Langit sore di Jakarta memancarkan semburat oranye yang mulai memudar di atas gedung-gedung Universitas Merdeka Indonesia. Ruri berjalan lambat di sepanjang trotoar, kepalanya tertunduk. Di tangannya, tergenggam surat pemecatan beasiswanya yang kini tak lagi berarti. Surat itu kusut, hasil dari berkali-kali diremas dan dibaca ulang. Namun, isinya tak berubah. Beasiswanya dicabut, hak tinggal di asrama diambil, dan hidupnya kini bergantung pada nasib yang belum jelas arahnya.
Sebuah rumor yang tak ada kaitannya dengan dirinya telah menghancurkan segalanya. Foto lama dari masa kecil, saat dia dan Takeru berfoto di depan bangunan tua bekas penjajahan Jepang, tiba-tiba viral setelah Takeru mempostingnya beberapa tahun lalu. Dalam caption, Takeru menulis bahwa dia bangga menjadi keturunan Jepang dan mengagumi sejarah kakek-neneknya. Tidak ada yang memperhatikan bahwa Ruri hanya anak kecil yang kebetulan ada di foto itu—namun, namanya terseret.
“Mereka bahkan tak peduli aku tak terlibat,” gumam Ruri pelan, suaranya gemetar karena marah. "Aku... tak tahu harus bagaimana lagi."
Dia berhenti di depan gerbang kampus, menatap kosong ke langit yang mulai gelap. Takeru. Nama itu kembali membanjiri pikirannya. Sejak Takeru pergi ke Jepang demi mengejar mimpinya menjadi aktor, komunikasi mereka berangsur-angsur hilang. Nomor WhatsApp Takeru tetap ada di ponselnya, aktif, tapi pesan-pesannya hanya seperti teriakan di ruang hampa. Tidak ada balasan.
"Apakah aku harus coba hubungi dia lagi?" Ruri bertanya pada dirinya sendiri, tanpa harapan besar. Dia mengeluarkan ponsel dari tasnya dan membuka kontak Takeru. Dengan ragu, dia menekan ikon telepon. Nada sambung terdengar, memberi secuil harapan.
Namun, seperti sebelumnya, tidak ada jawaban. Hanya nada sambung yang seolah mempermainkan perasaannya. "Takeru, kau di mana sekarang?" Ruri bergumam sambil menutup telepon dengan frustrasi.
Kembali ke asrama, Ruri mendapati barang-barangnya sudah dipindahkan ke luar, diletakkan rapi di sudut halaman. Dengan dipecatnya dia dari beasiswa, hak tinggalnya di asrama pun dicabut. Saat berdiri di depan barang-barangnya, Ruri merasa dunia runtuh di sekelilingnya.
Namun, ketika semua tampak gelap, ada seberkas cahaya. Seorang nenek yang kebetulan mendengar ceritanya di kampus menawarkan tempat tinggal sementara. Rumah nenek itu memang sudah tua dan reot, tapi gratis—hanya ada satu syarat. Nenek itu akan pergi keluar negeri selama beberapa bulan dan membutuhkan seseorang untuk menjaga rumah selama dia pergi.
"Saya tidak punya pilihan lain, Nek. Terima kasih banyak." Ruri tersenyum kecil, mencoba menutupi kecemasannya. "Saya janji akan menjaga rumah dengan baik."
"Tak perlu khawatir, nak," jawab nenek itu dengan suara lembut. "Rumahku memang tua, tapi nyaman kok. Kau akan baik-baik saja."
Setelah perpisahan dengan nenek itu, Ruri akhirnya tiba di rumah tua yang dimaksud. Meski bangunannya terlihat rapuh, Ruri tetap bersyukur. Setidaknya ada tempat untuk berlindung. Rumahnya terletak agak jauh dari keramaian, dikelilingi pepohonan dan semak-semak yang sedikit liar. Suasana hening menguasai udara sore itu.
Ruri menghela napas panjang, lalu mulai menata barang-barangnya di dalam rumah. "Ini... cukup baik," gumamnya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan hati.
Namun, ketika malam tiba, suasana rumah yang sunyi berubah menjadi sedikit aneh. Suara angin berdesir pelan, membuat dedaunan di luar gemerisik samar. Ruri yang sudah berbaring di tempat tidurnya, merasa sedikit tidak nyaman. Dia mendengar suara langkah kaki pelan dari arah ruang tamu.
“Ah, mungkin hanya angin,” pikirnya, mencoba menenangkan diri. Namun, langkah kaki itu terdengar lagi, lebih jelas.
Dengan ragu, Ruri bangun dan berjalan ke ruang tamu. Apa yang dia lihat membuatnya tertegun. Seekor kucing hitam, duduk di tengah ruangan, matanya yang kuning menyala seolah menembus gelap. Ruri terdiam beberapa detik, menatap kucing itu.
"Hei, kucing?" Ruri berjongkok, mencoba untuk melihat lebih dekat. "Dari mana kamu masuk?"
Kucing itu tidak bergeming, hanya menatap Ruri dengan tatapan tajam yang tidak biasa. Ruri mengulurkan tangannya, mencoba mengusap kepala kucing itu, namun kucing hitam itu melompat mundur dengan anggun, membuat Ruri tersentak mundur.
"Apa kau lapar?" tanya Ruri, sedikit tersenyum. Dia berjalan ke dapur, mencari sesuatu yang mungkin bisa dimakan oleh kucing itu. Namun, ketika dia kembali dengan semangkuk kecil susu, kucing hitam itu sudah tidak ada di sana.
“Kemana dia pergi?” Ruri menoleh ke sekeliling, merasa sedikit bingung. Jendela dan pintu rumah tertutup rapat, tidak ada celah bagi kucing itu untuk kabur. Namun, kucing hitam itu seolah lenyap begitu saja.
Dengan perasaan campur aduk antara heran dan lelah, Ruri memutuskan untuk kembali ke kamar. Malam itu, dia tertidur dengan pikiran berkecamuk tentang hari-harinya yang semakin sulit. Namun, entah kenapa, bayangan kucing hitam itu terus menghantui pikirannya.
___
Di sudut lain, kucing hitam itu mengintip dari atap, matanya berkilat dalam gelap. Tubuh mungilnya lantas perlahan menghilang berubah menjadi kabut asap berbaur sempurna dalam remangnya cahaya bulan.
Angin malam berhembus lembut, membawa serta suara dedaunan yang berdesir, seolah mengisyaratkan bahwa kisah yang sebenarnya baru saja dimulai.
Ruri belum tahu, tapi kehidupan yang dia pikir hancur justru mungkin membawa dirinya ke arah yang berbeda—arah yang tak pernah dia duga sebelumnya.
Di bawah sinar rembulan yang temaram, sang kucing hitam duduk di atap rumah tua itu, mengawasi Ruri dari jendela kecil yang terbuka. Matanya yang bersinar tajam memantulkan kenangan-kenangan lama, memori yang Ruri sendiri sudah lupakan. Kucing itu bukanlah sembarang kucing. Dia adalah sosok yang pernah menjadi bagian dari masa lalu Ruri—saat mereka berdua masih kecil.
Dia tidak ingat aku lagi…
Kucing hitam itu mendesah pelan dalam hatinya, tatapannya tak pernah lepas dari Ruri yang terlelap di dalam rumah.
Dulu, kau menyelamatkanku, Ruri. Aku hanyalah seekor bayi kucing yang hampir mati ditindas burung gagak. Saat itu, aku sudah siap menyerah. Tubuhku terlalu kecil, terlalu lemah untuk melawan. Tapi kau muncul, tangan kecilmu mengangkatku dari tumpukan sampah, dan kau menyelamatkanku.
Kenangan akan hari itu masih segar di ingatan sang kucing. Ruri kecil, dengan pipi merah dan rambut kucir dua, berlari kencang menuju neneknya sambil memeluknya erat. "Nenek, aku menyelamatkan dia!" serunya, suaranya penuh kegembiraan dan kebanggaan.
Sejak hari itu, kita tak terpisahkan. Aku selalu ada di sisimu, mengikuti ke mana pun kau pergi. Kau memberikan nama padaku, memberiku makan, mengelus bulu hitamku setiap malam sebelum tidur. Kita hidup bahagia di rumah nenek.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Ibunya datang menjemput Ruri kembali ke Jakarta, meninggalkannya di rumah nenek bersama kenangan-kenangan yang perlahan memudar. Kucing itu ingat betul bagaimana ia menunggu di ambang pintu setiap hari, berharap Ruri kembali.
Kau tidak pernah kembali... pikirnya sedih, memandang langit malam yang terbentang luas. Aku menunggumu sampai hari terakhirku. Aku sakit, tubuhku semakin lemah, tapi aku tetap berharap kau datang. Namun, kau tak pernah muncul.
Air mata tak bisa mengalir dari mata seekor kucing, tapi hatinya hancur ketika Ruri tak lagi datang. Dan kini, bertahun-tahun kemudian, dia ada di sini—bukan sebagai kucing biasa lagi, tapi sesuatu yang lebih. Sesuatu yang kembali demi Ruri.
Sekarang kau bahkan tidak mengenaliku, Ruri. Tapi aku akan ada di sisimu lagi, untuk melindungimu, seperti dulu.
___
Esok harinya, Ruri kembali ke kampus, namun keadaan jauh dari membaik. Sebagai mahasiswa yang sebelumnya dikenal cerdas dan berbakat, rumor tentang pengkhianatan bangsa yang menyertainya begitu menyakitkan. Hari ini, gosip terus berhembus dari mulut ke mulut di kampus. Teman-teman yang dulu dekat kini menjauh. Setiap tatapan yang diarahkan padanya terasa seperti tudingan.
“Lihat, itu dia. Yang di foto itu, kan?” bisik seorang mahasiswi saat Ruri melintas di koridor.
“Kasihan ya, padahal pinter. Tapi kalau nggak cinta bangsa, ya buat apa?” komentar yang lain.
Ruri hanya menundukkan kepala, menghindari tatapan-tatapan penuh penghakiman itu. Dia mencoba untuk tetap tenang, berusaha bertahan di tengah badai sentimen yang tak beralasan. Namun, meski dirinya berusaha kuat, luka-luka itu tetap terasa, menambah beban yang kian berat.
Hari itu berjalan lambat, penuh dengan bisikan, tatapan aneh, dan teman-teman yang menjauh tanpa penjelasan. Ketika hari berakhir, Ruri pulang dengan perasaan yang semakin hancur. Setibanya di rumah reot yang kini jadi tempat tinggal sementaranya, dia tak lagi mampu menahan air matanya. Ia terjatuh di depan pintu rumah, tubuhnya terlipat seperti udang, menangis terisak-isak.
Angin malam berhembus dari celah pintu yang longgar, membuat tubuhnya menggigil. Kesendiriannya terasa begitu menyesakkan.
“Apa salahku...?” bisiknya dalam isak tangis, suaranya hampir tak terdengar.
Tiba-tiba, sesuatu yang hangat dan lembut menyentuh pipinya. Ruri membuka matanya yang basah dan mendapati kucing hitam yang kemarin dilihatnya sedang duduk di sampingnya. Kucing itu menjilati pipinya, seolah-olah berusaha menenangkan.
“Kau lagi...?” Ruri tersenyum kecil di tengah air matanya. Dia memeluk kucing itu erat, seolah kucing itu adalah satu-satunya yang tersisa untuknya. “Terima kasih, kamu datang lagi...”
Dengan lembut, kucing itu mengeong dan menatapnya, seolah mengerti kesedihannya. Ruri, yang terhibur oleh kehadirannya, membawa kucing itu ke tempat tidur. Mereka berdua naik ke ranjang yang sederhana, dan Ruri mengelus-elus bulu hitam kucing itu dengan penuh kasih.
“Kamu ini milik siapa, sih? Gemesin banget,” celoteh Ruri sambil tertawa kecil, merasa lebih ringan. “Tapi... kemarin kamu tiba-tiba hilang. Padahal aku sudah siapkan cemilan untukmu.”
Kucing itu hanya mengeong pelan, tetap diam di pelukan Ruri. Ruri terus berbicara pada kucing itu, meski tahu kucing tak bisa menjawab. Hanya kehangatan dan keberadaan kucing itu yang membuat Ruri merasa nyaman. Dia tak menyadari betapa spesial kucing itu baginya—setidaknya belum.
“Terima kasih, ya...” bisik Ruri sambil memejamkan mata, tubuhnya mulai terasa lelah. Dia tidak ingat kapan tepatnya dia tertidur, tapi satu hal yang pasti, dia tidak lagi merasa sendiri.
___
Pagi itu, Ruri terbangun dengan perasaan hangat dan nyaman, namun ada yang aneh. Dia mengerjap, mencoba membuka matanya sepenuhnya. Sesuatu terasa berbeda di pelukannya. Bukannya kucing hitam kecil yang ia bawa tidur semalam, melainkan… sesuatu yang lebih besar dan lebih… manusiawi.
Ketika kesadarannya mulai sepenuhnya kembali, jantung Ruri berdegup cepat. Ada seorang pria di pelukannya. Seorang pria tampan, dengan wajah yang begitu dekat hingga ia bisa merasakan napas hangatnya di wajah. Rambut hitamnya berantakan dengan cara yang menggoda, dan matanya yang tajam menatap Ruri dengan intensitas yang membuat perutnya terasa bergejolak.
"Siapa... siapa kamu?" bisik Ruri, suaranya nyaris tenggelam dalam kegugupannya.
Alih-alih menjawab, pria itu tersenyum tipis, sudut bibirnya terangkat dengan cara yang begitu menawan. Tanpa peringatan, dia mendekatkan wajahnya ke telinga Ruri. Napas hangatnya menyentuh kulit halus di leher dan telinga Ruri, membuat bulu kuduknya meremang. Ruri bisa merasakan tubuhnya menegang, jantungnya berdetak semakin cepat, seolah hendak meledak.
Lalu, suara itu terdengar—lembut, serak, dan begitu dekat. "Meoong…" desah pria itu dengan suara rendah dan penuh godaan, seolah setiap suku kata yang ia ucapkan adalah bisikan rahasia.
Suara itu, begitu seksi dan mendalam, bergema di telinga Ruri, membuat napasnya terhenti. Seperti gelombang panas yang tiba-tiba menyapu seluruh tubuhnya, membuatnya sulit berpikir jernih. Sensasi itu menusuknya dalam-dalam, meninggalkan kesan yang membakar. Pria itu menggeser sedikit kepalanya, mengendus lembut kulit di belakang telinga Ruri, seolah menciptakan getaran yang tak tertahankan.
Ruri membeku di tempatnya, pipinya memerah, tubuhnya gemetar. "Apa... apa yang kau lakukan?" suaranya lirih, hampir tidak terdengar, tenggelam dalam sensasi yang baru pertama kali ia rasakan.
Pria itu tidak menjawab dengan kata-kata. Sebaliknya, dia hanya tertawa kecil, suara tawa itu begitu lembut namun penuh dengan kemisteriusan yang menggoda. Lalu dia menggerakkan tubuhnya sedikit, mendekatkan diri lebih erat ke Ruri, seolah menikmati kebingungan dan kegugupan yang terpancar dari wajah gadis itu.
Untuk sesaat, dunia Ruri seolah berhenti. Detak jantungnya satu-satunya yang terasa nyata, berdentam keras dalam dadanya. Sesuatu yang tidak biasa, tetapi begitu intens, mengguncang dirinya, dan semua itu berasal dari seorang pria asing yang mengeong di telinganya—seorang pria yang seharusnya tidak ada di tempat tidur itu.
Ruri tahu dia harus bergerak, menjauh, atau setidaknya bertanya lebih lanjut, tetapi tubuhnya menolak untuk melawan sensasi itu.
Di malam yang sunyi, saat Ruri sudah terlelap dalam pelukan si kucing hitam, sang kucing memandangi wajahnya yang damai. Batinnya terus berputar.
"Tuhan, tolong berikan aku kekuatan... Aku tidak ingin hanya menjadi bayang-bayang. Sebagai hantu kucing, aku merasa tidak berdaya. Aku ingin lebih dari ini. Aku ingin bisa menghibur dan melindungi Ruri seperti dulu, saat dia menyelamatkanku. Tapi bagaimana aku bisa melakukan itu dalam bentuk ini? Kumohon... biarkan aku berubah, biarkan aku menjadi manusia. Hanya itu yang kuminta. Demi dia."
Kucing itu menunduk, mendekatkan tubuhnya pada Ruri, merasakan kehangatan yang dulu pernah ia rasakan saat masih hidup. Air mata kecil turun dari matanya, menetes di tangan Ruri. Lalu, entah bagaimana, ada kekuatan besar yang merespon doanya. Cahaya lembut muncul dari tubuhnya, perlahan menutupi wujudnya yang kecil.
___
Keesokan paginya, Ruri terbangun dengan kehangatan. Namun, bukan lagi seekor kucing yang ia temukan di pelukannya, melainkan seorang pria tampan dengan rambut hitam berantakan dan tatapan tajam yang menawan. Dengan napas hangat pria itu yang menyentuh kulit halus di lehernya, kemudian bisikan rendah yang membuatnya merinding.
"Meoong…" suara itu bergema lagi di telinga Ruri, kali ini lebih nyata, lebih mendebarkan. Ruri terkejut, jantungnya berdebar lebih kencang.
"Apa yang terjadi?" gumam Ruri dengan bingung.
Namun sebelum Ruri sempat bereaksi lebih jauh, terdengar suara ketukan di pintu. Ruri meloncat bangun, jantungnya berdetak lebih kencang lagi. Dia cepat-cepat berlari ke pintu, melupakan pria tampan yang baru saja mengeong di telinganya. Di depan pintu, seorang ibu-ibu dengan wajah serius berdiri, membawa kantong makanan.
"Ini pesanannya," kata ibu itu sambil menyerahkan kantong tersebut.
Ruri bingung, "Pesanan? Saya tidak memesan apa-apa..."
Ibu itu mengangguk cepat, "Ini pesanan dari nenek pemilik rumah ini. Dia memintaku memastikan kau dirawat dengan baik. Katanya kau cucunya."
"Cucu?" Ruri bertanya, bingung. Nenek pemilik rumah ini memang baik hati, tapi dia jelas bukan cucunya.
Namun, sebelum Ruri bisa menjelaskan lebih lanjut, ibu itu melirik ke dalam rumah, melihat pria tampan yang kini berdiri di belakang Ruri. Matanya melebar. "Ck, ck, jadi begini cara generasi sekarang hidup. Tinggal bersama laki-laki tanpa ikatan. Terlalu bebas!"
Ruri langsung panik, "Bukan, bukan begitu! Dia bukan…"
Namun, ibu itu sudah menggelengkan kepala dengan marah. "Anak-anak zaman sekarang. Tsk, tsk. Tak ada rasa malu lagi." Ibu itu mengumpat sambil berbalik dan pergi sebelum Ruri sempat menjelaskan lebih jauh. Ruri mencoba menyusulnya, namun ibu itu telah menghilang entah ke mana.
Ruri menatap kosong ke arah jalan, panik menyebar di dadanya. "Oh tidak… kalau ini sampai menjadi rumor lagi, aku bisa di-DO!" pikirnya. Tapi kemudian, perhatiannya beralih kembali pada pria di rumahnya.
Dia berbalik, menatap pria itu dengan tajam. "Siapa kamu sebenarnya? Dan apa yang kamu lakukan di rumahku?"
Pria itu tersenyum dengan tenang, seolah tidak terganggu sama sekali oleh kekacauan yang baru saja terjadi. "Aku adalah kucing hitam yang kau peluk tadi malam," jawabnya santai.
Ruri mengerutkan kening, wajahnya dipenuhi kebingungan. "Apa? Kucing hitam? Kamu gila, ya?"
Pria itu mengangguk pelan. "Benar. Aku kucingmu. Kucing yang kau selamatkan dulu."
Ruri merasa kesabarannya diuji. "Dengar, aku tidak tahu siapa kamu atau dari mana kamu datang, tapi kamu jelas gila. Kamu harus pergi dari sini sekarang, atau aku akan memanggil polisi!"
Tapi pria itu tidak bergerak sedikit pun. "Aku tidak akan pergi. Kau butuh bantuanku."
Ruri terdiam. Pria itu tampak begitu yakin dan… ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Ruri merasa aneh. Namun, sebelum dia sempat menanggapi, langkah kaki tiba-tiba terdengar dari luar rumah. Ruri melirik ke pintu, khawatir tetangga lain mungkin akan datang dan melihat mereka. Situasi ini sudah cukup buruk.
"Baiklah, jangan buat keributan!" Ruri mendesah berat, menyerah sementara. "Dan kamu harus menjauhiku!"
Pria itu tersenyum tipis, tampak puas dengan respon Ruri. "Aku kucing yang tenang jadi tidak akan buat keributan. Tapi ke mana pun Ruri pergi, aku akan mengikutimu."
Mendengar jawaban itu, Ruri tercengang. Ekspresinya seperti orang gila.
___
Benar saja, ke mana pun Ruri pergi hari itu, pria misterius itu selalu ada di sisinya. Saat dia pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan, pria itu berjalan dengan tenang di sebelahnya, bertanya tentang segala hal yang terlihat asing baginya. Dia bahkan menanyakan apakah makanan manusia itu enak atau tidak, sesuatu yang membuat Ruri semakin curiga, 'Jangan-jangan dia pasien rumah sakit jiwa kali ya?'
Namun, cobaan hidup yang mesti dihadapinya hari itu tidak selesai sampai di situ saja. Ketika Ruri kembali ke kampus begitu memasuki gerbang, suara-suara cemoohan mulai terdengar lagi dari sekelompok gadis yang dipimpin oleh Sandra.
"Hei, lihat siapa yang datang! Pengkhianat bangsa!" Sandra tertawa keras, suaranya penuh sinisme. "Kau benar-benar tak tahu malu, ya? Mengaku-aku sebagai aktivis, tapi berfoto dengan orang yang memuja penjajah. Betapa memalukan!"
Ruri mengepalkan tangan, mencoba menahan amarah dan sakit hatinya. Dia memutuskan untuk tidak membalas. Tapi kemudian, Sandra melihat pria tampan yang mengikuti Ruri.
"Wow, dari mana kau mendapatkan pangeran tampan ini? Pasti dia belum tahu tentang reputasimu, ya?" Sandra melangkah maju, mencoba mendekati pria itu dengan senyum menggoda.
Namun, tanpa memandang Sandra sedikit pun, pria itu terus berjalan ke arah Ruri. Dia menghampiri Ruri dengan tenang, dan dengan gerakan lembut namun penuh perhatian, dia meraih tangan Ruri. "Kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya lembut namun penuh perhatian, seolah Ruri adalah orang paling berharga di dunia ini.
Sandra hanya bisa menatap mereka dengan mulut ternganga, cemburu menguasai wajahnya. Ruri, di sisi lain, merasa jantungnya kembali berdetak kencang—bukan karena ketakutan atau cemoohan, tapi karena pria aneh di hadapannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!