Waktu itu, pukul 10 malam, di salah satu sudut sebuah kota, nampak seorang pria, menatap nanar ke satu arah.
Dari sorot matanya, tergambar jelas amarah yang makin membara serta rasa kecewa yang begitu besar, sampai dia menahan titik air yang hendak keluar dari sudut matanya.
"Rik."
Pria itu menoleh, menatap temannya yang duduk di jok belakang.
"Aku akan samperin mereka, Jo."
Pria yang akrab dipanggil Erik itu turun dari motor bututnya. Begitu juga temannya yang akrab dipanggil Jojo. Erik segera melangkah, menuju sebuah kafe yang sedari tadi dia perhatikan dan Jojo mengikutinya dari belakang.
"Jadi, ini yang kamu lakukan setiap pulang kerja," ucap Erik pada seorang wanita yang nampak asyik berbincang dengan seorang pria.
Wanita itu menoleh dan sudah pasti, dia langsung terkejut. "Erik?"
"Kenapa? Kaget? Aku tahu kamu ada di sini?" Erik melangkah, lalu duduk di kursi yang terletak di seberang meja wanita itu.
"Siapa dia, Ken?" tanya pria yang duduk bersama wanita itu.
"Bukan siapa-siapa," jawab si wanita nampak begitu tenang. "Kamu bisa pergi sejenak? Aku ingin ngobrol sebentar sama dia."
Pria itu mengangguk. Meski dari raut wajahnya terlihat sangat keberatan, tapi dia tahu apa yang sedang terjadi pada dua orang itu. Pria itupun menyingkir sejenak, duduk di tempat lain.
Mata Erik melebar, mendengar jawaban wanita tersebut. "Bukan siapa-siapa?" tanya Erik memastikan.
Rongga dadanya sangat bergemuruh. Ingin rasanya Erik meluapkan amarahnya saat itu juga. Namun dia berusaha menahannya karena merasa tidak enak jika melampiaskan emosinya.
"Terus, kamu ingin aku jawab apa? Kekasihku? Cih!" wanita itu malah melempar pertanyaan yang semakin membuat dada Erik begitu sesak.
"Jika kamu ingin aku menganggap kamu orang spesial, tunjukan kepadaku, apa yang spesial dari kamu?"
Erik terbungkam. Semua kata yang ingin dia luapkan, seakan berhenti di tengah tenggorokan. Hanya tatapan tajam penuh amarah, melihat sikap wanita yang dia cintai sepenuh hati, sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalahnya.
"Kamu mau marah, silahkan. Tapi bukankah kamu tahu, apa yang aku bicarakan itu fakta? Oke, di awal hubungan kita, memang, aku sangat mencintai kamu. Tapi semakin ke sini, aku sadar, aku harus memakai logikaku, Rik. Aku tidak bisa mengandalkanmu untuk meraih masa depan yang lebih baik. Kita terlalu banyak perbedaan, Rik. Lagian, kamu tahu sendiri, orang tuaku nggak pernah merestui hubungan kita. Aku sadar, ucapan mereka memang benar. Aku nggak mau hidup miskin, Rik."
Erik masih terbungkam. Dia memang miskin, tapi dia tidak menyangka, Niken, wanita yang di awal hubungan, mengatakan, akan menerima Erik apa adanya dan mau menemaninya berjuang dari nol, ternyata ujung-ujungnya sama saja seperti mantan Erik yang lainnya.
"Tapi setidaknya, aku sedang berjuang, Ken. Apa kamu tidak melihat perjuanganku?" Kali ini, Erik membuka suaranya.
"Hahaha..." tawa Niken terkesan sangat mengejek. "Hanya mengandalkan gajimu yang tidak seberapa dari seorang OB, mana kenyang?"
Niken mengangkat gelas kopi yang ada di hadapannya. "Apa kamu pernah, selama dua bulan kita jalan, membelikanku kopi ini? Nggak kan?"
Erik kembali terbungkam. Dia memang tidak bisa membantah ucapan Niken.
"Sorry, Rik, detik ini juga, kita putus. Anggap aja, kita tidak pernah saling kenal, mengerti?" Niken bangkit dan meninggalkan Erik yang masih terdiam. Erik hanya menatap Niken yang berlalu dengan kekasih barunya tanpa ada niat untuk mencegahnya.
"Rik," Jojo yang sedari tadi mengawasi dari tempat lain, langsung mendekati sahabatnya.
"Gimana? Kenapa kamu malah kebanyakan diam? Harusnya kamu maki dia dong?" Jojo malah kesal dengan sikap Erik yang dinilai kurang tegas.
"Buat apa?" Balas Erik sampai membuat sahabatnya terkejut.
"Buat apa?" Jojo mengulang pertanyaan Erik. "Kamu bilang buat apa, Rik? Astaga!" Jojo semakin tak percaya dengan sikap sahabatnya.
Erik pun tersenyum. "Sudahlah, mending kita pulang," Erik bangkit dari duduknya dan melangkah, meninggalkan sahabatnya dalam terbalut dalam rasa heran.
"Tadi aja kaya orang mau ngamuk. Giliran udah di depan mata, malah diam kaya pengecut," gerutu Jojo, lalu dia segera menyusul sahabatnya.
Emosi, tentu, Erik sangat emosi. Namun, Erik sadar, saat ini dia sedang tidak beruntung. Erik selalu mendapatkan wanita yang hanya manis diawal saja.
"Kita nongkrong dulu?" tanya Jojo, satu-satunya sahabat yang selalu berada di sisi Erik dalam keadaan apapun.
Mungkin karena memiliki nasib yang sama, dua pria itu seakan saling mengerti kesusahan masing-masing. Mereka memang belum lama menjadi teman dekat. Kedekatan mereka berawal karena Erik menolong Jojo dari insiden pembulian di tempat kerja.
"Nggak lah, males aku."
"Baiklah."
Kali ini giliran Jojo yang memegang kendali motornya.
####
Keesokan harinya, seperti biasa, Jojo dan Erik bersiap untuk menjalankan tugasnya sebagai office boy. Mereka sudah mendapat jadwal, bagian kantor mana yang harus mereka bersihkan.
"Erik," panggil kepala bagian yang mengurusi para pekerja kebersihan.
"Iya, Tuan," jawab Erik patuh.
"Karena ini pertama kalinya kamu mendapat tugas membersihkan ruangan presdir, saya harap kamu melakukannya dengan baik."
"Baik, Tuan, saya akan berusaha menjalankan tugas saya sebaik mungkin."
"Oke, saya pegang kata katamu," ucap pria berusia 40 tahun tersebut.
"Baik, Tuan, kalau begitu, saya permisi."
Erik pun bergegas pergi dengan segala peralatan yang akan dia gunakan. Erik tak peduli dengan beberapa rekan kerjanya, yang memandang sinis kepadanya. Dia berlalu begitu saja, meski dia tahu, sedang ditatap penuh kebencian oleh orang-orang itu.
"Kita harus secepatnya bergerak, Bos. Biar tu anak tahu, siapa kita sebenarnya."
"Tenang saja. Hari ini, juga kita bergerak, kalian tahu kan, apa yang harus kalian lakukan?"
"Tahu, dong!"
"Sip! Ya udah, mari kita lakukan sekarang, selagi kantor masih sepi."
Ketiga orang itu serentak tertawa sembari terus menatap kepergian Erik.
Tak butuh waktu lama, Erik kini sudah berada di lantai paling tinggi gedung tempat kerjanya. Dengan dada berdebar lebih kencang, Erik memasuki satu-satunya ruang kerja yang ada di lantai tersebut.
"Wahh!"
Kagum, itulah ekpresi yang keluar dari wajah Erik, kala sudah berada di dalam ruangan pemilik perusahaan.
"Ruang kerja yang keren," gumamnya.
Erik tahu, sang pemilik perusahaan biasa berada di kantor sekitar pukul delapan. Sedangkan pekerjaannya harus selesai pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Erik segera menjalankan tugasnya sembari memperhatikan setiap detail ruang tersebut.
"Loh, ini kan?" ucap Erik kala dia sedang membersihkan meja kerja sang presdir. matanya menangkap sebuah cincin. "Kenapa, bentuknya sama seperti punyaku?"
Erik pun segera mengeluarkan kalung yang dia gunakan. "Tu kan sama persis?"
Erik mengambil cincin tersebut dan membandingkannya dengan cincin yang berada di kalungnya.
"Apa yang kamu lakukan di sana! Hah!"
Tiba-tiba sebuah suara menggelegar, membuat Erik terperanjat.
Begitu mendengar suara teriakan, Erik segera menaruh cincin pada tempatnya semula dan menggenggam erat kalung yang dia gunakan.
"Tuan besar?" begitu berbalik badan, mata Erik membulat kala melihat pimpinan tempat dia bekerja sudah ada di sana di depan pintu ruangan yang ada dalam ruangan tersebut.
"Maaf, Tuan, saya sedang membersihkan ruangan ini," jawab Erik terbata dengan wajah seketika memucat.
"Apa yang kamu sembunyikan di tanganmu?" Pria berusia sekitar 42 tahun itu menatap Erik penuh selidik. Tatapannya begitu mengintimidasi sampai Erik merasa ketakutan.
"Bukan apa-apa, Tuan, ini hanya barang pribadi saya," balas Erik tanpa berani menatap atasannya yang berjalan ke arahnya.
"Apa kamu pikir saya akan percaya? Tunjukan, apa yang kamu sembunyikan!" suara pria itu semakin menggelegar.
Erik pun tidak memiliki pilihan lain. Perlahan, tangan yang dia sembunyikan di belakang Erik, bergerak, lalu terbuka.
Mata pemiik perusahaan itu seketika melebar dan wajahnya terlihat semakin murka.
"Dasar lancang!" bentak pria itu. Dengan cepat dia mengambil alih kalung dengan tangan kiri, dan tangan kanannya langsung bergerak dengan cepat, menampar pipi Erik.
"Pencuri kamu!"
Plak!
Mata Erik membulat. "Saya bukan ..."
Plak!
"Itu milik..."
Dak!
"Akh...! Erik terpental ke kebelakang, membentur meja dan terhuyung ke kiri. Kali ini dia bukan mendapat tamparan, tapi sebuah tendangan.
"Mau alasan apa kamu hah! Berani-beraninya mencuri di kantorku!"
Dak!
"Akh!
Sang pemilik perusahaan begitu murka sampai kembali melayangkan tendangan pada perut Erik.
"Tuan, saya tidak ...."
"Keluar kamu dari sini, cepat! Detik ini juga, kamu saya pecat!"
Erik terperangah. Dia tidak menyangka akan dipecat secepat ini. Erik pun berusaha bangkit.
"Cepat pergi!"
"Baik, Tuan," jawab Erik gugup. "Tapi ..."
"Pergi sekarang!"
Erik langsung berjalan cepat dengan menahan sakit di perutnya.
"Padahal, itu cincin milik ibuku, bagaimana ini? Kakek pasti marah besar," gumam Erik panik.
Dia ingin kembali masuk, tapi Erik sadar, pemimpin perusahaan itu pasti masih sangat emosi. Dia pun memutuskan pergi sembari berpikir keras untuk mengambil kembali barang kesayangannya.
Sementara di dalam ruangan, sang presdir, segera menghubungi bawahannya yang menangani bagian kebersihan untuk segera mengusir petugas yang membersihkan ruang kantornya.
"Bagaimana bisa dia menggunakan cincin ini untuk kalungnya? Kurang ajar!" Gumam sang presdir, sembari melepas paksa cincin itu lalu membuang kalung ke tempat sampah.
"Loh, ini?" Sang presdir terpengarah. Di saat dia hendak meletakkan cincin pada tempatnya, ternyata dalam tempat tersebut ada cincin yang sama persis dengan cincin yang dia pegang.
"Bagaimana ini bisa sama persis?" Sang presdir langsung meneliti cincin yang dia pegang, dan betapa kagetnya dia kala matanya menangkap sebuah nama yang terukir pada cincin tersebut.
"Castilo?" Sang presdir semakin kaget. "Jangan-jangan dia ..." sang presdir terpaku, teringat dengan apa yang baru saja dia lakukan.
Sementara Erik melangkah dengan gontai. Dia berjalan dengan pikiran yang cukup kacau.
"Jadi, kamu OB di kantor ini?"
Sebuah suara yang cukup jelas, sontak membuat langkah Erik terhenti. Dia menoleh ke arah kiri dan keningnya berkerut kala matanya menangkap sosok pria mendekat kepadanya.
"Masih ingat aku kan?" Pria itu kembali bersuara. "Kalau nggak ingat, baiklah, akan aku ingatkan," pria itu tersenyum seperti meremehkan.
"Setidaknya, setelah melihat pekerjaan kamu, aku rasa, Niken memilih keputusan yang tepat."
Begitu nama Niken disebut, mata Erik langsung sedikit melebar. "Kamu..."
"Ya, pria yang semalam bersama Niken," ucap pria itu dengan senyum meremehkan. "Aku Aldi, manager bagian produksi pakaian wanita."
"Oh," jawab Erik singkat.
"Aku nggak nyangka aja sih kalau Niken bisa memiliki pacar seorang OB. Untungnya dia cepat sadar."
"Yayaya, terserah apa kata kamu deh. Aku pergi dulu," ucap Erik berusaha cuek.
"Oke, silahkan!" balas Aldi. "Tapi kalau boleh aku kasih saran, lebih baik kamu pacaran sama cewek yang selevel dengan kamu, mengerti?"
Erik hanya menyeringai. Dia segera pergi meski perasannya begitu geram. Erik terus melangkah, hingga sebuah suara kembali membuat langkahnya berhenti.
"Erik!"
Mau tidak mau, Erik menoleh ke arah sumber suara.
"Apa yang sudah kamu lakukan di ruang presdir?" tanya pria yang menjadi atasan Erik.
"Saya tidak melakukan apa-apa, Tuan," jawab Erik sedikit berbohong.
"Kalau tidak melakukan apa-apa. Kenapa dia memecat kamu!" bentak pria tersebut.
"Sumpah, Tuan, cuma terjadi kesalah pahaman sedikit," jawab Erik jujur.
"Apapun alasan kamu, tapi Tuan besar sudah memecat kamu. Kamu tahu kan, apa yang akan kamu tanggung jika keluar dari perusahaan ini karena sebuah pemecatan?" ucap sang manager tegas. Erik pun hanya mengangguk.
"Ya sudah, kemasi barang-barang kamu, lalu menghadap saya," setelah mengatakan hal itu, pria tersebut langsung kembali ke ruangannya.
Erik menghembuskan nafasnya secara perlahan. Langkah kakinya semakin gontai tatkala dia teringat ucapan dari atasannya.
Jika ada seseorang keluar dari Paragon Grup karena sebuah kasus, sudah pastikan orang itu akan kesulitan mendapat pekerjaan pada perusahaan lain.
Meskipun posisinya hanya sebagai petugas kebersihan. Keluar dari Paragon grup karena sebuah kesalahan, akan tetap mengalami kesulitan yang sama.
Begitu langkah kaki Erik sampai di ruangan khusus pegawai kebersihan, Erik dibuat terkejut dengan apa yang terjadi di sana.
"Nah, itu dia, pencurinya datang!" salah satu rekan kerja Erik yang sangat membenci Erik tiba-tiba mengeluarkan tuduhan yang membuat Erik tercengang.
Jojo yang sedari tadi menunggu kedatangan sahabatnya langsung mendekat. "Rik, kamu beneran mencuri jam tangan milik pegawai?"
"Apa? Mencuri?" Erik pun semakin terkejut.
Namun, belum sempat Jojo menjawab pertanyaan, salah satu rekan kerja Erik langsung melayangkan pukulan pada wajah Erik.
"Dasar pencuri sialan!"
Bugh!"
"Akh ...."
"Rasakan ini, dasar maling!" bentak orang yang sama.
"Hajar aja, Bos. Bikin buruk perusahaan aja!" rekan dari itu memprovokasi.
Tiga orang yang membenci Erik langsung mengeroyok Erik bahkan sampai Erik terjerembab.
"Berhenti, woy! Jangan main hakim sendiri!" Jojo langsung mencoba melindungi temannya.
"Minggir, kamu!"
"Hajar aja sekalian, Bos!"
Tiga orang itu melanjutkan aksinya dengan beringas.
"Hentikan!"
Tiba-tiba terdengar suara menggelegar di ruangan tersebut, membuat semua orang yang ada di sana, menoleh ke sumber suara.
"Tuan Alex!" Semua orang nampak kaget. Salah satu orang berpengaruh dalam perusahaan itu berada di sana, menatap tajam semua orang.
"Ada apa ini? Kenapa ada keributan di sini!" Alex nampak begitu murka.
Salah seorang karyawan melangkah maju. "Maaf, Tuan, tadi saya kehilangan jam mahal diruangan saya. Setelah saya cari, jam tangan saya ada dalam loker OB itu, Tuan."
"Benar, Tuan, saya saksinya. Saya yang membuka paksa, loker milik pencuri itu," salah satu pria yang memukuli Erik, langsung menyahuti.
Alex langsung menatap sejenak dua orang yang meringkuk kesakitan.
"Baiklah, nanti biar tim keamanan yang mengusut kasus ini," ucap Alex. "Sekarang, mana OB yang tadi bertugas membersihkan ruangan presdir?"
"Dia, Tuan, pencuri itu!"
"Apa!"
"Panggil tiga orang petugas keamanan, cepat!" teriak Alex pada tiga orang yang jaraknya paling dekat.
"Siap, Tuan," tiga pria yang tadi menghajar Erik langsung melaksanakan tugas yang diperintahkan.
Selain patuh, mereka juga terlihat senang, karena apa yang mereka rencanakan berjalan dengan baik tanpa hambatan yang berarti.
"Sepertinya rencana kita berhasil, Bos," ungkap salah satu dari tiga orang itu. "Tidak ada yang menaruh curiga pada kita."
"Pasti itu. Aku yakin, Tuan Alex memanggil pihak keamanan untuk mengamankan anak sialan itu," sahut rekannya.
"Hahaha... mampus kau, Erik. Mendekam lah kamu di penjara! Hahaha..." ujar pria yang dipanggil Bos, yang paling bahagia diantara tiga orang tersebut.
Sementara itu dalam ruangan khusus petugas kebersihan, Alex memperhatikan dua anak muda yang terduduk sambil menahan sakit.
Alex menoleh, menatap beberapa orang yang ada di sana. "Kalian berdua, bawa anak ini ke ruang kesehatan," titahnya sambil menunjuk ke arah Jojo.
"Saya tidak apa-apa, Tuan," ucap Jojo nampak begitu kaget. "Dan teman saya ini, tidak bersalah. Dia tidak mencuri."
"Biar nanti pihak keamanan yang menyelidikinya," ucap Alex. "Kalian, cepat bawa dia."
"Baik, Tuan," jawab dua petugas kebersihan. Mereka langsung merengkuh tubuh Jojo.
Sahabat Erik itu pun tak bisa berbuat banyak.
"Kamu jangan khawatir, aku pasti akan baik-baik saja," ucap Erik yang mengerti kepanikan sahabatnya.
Jojo pun mengangguk dan dia segera meninggalkan sahabatnya.
"Apa benar, kamu yang tadi membersihkan ruang kerja Tuan besar?" tanya Alex begitu sahabatnya menjauh.
"Benar, Tuan," jawab Erik menahan perih.
Alex menghela nafas panjang. Tak lama kemudian tiga orang petugas keamanan datang bersama tiga orang yang tadi memanggilnya.
"Pagi, Tuan Alex, ada yang bisa kami bantu?" tanya salah seorang petugas keamanan, sekaligus menjabat sebagai pemimpin keamanan dalam perusahaan tersebut.
"Perintahkan anak buahmu untuk mengantar anak ini ke ruangan Tuan besar," titah Alex. Apa yang dia ucapkan sukses membuat semua yang ada di sana terkejut.
"Ke ruangan Tuan besar?" tanya petugas keamanan memastikan pendengarannya.
"Kenapa? Ada masalah?" tanya Alex. "Ini perintah langsung dari Tuan besar, mengerti!"
"Siap! Saya mengerti, Tuan!" jawab petugas keamanan.
"Dan selidiki juga, pencurian jam tangan yang baru saja terjadi di sini. Selidiki dengan baik. Jika sudah ada hasilnya, segera bawa ke ruangan saya," titah Alex lagi.
"Siap, Tuan!" pemimpin keamanan itu langsung memberi perintah kepada dua anak buahnya, untuk segera melaksanakan tugas yang mereka terima.
"Gila! Tuan besar langsung turun tangan," ujar seorang pria berperut agak buncit, yang tadi memukuli Erik. Begitu Alex meninggalkan ruang tersebut, semua yang ada di sana, langsung membicarakan Erik.
"Hahaha... biar tahu rasa dia, rasanya di blacklist dari perusahaan karena telah berbuat ulah," sahut pria yang lebih kekar dari dua rekannya.
"Tapi kok aneh ya?" sekarang pria yang tubuhnya lebih pendek dari dua rekannya yang bersuara.
"Aneh kenapa?" tanya pria berperut buncit.
"Nggak seperti biasanya, karyawan yang mau dipecat, langsung menghadap Tuan besar. Biasanya kan, cukup menghadap Tuan Alex saja."
"Benar juga," sahut pria perut buncit.
"Ah, bodo amat! Bagi aku, yang penting Erik dipecat dan di blacklist. Kalau perlu, sekalian dimasukkan ke penjara," ungkap pria bertubuh kekar masih terlihat sangat bahagia.
Kedua rekannya hanya tersenyum saja.
#####
Sementara itu di ruangan sang presdir.
"Loh, apa yang terjadi?" Tuan besar nampak kaget begitu melihat keadaan Erik saat masuk ke ruangannya.
"Nanti saya yang akan menjelaskan, Tuan," ucap Alex, "antar dia duduk di sofa," ucapnya pada dua petugas yang mengapit tubuh Erik.
"Bawa dia ke kamar, suruh dia berbaring di sana!"
Erik, Alex dan dua petugas keamanan nampak kaget mendengar perintah yang keluar dari mulut Tuan besar.
"Cepat! Tunggu apa lagi!" bentak sang presdir.
"Baik, Tuan," jawab dua petugas bersamaan.
Erik terperangah. Dari sorot matanya, nampak banyak sekali pertanyaan yang ingin dia lontarkan.
"Alex, hubungi dokter Inzagi. Suruh datang ke sini sekarang juga," titah Tuan yang kembali membuat Alex terperanjat.
Tuan besar mengikuti Erik hingga sampai ke kamar pribadinya, tanpa mempedulikan Alex yang penasaran akan sikapnya.
"Kami permisi dulu, Tuan," ucap dua petugas keamanan setelah mengantar Erik. Tuan besar hanya mengangguk sekali dan tatapannya tak lepas dari anak muda yang tadi sempat mendapat tamparan dan tendangan darinya.
"Tuan, saya..."
"Berbaringlah dan istirahat di sini. Sebentar lagi, dokter akan datang," ucap Tuan besar, semakin menambah rasa heran dalam raut wajah Erik.
Tuan besar pun pergi meninggalkan Erik dengan segudang pertanyaan dalam pikiran anak muda itu. Sikap Tuan besar berbeda dari yang tadi. Meskipun masih sangat dingin, tapi sikap yang sekarang ini lebih lembut.
"Aku tahu, kamu penasaran," ucap Tuan besar, kala kembali menemui Alex. Pria itu melangkah menunju kursi kebesarannya. "Lihatlah ini."
Alex mendekat. Matanya seketika melebar kala melihat apa yang ditunjukan Tuan besar. "Cincin itu?"
"Yah, cincin yang aku pesan khusus bersama kamu," ucap Tuan besar di atas kursi kebesarannya.
"Jadi anak itu..." lagi-lagi Alex menggantung ucapannya. Namun Tuan besar mengerti, apa yang akan dikatakan orang kepercayaannya.
"Aku sudah memastikannya, Lex. Kamu cek aja, berkas lamaran anak itu," Tuan besar mengarahkan layar laptopnya kepada Alex, lalu pandangannya dia alihkan ke pemandangan kota yang nampak dari kaca jendela ruang kerjanya.
"Astaga! Jadi selama ini, mereka ada di dekat kita?" tanya Alex.
Tuan besar menghela nafas panjang. "Yah, berkat kejadian tadi. Kalau tadi aku tidak menuduhnya pencuri, mungkin aku tidak akan pernah menemukannya."
"Mencuri? Mencuri bagaimana?" Alex kembali dibuat penasaran.
Tuan besar menatap Alex, lalu dia menceritakan kejadian dibalik dua cincin yang ada di atas meja kerjanya.
"Astaga! Kenapa dia harus mengalami tuduhan yang sama dalam satu waktu?" ungkap Alex heran.
"Hal yang sama? Maksud kamu?" sekarang, gantian, Tuan besar yang terkejut.
"Tadi, saat saya pergi ke ruangan petugas kebersihan, anak itu juga mendapat tuduhan pencurian dari beberapa karyawan kita."
"Apa! Bagaimana bisa?"
"Saya sendiri tidak tahu ceritanya bagaimana. Pas saya datang, dia lagi dihakimi oleh rekan kerjanya."
"Kurang ajar! Siapa yang berani melakukan itu di kantor saya!" Tuan besar nampak murka.
"Saya sudah menyuruh tim untuk menyelidiki kasus ini, Tuan. Untuk orang-orang yang menghajar Erik, akan saya tindak sekalian nanti setelah hasil penyelidikan saya terima."
Tuan besar langsung membuang muka kesalnya.
"Setelah tahu keberadaan mereka, apa yang akan Tuan lakukan?" tanya Alex begitu melihat Tuan besar terdiam sembari meredakan amarahnya.
"Aku? Aku harus menemui orang tua anak itu."
"Tapi, apa anda siap, dengan konsekuensi yang akan anda dapatkan?"
Lagi-lagi Tuan besar menghela nafas panjang. Dia tidak menjawab pertanyaan yang terlontar dari mulut Alex. Tapi dari raut wajahnya saat ini, Alex dapat menyimpulkan kalau Tuan besar, diambang keraguan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!