**Catatan u/nama (orang, tempat, dll)
Tj dibaca C
J dibaca Y
Dj dibaca J
Oe dibaca U
Selamat menikmati 😄 semoga suka yaaa 🙏🙏
“Aaaaaaargh…. Sakit Mbooook!” Teriak Dewi Astjarjana menahan sakit di area perut ke bawah.
Sudah hampir setengah hari ia mengejan sambil sesekali berteriak.
Jabang bayinya sudah lebih dari dua belas bulan, bahkan hampir tiga belas bulan berada dalam kandungannya, dan baru hari ini Dewi Astjarjana merasakan tanda-tanda mau melahirkan.
Rasa sakitnya semakin lama semakin menjadi, interfalnya juga lebih sering dari sebelumnya.
Dewi Astjarjana adalah putri kedua, sekaligus putri bungsu dari keluarga konglomerat Ki Ageng Radjito. Hampir 70% jalur perdagangan di Djawi Koelon dikuasai oleh keluarga tersebut.
Tak jarang pula barang-barang dagangannya dikirim keluar daerah, bahkan sampai ke keluarga Kerajaan Djawa Dwipa karena mutu dan kualitasnya.
Ketika belum menikah, sering kali Dewi Astjarjana turut serta dalam perjalanan mencari pelanggan baru.
Kecantikan dan kehalusan budi bahasanya, menjadi senjata utama dalam menjalin hubungan untuk mengembangkan usaha keluarganya.
Setelah berhasil mendapatkan pelanggan baru, perdagangan akan diteruskan oleh orang-orang kepercayaan Ki Ageng Radjito yang lain. Dan kemudian Dewi Astjarjanan akan mencari pelanggan baru yang lainnya. Begitu terus hingga Keluarga Radjito berhasil mencokolkan dengan kuat akar usahanya di tanah Djawa.
“Sabar Kanjeng Nyai… nafas teratur, huuuf… huuuuf…. yaaa.. begitu…” Mbok Esti sang dukun bayi dengan sabar menemani dan menuntun proses persalinan Dewi Astjarjana.
Mbok Esti bahkan sudah tinggal di dalem kadipatenan, tempat tinggal Dewi Astjarjana, sejak usia kandungan Dewi Astjarjana masuk bulan ke-sembilan karena mengira bila Dewi Astjarjana hanya mengandung 9 bulan 10 hari seperti kebanyakan wanita pada umumnya.
Keringat Dewi Antjarjana mengucur deras dari kening, wajah, leher, dan seluruh tubuhnya. Bahkan air matanya pun ikut menetes sederas peluhnya.
Nafasnya memburu, kain jarik yang dipakai untuk menutupi tubuhnya sudah basah kuyup, begitu juga rambut indah semata kakinya, sudah tak karuan lagi bentuk dan rupanya.
Bau wangi yang biasanya terhirup oleh siapapun yang berpapasan dengan Dewi Astjarjana, sudah tak dapat dirasakan lagi. Yang ada hanya bau keringat, bercampur anyir air seni dan darah.
“Sepertinya mau kontraksi lagi Kanjeng Nyai, Ambil nafas dalam-dalam, ngedaaaaaan….”
Tangan kanan Mbok Esti menggenggam erat tangan kanan Dewi Astjarjana, sedangkan tangan kirinya membantu menekuk kepala Dewi Astjarjana untuk membantunya memberikan tenaga mengedan.
Tenaga dalam Mbok Esti pun sudah banyak terkuras dalam membantu proses persalinan kali ini.
“Aaaargh.. Sakit Mbooook… aku sudah tak tahan!!” tangis Dewi Astjarjana pecah ketika perutnya sedikit melemas serta kontraksinya sedikit berkurang.
Dan ketika perutnya mulai berkontraksi lagi, Mbok Esti menuntunnya untuk kembali mengejan.
Satu dupa lagi tlah habis terbakar, jeritan Dewi Astjarjana masih terdengar menyayat hati bersautan dengan suara Mbok Esti yang berusaha menenangkan sambil tetap memberi semangat agar Dewi Astjarjana bisa segera melahirkan bayi dalam kandungannya.
Sementara itu di luar kamar, masih di Griya Kenanga, paviliun tempat Dewi Astjarjana melahirkan, Adipati Elang Ganendra, suami Dewi Astjarjana, hanya mampu menarik nafas berat dan panjang berulang kali.
Wajahnya yang tegang, mengisyaratkan suasana hatinya. Sesekali ia mengepalkan tangan kanannya dan meninjukan ke telapak tangan kirinya.
Adipati Elang Ganendra adalah putra pertama dari Dewandaru, Raja dari Swargaloka yang turun untuk menjaga Bumi.
Selain memimpin Kadipaten Pringgondani di kaki Gunung Lawu, Elang Ganendra juga merupakan pewaris tunggal perguruan ilmu beladiri “Kidang Kentjana” yang didirikan oleh Dewandaru.
Nama Kidang Kentjana sendiri dipilih karena banyaknya rusa yang hidup di gunung tersebut.
Gerakan-gerakan ilmu beladiri dan jurus-jurusnya juga banyak terins[irasi dari tingkah laku rusa ketika berlari, berburu makanan dan juga menghindar dari sergapan pemburu atau binatang buas yang lapar.
“Sedikit lagi Kanjeng Nyai, sedikit lagi, kepalanya sudah keluar!”
Mata Mbok Esti berbinar ketika melihat kepala jabang bayi sudah terlihat dari sela-sela paha Dewi Astjarjana.
Disalurkannya semua sisa tenaga dalamnya melalui telapak kaki Dewi Astjarjana untuk memberikan tenaga tambahan.
“Aaaaaaaargh….. “ Dewi Astjarjana merasakan kontraksi yang hebat. Perutnya menegang, ikut mendorong bayi yang masih dalam kandungannya agar segera keluar.
Dikerahkannya seluruh tenaganya, tak dipedulikan lagi sakit di sekujur tubuhnya.
Dewi Astjarjaba hanya berpikir untuk segera melahirkan anak yang sudah lima tahun diidam-idamkannya.
“Oweeek……!! Oweeek….!!” Lengkingan suara jabang bayi menggema memekakkan telinga semua orang yang ada di dalam ruangan. Bahkan paviliun pun turut bergetar menahan gaung suara si jabang bayi.
Mbok Esti terpana, pandangan matanya tak lepas dari jabang bayi yang baru saja melihat dunia.
Dua orang abdi dalem yang membantu Mbok Esti, menutup telinganya yang sontak terasa ngilu dan berdenging karena gema tangis si jabang bayi.
Adipati Elang Ganendra, kedua orang tua dan mertuanya, tersentak mendengar tangisan bayi yang sangat kuat.
Mereka juga bisa merasakan ada kekuatan besar yang menyertai lahirnya si jabang bayi.
“Hahaha…. Dia sangat kuat, dia pantas menjadi anakku. Hahahaha…” Adipati Elang Ganendra tertawa lepas setelah rasa terkejutnya hilang.
Ia sangat bangga dengan kekuatan anaknya yang baru lahir, juga lega karena masa tegangnya telah usai.
Seisi dalem kadipatenan tersenyum lega, seolah terlepas dari batu besar yang telah beberapa jam menghimpit dada dan kepala mereka.
Semuanya bersuka-ria, memanjatkan rasa syukur kepada Sang Hyang Agung.
Semuanya mengucapkan selamat kepada Adipati Elang Ganendra atas kelahiran buah hati pertamanya yang memang sudah sangat ia nantikan. Sambil sesekali mengibaskan kepala dan membuang nafas, karena suara tangisan si jabang bayi masih terdengar sangat kuat sampai keluar ruangan.
Selesai memotong ari-ari, Mbok Esti segera menggendong si jabang bayi, mencoba untuk menenangkan tangisnya, sambil membersihkan bekas darah melahirkan di seluruh badan si jabang bayi menggunakan lap kain hangat.
Sementara dua abdi dalemnya, membersihkan badan Dewi Astjarjana yang masih terkulai tak berdaya, memberikan ramuan jamu, dan mengganti alas tidur Dewi Astjarjana.
Tangis si jabang bayi mulai reda. Sementara Mbok Esti mengerutkan keningnya.
Dada Mbok Esti kembali sesak, membayangkan bagaimana reaksi Dewi Astjarjana dan Adipati Elang Ganendra bila mengetahui keadaan si jabang bayi yang sebenarnya.
Walaupun kekuatan si jabang bayi sangat besar, akan tetapi ada bagian tubuh lain yang tidak biasa tumbuh di punggung kanan dan kirinya.
Hal ini membuat Mbok Esti beberapa kali menghela nafas panjang dan dalam.
“Mbok, bagaimana anakku?” Tanya Dewi Astjarjana memecahkan lamunan Mbok Esti.
“Eh, anu, iya…”
“Mana Mbok, biar aku gendong...”
“Bayi perempuan, Kanjeng Nyai,” Dengan ragu mbok Esti menyerahkan si jabang bayi di tangannya yang sudah digedong kain jarik (dibungkus rapat mulai leher, tangan badan hingga ujung kaki dan hanya menyisakan kepala saja yang nampak) kepada Dewi Astjarjana yang masih berbaring di tempat tidur.
Adipati Elang Ganendra sudah tidak sabar menunggu, ingin segera melihat anaknya.
Ia menerobos masuk ke dalam kamar sebelum Mbok Esti mengabarinya. Senyum bahagia tak pernah lepas dari bibirnya.
“Dinda, selamat…” Ucapnya.
“Kanda… seorang putri...” Dewi Astjarjana menyambut kedatangan Elang Ganendra dengan suara merdunya.
Walaupun masih tampak pucat, tapi rona bahagia, lega, haru, bercampur aduk terbias di wajahnya, sementara Mbok Esti hanya tertegun di samping tempat tidur tanpa mampu berkata maupun melakukan apa-apa.
“Dia sangat cantik. Hidungnya mungil, kulitnya seputih melati seperti dirimu Nyai.”
Elang Ganendra meraih si jabang bayi dari gendongan Dewi Astjarjana, istrinya.
“Aku berikan nama Dewi Anandhita, karena dia sangat mirip denganmu.” Lanjut Elang Ganendra sambil mencium buah hatinya
Karena merasa terganggu tidurnya, dicium beberapa kali tanpa jeda oleh Elang Ganendra, Anandhita menggeliatkan tubuhnya.
Semakin giat Elang Ganendra menciumnya, semakin berontak pula tubuh kecil Anandhita.
Dan, tiba-tiba….
“Blak!!"
Sesuatu berhasil lepas dari bungkusan kain jarik yang sudah sedikit berantakan, muncul dari kanan-kiri punggung Anandhita.
"Oweeeek…..!! Oweeeek…..!! Oweeeeeek....” Tangisnya pun kembali pecah memenuhi ruangan.
Elang Ganendra tersentak kaget mengetahui ada yang aneh di tubuh putrinya bersamaan dengan suara tangis yang memekakkan telinga. Ia refleks melepaskan gendongan kedua tangannya pada tubuh Anandhita.
Untungnya, Mbok Esti yang sudah bisa menduga akan terjadi hal sedemikian rupa, berhasil menangkap tubuh mungil Anandhita sebelum terhempas ke lantai.
Mbok Esti segera menjauh dari Elang Ganendra sambil berusaha menenangkan Anandhita yg masih menangis, sementara Elang Ganendra dan Dewi Astjarjana terbelalak melihat bagian belakang tubuh Anandhita.
Mereka seakan tak percaya dengan penglihatannya. Sepasang sayap kecil tidak berbulu, tumbuh di pungung Anandhita.
Bahkan tangis Anandhita yang kembali membuat dinding ruangan serasa bergetar, tak mampu meredakan keterkejutan mereka.
“Tok… Tok… Tok….” Tiba-tiba pintu kamar diketok dari luar
“Elang, Dewi, bisakah kami masuk?” Suara Nyai Wulandari, Ibu Dewi Astjarjana terdengar lembut dari balik pintu, menyadarkan Elang Ganendra dan Dewi Astjarjana.
“Masuklah Ibu…”Jawab Dewi Astjarjana. Air matanya mulai mengembang di pelupuk mata, dan perlahan jatuh membasahi pipinya. Sementara Elang Ganendra masih membisu. Kepalanya terasa berat secara tiba-tiba.
Tangis Anandhita mulai mereda setelah Mbok Esti kembali membungkus erat tubuhnya serta mendekapnya erat. Terbersit tekad di benaknya, ia akan mengasuh Anandhita apabila kedua orang tuanya malu dengan keadaan fisiknya.
Nyai Wulandari beserta Ki Ageng Radjito dan Dewandaru beserta istrinya, Danastri, masuk ke dalam ruangan.
“Selamat anakku…” Nyai Wulandari dan Danastri bergantian mencium Dewi Astjarjana, membuat tangis Dewi Astjarjana pecah tak tertahan lagi.
Nyai Wulandari dan Danastri saling hanya bisa saling pandang, bertanya-tanya ada apakah gerangan ketika melihat Dewi Astjarjana menangis sesenggukan.
Adipati Elang Ganendra beringsut pergi tanpa berkata apa-apa, meninggalkan semua orang yang nampak bertambah bingung melihatnya.
“Apa yang terjadi Nduk..?” Danastri berusaha mencairkan kebisuan.
“Bawalah.. anakku kesini.. Mbok…” ucap Dewi Astjarjana sambil sesekali sesenggukan kepada Mbok Esti yang masih berdiri di sudut ruangan.
“Bagaimana pun.. dia.. adalah anakku.. buah hatiku.” Lanjut Dewi Astjarjana terbata-bata di sela isaknya.
Mbok Esti menyerahkan bayi dalam gendongannya kepada Dewi Astjarjana, kemudian melangkah serta menduduki sebuah kursi di dekat dinding kamar hanya tuk sekedar melepas lelah.
Tenaga dalamnya sudah terkuras habis. Tubuhnya sudah melampaui batas, kakinya sudah tidak memiliki kekuatan untuk menyangga tubuhnya lagi.
Abdi dalem yang membantunya dalam proses persalinan Dewi Astjarjana, segera mengambil ramuan cabe puyang, akar ginseng dan jahe merah, lalu menyerahkannya kepada Mbok Esti.
Mbok Esti segera meminum ramuan tersebut sampai habis tak tersisa untuk sedikit mengembalikan kekuatannya. Beberapa saat kemudian, Mbook Esti merasakan sedikit tambahan tenaga, lelahnya pun berangsur-angsur mulai berkurang.
“Lihatlah anakku, Ibu, Romo...” Dewi Astjarjana membuka kain jark yang membungkus tubuh Anandhita di bagian punggung, kemudian sedikit memiringkan tubuh putrinya.
Kedua orang tua dan mertuanya sangat terkejut melihat sepasang sayap kecil yang tumbuh di punggung Anandhita.
Sementara Dewi Astjarjana berusaha tabah dan membungkus kembali tubuh Anandhita dengan kain jarik yang menjadi selimutnya.
Diletakkannya kepala Anandhita ke dadanya, melatih bayi mungil itu untuk mulai menyusu padanya.
Dewi Astjarjana memantapkan hati untuk tetap mencintai dan mengasuh Anandhita. Bagaimanapun juga, Anandhita adalah anaknya, darah dagingnya, keturunannya yang sudah lama ia tunggu kehadirannya.
“Kemasi barangmu! Kita pulang sekarang juga!” Ucap Ki Ageng Radjito pada Nyai Wulandari dengan nada tegas setengah memerintah.
“Apa maksudmu, Ki?” Saut Nyai Wulandari.
Yang ditanya tidak menjawab, tapi malah pergi meninggalkan Nyai Wulandari yang masih belum percaya dengan perkataan suaminya.
Dewi Astjarjana menghela nafas,
“Pergilah Ibu, temani Ayahanda… Nanda baik-baik saja…” Dewi Astjarjana memaksakan diri untuk tersenyum walaupun kesedihan kembali menjalar di relung hatinya.
“Pergilah Nyai, aku akan disini menemani Dewi.” Sambung Danastri meyakinkan Nyai Wulandari. Dewandaru pun mengangguk tanda setuju.
Senyum di bibir Dewi Astjarjana lebih mengembang. Hatinya benar-benar lega, ternyata mertuanya bersedia menemaninya. Bagaimanapun juga, dia masih membutuhkan dukungan semangat untuk menghadapi situasi ini.
Nyai Wulandari meninggalkan ruangan setelah mencium Dewi Astjarjana dan Danastri, serta berpamitan kepada Dewandaru.
Disusulnya suaminya yang kemungkinan besar pergi ke Griya Seroja, paviliun yang disediakan Elang Ganendra selama mereka berdua tinggal di kadipatenan tersebut.
Ki Ageng Radjito ternyata sudah mulai berkemas. Sebagian bajunya sudah dimasukkan ke dalam kotak peti besar yang dibawanya sejak dari Djawi Koelon.
“Haruskah seperti ini Ki? Tidak bisakah kita menunggu sampai Dewi sehat? Dewi Astjarjana anak kita Ki, dia butuh kita, terutama dalam situasi seperti ini."
Suara Nyai Wulandari sedikit bergetar menahan amarah sekaligus kecewa yang ia rasakan pada suaminya.
Ki Ageng Radjito sejenak menghentikan aktifitasnya. Ia memandang Nyai Wulandari dengan tajam.
“Tinggallah kalau kamu masih tidak punya malu untuk tinggal disini!” Ucapnya dalam.
“Kenapa harus malu? Ini takdir Ki. Kita tidak bisa menyalahkan Dewi, kita tidak bisa menyalahkan bayinya!”
Ki Ageng Radjito melanjutkan beberesnya. Mau tidak mau Nyai Wulandari juga ikut berkemas.
Nyai Wulandari hanya bisa pasrah mengikuti kehendak suaminya yang memang keras kepala. Suaminya bukan termasuk orang yang bisa ditolak keinginan ataupun perintahnya.
Selang beberapa lama, peti-peti barang sudah selesai dikemas.
Ki Ageng Radjito menyuruh pengawal dan kusirnya menaruh peti-peti itu ke dalam kereta kuda dan memerintahkan para pengawalnya untuk segera bersiap kembali pulang ke Djawi Koelon.
Walaupun terkejut, mereka tidak berani membantah perintah Ki Ageng Radjito dan bergegas menyiapkan diri.
Tak lama kemudian, mereka sudah siap karena barang bawaan mereka tidaklah banyak, hanya beberapa baju ganti yang bisa dibungkus dengan kain, tidak perlu membawa peti kayu besar seperti majikannya.
Mereka tidak membawa bekal meskipun mereka akan bepergian jauh kembali pulang ke tempat asal mereka.
Walau keras kepala, Ki Ageng Radjito bukanlah majikan yang pelit, apalagi Nyai Wulandari. Nyai Wulandari dan Ki Ageng Radjito menanggung segala keperluan mereka selama di perjalanann.
Itulah kenapa semua pegawainya adalah orang-orang lama yang sangat setia dan patuh kepada keluarga Radjito.
Bahkan, tidak sedikit juga yang sampai membawa anak turunnya untuk ikut bekerja pada keluarga konglomerat tersebut.
Nyai Wulandari berpamitan sekali lagi kepada Dewandaru, Danastri, dan Dewi Astjarjana.
Ternyata mereka masih di dalam kamar Griya Kenanga, di ruangan yang sama seperti saat Nyai Wulandari meninggalkan mereka.
“Aku akan berpamitan dengan Elang Ganendra.” Ucap Nyai Wulandari kepada Danastri.
“Mari, akan kutemani Nyai.”
Mereka berdua menyusuri koridor menuju ke Griya Asoka, tempat privasi Elang Ganendra yang tidak semua orang diperbolehkan masuk kecuali atas ijinnya.
“Tok tok tok….” Danastri mengetuk pintu paviliun tiga kali.
“Nanda Elang Ganendra, Ibumu, Nyai Wulandari mau berpamitan. Beliau akan pulang ke Djawi Koelon” Danastri mencoba memanggil anaknya.
Danastri memang tidak pernah membedakan kedudukan Nyai Wulandari dengan dirinya pada Dewi Astjarjana dan Elang Ganendra.
Baginya, pernikahan adalah penyatuan dua keluarga, Dewi Astjarjana adalah putrinya, dan Nyai Wulandari adalah Ibu Elang Ganendra.
“Tok tok tok…. Elang…. Buka pintunya...”
Hening, tak ada jawaban, seolah-olah tak ada penghuni di paviliun tersebut.
“Sudahnya Nyai, tak apa…. Sampaikan saja salamku pada Nanda…” Ucap Nyai Wulandari tak mau berlama-lama, membatalkan niat Danastri yang akan membuka paksa pintu paviliun tersebut.
Nyai Wulandari takut suaminya betul-betul meninggalkan dirinya.
Dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin juga dirinya meminta antar pulang Dewi Astjarjana ataupun Elang Ganendra.
“Baiklah Nyai, aku minta maaf atas perbuatan tidak sopan Elang Ganendra. Aku dan suamiku akan menegurnya nanti.” Jawab Danastri.
Mereka bergegas menuju pelataran. Ki Ageng Radjito telah duduk di dalam kereta kuda pertama. Ia sama sekali tidak ingin mencari tau lagi keadaan apa yang telah terjadi di kadipatenan itu.
Ki Ageng Radjito tidak punya muka untuk berhadapan dengan Dewandaru maupun Elang Ganendra karena putrinya telah memberikan keturunan yang dianggapnya mempunyai cacat fisik, tidak sempurna seperti manusia pada umumnya.
Sementara itu, kereta kuda kedua diisi dengan peti barang milik Ki Ageng Radjito dan Nyai Wulandari.
Sais pun sudah bersiap diatas sadonya masing-masing.
Sekitar dua puluh penunggang kuda juga telah bersiap mengawal perjalanan Ki Ageng Radjito dan Nyai Wulandari kembali ke Djawi Koelon.
Setelah berpelukan dengan Danastri, Nyai Wulandari segera menyusul suaminya, masuk ke dalam kereta kuda pertama.
Ketika rombongan sudah mulai beranjak, Danastri melangkahkan kaki ke Griya Utama, meminta beberapa pelayan menyiapkan makanan, kereta kuda dan beberapa bingkisan untuk Mbok Esti.
Danastri berpikir bahwa Mbok Esti akan segera pulang juga setelah ini. Selain tugasnya memang sudah selesai, Mbok Esti juga sudah hampir empat bulan tinggal di kadipatenan ini.
Setelah memastikan pelayan mengerti dan menjalankan perintahnya, Danastri segera melangkahkan kaki, kembali ke Griya Kenanga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!