keterlaluan. Dia ditinggalkan begitu saja di kafe. Haliza kemudian berdiri, mengikuti Aldian. Ternyata pria tentara yang akan dijodohkan dengannya justru sangat menyebalkan.
Aldian menghampiri mobilnya di parkiran. Dia menunggu Haliza yang berjalan pelan ke arahnya. Aldian tidak mungkin meninggalkan Haliza dan membiarkan ia pulang sendirian. Bagaimanapun juga dia harus bertanggung jawab memulangkan Haliza ke rumahnya dengan baik-baik, meskipun sikap Haliza sangat menyebalkan.
"Ternyata, aku justru mendapatkan perempuan sok dan belum move on dari mantannya." Aldian merutuk sembari menatap sekilas ke arah Haliza yang sudah berada di samping pintu mobilnya.
***
Waktu yang telah ditentukan tiba. Sebulan setelah lamaran itu digelar, akhirnya pernikahan antara Aldian dan Haliza dilangsungkan di kediaman orang tua Haliza. Mereka tidak menyewa gedung. Perhelatan pernikahan itu cukup digelar di depan halaman rumah orang tua Haliza yang lumayan luas. Lagipula tamu undangan tidak terlalu banyak, cukup tetangga dekat dan kerabat dekat saja yang diundang, itupun atas permintaan Haliza.
"Saya terima nikah dan kawinnya Haliza Binti Hasan dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan satu set perhiasan, dibayar TUNAI."
Baru saja Aldian mengikrarkan ijab kabul pernikahan dengan lancar terhadap Haliza. Kini mereka berdua telah sah menjadi suami istri. Momen ini benar-benar sakral. Meskipun dalam hati masing-masing, belum ada perasaan cinta. Namun keduanya menjalani prosesnya secara khidmat dan penuh haru.
Air mata di pipi Haliza tidak bisa ditahan lagi. Terlebih ketika dirinya mulai menyematkan cincin di jari manis Aldian dan mencium tangan pria yang kini sudah sah menjadi suaminya.
Kini giliran Aldian yang menyematkan cincin pernikahan di jari manis Haliza. Kemudian Aldian mengecup kening Haliza sebagai tanda bahwa Haliza sudah benar-benar sah menjadi miliknya.
Entah sandiwara atau apa yang mereka tampilkan saat ini. Yang jelas baik Aldian maupun Haliza, hari ini merasa berbeda. Keduanya merasakan pernikahan atas perjodohan paksa ini, begitu khidmat dan haru, bagaikan pernikahan yang sama-sama diinginkan oleh mereka saja.
***
Kabar pernikahan Haliza dengan seorang pria asing, sampai ke telinga Ardian, mantan kekasih Haliza yang memutuskan sepihak hubungan tali kasih yang telah mereka bina kurang lebih dua tahun. Ada raut kecewa di wajah Ardian.
"Haliza, ternyata segampang itu kamu melupakan aku. Siapa gerangan pria yang berhasil membawa Haliza ke pelaminan?" Ardian mengepalkan tangannya tanda kecewa. Tidak dia duga, setelah ia memutuskan hubungan secara sepihak pada Haliza, kenyataannya kini justru begitu menohok, Haliza lebih dulu menikah dibanding dia.
Perhelatan nikah itu kini telah usai. Tubuh Haliza begitu sangat lelah, sehingga tiba di kamar pengantin, dia ambruk begitu saja saking lelahnya.
Belum lagi mengurus surat kepindahan dan mengajukan pengunduran dirinya dari kantor tempatnya bekerja.
Besoknya, tanpa peduli penolakan dari Haliza, Aldian berhasil membawa Haliza kembali ke kota Lembang. Aldian bertekad akan membuat Haliza bertekuk lutut padanya dan mencintai.
"Kita lihat saja sampai di mana kamu akan bertahan dengan sikap kamu yang belum move on dari mantanmu," batin Aldian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!