Flashback..
Tiga tahun yang lalu, di tengah malam yang penuh kecemasan, hujan deras mengguyur atap rumah sakit dengan iringan angin yang berderu kencang. Rayan, seorang pemuda yang tampak resah, berjalan bolak-balik di lorong rumah sakit. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran dan harapan. Di balik pintu ruang operasi, istrinya, Rai, sedang berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkan buah hati mereka.
Rayan berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu melayangkan doanya ke langit yang kelam. Dia mencintai rai dengan segenap jiwa. Sejak mereka menikah, Rai menjadi sumber kekuatannya, tempat dia pulang setelah hari-hari panjang bekerja keras. Meskipun hidup mereka tidak mudah, dengan gerai kecil tempat rayan berjualan donat, dia selalu bersyukur atas rezeki yang tuhan limpahkan. Baginya, Rai adalah anugerah terbesar.
Namun, di sisi lain, keluarga rai tidak menerimanya. Di mata mereka, Rayan hanyalah seorang pemuda miskin yang tidak layak untuk rai. tapi rai menentang dan tetap ingin menikah dengan rayan karena hanya rayan yang menyayangi dirinya dengan tulus. Dan malam itu, mereka pun turut menunggu dengan gelisah, walaupun dalam hati mereka tetap ada keraguan terhadap rayan.
Waktu seakan berjalan lambat, hingga akhirnya, pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter keluar dengan wajah serius. Jantung rayan berdetak kencang, harapan dan ketakutan bercampur di dalam dadanya.
"Bayi anda lahir dengan selamat " kata dokter itu, membuat rayan sempat bernapas lega, namun harapan itu segera sirna ketika dokter melanjutkan
"Tapi istri anda mengalami pendarahan hebat dan saat ini dalam kondisi koma."
Dunia rayan seakan runtuh. Air mata mengalir di wajahnya yang penuh kesedihan. Dia tidak ingin kehilangan rai, sosok yang selama ini menjadi kekuatannya. Dengan tangis yang tertahan, dia menatap ke langit-langit rumah sakit, memohon dengan segenap hatinya agar rai bisa kembali. Tapi, dalam hati kecilnya, dia tahu, hidup mereka tak akan pernah sama lagi.
Malam itu, rasa hancur rayan yang sudah begitu dalam kian dipereteli oleh kenyataan yang tak pernah ia bayangkan. Keluarga rai, yang seharusnya menjadi tempat ia bersandar dalam situasi sulit ini, malah berdiri sebagai tembok dingin yang menghalau segalanya. Tak lama setelah dokter menyampaikan kabar tentang kondisi rai, ibu rai dengan dingin meminta dokter untuk terus merawat anaknya hingga sadar dari koma. Namun, di saat yang sama, mereka tidak menyalahkan keadaan, melainkan menuding rayan dan bayinya sebagai penyebab semua penderitaan yang menimpa rai.
Rayan berusaha menahan diri, tetapi caci maki itu terus menghujani, menghancurkan hatinya yang sudah penuh luka.
"Ini semua karena kau!" seru ibu rai dengan suara tajam, penuh kebencian.
"Kau dan anak itu adalah kutukan bagi rai! Pergi! Saya tak ingin melihatmu lagi!" Dengan nada yang tegas, ibu rai mengusir rayan dari rumah sakit, memintanya membawa bayi yang baru lahir itu jauh-jauh dari kehidupan mereka. Bayi yang tak bersalah, darah daging rai sendiri, kini dianggap sebagai beban yang tak ingin mereka terima.
Rayan gemetar, memohon dengan suara serak..
" Tolong, izinkan aku menunggu hingga esok hari. Setidaknya beri aku waktu bersama rai, meski hanya sebentar" Namun, belas kasihan tak ada di mata mereka. Hanya ada kebencian dan penolakan. Ibu rai mengacuhkan tangisannya, dengan tangan terangkat menunjuk pintu keluar, memerintahkannya pergi saat itu juga. Orang-orang di sekitar yang menyaksikan semua itu hanya bisa menahan tangis. Mereka tak percaya betapa kejamnya keluarga rai memperlakukan rayan di momen yang seharusnya penuh kasih dan dukungan. Pihak rumah sakit pun bungkam, tercekik oleh kuasa dan pengaruh keluarga rai, tak berani angkat bicara meskipun hati mereka terguncang.
Dengan air mata yang terus mengalir di pipinya, Rayan menggendong bayinya yang masih begitu mungil, dan dengan langkah berat, ia meninggalkan rumah sakit di tengah derasnya hujan malam itu. Setiap tetes air yang membasahi wajahnya tak hanya berasal dari langit, tetapi juga dari hatinya yang kini dipenuhi rasa hancur dan ketidakberdayaan. Bayi kecil di pelukannya, satu-satunya yang tersisa dari cinta yang ia bagi bersama rai, kini menjadi teman dalam perjalanan sunyi mereka menuju kegelapan malam.
Di tengah dinginnya malam yang masih dibalut oleh sisa-sisa hujan, Rayan tiba di rumahnya dengan tubuh yang basah kuyup. Tangisannya pecah lagi, tak terbendung. Di depan matanya, bayi mungil yang baru saja dilahirkan rai terbaring dalam keheningan, tak tahu apa-apa tentang kerasnya dunia yang baru ia masuki. Rayan terduduk di lantai, tak tahu harus berbuat apa. Pikiran dan hatinya seolah terpecah-pecah, antara merindukan rai yang terbaring koma dan tanggung jawab besar yang kini berada di tangannya.
"Bagaimana ayah bisa merawat mu nak?" bisiknya di tengah isak tangis, tangannya gemetar saat menyentuh pipi bayi itu. Dia merasa tak berdaya, seorang diri tanpa dukungan rai, dan tanpa tahu harus ke mana mencari pertolongan. Semua terasa terlalu berat untuk ditanggung sendirian.
Dalam keputusasaan, Rayan teringat pada satu-satunya orang yang mungkin bisa membantunya, bidan yang dulu mengurus rai selama masa kehamilannya. Dia tahu, ini satu-satunya harapan. Dengan hati yang terguncang, dia terpaksa meninggalkan bayinya sejenak di rumah, lalu berlari menembus dinginnya malam menuju rumah sang bidan.
Sesampainya di sana, nafas rayan tersengal-sengal. Ketukan pintunya terdengar keras, memecah keheningan malam. Bidan itu membuka pintu, terkejut melihat rayan yang basah kuyup dengan mata bengkak akibat tangis.
" Ada apa rayan? " tanyanya cemas, dan tanpa menunggu jawaban panjang, Rayan menceritakan semuanya tentang bagaimana rai masih koma, bagaimana keluarganya mengusirnya, dan betapa kejamnya mereka terhadap bayi yang tak bersalah. Hati sang bidan pun hancur mendengar cerita itu. Ia mengenal rai sebagai sosok yang lembut dan penuh kasih, dan tak bisa membayangkan perlakuan yang diterima rayan. Dengan nada penuh simpati, bidan itu berkata. .
"Kau sudah berjuang begitu keras rayan. Aku akan membantumu, aku akan merawat bayi itu untukmu. Rai pasti ingin anaknya dijaga dengan baik."
Bidan itu tanpa ragu-ragu menyiapkan diri untuk pergi bersama rayan, membantunya mengurus bayi yang kini menjadi satu-satunya warisan dari cinta yang pernah ia bagi dengan rai. Dalam hati, Rayan merasa sedikit lega. Setidaknya, di tengah kegelapan hidupnya, masih ada seseorang yang bersedia menolongnya, menawarkan secercah harapan di malam yang penuh kesedihan.
Saat rayan dan bidan itu tiba di rumah, suasana sunyi menyelimuti. Bayi mungil itu terbaring diam di tempatnya, seolah menanti sentuhan kasih yang akan menenangkannya. Bidan tersebut dengan cekatan mengambil alih, tatapannya lembut saat mendekati si kecil.
“Rayan, tukar lah bajumu ” ucapnya sambil menoleh ke arah rayan yang masih basah kuyup.
“Nanti kau bisa demam. Aku akan mengurus putrimu... Hei, lihat, putri kalian cantik sekali.”
Rayan tersenyum lemah, membenarkan kata-kata bidan itu. Di balik segala kesedihannya, ada sejumput kebahagiaan yang terselip dalam hatinya setiap kali melihat wajah bayi mereka.
" Iya " bisiknya, suaranya hampir tak terdengar di tengah emosional yang meluap.
"Dia benar-benar cantik, seperti ibunya." Dengan perasaan sedikit lebih tenang, Rayan meninggalkan bidan dan bayinya, menuju ke belakang untuk membersihkan diri.
Sementara itu, bidan tersebut mulai melaksanakan tugasnya dengan telaten, menggendong bayi itu dengan hati-hati. Tangannya yang terlatih bergerak lincah, namun hatinya terasa berat. Air mata perlahan menetes dari sudut matanya saat ia mengingat rai, sosok yang ia rawat sejak awal kehamilannya, kini terbaring koma. Kehidupan yang diharapkan bahagia oleh pasangan muda itu berubah menjadi ujian yang begitu pahit.
Sambil menimang-nimang bayi itu, bidan tersebut berbisik lembut dalam hati “Nak, jadilah anak yang baik. Orangtuamu adalah orang yang luar biasa, begitu penuh cinta dan pengorbanan. Semoga ibumu segera pulih dan pulang ke rumah ya.” Setiap kata yang terucap seperti doa yang ia panjatkan untuk keluarga kecil ini, berharap keajaiban akan datang dan menyatukan mereka kembali.
Dengan lembut, ia membersihkan dan membungkus bayi itu dengan kain lengkap dengan kaos tangan dan kaos kaki, memberikan kehangatan yang mungkin tak bisa diberikan rayan di malam penuh kekhawatiran ini. Meski hatinya pedih, bidan itu tahu, tugasnya adalah menjaga sang bayi sebaik mungkin, sementara rayan terus berjuang untuk melewati cobaan yang berat ini.
Esok paginya, suasana rumah Rayan yang sunyi tiba-tiba terganggu oleh suara ketukan keras di pintu. Rayan membuka pintu dengan hati yang penuh harapan. Berpikir bahwa ibu Rai datang untuk melihat cucunya, mungkin, kali ini hati keluarga rai akan sedikit melunak. Namun, begitu tatapannya bertemu dengan wajah dingin ibu Rai, harapan itu hancur dalam sekejap. Tanpa basa-basi, ibu rai melangkah masuk, auranya penuh kemarahan dan kekuasaan.
" Saya datang bukan untuk melihat anak itu " suaranya terdengar tajam, menusuk telinga rayan.
" Saya disini untuk memberimu peringatan. Jangan pernah mencoba menemui Rai lagi. Dia bukan untukmu, kau tak pantas untuknya "
Rayan berdiri terpaku, dadanya berdegup kencang " Rai adalah istriku " jawabnya, suaranya goyah, namun penuh tekad.
" Dan anak itu adalah putri kami. Aku tak bisa meninggalkan mereka begitu saja. Rai butuh aku, dan anak kami butuh ibunya "
Ibu rai menyipitkan matanya, menatap rayan seolah dia adalah orang yang paling rendah di hadapannya.
" Jangan bodoh Rayan, kau pikir kau berharga untuk rai? Dengarkan saya baik-baik, kalau kau berani mendekati Rai, bahkan sekali saja, saya akan membunuh anakmu "
Ancaman itu menghantam rayan seperti pukulan keras. Mulutnya terbuka, namun tak ada kata yang keluar. Wajahnya memucat, dan tubuhnya menggigil. Bayangan tentang bayinya yang tak bersalah berada dalam bahaya karena kebencian ibu mertuanya membuatnya lumpuh. Dia ingin melawan, ingin melindungi keluarga kecilnya, tapi rasa takut terhadap ancaman itu begitu kuat, mengunci langkahnya.
" Pindah dari sini " Lanjut ibu rai dengan nada perintah . " Jauhkan dirimu dan anak itu dari kehidupan rai. Kalau dia sadar dan tau kau ada di dekatnya, kau hanya akan membuatnya lebih menderita. Pergilah, dan jangan pernah kembali. Itu peringatan terakhir saya. "
Rayan menunduk, hatinya terasa hancur berulang kali. Bagaimana mungkin orang yang seharusnya menjadi keluarganya sendiri bisa begitu kejam ? Tapi demi keselamatan anaknya, dia tak punya pilihan. Dengan berat hati, Rayan mengangguk pelan, menyerah pada tuntutan ibu rai. Dia tau, tak ada ruang untuk melawan.
" Baik," katanya lemah, hampir berbisik.
" Aku akan pergi... asalkan anakku selamat "
Ibu rai tersenyum tipis, puas dengan ketundukan rayan, lalu pergi tanpa sepatah kata lagi, meninggalkan rayan yang terpukul, Berdiri sendirian di tengah ruangan dengan beban yang semakin tak tertahankan. Hatinya ingin memberontak, tapi rasa takut untuk kehilangan anaknya memaksa rayan mengambil keputusan yang paling menyakitkan. Meninggalkan kehidupan yang pernah ia bangun bersama rai, demi keselamatan putri mereka.
Satu bulan berlalu sejak malam kelam itu, di mana rai terbaring tak sadarkan diri, terjebak dalam koma yang membuat rayan dan dunia sekitarnya tenggelam dalam ketidakpastian. Namun, hari ini, perlahan-lahan kelopak mata rai mulai bergerak, seolah mencoba melawan kegelapan yang telah lama menutupinya. Cahaya lembut dari lampu rumah sakit menyusup ke matanya, membuatnya meringis sebentar. Dengan tenaga yang tersisa, bibirnya bergerak, dan satu nama terucap pelan, hampir tak terdengar.
“Rayan...”
Suster yang berada di sampingnya segera bereaksi. Dengan cepat, ia keluar dari kamar dan mencari dokter. Tak lama kemudian, dokter datang, wajahnya penuh dengan kewaspadaan namun terselip harapan. Setelah memeriksa rai dengan teliti, dokter itu tersenyum tipis, menunjukkan bahwa kesadaran rai telah kembali.
Kabar itu segera disampaikan kepada ibu rai. Tak lama setelahnya, ibu rai tiba di rumah sakit dengan langkah cepat, penuh kepura-puraan yang sudah ia siapkan. Begitu memasuki kamar, ia melihat anaknya yang masih lemah namun tersenyum, sebuah senyum kecil yang penuh harapan dan cinta.
" Mama..." suara rai terdengar serak, namun hangat.
“Di mana bayiku? Di mana rayan?”
Pertanyaan itu membuat dokter yang berada di ruangan itu melirik tajam ke arah ibu rai, seolah memberi sinyal akan kebohongan yang akan segera diutarakan. Ibu rai menarik napas dalam, raut wajahnya berubah menjadi ekspresi yang tampak penuh kesedihan, meskipun dalam hatinya, kepuasan membanjir.
“Rai...” ucapnya dengan suara bergetar, pura-pura bersedih. “Anakmu... anakmu meninggal dunia.”
Kalimat itu menghantam rai seperti petir di siang bolong. Wajahnya memucat, senyum yang tadi menghiasi wajahnya hilang dalam sekejap. Seolah waktu berhenti, pikirannya tak mampu mencerna kata-kata yang baru saja keluar dari mulut ibunya. Bayinya? Meninggal dunia? Tidak, itu tidak mungkin. Itu pasti kesalahan.
“Apa...?” Rai bergumam tak percaya, tubuhnya terasa kaku, seperti seluruh kekuatannya menguap begitu saja. Matanya membelalak, kemudian air mata perlahan mengalir dari sudut matanya, membasahi pipinya yang pucat. Tangannya gemetar, menekan dadanya yang terasa hancur berkeping-keping.
“ mama...” suaranya bergetar. “Bagaimana bisa...?”
Ibu Rai mendekat, meraih tangannya, berpura-pura menenangkan meski hatinya penuh kepuasan. “Ini takdir nak... Kau harus kuat. Bayimu sudah tenang di sana.”
Rai tak bisa berkata-kata lagi. Dunia di sekitarnya seakan runtuh, membawa segala impiannya tentang menjadi seorang ibu bersamanya. Air matanya terus mengalir, hatinya yang hancur tidak mampu mengerti mengapa hal ini terjadi padanya. Tapi lebih dari itu, di lubuk hatinya yang terdalam, ada sesuatu yang tak terjawab, di mana rayan? Kenapa dia tidak di sini bersamanya?
Namun, dalam kepedihan itu, Rai terlalu terhanyut oleh kesedihannya untuk bertanya lebih lanjut. Tangisnya memenuhi kamar itu, sementara ibu rai terus memainkan perannya, memeluk anaknya seolah ia benar-benar merasakan kesedihan yang sama.
"Di mana Rayan maa?" Rai terisak di tengah tangisnya, matanya bengkak dan dipenuhi air mata. Hatinya yang terluka tak hanya mencari jawaban atas anak yang katanya telah tiada, tapi juga merindukan kehadiran suaminya. Rai butuh dia, butuh kekuatan dari tangan yang dulu selalu menggenggamnya saat segalanya terasa berat.
Ibu rai terdiam sejenak, menatap anaknya yang hancur. Dalam hatinya, ia tahu kebohongan berikutnya akan menjadi yang paling menyakitkan. Tapi demi menjaga jarak antara Rai dan Rayan, ia siap mengorbankan segalanya, bahkan hati anaknya.
“Rayan...” ibu Rai menarik napas panjang, suaranya dibuat sehalus mungkin, penuh kepalsuan yang terselubung.
“Rai, suamimu... suamimu meninggal dunia.”
Mata rai melebar, seluruh tubuhnya menegang mendengar kata-kata itu. “Apa...?” suara Rai pecah, penuh dengan ketidakpercayaan. “Tidak... tidak mungkin. Rayan... dia tidak mungkin...”
“Dia kecelakaan sehari setelah bayimu meninggal,” lanjut ibunya, menatap Rai dengan tatapan seolah penuh belas kasih.
“ mama tak ingin menyakitimu nak. Tapi itulah kenyataannya. Rayan sudah tiada. Dia... pergi selamanya.”
Kalimat itu seakan menghujam jantung rai dengan kekuatan yang tak tertahankan. Sebuah jeritan meluncur dari bibirnya, begitu keras hingga menggema di seluruh ruangan. Tubuhnya gemetar hebat, tangannya meraih selimut di tempat tidurnya, seolah berusaha mencari pegangan di tengah kenyataan yang terasa mustahil ini.
“Tidak! Tidak!!” Rai menjerit, hatinya seakan hancur berkeping-keping. Segala harapan yang tersisa, segala kekuatan yang ia kumpulkan untuk bangkit dari komanya, lenyap begitu saja. Kehilangan anaknya sudah membuatnya rapuh, tapi kehilangan suaminya orang yang menjadi dunianya itu menghancurkan segalanya.
Air mata mengalir tanpa henti, mengaburkan pandangannya. Dunia terasa runtuh, seakan tak ada lagi alasan baginya untuk bertahan. Tangisannya memecah kesunyian, sementara ibu Rai hanya berdiri di sana, menyaksikan anaknya terpuruk dalam kebohongan yang ia ciptakan.
Rai merasakan kekosongan yang tak terlukiskan, seperti ditelan oleh lubang hitam yang tak berdasar. Dia tak tahu bagaimana caranya hidup tanpa rayan. Tidak ada bayinya, tidak ada suaminya. Seolah-olah hidupnya telah direnggut, dan yang tersisa hanyalah kesakitan yang tak bisa ia bendung.
Rai diam terpaku di tempat tidurnya, pandangannya kosong, seolah jiwanya telah meninggalkan tubuhnya. Tangannya yang lemah gemetar, mencoba meraba kenyataan yang kini terasa begitu asing dan jauh dari harapan. Dia tak tahu lagi bagaimana harus hidup, bagaimana harus melangkah ketika semua yang ia cintai direnggut dalam sekejap. Dunia di sekitarnya seolah memudar, hanya menyisakan kehampaan yang dingin dan menyakitkan.
Suster yang berdiri di sudut kamar, menyaksikan penderitaan rai dari dekat, tak kuasa menahan kesedihannya. Mata suster itu memerah, hatinya hancur melihat kejamnya kenyataan yang dihadapi oleh sosok muda yang malang ini. Akhirnya, tak tahan dengan pemandangan yang menyayat hati, suster itu memilih keluar, membiarkan air matanya jatuh tanpa henti di lorong rumah sakit. Betapa kejamnya ibu rai, pikir suster itu. Betapa teganya seorang ibu membohongi anaknya sendiri, merampas segala kebahagiaan yang tersisa.
Sementara itu, jauh dari sana, Rayan sedang melangkah pergi, meninggalkan kehidupan lama yang telah dihancurkan oleh ancaman. Bayi kecilnya terlelap di pelukannya, tak sadar akan dunia yang kini hanya dihuni oleh dirinya dan ayahnya. Rayan menatap wajah mungil putrinya, perasaan getir memenuhi hatinya. Di balik segala kesedihan, hanya ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan, cinta pada putrinya.
Setelah malam penuh air mata dan ketakutan, Rayan telah bercerita panjang lebar kepada bidan yang selama ini membantu mengurus kehamilan rai. Bidan itu, seorang perempuan yang berhati mulia, mendengarkan setiap kata dengan penuh simpati. Setelah mendengar kisah pilu rayan, bidan itu segera menawarkan bantuannya.
"Rayan, kau harus pergi dari sini. Pindah lah ke kota sebelah. Di sana, kau bisa tinggal di rumahku. Ini tidak aman bagimu dan putrimu di sini," kata bidan itu dengan tegas, tapi lembut.
Rayan, dengan segala keputusasaan yang ia rasakan, hanya bisa mengangguk, merasa tak punya pilihan lain. Bidan itu juga berjanji untuk selalu bolak-balik dari kota ke kota, membantu merawat bayi kecilnya. Bantuan ini datang seperti cahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti hidupnya, dan Rayan tahu, dia tak akan pernah melupakan kebaikan perempuan itu.
Hari-hari berikutnya, Rayan memulai kehidupan barunya di kota sebelah, jauh dari ancaman keluarga rai. Di kota itu, dengan bantuan bidan, Rayan bertekad untuk memulai kembali. Ia tahu, tak ada yang akan menggantikan rai, tak ada yang bisa mengisi kekosongan di hatinya. Tapi untuk putrinya, untuk satu-satunya harapan yang tersisa, Rayan akan berjuang. Hidupnya mungkin tak lagi sempurna, tapi ia masih memiliki masa depan bersama putrinya masa depan tanpa Rai, tapi penuh cinta yang ia berikan untuk sang buah hati.
Flashback selesai.
Tiga tahun telah berlalu, tapi bagi rai, waktu seolah berhenti. Sore itu, langit yang mulai memudar dari jingga ke kelabu hanya menambah kesunyian di dalam hatinya. Rai duduk di samping jendela kamar, matanya hampa, menatap jauh ke cakrawala seakan berharap bisa menemukan bayangan suami dan anaknya yang telah lama pergi.
Angin sepoi-sepoi yang menerobos masuk dari celah jendela tak mampu menenangkan kerinduan yang terus tumbuh di hatinya. Setiap hembusan angin, setiap suara lembut dedaunan, semuanya mengingatkan dia pada masa-masa indah ketika rayan dan calon bayi mereka yang masih ada di kandungannya. Tiga tahun terasa seperti seumur hidup, waktu yang berjalan begitu lambat, penuh dengan rasa kehilangan yang tak kunjung mereda.
Ibunya sering berkata, “Rai, kau harus bangkit. Tak perlu bersedih sampai berlarut-larut. Hidupmu harus terus berjalan.”
Tapi bagaimana bisa? Bagaimana mungkin ia melupakan suaminya, cinta pertamanya, dan anaknya yang bahkan belum sempat ia peluk? Kerinduan itu begitu dalam, menenggelamkan setiap upaya untuk bangkit.
Rai tahu, ia seharusnya bergerak maju, tapi setiap hari yang ia lewati tanpa mereka hanya menambah luka di hatinya. Setiap pagi ia terbangun dengan perasaan hampa, dan setiap malam ia tidur dengan air mata yang mengalir di pipinya, merindukan kehangatan pelukan rayan, suara tangis anaknya yang tak pernah ia dengar.
Tiga tahun ini penuh dengan perjuangan. Orang-orang di sekitarnya mungkin melihatnya sebagai sosok yang tegar, tapi di dalam dirinya, Rai masih terperangkap dalam kegelapan kehilangan. Hanya langit sore yang menjadi saksi dari kerinduan yang tak pernah terucap, kerinduan yang tak pernah bisa ia lupakan.
Dan di balik semua itu, ada sebuah harapan kecil yang masih ia simpan, entah bagaimana, entah kapan, suatu hari ia bisa merasakan kehadiran mereka lagi, meski hanya dalam mimpi.
Lamunan rai pecah ketika suara ponselnya berdering, memecah keheningan yang menyelimutinya. Tangannya meraih ponsel di sampingnya dan melihat nama yang tertera di layar, Dina, manajernya. Rai menghela napas sejenak, menghapus sisa-sisa air mata di sudut matanya sebelum mengangkat panggilan itu.
"Halo rai? Kamu baik-baik saja?" Suara hangat dina terdengar, penuh perhatian seperti biasanya.
“Ya, aku baik kak ” jawab rai, meski suaranya terdengar lemah. Mereka berbincang sejenak tentang pekerjaan, namun setelah panggilan itu berakhir, Rai merasa sedikit lebih kuat. Ia bangkit dari tempat duduknya, berjalan perlahan menuju pintu unit apartemennya, dan membukanya. Di sana, Dina sudah menunggu, tersenyum lembut seperti seorang kakak yang selalu siap sedia.
Dina bukan hanya manajer bagi rai, dia adalah sahabat, bahkan seperti saudari yang tak pernah rai miliki. Kepada dina, Rai telah menceritakan semua, bahkan hal yang paling pahit dalam hidupnya, tentang pernikahannya dengan Rayan, tentang anak mereka, dan tentang kehilangan yang masih menghantui setiap langkahnya. Saat Rai pertama kali membuka diri dan menceritakan kisah tragis itu, Dina tak kuasa menahan air matanya. Meski Dina belum pernah menikah, ia bisa merasakan betapa dalam luka yang Rai bawa. Setiap kata yang keluar dari mulut Rai kala itu seperti belati yang menusuk hatinya.
“Aku tak bisa bayangkan bagaimana rasanya rai ” kata dina, suaranya penuh dengan empati.
“Tapi aku ada di sini. Kamu tak sendiri.”
Sejak kehilangan keluarganya, ibunya terus mendorong rai untuk bangkit, pura-pura mencoba menyelamatkan anaknya dari jurang kesedihan yang dalam. Ibunya tahu, tak mudah bagi rai untuk menjalani hari-hari tanpa rayan dan bayi mereka, tapi dia juga tahu bahwa rai perlu terus hidup. Maka, dengan dorongan dan bujukan ibunya, Rai mulai terjun ke dunia musik sebuah dunia yang awalnya terasa asing, tapi perlahan menjadi pelarian dari rasa sakitnya.
"Jadilah penyanyi rai " kata ibunya. "Lakukan ini untuk mereka. Lakukan ini agar kamu punya sesuatu untuk terus maju, agar kamu bisa fokus pada masa depan."
Dan Rai melakukannya bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk suami dan putrinya yang telah tiada. Setiap langkah di atas panggung, setiap nada yang ia nyanyikan, semuanya dipersembahkan untuk mereka. Dina, yang selalu ada di sisinya, memahami hal itu. Baginya, Rai bukan hanya seorang klien, dia adalah seseorang yang butuh dukungan, cinta, dan kesempatan untuk melangkah maju di tengah keterpurukan yang masih mengikatnya.
Namun, meskipun kariernya mulai berkembang, di dalam hatinya, Rai masih membawa beban kerinduan yang tak terucapkan. Setiap malam, sebelum tidur, ia masih memikirkan mereka Rayan dan anaknya, cinta yang hilang namun tak pernah pudar.
🦋🦋
Di sebuah kota yang berbeda, di bawah langit senja yang mulai meredup, sebuah toko kue kecil dengan papan nama “Toko Kue zeline” tampak sedang bersiap-siap untuk tutup. Di dalam toko, seorang pria tampan dengan wajah penuh ketenangan sedang sibuk merapikan etalase. Pria itu adalah rayan, seorang ayah yang kini menjalani hidup baru bersama putri kecilnya.
Toko kue zeline menjadi buah dari kerja keras rayan selama tiga tahun terakhir, sejak kepindahannya ke kota ini. Toko itu bukan hanya sekadar tempat usaha baginya, tapi juga sebuah harapan baru tempat di mana ia mencoba melupakan masa lalu yang penuh kesedihan, dan sekaligus menjadi tempat untuk memulai hidup baru dengan putrinya yang kini tumbuh semakin besar. Seperti malam-malam sebelumnya, putrinya yang masih kecil ikut membantu menutup toko, meski bantuannya lebih sering berupa celoteh ceria yang mengisi ruangan dengan tawa.
“ ayah, kue ini bentuknya lucu sekali!” Seru putrinya sambil menunjuk salah satu kue di rak. Rayan tersenyum melihat keceriaan anaknya. Di balik senyuman itu, tersimpan kehangatan seorang ayah yang begitu mencintai putrinya satu-satunya warisan terindah dari masa lalu yang tak akan pernah ia lupakan.
"Ya, sayang. Adek juga lucu sekali " balas rayan sambil mengusap kepala putrinya dengan lembut. Meski hatinya masih sering dirundung kerinduan pada rai, ia selalu berusaha tampil kuat di hadapan anaknya, karena kini, putrinya adalah alasan dia tetap berdiri tegak.
Toko kue zeline yang kini semakin ramai pelanggan, bahkan memiliki beberapa karyawan yang membantu menjalankan bisnisnya, adalah hasil dari setiap tetes keringat Rayan. Setiap pagi hingga malam, dia bekerja keras untuk memastikan hidup putrinya nyaman dan bahagia. Kue-kue yang dijual di sana bukan hanya sekadar kue, tapi simbol dari perjuangan dan cinta yang masih ia bawa setiap hari, cinta untuk rai yang selalu ada di hatinya, meski mereka telah terpisah oleh nasib.
Saat pintu toko terakhir kali tertutup, Rayan dan putrinya saling bergandengan tangan, berjalan menuju rumah dengan senyum hangat di wajah mereka. Malam semakin larut, namun hati rayan penuh dengan rasa syukur. Meski banyak cobaan yang telah ia lalui, dia tahu bahwa selama ia masih memiliki putrinya, segala kesulitan bisa dihadapi bersama.
Setibanya di rumah, suasana hangat langsung menyelimuti kediaman sederhana itu. Rayan dengan sigap melepas sepatunya dan segera bergegas ke dapur, bersiap untuk membuat makan malam. Sementara itu, Zeline, putri kecilnya yang sudah mandiri, berlari kecil menuju kamarnya. Dengan lincah, Zeline membuka lemari, mengambil pakaian ganti, dan mengenakannya sendiri tanpa bantuan. Gadis kecil itu selalu bangga karena bisa mengurus dirinya sendiri, meski baru berusia beberapa tahun.
Setelah selesai mengganti bajunya, Zeline kembali ke dapur, di mana aroma sedap mulai tercium. Dia duduk di kursi tinggi yang ada di sudut meja, dengan mata bulatnya yang besar memperhatikan setiap gerakan ayahnya. Rayan sedang sibuk di depan kompor, mengaduk-aduk bahan-bahan dengan penuh konsentrasi, seolah berusaha menciptakan sesuatu yang istimewa malam ini.
Zeline tersenyum “ ayah masak apa ?” tanyanya dengan penasaran.
Rayan menoleh dan tersenyum hangat pada putrinya "Makanan kesukaan adek " jawabnya lembut. Namun, di balik senyum itu, ada rasa rindu yang tak tertahan.
Malam ini, Rayan memutuskan untuk memasak makanan kesukaan rai makanan yang selalu ia buat ketika rai masih ada di sampingnya. Masakan itu juga, kebetulan, adalah favorit zeline. Setiap kali ia memasaknya, kenangan tentang rai kembali memenuhi benaknya. Rayan sering kali merasa seperti ia sedang memasak untuk rai, seolah istri yang sangat ia cintai masih duduk di meja makan, tersenyum dan menemaninya.
“Wangi sekali !” seru zeline penuh antusias.
Rayan tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih sendu. “Iya, ini makanan kesukaan bunda adek juga ” ucapnya pelan, namun cukup jelas untuk didengar zeline.
Zeline menatap ayahnya sejenak. Meskipun ia masih kecil, Zeline tahu ada sesuatu yang berbeda setiap kali ayahnya memasak makanan ini. Dia tidak tahu persis apa yang terjadi pada ibunya, tapi dia bisa merasakan bahwa ayahnya selalu terlihat lebih tenang namun penuh haru setiap kali menyebut nama ' bunda.'
Ketika makanan akhirnya tersaji di meja, Zeline tersenyum lebar. " Adek suka ini ayah!" katanya sambil mengambil sendoknya dengan semangat. Rayan duduk di hadapan putrinya, melihat betapa miripnya zeline dengan rai, baik dari segi wajah maupun selera. Sambil menyantap makanannya, Rayan menatap zeline dengan penuh cinta, sambil terus mengingat sosok rai yang selalu hidup di hatinya.
Malam itu, meskipun kesunyian melingkupi mereka, ada rasa hangat yang memenuhi hati rayan dan zeline sebuah perasaan yang muncul dari cinta yang tak pernah pudar, meskipun mereka telah kehilangan seseorang yang sangat berarti.
Di tempat lain, seseorang yang dirindukan tengah duduk di atas ranjang kamarnya, terdiam dalam kesepian. Rai menunduk, menghapus air matanya yang terus jatuh setiap kali ia harus memompa asi. Perasaan campur aduk memenuhi benaknya, bingung, terluka, dan terjebak dalam sebuah kenyataan yang sulit dipahami. Bagaimana mungkin, setelah tiga tahun berlalu, asinya masih mengalir deras? Setiap kali ia memompa, rasa sakit fisik dan emosional itu semakin dalam, seolah tubuhnya tidak mampu menerima bahwa bayi yang seharusnya ia susui tidak ada di sisinya.
Rai menggigit bibirnya, menahan isak tangis yang kian memuncak di tenggorokannya. Tangannya yang lemah bergetar saat ia berusaha menenangkan diri, tapi bayangan anak dan suaminya terus menghantuinya. Mereka seolah hadir dalam setiap tetes asi yang mengalir mengingatkannya pada kehilangan yang tak pernah bisa ia terima sepenuhnya.
Dina, manajernya, ikut terjaga di ruangan sebelah. Mendengar isakan halus rai, Dina bangkit dari tidurnya dan berjalan pelan menuju kamar rai. Tanpa berkata-kata, Dina hanya berdiri di ambang pintu, menyaksikan bagaimana begitu hancurnya rai. Dina merasa tak berdaya. Ia selalu mencoba menguatkan rai, mengatakan bahwa hidup harus terus berjalan. Tapi malam ini, ia pun bingung harus berkata apa.
“Rai, kamu nggak apa-apa?” suara Dina lirih, memecah kesunyian kamar.
Rai mengangkat kepalanya, tersenyum lemah sambil menyeka air matanya dengan cepat. "Aku nggak apa-apa, kak dina. Cuma... setiap kali pumping, rasanya aneh. Kenapa sampai sekarang asiku masih keluar? Seharusnya kan... semua sudah berakhir."
Dina mendekat, duduk di tepi ranjang. "Mungkin tubuh kamu belum bisa melupakan mereka, sama seperti hatimu. Tapi ingat, besok kamu ada pemotretan. Kamu harus kuat untuk itu. Kamu bisa rai."
Rai mengangguk pelan, tapi hatinya tetap tak bisa tenang. Malam itu, meskipun dina berada di sana untuknya, keheningan yang menyelimuti tetap tak bisa menghapus rasa rindu dan sakit yang menghantui setiap detik hidupnya. Rai tahu, meski ia berusaha bangkit dan menatap masa depan, ada bagian dari dirinya yang masih hidup di masa lalu bersama suami dan anak yang direnggut darinya.
Malam itu, meski jarak memisahkan mereka, hati rayan dan rai saling terhubung dalam kerinduan yang mendalam. Di kota yang berbeda, di bawah langit yang sama, keduanya terjaga, tenggelam dalam pikiran dan perasaan yang tak terucapkan.
Rayan duduk di kamar, mengusap lembut rambut zeline, gadis kecil yang begitu berharga baginya. Zeline sudah tertidur pulas, wajahnya tenang seperti malaikat kecil yang tak tahu apa-apa tentang luka dan kehilangan yang pernah menimpa keluarganya. Di dalam hati rayan, ada campuran kebahagiaan dan kesedihan. Bahagia karena ia masih memiliki zeline, tapi juga dihantui oleh kerinduan pada rai, sosok yang selalu ada di hatinya, meski kini tak lagi bersama.
Rayan menatap wajah zeline yang mirip sekali dengan ibunya. Setiap kali melihat gadis kecil itu, bayangan Rai selalu hadir. "Semoga kamu baik-baik saja di mana pun kamu berada rai " bisik rayan dalam hati, matanya mulai berat, tapi pikirannya masih dipenuhi oleh kenangan masa lalu.
Di sisi lain, Rai terbaring di atas ranjang, tubuhnya terasa dingin dan hatinya kosong. Matanya menatap langit-langit kamar yang gelap, tetapi pikirannya melayang jauh. Air mata mengalir perlahan di sudut matanya, membasahi bantal. Setiap helaan napasnya berat, seperti ada beban tak terlihat yang menghimpit jiwanya.
Ia memikirkan rayan, suaminya, dan anak mereka yang kini tak ada di sisinya. Segala yang ia rasakan adalah rasa sakit yang tak berkesudahan, rasa kehilangan yang menyesakkan dadanya. Meski dunia seakan terus berjalan di sekelilingnya, Rai terjebak dalam ingatan, dalam harapan yang terus ia bisikkan dalam doa.
"Jika saja keajaiban itu ada, aku hanya ingin bisa melihat mereka lagi, meski hanya sekali..."
Malam itu, tanpa saling tahu, Rayan dan Rai sama-sama terjaga, tenggelam dalam kerinduan yang tak terucapkan, berharap pada keajaiban yang entah kapan akan datang. Meski dipisahkan oleh jarak dan takdir yang kejam, hati mereka tetap merindu, terikat oleh cinta yang tak akan pernah pudar.
-
-
Hari ini, kehidupan terus berjalan seperti biasa bagi rayan dan rai, meski hati mereka masih diliputi oleh rasa rindu yang mendalam. Pagi yang cerah, namun terasa berat, menyapa mereka berdua di tempat yang berbeda.
Di satu sisi, Rai sedang bersiap-siap di depan cermin. Pagi menjelang siang, ia akan menjalani pemotretan untuk sebuah brand besar, ditemani oleh dina yang setia berada di sampingnya. Rai menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri dan siap memulai harinya. Meskipun terlihat tenang di luar, hatinya masih penuh dengan kerinduan yang tak terungkap. Dina, yang selalu memahami perasaan rai, menepuk bahunya dengan lembut, memberikan dukungan dan semangat yang dibutuhkan Rai.
“Kau bisa rai. Semuanya akan baik-baik saja ” ucap dina dengan senyuman kecil. Rai membalas senyuman itu, berusaha menyingkirkan segala bebannya untuk sementara.
Sementara itu, di rumah yang berbeda, Rayan memutuskan untuk mengambil libur dari tokonya hari ini. Sebuah keputusan yang jarang ia ambil, namun ada alasan khusus. hari ini, bidan rahma, wanita yang pernah berjasa besar dalam hidupnya, akan datang berkunjung bersama suami dan anaknya yang masih berusia satu tahun. Rahma adalah sosok yang selalu ia hormati, seorang bidan yang tidak hanya membantu saat kelahiran zeline, tetapi juga menjadi penyokong moral rayan dalam menghadapi segala tantangan sebagai ayah tunggal.
Setelah memutuskan untuk tidak hadir di toko, Rayan menyiapkan segala sesuatu di rumah. Ia menanti kedatangan rahma dengan penuh syukur. Zeline yang selalu ceria pun ikut bersiap-siap menyambut tamu istimewa mereka. “Hari ini kita akan bertemu Tante Rahma sayang” ucap rayan lembut pada zeline, yang dengan cepat mengangguk sambil tersenyum. Meskipun zeline masih kecil, ia selalu merasakan kasih sayang yang besar dari orang-orang di sekelilingnya.
Tak lama kemudian, Rahma datang bersama suami dan anaknya. Mereka membawa suasana hangat ke dalam rumah rayan, dan kedatangan mereka menjadi momen yang begitu berharga. Rahma tersenyum melihat zeline, memuji betapa cantik dan cerdas gadis kecil itu tumbuh. Mereka duduk di ruang tamu, berbicara sambil sesekali terdengar tawa ringan dari rahma dan suaminya. Di tengah kesibukannya sebagai ayah tunggal, momen seperti ini menjadi pelipur lara bagi Rayan.
Hari itu berjalan dengan damai bagi mereka masing-masing, Rayan di rumah bersama tamunya dan zeline, serta rai di lokasi pemotretan dengan dina yang selalu mendukungnya. Meski takdir memisahkan mereka, masing-masing masih mencari cara untuk bertahan dan melanjutkan hidup mereka. Tanpa mereka sadari, harapan untuk bertemu kembali suatu hari nanti terus hidup di dalam hati mereka.
Di ruang tamu yang sederhana namun hangat, Tio, suami rahma, berbicara dengan lembut pada zeline yang sedang bermain di dekat mereka. “Ikut sama om yuk pulang, nanti kakak zeline bisa main sama adik nesya di rumah ” katanya sambil tersenyum ramah. Zeline menatap tio dengan mata penuh rasa penasaran, seolah mempertimbangkan ajakan tersebut.
Sementara itu, Rahma dan rayan saling bertukar pandang. Mereka berdua tahu bahwa ada lebih dari sekadar ajakan bermain di balik kata-kata Tio. Tio kemudian mengalihkan pandangannya ke Rayan, suaranya sedikit lebih serius ketika berkata,
“Bolehkah aku ajak zeline pulang ke rumah? Sudah tiga tahun, Rayan. Sampai kapan zeline tidak bertemu dengan ibunya?” Tio menatapnya penuh harap, berharap rayan akan mengerti maksudnya.
Rayan menghela napas panjang, rasa berat dan beban yang ia pikul selama ini terasa semakin menyesakkan dadanya. Ia menunduk, menggeleng pelan. Di hatinya, rasa takut dan kebingungan masih terus bergulat, seolah tidak ada jalan keluar dari dilema yang dihadapinya. Bagaimana mungkin ia bisa membiarkan zeline bertemu dengan ibunya setelah apa yang terjadi? Setelah semua ancaman yang ia terima dari keluarga rai.
Rahma, yang duduk di sebelah tio, meletakkan tangan lembutnya di bahu suaminya. Ia memahami rasa cemas yang tersirat di wajah rayan, dan ia pun tahu betapa pentingnya keputusan ini. Tio menoleh ke istrinya, kemudian kembali menatap rayan. Dengan suara yang tegas namun penuh kasih, Tio berkata, “Jangan takut, Rayan. Kau tidak sendirian. Kami ada di sini untukmu. Aku dan Rahma, kami adalah keluargamu.”
Ucapan Tio menggema di ruangan itu. Sebuah janji yang membawa sedikit harapan di tengah ketakutan yang menghantui rayan selama bertahun-tahun. rahma selalu menganggap Rayan dan Rai seperti saudaranya sendiri. Itu sebabnya Rahma tidak pernah ragu untuk berbagi cerita tentang Rayan kepada suaminya, karena dirinya merasa terikat oleh kasih sayang dan rasa tanggung jawab yang kuat terhadap keluarga kecil ini.
Namun, meskipun begitu, hati Rayan masih penuh dengan keraguan. Sejenak ia menatap zeline, yang tampak tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sekelilingnya, dan hatinya semakin hancur. “Aku takut bang tio, kak rahma ” gumam rayan pelan, hampir tak terdengar.
“Aku takut apa yang terjadi dulu akan terulang. Aku tidak bisa membiarkan zeline mengalami hal yang sama…”
Rahma dan tio saling pandang, keduanya merasakan beban berat yang harus dihadapi rayan. Mereka tahu bahwa ini bukan keputusan yang mudah, tetapi mereka juga tahu bahwa pertemuan antara zeline dan rai mungkin menjadi satu-satunya cara untuk menyembuhkan luka yang masih menganga di hati rayan.
Dalam keheningan yang penuh beban, tiba-tiba tio membuka mulut dengan nada tenang, namun penuh keyakinan. “Rayan, Rai sekarang seorang superstar,” katanya pelan tapi jelas. Rayan mendongak, kaget dan tak percaya. Di wajahnya, tergambar campuran antara haru dan kebanggaan yang mendalam. Kata-kata tio menggema di pikirannya, seolah menghidupkan kembali harapan yang lama terkubur.
“Apa?” tanyanya dengan suara bergetar, matanya mulai basah. Airmata perlahan mengalir di pipinya, tak mampu menahan perasaan yang datang begitu cepat. “Benarkah?”
Tio mengangguk dengan lembut, sementara rahma menatap penuh empati. Rayan terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi itu. Di tengah kesibukannya menjalankan toko, merawat zeline, dan berjuang untuk kehidupan baru mereka, ia tak pernah mendengar kabar tentang rai. Tak ada waktu baginya untuk mengikuti perkembangan dunia luar, apalagi mencari tahu tentang sosok yang begitu ia cintai.
Namun, mendengar bahwa rai sekarang dikenal banyak orang dan telah menjadi seorang bintang, hati rayan dipenuhi rasa syukur yang begitu dalam. Di balik semua rasa sakit dan pengorbanan yang telah ia lalui, kabar ini datang seperti hadiah yang tak terduga. “Rai ku,” gumamnya dalam hati, senyum kecil terbentuk di bibirnya di antara linangan air mata.
“Dia berhasil... Dia telah menjadi seseorang yang hebat.”
Rayan menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis bahagia. Di satu sisi, ada perasaan bangga yang luar biasa karena sosok yang dulu ia cintai kini telah mencapai puncak kesuksesan. Tapi di sisi lain, ada luka yang belum sembuh kenangan masa lalu dan perpisahan yang terpaksa mereka jalani.
“Dia pasti sangat kuat ” lanjut Tio, suaranya penuh penghargaan.
“Rai telah melalui banyak hal, tapi dia tidak menyerah. Dia berdiri tegak, dan sekarang dunia mengenalnya.”
Rayan hanya bisa mengangguk sambil menyeka air matanya. Dia merasa hangat dan bahagia, walaupun masih ada perih di hatinya. Setidaknya, dia tahu bahwa rai baik-baik saja, bahkan lebih dari itu dia telah menjadi bintang di langit yang dulu mereka impikan bersama.
" Selesai " ucap fotografer, menandakan akhir dari pemotretan. Rai menghela napas lega, rasa lelah bercampur dengan kepuasan karena pekerjaannya akhirnya selesai. Dina, yang selalu mendampingi dengan setia, menghampiri sambil membawa botol minum. Mereka berdua lalu duduk di bangku yang telah disediakan di pinggir lokasi, mengistirahatkan tubuh sejenak sebelum kembali pulang.
Di dekat mereka, terdengar suara tawa riang anak-anak yang bermain, suara yang memecah keheningan siang itu. Rai, sambil meneguk air yang diberikan dina, menatap mereka dengan senyum tipis di wajahnya. Matanya berbinar, namun di balik senyum itu tersimpan kesedihan yang hanya bisa dia rasakan. Dalam hati, Rai membayangkan andai saja anaknya masih hidup mungkin dia bisa mendengar suara tawa anaknya yang sama riangnya dengan anak-anak yang sedang bermain itu. Mungkin dia akan berlari bersama mereka, tertawa, dan memeluknya.
Namun kenyataannya berbeda. Kenangan pahit dan rasa kehilangan yang mendalam masih membayangi hidupnya, meski sudah tiga tahun berlalu. Hatinya terasa perih setiap kali ia memikirkan anaknya yang tak pernah sempat ia gendong, tak pernah sempat ia dengar tawa bahagianya.
Dina, yang duduk di samping rai, seolah memahami pikirannya. Dia tak berkata apa-apa, hanya memberikan ruang bagi rai untuk menikmati momen kebahagiaannya yang singkat. Dina tahu, betapa sulit bagi rai untuk merasakan sedikit kebahagiaan di tengah-tengah kesedihannya. Jadi dia memilih diam, membiarkan rai menikmati pemandangan anak-anak yang berlarian dengan riang, walau hanya sejenak.
"Yuk, Rai, kita pulang " kata dina dengan lembut, menepuk bahu rai pelan. Rai mengangguk pelan, menghela napas lagi, mencoba menyingkirkan kesedihan yang muncul. Dengan langkah perlahan, mereka berdua beranjak dari bangku, siap kembali ke dunia nyata, meninggalkan sepotong mimpi yang tak pernah bisa terwujud.
"Bagaimana rayan?" tanya tio sekali lagi, Rayan menoleh, menghela napas panjang sebelum menggeleng pelan.
"Tidak bang. Zeline di sini saja. Lagipula, aku tak ingin menyusahkan kalian. Kalian sudah sangat banyak membantuku " jawab rayan dengan nada tulus, meski ada beban yang terasa berat di dalam hatinya.
Tio mengangguk, menerima jawaban itu tanpa paksaan. "Ya sudah, tidak apa-apa. Tapi jika rai ada acara, bolehkah aku membawa zeline menonton? Agar zeline bisa melihat ibunya meskipun ia belum tahu siapa ibunya. Setidaknya, mereka sudah pernah bertemu walau belum saling kenal " ucap Tio lagi, nada suaranya penuh harapan. Rahma, yang duduk di samping suaminya, mengangguk setuju atas usul tersebut, matanya penuh perhatian pada rayan.
Rayan terdiam sejenak, tak langsung memberikan jawaban. Pikirannya melayang pada zeline yang sedang bermain dengan anak rahma dan tio, tertawa riang tanpa beban. Dia menatap gadis kecilnya itu dengan rasa sayang yang mendalam, sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya perlahan.
"Baiklah... kalian boleh membawanya nanti " ucapnya pelan, menyerah pada kenyataan bahwa zeline mungkin perlu melihat ibunya, walaupun dalam situasi yang penuh dengan batas.
Namun kekhawatiran masih membayang di hatinya, membuatnya merasa gelisah. "Tapi... kuharap kalian hati-hati. Aku takut... takut kalau ibu rai melihat atau melukai zeline." Kalimat terakhir itu keluar dengan berat, cemas yang telah lama menghantui dirinya.
Tio dan rahma saling menatap sebelum menoleh kembali ke rayan. Serempak, mereka mengangguk, penuh kesungguhan. "Jangan khawatir rayan. Kami akan menjaga zeline seperti anak kami sendiri " kata Tio, suaranya penuh dengan keyakinan. Rahma menggenggam tangan rayan dengan lembut, menambah rasa tenang dalam suasana yang sempat menegang.
Rayan menarik napas dalam-dalam, sedikit merasa lebih lega. Dia tahu, meskipun takdirnya kini jauh dari rai, ada keluarga lain yang mendukung dan menjaga dirinya serta zeline.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!