Rembulan bersinar terang, memancarkan cahaya yang mampu menerangi gelapnya malam. Angin terasa berhembus kencang menerpa permukaan kulit wajahku saat berdiri di depan jendela kamar yang terbuka lebar. Malam ini begitu sunyi, hamparan tanaman di halaman samping rumah menambah ketenangan dalam sunyinya malam. Namun tidak dengan pikiranku yang penuh dengan kemelut keraguan.
Denting jam terus berputar, terdengar dari suaranya di tengah keheningan. Ku lirik jam dinding, waktu menunjukkan pukul 1 dini hari. Sudah 3 jam aku terjaga, sibuk dengan pikiran yang menguasai jiwa.
Ku tutup jendela kamar, pijakan kaki di lantai terasa begitu dingin di telapak kaki. Ku langkahkan kaki menuju kamar mandi di dalam kamar sederhana ini. Suara gemercik air begitu menggema saat mengambil wudhu. Daripada sibuk dengan pikiran yang berkemelut, lebih baik mencurahkan segala kerisauan hati pada sang pemilik kehidupan. Yang menulis scenario atas semua makhluk hidup di muka bumi.
Aku sudah sempat tertidur 3 jam lalu, namun dering ponsel membuatku terbangun. Keputusan untuk menerima panggilan telfon pukul 10 malam tadi sempat meninggalkan sesal. Seandainya aku tidak mengangkatnya, mungkin segala perasaan yang berkecambuk tak akan singgah dalam benakku.
"Assalamu'alaikum. ada apa Mas Erik.?" Ku sapa ramah pria di seberang sana. Bukan bermaksud menarik perhatian dengan keramahanku, namun pembawaanku sudah seperti ini sejak dulu. Mungkin keramahan itu pula yang membuatku gampang berbaur dan punya banyak teman.
"Bulan, jangan terlalu berharap dengan pernikahan kita. Aku menyetujui perjodohan ini karna tidak mau melukai perasaan kedua orang tuaku."
Suara bariton Mas Eric begitu menggema di telinga. Suaranya penuh penekanan dan syarat akan peringatan. Mungkin agar aku tak melupakan ucapannya.
Sempat terkejut, mataku mengerjap beberapa kali untuk mencerna ucapannya. Bisa saja aku salah dengar dalam posisi kesadaran yang belum sepenuhnya berkumpul karna baru bangun tidur. Namun perkataan Mas Erik selanjutnya membuatku sadar bahwa pendengaranku tak keliru.
"Aku memiliki kekasih yang tidak mungkin aku tinggalkan. Kami berdua saling mencintai dan punya impian untuk menikah."
Tuturnya begitu gamblang tanpa rasa bersalah. Tidakkah dia berfikir bahwa ucapannya bisa melukai perasaanku.? Meski belum ada cinta di antara kami. Sebab pernikahan kami tinggal menghitung hari.
Aku hanya bisa tersenyum getir tatkala ucapannya sedikit menggores hati. Sebagai calon istrinya, harga diriku begitu terluka atas penolakan yang hanya berani di ucapkan padaku. Kalau memang sudah memiliki wanita pilihan sendiri, kenapa harus menyetujui perjodohan ini dan membuatku terlihat menyedihkan di matanya.
Mungkin dia pikir, aku langsung menerima perjodohan ini tanpa ada perang batin. Hingga kata demi kata menyakitkan begitu mudah terucap dari bibirnya.
Sesaat aku terjerembab dalam pusara kecewa, namun detik berikutnya aku mencoba tenang. Ini baru permulaan, aku tak akan menunjukkan sikap nelangsa di depannya.
"Aku mengerti. Aku pastikan pernikahan kita tak akan menganggu kisah percintaan kalian.!" Suara tegasku berbanding terbalik dengan kegelisahan yang menyelimuti. Pengakuannya cukup mengagetkan, mungkin aku hanya perlu waktu untuk terbiasa. Sebab, kedepannya pasti akan lebih banyak lagi pengakuan yang dia buat tentang kisah cintanya dengan wanita itu.
"Hallo.? Mas Erik mendengar ku bukan.?" Tegur ku kala hanya ada keheningan di seberang sana.
"hemm." Singkatnya datar.
"Kalau begitu aku matikan telfonnya. Assalamu'alaikum.!"
Tut.!
Aku menutup telfon sebelum Mas Erik menjawab salam. Lagipula pria itu memang jarang sekali menjawab salamku.
Percakapan itu yang akhirnya membawaku dalam kerisauan.
Sajadah sudah terbentang di atas lantai menghadap kiblat. Ku pakai mukena putih yang dipenuhi bordir warna cream pada bagian bawah dan kepala. Mukena yang di bawa oleh rombongan keluarga Mas Erik saat melamar ku 1 minggu lalu.
Segera ku tunaikan dua rakaat setelah membuang jauh-jauh bayangan percakapanku dengan Mas Erik 3 jam lalu. Menyesakan dada.
Sebuah do'a ku panjatkan, di iringi keheningan malam. Membuat ku begitu khusyuk memanjatkan do'a terbaik untuk diijabah oleh sang pemilik kehidupan.Tak banyak inginku, cukup di beri kebahagiaan yang selalu menyertai di setiap langkahku.
Di akhiri dengan lantunan ayat suci, ku sudahi ibadah yang mampu menenangkan hati dan jiwa. Kini tak ada lagi kerisauan, akan ku ikuti kemanapun takdir membawa raga ini.
...*******...
Pagi itu mentari bersinar cerah. Udara di sekitar rumah berhembus sejuk. Keriuhan sudah terjadi sejak 2 jam lalu, saat tetangga dan anggota keluarga mulai berdatangan satu persatu memenuhi tenda pelaminan di halaman rumah.
Di kamar yang sudah disulap sedemikian rupa untuk kamar pengantin, aku berteman dengan segala kerisauan hati. Pikiran kembali berkecambuk menjelang detik-detik ijab kabul.
Pernikahan bukan lelucon yang bisa di permainkan. Ijab kabul akan di saksikan oleh banyak orang dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan sang Pencipta. Janji suci itu teramat sakral. Apa jadinya jika aku dan Mas Erik menjalani pernikahan ini dengan tujuan yang sudah jelas, yaitu mempermainkan pernikahan. Sebab, Mas Erik akan tetap menjalin hubungan dengan wanita lain setelah pernikahan ini.
"Bulan, ayo keluar. Penghulunya sudah datang." Talia, sepupuku masuk ke dalam kamar dan mengajakku keluar.
Dia membatu mengangkat ekor kebaya yang aku kenakan. Menyusuri rumah yang hari ini sangat sesak di penuhi keluarga yang ingin menyaksikan pernikahan konyol ku dengan kekasih wanita lain.
"Jangan ke pelaminan dulu, tunggu sampai Erik selesai ijab kabul." Suara itu berasal dari wanita cantik berbalut kebaya cream yang telah melahirkan ku.
Beliau menuntunku duduk di teras rumah, agar bisa menyaksikan Mas Erik mengucap ijab kabul dari kejauhan.
Perhatian sebagian tamu tertuju padaku. Pujian demi pujian silih berganti. Aku terlihat begitu cantik dan sempurna di depan mereka, hingga semuanya begitu bahagia menjadi saksi pernikahan ini. Tanpa mereka tau, aku sedang mengkhawatirkan nasibku setelah menjadi istri Mas Erik nanti.
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Sinar Rembulan binti Abdul Aziz dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai.”
Mas Eric begitu lantang dan lancar mengucapkan ijab kabul. Jujur, hatiku sempat bergetar kala pria tampan itu melirik ke arahku sesaat setelah menyelesaikan ijab kabul. Pandangan kami bertemu, namun sibuk dengan pikiran masing-masing.
Tatapan mata kami terputus kala saksi dan tamu undangan mengucapkan 'Sah'.
Detik itu juga, aku resmi menjadi istrinya. Istri dari seorang pria tampan yang di anggap sempurna dan baik oleh keluarga kami.
"Bulan, ayo samperin suami kamu." Suara haru Ibu membuyarkan lamunan. Aku di bantu untuk berdiri dan dibawa mendekat pada Mas Erik yang masih duduk di depan penghulu, Bapak dan saksi.
Ku paksakan senyum untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi dalam perjodohan kami. Mereka hanya melihat bahwa aku dan Mas Erik bahagia dengan pernikahan ini.
Tetangga dan kerabat dekat satu persatu sudah meninggalkan rumah. 6 jam setelah ijab kabul, rumah mulai sepi dan hanya tersisa keluarga inti. Dua keluarga yang telah disatukan oleh pernikahan ku dengan Mas Erik tampak semakin akrab. Senyum bahagia tak pernah surut dari wajah Mama Mas Erik dan Ibuku. Sebahagia itu mereka melihat anak-anaknya menikah, tanpa tahu rahasia menyakitkan di balik pernikahan ini. Yang mereka tau, kami akan bahagia menjalani kehidupan setelah pernikahan. Memberikan cucu-cucu yang lucu untuk mereka.
Aku menghela nafas berat membayangkan hari-hariku setelah menyandang status sebagai istri dari pria yang memiliki kekasih. Rasanya ingin menertawakan kebodohanku karna tetap meneruskan perjodohan ini.
"Bulan, suami kamu nanyain handuk baru, katanya mau mandi." Suara Bapak menyadarkanku dari lamunan. Di hadapanku ada sepupu dan adik Mas Erik yang masih kuliah. Keempat orang itu asik bercanda di saat pikiranku sedang berkemelut, memikirkan nasib mirisku.
"Ekheem,,, ekheemm,, itu namanya kode, Bulan. Sana buruan, samperin suamimu ke kamar." Kakak sepupuku tersenyum lebar penuh arti dengan tatapan meledek. Ibu satu anak itu pasti berfikir yang tidak-tidak.
"Apaan sih Mba, kan cuma minta handuk. Mungkin Mas Erik memang lupa bawa handuk." Aku buru-buru beranjak agar tidak menjadi bulan-bulanan sepupuku yang lain. Lagipula di sana ada anak gadis, takut pikirannya tercemar karna ucapan sepupuku. Berbeda denganku yang sudah biasa mendengar perkataan mereka yang sebenarnya tabu di bicarakan.
"Iya, iya, Mba percaya.!" Jawabnya penuh penekan, namun dengan ekspresi menahan tawa jahil. Yang artinya kebalikan dari ucapannya tadi. Namun aku enggan meladeni dan segera berlalu.
...******...
Tok,, tok,, tok,,
Rasanya sangat lucu mengetuk pintu kamar sendiri disaat di dalam sana ada seorang pria yang bergelar sebagai suamiku. Jika ada orang lain yang melihat, mereka mungkin akan menegur atau menertawakanku. Untungnya suasana di dalam rumah cukup sepi, kebanyakan masih ada di halaman rumah, duduk di tenda pelaminan yang cukup megah. Tentu bukan keinginanku, karna orang tua Mas Erik yang mengurus semuanya. Aku cukup terima beres. Sebab, orang tua Mas Erik yang bersikeras memintaku untuk menjadi menantunya.
Aku baru membuka pintu setelah mendengar suara bariton dari dalam kamar yang menyuruhku masuk. Mas Erik tampak duduk di kursi meja rias, dia langsung berdiri saat melihatku masuk.
"Ada handuk bersih.? Aku lupa bawa handuk." Nada bicaranya sangat datar, sedatar ekspresi wajahnya kala menatap ke arahku.
"Sebentar, aku cari dulu."
Setelah menutup pintu kamar, ku buka satu-satunya lemari baju yang ada di kamar ini. Aku memang bukan wanita yang gemar mengoleksi baju. Satu lemari berukuran sedang sudah cukup untuk menampung semua pakaian beserta kerudung.
"Yang benar saja Bulan, masa aku pakai handuk warna pink.?" Keluh pria berbadan tinggi itu. Dahinya mengkerut, membuat alis tebalnya menukik. Ekspresi herannya cukup menambah kadar ketampanan suamiku. 'Suami.?' Batinku tersenyum miris.
"Hanya ada ini di lemari. Lagipula cuma handuk, kenapa mempermasalahkan warna. Memangnya Mas Erik mau keluar kamar pakai handuk ini.?" Sahut ku panjang lebar.
Mas Erik memasang wajah malas sembari menyambar handuk dari tanganku dan berlalu ke kamar mandi. Sikapnya membuatku geleng-geleng kepala.
Tak mau ambil pusing, aku segera keluar kamar dan kembali berkumpul dengan sepupuku dan yang lain. Jangan di tanya bagaimana reaksi mereka saat melihatku sudah keluar kamar lagi. Mereka meledek ku habis-habisan. Aku hanya menanggapi dengan senyum tanpa berkomentar. Biarlah nanti mereka tau sendiri pernikahan macam apa yang akan aku jalani.
...******...
Jarum jam menunjukkan pukul 7 malam. Semua orang sudah berkumpul di ruang tamu beralaskan karpet. Di tengah-tengah sudah ada hidangan makan malam, lengkap dengan beberapa menu masakan khas hajatan. Ibu tidak mengijinkan keluarga Mas Erik dan keluarga dekatku pulang sebelum makan malam, itu sebabnya kondisi di rumah masih ramai.
Aku dan Mas Erik duduk sebelahan. Ada rasa canggung dan tidak nyaman dalam posisi seperti ini. Lebih tepatnya saat perhatian semua orang fokus ke arah kami dengan tatapan penuh arti. Padahal tidak terjadi apapun di antara kami selama istirahat berduaan di kamar selama 2 jam. Kalau saja tidak dipaksa istirahat oleh keluargaku, mana mungkin kami akan berduaan selama itu dalam keheningan.
"Ambilkan makanan untuk suamimu dulu, Bulan. Masa begitu saja harus Ibu yang ngajarin.?" Bisikan Ibu yang posisi duduknya juga ada di sampingku.
Aku mengangguk tanpa protes.
"Mau pakai lauk apa Mas.?" Tanyaku saat piring di tangan sudah ku isi nasi.
"Apa saja, aku tidak pilih-pilih makanan." Jemarinya tampak lincah mengetik pesan di layar ponsel sambil menjawab pertanyaanku.
Sekilas aku melihat nama kontak perempuan dengan emoticon love. Suamiku sedang membalas pesan dari kekasihnya. Bukankah itu sangat konyol.?
...******...
"Kamu tidak gerah tidur pakai kerudung.?" Tanya Mas Erik saat melihatku naik ke atas ranjang dan berbaring dengan kerudung yang masih melekat di kepala. Menutup rambut hitamku yang panjang.
"Gerah mungkin di awal saja, selanjutnya akan terbiasa. Lagipula ada AC." Jawabku sambil berbalik badan memunggungi Mas Erik. Bahkan aku mengambil tempat paling pinggir karna ingin membuat jarak. Sebab percuma saja tidur berdekatan kalau sudah ada kata 'Tak akan menyentuhmu' keluar dari bibirnya.
"Kamu takut aku khilaf setelah melihatmu tidak pakai kerudung.? Aku janji tidak akan menyentuhmu." Ucapan Mas Erik cukup menarik perhatian, seketika aku berbalik badan menatapnya.
"Bukan hanya takut khilaf, tapi takut Mas Erik jatuh cinta padaku." Kataku sedikit terkekeh. Menanggapinya dengan candaan adalah salah satu cara menyelamatkan perasaanku agar tak tersinggung.
"Kalau sudah jatuh cinta padaku, nanti mau dikemanakan kekasih Mas Erik itu." Ku tatap lekat netra Mas Eric yang menatapku tajam. Aku bahkan tidak bisa mengartikan arti tatapannya kali ini.
"Namanya Celine." Ucap Mas Eric seraya mengarahkan pandangan ke atas, menatap langit-langit kamar dengan tatapan menerawang.
"Sudah 4 tahun kami bersama. Orang tuaku mengira hubungan kami sudah berakhir. Kami tidak seiman. keluarganya juga tak mengijinkan Celine menukar agamanya denganku, begitu pun aku."
"Jadi keluarga kami sepakat mengakhiri hubungan ku dengan Celine yang saat itu memasuki tahun ke tiga."
Nada bicara datarnya penuh keputus-asaan. Aku sempat hanyut dalam kisahnya, membayangkan dua orang yang saling mencintai namun tak bisa bersatu karna beda keyakinan.
Mungkin tidak ada titik temu karna keluarga Mas Erik dan keluarga kekasihnya sama-sama kuat mempertahankan kepercayaan yang sejak kecil mereka anut.
"Aku turut prihatin. Tapi kalau ditakdirkan tidak berjodoh, kita sebagai manusia bisa apa.?" Kataku penuh penekanan.
"Sama seperti aku yang pernah merencanakan pernikahan bersama seseorang, tapi hari ini malah menikah dengan Mas Erik." Sengaja ku tegaskan kalimat terakhir, hingga Mas Erik menoleh ke arahku.
"Manusia hanya bisa berencana, tapi Allah yang menentukan.!" Ucapku tegas.
Mas Erik terdiam, beberapa saat dia menatapku tanpa kata, lalu mengalihkan pandangan. Entah apa yang ada dalam benaknya.
Malam pertama kami dilewatkan begitu saja tanpa ritual yang biasa dilakukan pasangan pengantin baru. Jauh dari kata Indah, romantis ataupun berkesan. Namun akan selalu aku ingat malam ini, malam dimana suamiku tak mau menyentuhku karna menjaga perasaan wanita lain.
Dua hari setelah pernikahan kami, Mas Erik mengajak ku pindah ke rumah pribadinya. Sore itu aku segera berkemas memasukkan baju dan barang pribadiku ke dalam koper besar. Sebenarnya agak berat pisah rumah dengan orang tua dan harus tinggal berdua bersama Mas Erik. Terlebih ada jarak nyata antara aku dan Mas Erik meski kami sudah menikah. Jarak yang di buat Mas Erik membuat ku merasa asing dengan status pernikahan kami.
"Sudah selesai.?" Suara berat Mas Erik membuyarkan lamunan. Aku mendongak untuk menatap wajah pria yang berdiri menjulang di depanku.
"Sudah,," Kataku. Segera ku tutup koper yang sudah terisi penuh oleh baju-baju serba tertutup dan kerudung.
"Cuma ini.?" Mas Eric tampak heran melihat ku hanya menyiapkan 1 koper untuk di bawa ke rumahnya.
"Aku tidak punya banyak baju. Lagipula tidak selamanya aku tinggal dengan Mas Erik kan.?." Aku mengukir senyum penuh arti, Mas Erik pasti paham maksud ucapanku. Dia pun pasti berharap pernikahan kami bertahan sementara agar dia dan kekasihnya bisa hidup bersama.
"Ayo, aku ada pekerjaan yang harus di selesaikan malam ini." Mas Erik mengambil alih koper dari tanganku dan membawanya keluar kamar. Aku buru-buru mengekorinya untuk berpamitan pada Bapak dan Ibu, lalu dengan anggota keluarga yang lain.
...*****...
"Bapak titip Bulan ya nak Erik." Wajah keriput Bapak tampak berbinar ketika bicara pada Mas Erik. Sebahagia itukah orangtua ku karna putrinya menikah dengan Mas Erik.? Pada kenyataannya Mas Erik memang memiliki daya tarik lebih di mata para orang tua. Pria itu terkenal sopan, baik dan bertanggungjawab. Kerja kerasnya juga tidak perlu di ragukan lagi. Bahkan di usianya yang baru 30 tahun, Mas Erik sukses dengan kariernya di sebuah perusahaan kontruksi terbesar di Ibu kota.
"Bulan sudah jadi tanggungjawab saya, Pak. Sudah pasti saya akan menjaga dan melindungi Bulan. Bapak sama Ibu tidak usah khawatir." Mas Erik tersenyum meyakinkan pada kedua orangtua ku.
Lihat, bagaimana orangtua ku tidak bangga dan bahagia memiliki menantu bermulut manis seperti Mas Erik. Dia pandai menarik hati Bapak dan Ibu hingga mereka sangat bersemangat ketika menjodohkan kami. Di mata mereka, hanya Mas Erik,yang pantas menjadi pendamping hidupku.
"Bulan masih butuh bimbingan dan arahan. Seandainya melakukan kesalahan, tolong di nasehati baik-baik, jangan di bentak atau di kasari. Hatinya terlalu lembut, tidak bisa di bentak sedikit saja." Mama merangkul dan membawaku dalam dekapannya ketika berpesan pada Mas Erik. Aku bisa merasakan suara Ibu bergetar menahan tangis. Beliau pasti berat melepaskan anak perempuan satu-satunya.
Aku tiga bersaudara, Kakak laki-laki ku sudah menikah dan tinggal di luar kota. Aku juga punya adik laki-laki yang masih kuliah, dia masih tinggal di rumah ini.
Aku bisa melihat Mas Erik mengangguk kecil, artinya dia menyanggupi perkataan Ibu. Walaupun dia hanya pura-pura.
...*******...
Perjalanan dari rumah orangtua ku ke rumah Mas Erik memakan waktu sekitar 2 jam. Kami sampai di komplek perumahan Elit. Rumah di depan jalan utama komplek ini hanya di beri pagar terbuka dengan tinggi sekitar 2 meter. Aku sempat terdiam di samping mobil dan mengamati rumah lantai 3 dengan gaya Eropa yang didominasi warna putih. Ada 4 pilar yang menjulang tinggi, tersambung dengan balkon lantai 2.
Tak lama, seorang wanita paruh baya keluar dari dalam rumah dan menyambut ramah kedatangan kami.
"Malam Pak Erik. Selamat atas pernikahannya. Bibi sebenarnya ingin datang, tapi anak Bibi sakit. Baru tadi siang Bibi sampai disini." Sapanya ramah.
"Tidak masalah Bik." Jawab Mas Erik, pria itu kemudian beralih membuka bagasi untuk menurunkan koper.
"Ini Bu Rembulan kan.? Ternyata lebih cantik dari bayangan Bibi. Mana pakai kerudung, Pak Erik pintar memilih istri solehah." Ujarnya dengan senyum ramah yang tak pernah luntur.
"Saya Bik Asih, Bu. Sudah 1 tahun terakhir kerja di rumah Pak Erik." Beliau mengulurkan tangan padaku, aku menerima uluran tangannya untuk berjabat tangan.
Aku jadi ikut senyum-senyum mendengar Bik Asih berceloteh hampir tanpa jeda.
"Salam kenal Bik Asih. Panggil Bulan saja, tidak usah pakai embel-embel Bu. Saya merasa sangat tua di panggil Bu." Jawabku seraya terkekeh kecil.
"Tapi tidak sopan cuma panggil nama. Saya jadi sungkan,," Tolak Bik Asih sopan.
"Panggil Bulan saja Bik, Bulan mungkin tidak nyaman di panggil Ibu." Suara tegas Mas Erik mengakhiri sesi perkenalan ku dengan Bik Asih. Kemi bertiga kemudian masuk ke dalam rumah.
Mas Erik membawaku ke lantai 2. Dia masih setia membawakan koper milikku. Aku akui Mas Erik memang baik dan bertanggungjawab, dia bahkan tidak membiarkanku mengangkat koper besar itu.
"Ini kamar kamu,," Katanya setelah membuka pintu kamar. Aku menatapnya dengan dahi berkerut.
"Maksud Mas Erik, kita akan pisah kamar.?" Tanyaku memastikan.
"Memangnya kamu berharap kita tidur satu kamar.? Bukankah aku sudah berjanji untuk tidak menyentuhmu, jadi lebih baik memang pisah kamar." Mas Erik menarik koper ku ke dalam kamar, lalu keluar lagi setelah meletakkannya di dekat pintu.
"Kamar ku ada di sebelah, tapi aku tidak mengijinkan siapapun masuk ke dalam, termasuk kamu. Bik Asih juga tidak pernah masuk ke kamarku." Katanya memberi tau. Aku sempat melirik sekilas ke kamar sebelah, lalu kembali menatap wajah Mas Erik.
"Baik, aku sangat paham."
"Terimakasih sudah memberiku tumpangan untuk tempat tinggal. Aku masuk dulu,," Tanpa menunggu jawaban dari Mas Erik, aku menyelonong masuk ke dalam kamar dan menguncinya.
...******...
Flashback
"Maaf Mas Arlan, Bapak sudah menyiapkan calon imam untukku. 2 minggu lagi kami akan menikah."
Bisa ku lihat keterkejutan di wajah Mas Arlan ketika aku mengatakan akan menikah dengan pria lain. Ada gurat kecewa di matanya, namun Mas Arlan masih terdiam menatap netraku lekat-lekat.
Di antara aku dan Mas Arlan memang tidak ada hubungan. Pria 29 tahun itu juga belum mengikat ku. Orangtua ku bahkan tidak mengenal Mas Arlan. Tapi pria yang berprofesi sebagai Dokter itu sempat mengutarakan ingin melamarku setelah mendapat restu dari orang tuanya. Tapi hingga 4 bulan lamanya kami berteman, Mas Arlan tak kunjung diberi restu. Mungkin orangtua Mas Arlan punya kriteria calon menantu sendiri, tentunya bukan aku.
"Bagaimana kepribadiannya.? Apa dia pria yang baik.?"
Tanya Mas Arlan setelah cukup lama terdiam karna sibuk dengan pikirannya sendiri.
"InsyaAllah. Bapak dan Ibu selalu memuji kepribadiannya." Aku menundukkan pandangan karna tidak tega melihat ekspresi wajah sendu Mas Arlan.
"Lalu Bagaimana perasaan Bulan dengan pria itu.? Kamu tertarik.?" Mas Arlan masih bisa bicara santai, padahal aku bisa melihat kerisauan dalam sorot matanya.
"Itu hanya soal waktu. Aku hanya berusaha menuruti perkataan Bapak dan Ibu." Lirih ku.
Mas Arlan tampak mengangguk paham.
"Semoga dia bisa menjadi imam yang baik untuk kamu." Ucapnya. Tampak senyum yang dipaksakan mengembang di bibir Mas Arlan. Pria itu kemudian pamit pergi.
Aku hanya bisa menghela nafas saat mengingat hari itu, rasanya tidak tega melihat kehancuran di mata Mas Arlan, sedangkan dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!