Brakkk ...!
"Omong kosong apa lagi ini?" Raung Anas membuat semua terdiam.
Suasana ruang makan yang tadinya kaku, kini menjadi dingin mencekam. Almira yang merasa tak enak karena perubahan suasana di ruang makan menegur putrinya dengan menyentuh lengan.
"Sayang, kamu jangan bicara sembarangan," tegur Mira halus.
"Lusi bicara benar Om, Tante,"-memandang ke arah Anas dan Eva bergantian, lalu kemudian matanya tertuju pada Risa-"Kak Risa hamil, bahkan seluruh karyawan di perusahaan sudah mengetahuinya."
Lusi tersenyum puas melihat raut wajah Anas dan Eva yang menggelap. Sementara Risa, menunduk tak berdaya. Kedua telapak tangan dan keningnya mulai basah karena jantungnya saat ini berdebar keras. Faris memandang kekasihnya dengan pandangan terluka.
"Hamil ...?" Anas bergumam. "apakah bayi yang ada di kandunganmu adalah anak Faris?" tanya Anas kepada Risa.
Gadis itu tetap menunduk. Ia bukan tak tahu jika pertanyaan itu untuk dirinya, melainkan ketakutan untuk membuka suara membuat dirinya memilih diam.
"Jawab, Clarissa!"
"Pa, sudahlah. Aku akan berbicara dengan Papa nanti," ucap Faris mencoba menengahi.
Brakkk ...!
Lagi-lagi Anas menggebrak meja makan. Membuat semua yang ada di sana terlonjak kaget, tak terkecuali Risa. Nyalinya semakin menciut saja.
"Jawab saya Clarissa! Apakah Faris adalah ayah dari bayimu?" Bentak Anas.
Dengan gemetar, Risa menggeleng pelan. Semua mata yang melihat jawaban gadis itu menatap tak percaya. Anas dan Eva memberikan pandangan menusuk dari tempat duduk mereka.
Lusi tersenyum mengejek, "Ayolah, Kak, kenapa Kak Risa tidak mengatakan pada semua yang ada di sini jika dirimu hamil karena dipe***osa? Makanya Kau bungkam mengenai kebenaran siapa ayah bayimu, supaya Kau bisa menuntut Mas Faris bertanggung jawab 'kan?"
"Lusi, tutup mulutmu!" Bentak Faris.
Lusi hanya membalas bentakan Faris dengan cibiran. Faris semakin terluka melihat kekasihnya kini menangis.
Dengan gugup Ia berusaha menjelaskan, "Faris mohon, Pa, kita bisa--"
" Cukup, Faris!" Potong Eva.
"Apakah Kamu juga sudah tahu kalau gadis ini sedang hamil karena diper**sa?" Eva bertanya sinis.
Faris hanya diam. Dalam hati Ia merutuk pelan. Bahkan dirinyalah yang terakhir tahu jika kekasihnya sudah diper**sa. Dan baru kemarin Ia tahu, akibat kejadian itu Risa hamil.
"Aku tak tahu jika ternyata di balik wajah dan sifat polosmu Kau menyembunyikan kelicikan seperti seekor rubah, Nona Clarissa," ujar Eva menatap mata Risa dengan tajam. "Kau menyuruh Faris bertanggung jawab atas janin yang bukan darah dagingnya?" Eva berteriak murka.
"Kau mau menipu Kami, Hah?"
"Sa- saya tidak bermaksud ...," ucap Risa terbata.
"Huh..mana ada maling yang mau ngaku," sindir Lusi, dan di balas tatapan tajam dari Faris.
"Kalau Kau tak bisa diam, akan Kurobek mulut tajam mu itu," ucapnya.
"Jaga bicaramu, Faris!" bentak Anas. "Harusnya Kau berterima kasih kepada Lusi. Berkat dirinya, rencana licik tunanganmu terbongkar ... dan satu lagi Faris. Mulai hari ini, pertunanganmu dengan gadis ini putus. Batalkan rencana pernikahanmu!"
"Tapi, Pa ...."
"Jangan bertindak bodoh Faris,"-Anas menatap tajam Faris-"jangan membuat Papa dan Mama kecewa dengan keputusanmu menikahi gadis yang bahkan Kau sendiri tak tahu darah siapa yang mengalir di dalam darah anak itu dan menjadikannya keluarga kita,"
"Dia hanya gadis korban per**saan, dan kelak anaknya menjadi anak ha*am," tegas Anas.
Air mata Risa mengalir tak terbendung. Tubuhnya bergetar menahan isak tangis. Hatinya terluka karena rasa malu. Ia menyesal menyetujui datang ke acara makan malam keluarga Faris. Risa menatap satu persatu wajah yang memandangnya dengan tatapan merendahkan. Om Anas, Tante Eva, Om Yudha, Tante Almira, dan Lusi. Bahkan Faris pun memandang ke arahnya dengan tatapan yang tak jauh berbeda.
Begitukah Mas, apakah diriku terlihat sangat rendah dan kotor di matamu? Mungkin memang inilah saatnya aku melepasmu. Melepas ikatan kita agar belenggu ini tak saling menyakiti, batin Risa.
***
Risa menatap pemandangan taman rumah sakit di balik jendela ruang perawatannya. Matanya sayu seolah tak ada cahaya. Tubuhnya hanya diam sejak Akbar datang dua jam lalu.
"Risa," sapa Akbar akhirnya. Namun Risa bergeming.
"Aku akan kembali lagi nanti, jika Kau masih ingin sendiri," ujarnya lagi.
Akbar beranjak dari duduknya. Ia berbalik dan hendak melangkah meninggalkan Risa. Namun suara gadis itu menghentikannya.
"Kak ...," panggil Risa pelan. Wajahnya masih menatap ke arah jendela.
"Ya," sahut Akbar.
"Apa Kak Akbar tahu, Aku sangat bangga memiliki nama yang dipilih oleh Ayah Rifa'i untukku, Clarissa Gardenia ...."
"Kenapa Kau bangga dengan nama itu?" tanya Akbar.
Risa tersenyum. "Karena nama itu benar-benar menggambarkan siapa diriku Kak. Sebelum Ayah meninggal Ia berkata bahwa dirinya bangga karena aku tumbuh menjadi gadis yang cemerlang, mandiri dan keras kepala (Clarissa) dan memiliki kemurnian yang suci (Gardenia) ...."
Risa mulai terisak. "Tapi sekarang nama Gardenia sudah tak pantas lagi untukku, Kak. Karena Aku sudah kotor, Aku sudah tak suci lagi ... huu hu uu," Risa menangis tergugu.
Akbar menatap gadis itu pilu. Tangannya terulur menuju punggung Risa yang bergetar.
"Kau tahu, Risa. Bagiku Kau tetap gadis suci tak ternoda. Meskipun darah k**or pria jahat itu mengalir dalam darahmu, Kau tetap menjadi Gardenia-ku," ucap Akbar.
**
Halo semuanya. Terimakasih sudah mampir ke novel pertama saya. Masih proses revisi ya, karena bagian 1 saya ganti menjadi prolog biar awalnya greget. Dan untuk bagian 1-3 nanti akan saya ringkas jadi bagian 1-2. Jangan lupa komen dan like-nya ya. Saran dan kritik juga boleh. Salam.
Gadis cantik berambut panjang itu keluar dari parkiran menuju ke pintu utama Kantor Kepolisian Daerah. Rambut panjang yang diikat di atas kepala ikut bergoyang seiring dengan langkah sang gadis yang berjalan cepat untuk menghindari air hujan. Rupanya sudah banyak pengunjung yang berada di sini, ujarnya dalam hati. Beberapa orang berseragam melintas di hadapannya. Ia melangkah menuju meja penerima tamu yang berjarak tak jauh dari tempatnya berdiri.
Dengan diantar salah satu petugas jaga, Ia masuk ke sebuah ruangan. Gadis itu duduk di sofa berbahan kulit sintetis, matanya memindai sekitar ruangan. Pemilik ruangan ini pasti memiliki jabatan yang tinggi, pikirnya. Hal itu tampak dari beberapa interior mewah dan meja kerja yang berdiri angkuh di ruangan itu.
Beberapa saat kemudian, pintu terbuka. Muncul seorang pria berusia lima puluh tahunan dengan seragam dan tanda kepangkatan berbintang tiga. Pria itu tersenyum, lalu menghampiri gadis yang saat ini sudah berdiri menyambutnya.
"Selamat siang, saya Arif Rahman," ujarnya ramah.
Risa menyambut uluran tangan Arif. "Selamat siang pak, saya Clarissa Gardenia. Panggil saja saya Risa," ujar gadis itu.
Keduanya kemudian duduk berhadapan di sofa.
"Baiklah Nona Risa, untuk mempersingkat waktu saya akan langsung pada intinya. Apakah Anda sudah menerima surat pemanggilan saksi dari kepolisian?" tanya Arif.
Risa mengangguk. "Apa saya ya perlu menyewa pengacara, Pak?" tanya Risa gugup.
Jujur ini adalah kali pertama baginya menjadi seorang saksi. Ada sedikit rasa takut di dalam hatinya.
Arif tersenyum. "Tidak perlu Mbak. Pernyataan saksi di sini hanya untuk memperkuat bukti saja. Lagipula dari yang saya dengar, masalah ini sudah selesai. Antara korban dan tersangka sudah menempuh jalan damai. Hanya saja karena laporan ini sudah masuk ke kepolisian mau tidak mau kasus ini tetap berjalan," ujar Arif.
"Jangan bayangkan interogasi ini seperti di drama ya, Non. Karena semuanya hanya seperti tanya jawab biasa. Nanti bawahan saya yang akan membantu Anda," ujar Arif lagi.
Risa mengangguk mengerti. Ketegangan di hatinya berangsur menghilang. Ternyata masalah ini tidak serumit bayangannya.
Terdengar suara pintu diketuk. Setelah dipersilahkan Arif masuk, seorang pria tinggi dan gagah muncul dari balik pintu. Pria itu memberi hormat pada Arif.
Arif tersenyum pada Risa."Nah, ini bawahan saya yang akan membantu menulis laporan Anda," katanya.
Risa hendak menerima uluran tangan dari pria tinggi berseragam di hadapannya, namun seketika Ia terbelalak kaget.
"K-kamu ...!" ucapnya tak percaya.
Arif memandang keduanya heran. "Apa kalian saling kenal?" tanyanya.
Risa tersipu, teringat kejadian memalukan beberapa hari lalu.
*Fl**ashback on*
Dengan menahan nyeri perut yang diakibatkan tamu bulanan, Risa menuju minimarket. Ia terpaksa melakukannya karena stok pem**lut miliknya habis.
Baru saja Ia melangkah di dalam minimarket, tiba-tiba saja.
Brukkk ...!
Risa yang fokus memegangi perutnya tak menyadari ada seseorang si hadapannya.
"Ma-maaf," ujarnya pelan. Risa memandang wajah orang yang ditabraknya. Pria itu hanya tersenyum. "It's okay," ujarnya.
Mengindari tatapan lucu dari beberapa pengunjung minimarket, Risa buru-buru mengambil benda favoritnya. Ia lalu melangkah menuju meja kasir.
"Totalnya semua dua puluh lima ribu, Kak," ucap Kasir minimarket.
Risa merogoh kantong jaketnya, bermaksud mengambil dompet. Namun tiba-tiba terbesit pikiran buruk si kepalanya. Ia mencoba beralih ke saku celana, berharap masih ada uang receh yang tersisa. Namun sepertinya sia-sia.
"Maaf, sepertinya dompet saya ketinggalan," ujarnya pelan.
Risa merutuk pelan. Benar-benar hari yang memalukan, pikirnya. Bermaksud meninggalkan meja kasir, tiba-tiba seorang pria berdiri tepat di sampingnya. Pria yang tadi sudah ditabrak Risa. Ia mengambil kembali bungkusan pem**balut yang tadi sudah disingkirkan oleh Kasir.
"Sekalian, Mbak," ucapnya.
Risa memandang heran. Selesai membayar pria itu langsung memberikan Risa sebuah bungkusan plastik.
"Ini milikmu," ucapnya sambil melangkah pergi meninggalkan Risa yang terbengong-bengong.
Flashback off.
"Perkenalkan, Fajar Rahadian," ujar pria itu membuyarkan lamunan Risa.
Risa tersenyum kaku. "Saya Clarissa Gardenia. Panggil saja Risa," ujarnya.
Fajar dan Arif tersenyum, sementara Risa menyembunyikan rasa malu dengan semburat merah di pipinya.
"Baiklah. Kamu bisa langsung menulis laporan saksi dari Nona Risa, Jar. Saya akan meninggalkan kalian di ruangan saya," ucap Arif yang kemudian berlalu meninggalkan keduanya.
Fajar berdeham untuk mencairkan suasana. "Sebaiknya langsung di mulai saja ... boleh saya langsung memanggil nama?" tanyanya.
Risa mengangguk. "Boleh saja," ujarnya
"Baiklah, Risa. Saya akan memulai bertanya apakah benar pada malam tanggal 23 Juni yang lalu Anda berada di kantor PT. NPP pukul delapan malam," tanya Fajar.
Risa mengangguk.
"Lalu, apakah malam itu Anda menyaksikan kejadian yang terjadi di ruangan bagian akuntansi?" tanya Fajar menyelidik.
Risa terdiam. Ia tampak sedang berpikir.
"Kejadian yang Anda maksud itu apakah berkaitan dengan karyawan kantor saya?" tanya Risa ragu.
Fajar merubah posisi duduknya, lalu memandang Risa intens. Sedang bagi gadis yang dipandang menjadi salah tingkah.
" Ya, itu tentang kejadian antara saudari Mia dan saudara Indra. Ada laporan bahwa Anda adalah saksi dari kejadian tersebut. Bisakah anda menjelaskan bagaimana kronologisnya?" tanya Fajar sambil bersiap merekam jawaban yang diutarakan Risa.
Gadis itu memulai ceritanya. Kejadian yang berlangsung sekitar seminggu lebih dan hampir terlupa itu harus Ia ingat-ingat kembali. Risa tidak menyangka rupanya Ia menjadi saksi dari kasus dugaan pe**cehan yang dilakukan salah satu karyawan baru di bagian Akuntansi terhadap salah seorang resepsionis di kantornya.
**
Risa yang malam itu lembur karena menyelesaikan laporan audit bulanan tanpa sengaja mendengar suara keributan. Suara yang berasal dari ruangan bagian akuntansi itu terdengar jelas karena kondisi kantor yang sudah sepi. Bermaksud untuk memeriksa apa yang terjadi, Risa malah disuguhi pemandangan antara pria dan wanita yang sedang bertengkar. Ia berdiri di sisi jendela ruangan yang memperlihatkan dengan jelas kejadian di dalamnya.
Risa mengenali pria dan wanita yang saat ini sedang beradu mulut. Namun dari yang Ia lihat tampaknya Si Wanita lebih dominan mengeluarkan amarahnya. Wanita berambut keriting berwarna merah dengan riasan tebal Ia yakini adalah Mia, salah satu Front Office di kantor ini. Ia masih menggunakan seragam seorang FO, sehingga Risa merasa yakin mengenalinya.
Risa mengalihkan tatapannya pada Si Pria. Rupanya, kali ini pun Ia langsung bisa mengenali sosoknya. Tubuh tinggi di atas rata-rata, serta warna rambut coklat karamel yang berkilau karena tersorot cahaya lampu. Indra Saputra namanya. Ia adalah karyawan baru, tepatnya karyawan kontrak di bagian akuntansi. Risa mengetahuinya, karena pemuda ini yang selalu membuat heboh Siska, asistennya dan beberapa wanita di kantor.
Beberapa menit sudah berlalu, namun Risa masih mendengar pertengkaran itu. Mia terdengar emosional, sedang Indra hanya membalas dengan beberapa kalimat saja. Dari suaranya, pemuda itu cukup tenang menghadapi Mia. Merasa tak pantas menguping kejadian itu, Risa mulai beranjak dari tempatnya.
Ia hampir sampai di sisi pintu ruangan akuntansi, namun seketika pintu terbuka. Ia merasa jantungnya hampir saja melompat keluar. Dari dalam ruangan muncul Mia. Gadis itu tak terkejut melihat Risa yang berdiri di sana. Sedang Risa hanya menatap sekilas tampilan Mia yang berantakan. Seragam yang dipakainya kini hampir terbuka dengan rambut acak-acakan. Tanpa menyapa ia langsung berlari meninggalkan Risa yang saat ini masih terdiam karena rasa kagetnya.
Tak berapa lama, Indra muncul dari dalam ruangan. Berbeda dari Mia, Indra tampak terkejut melihat keberadaan Risa di sana. Indra dan Risa berpandangan beberapa detik. Mata mereka saling mengunci, mencoba mencari jawab. Indra segera tersadar lalu berlari meninggalkan Risa. Setelah menetralkan debaran jantungnya, Risa pun meninggalkan tempatnya.
**
Risa mengakhiri ceritanya kepada Fajar. Polisi muda itu mencatat beberapa poin yang disampaikan Risa. Sesekali ia manggut-manggut saat mendengar cerita Risa.
"Jadi, berdasarkan keteranganmu di sini tidak ada tindak pe*lecehan, begitu?" tanya Fajar mengakhiri laporannya.
Risa mengangguk. "Dari yang saya lihat tidak ada tindakan yang mengarah ke sana. Selama Saya menyaksikan kejadian itu, mereka tampak seperti pasangan yang sedang bertengkar saja," ucapnya.
"Kecuali bagian saat Mia keluar dari dalam ruangan, tampilannya memang terlihat berantakan. Tapi rasanya janggal, perbedaan waktu saat Saya melihat mereka dari balik jendela, dengan waktu mereka keluar hanya berjarak sekitar lima menit saja. Apakah dengan waktu yang hanya lima menit itu Indra bisa melecehkan Mia, Saya tidak tahu," ujarnya lagi.
Fajar manggut-manggut. "Baiklah, saya mengerti. Semua laporan dari saksi sudah ditulis. Semua sudah selesai," ujar Fajar sambil tersenyum.
Risa ikut tersenyum. Ada kelegaan dalam hatinya.
Sudah tiga hari pria tinggi besar itu berkeliaran di sebuah perumahan elit yang sebagian besar di huni para pejabat. Ia dan beberapa rekannya tengah melakukan pengintaian. Salah satu rumah besar yang berada di ujung jalan di curigai sebagai rumah salah satu gembong narkoba.
Pekerjaan ini tidaklah sekeren yang terlihat di sebuah drama. Saat mengintai pria itu harus rela kehilangan kebutuhan dasar sebagai manusia normal. Makan tak teratur, bahkan terkadang perut hanya diisi roti dan air putih. Tidur hanya beberapa jam, itupun harus bergantian. Dan yang paling membuat jiwa jomblonya memberontak adalah tentang kesempatan mematut diri yang hilang.
Ia memang bukan penganut paham kaum metroseksual akut, tapi setidaknya mandi dan parfum adalah hal wajib baginya. Dan selama melakukan tugas ini jangan berharap Ia bisa mandi dan keramas, bahkan berganti pakaian urung dilakukan. seperti saat ini, penampilannya bahkan lebih mirip dengan gem*el.
Setelah begadang semalaman, Ia menuju minimarket yang jaraknya hanya beberapa meter dari lokasi intaian. Dirinya butuh beberapa booster agar badan besarnya tak tumbang. Dalam kondisi seperti ini, sebisa mungkin Ia harus menghindari kontak dengan orang lain. Namun nyatanya, Ia malah harus bertabrakan dengan seorang gadis. Lebih tepatnya, Ia ditabrak karena gadis itu tidak melihat keberadaannya.
Gadis yang lucu. Gadis yang mungkin tingginya hanya seratus enam puluh, terlihat mungil untuk tubuh tinggi besarnya. Wajahnya yang diliputi rasa malu saat menyadari dompetnya ketinggalan, membuat pria itu tak tega. Akhirnya Ia memutuskan membayar belanjaan pentingnya. Dua bungkus pem**lut wanita.
Sebuah pertemuan mengesankan yang selalu membuat pria itu tersenyum mengingatnya. Dan rupanya, Tuhan memberi kesempatan padanya untuk bertemu dengan gadis itu lagi di tempat yang layak. Kesempatan itu adalah sebuah keyakinan baginya, bahwa mungkin gadis itulah pemilik tulang rusuknya yang hilang.
**
Risa memandang Fajar yang tengah membereskan berkas laporan dan alat perekam. "Apa semua sudah selesai?" tanyanya pada Fajar.
Pria itu hanya mengangguk. "Laporannya sudah selesai, tetapi mungkin akan ada yang disampaikan Pak Arif ke Mba Risa," ucapnya.
Risa tertegun. Bukankah tadi pria itu memanggilnya tanpa embel-embel apapun, kenapa sekarang Ia dipanggil 'Mba'. Benar-benar aneh, pikirnya.
"Untuk yang kemarin ... saya ucapkan terimakasih, ya," ujar Risa. Matanya menatap ke arah pria yang sedari tadi sibuk.
Pria itu tersenyum lalu mengangguk. "Apa Mba Risa tinggal di daerah sana?" tanyanya mengingat pertemuan mereka di minimarket.
Risa mengangguk. " Sekitar sekilo dari minimarket, di klaster H" ucapnya. " Apa kamu juga tinggal di daerah situ?" tanya Risa.
Fajar tertawa, membuat Risa mengernyitkan keningnya. "Saya tidak cukup kaya untuk bisa punya rumah di sana, Mba ... kemarin kami ada tugas pengintaian," ucap Fajar.
Risa hanya manggut-manggut. Pantas saja pria itu bisa bertemu dengannya di sana. Tak mungkin orang luar mampir ke minimarket yang berada di lingkungan perumahan bukan.
"Sambil menunggu Pak Arif selesai rapat, apa Mba Risa mau ikut saya berkeliling di kantor ini?" tawar Fajar.
Risa tampak menimbang tawaran Fajar. Ia melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Masih satu jam menuju jam makan siang. Ia pun mengangguk setuju.
Fajar berbinar. Tak percaya langkahnya mendekati gadis itu bersambut.
**
Jam menunjukkan pukul dua belas siang. Fajar telah selesai mengajak Risa berkeliling seluruh tempat di kantor kepolisian. Ruangan terakhir yang Ia tunjukkan adalah ruangan Tim Brimob, karena di sanalah Arif berada. Atasannya itu baru saja selesai rapat koordinasi dengan tim di sana, dan Ia tahu Fajar mengajak Risa berkeliling. Untuk itu Arif menghubungi Fajar agar membawa Risa menemuinya di ruangan yang penuh polisi berseragam gelap.
Arif hanya menyampaikan beberapa hal ramah tamah saja. Itu dilakukannya karena permintaan sahabat yang menjadi atasan gadis itu di PT. NPP. Arif tak ingin menimbulkan kesan tak mengindahkan permintaan Dedi untuk memperlakukan Risa dengan baik.
Fajar mengantar Risa meninggalkan ruangan yang digunakan Arif menemui gadis itu. Mereka menyusuri ruangan penuh dengan meja yang diisi oleh beberapa polisi berseragam hitam. Melihat Fajar diikuti seorang gadis cantik, beberapa rekan yang dikenal Fajar menggoda pria tinggi besar itu. Godaan yang hanya dibalas senyum merekah dari Fajar, namun senyum dengan rasa malu dari Risa.
Risa mengamati perlakuan Fajar terhadap rekan-rekannya sesama Polisi. Risa merasa kagum dengannya. Fajar tampak supel dan sopan menyapa setiap rekan sesama polisi, dan hal ini membuat Risa sesekali membungkuk mengikuti Fajar untuk menyapa polisi yang mereka lewati.
Risa juga menilai Fajar orang yang humoris. Pria itu terlihat lebih apa adanya saat mengantar Risa berkeliling melihat-lihat keadaan kantor polisi tadi. Sesekali gombalan receh Fajar membuat Risa tertawa tanpa menjaga imej-nya. Sikap Fajar pada Risa mampu membuat Ia merasa nyaman. Siapa yang menyangka laki-laki yang memiliki tibuh tinggi besar dan rahang tegas itu ternyata memiliki sifat yang humoris dan supel.
Risa adalah seorang gadis yang agak tertutup untuk orang yang belum dikenalnya. Ia lebih menahan diri untuk terlalu mengenal orang baru. Tetapi rupanya sifat Fajar yang ditunjukkan tadi mampu meruntuhkan kehati-hatian Risa.
"Semua sudah selesai Mba Risa. Besok kalau ada kekurangan atau ada yang perlu saya tanyakan kembali terkait penyelidikan saya akan langsung menghubungi Mba Risa lewat telpon," kata Fajar.
"Sama-sama Pak Fajar. Terimakasih juga sudah membantu saya dan menemani berkeliling," ujarnya.
Risa kembali tersenyum. Ia tak menyadari bawa senyumannya sedari tadi membuat hati Fajar cenat cenut. Jiwa jomblonya bersorak bahagia, meskipun panggilan 'Pak' yang Risa katakan sedikit mengganggu pendengaran. Rupanya gadis itu sudah mencuri hatinya.
"Setelah ini langsung pulang atau ke kantor Mba?" tanya Fajar pada Risa. Saat ini mereka sudah berada di lobi kantor polisi.
Risa melirik jam tangannya lagi. "Saya langsung ke kantor Pak, karena hari ini saya hanya ijin setengah hari saja," jawabnya. Risa teringat sedari tadi dia mengabaikan ponselnya. Melihat banyak panggilan dari dua nomor yang dikenalnya, Risa menjadi tak nyaman. Mendadak air mukanya berubah.
Hal itu rupanya disadari oleh Fajar. Ia pun berencana merubah suasana hati Risa.
"Mba, memangnya wajah saya keliatan tua ya?" tanya Fajar. Risa mengernyitkan dahinya tampak berpikir. "Maksudnya?" tanya Risa kembali.
"Habis dari tadi Mba Risa panggil saya pakai embel-embel Pak, kesannya saya tua banget gitu. Apalagi kalau yang panggil Mba Risa yang berwajah imut," ucap Fajar mengulum senyum.
Ucapan Fajar sukses membuat suasana hati gadis itu kembali ceria lagi. "Bukan imut mungkin Pak, tapi pendek maksudnya," ujarnya menahan tawa.
Akhirnya tawa keduanya pecah. Risa dan Fajar menyadari perbedaan tubuh mereka sangat mencolok. Fajar gagah dengan seragam polisi ternyata memiliki tinggi 185cm. Sedangkan Risa tinggi badannya hanya 160cm. Saat berjalan beriringan seperti ini perbedaan itu sangat terlihat.
"Saya panggil anda dengan sebutan Pak karena untuk menghormati anda," terang Risa.
"Ya-ya, kalo dikantor sih tidak apa-apa Mba ... tapi kalau di luar sana jangan ya Mba. Nanti saya betulan dikira bapaknya Mba Risa lho," canda Fajar
"Toh usia kita tidak jauh beda Mba, hanya selisih setahun saja," - Fajar lalu mendekatkan dirinya ke arah Risa lalu menatap gadis itu- "Bagaimana kalau kita saling memanggil nama saja, hem-hem?" Fajar menaik turunkan alisnya. Membuat Risa tak dapat menahan tawanya.
"Oke, oke baiklah," kekeh Risa. Sungguh ia tak bisa menolak cara Fajar dan pesona humorisnya.
Mereka terus memainkan peran seolah orang yang baru berkenalan, mengabaikan beberapa orang yang memandang tingkah lucu mereka.
"Kok kamu bisa tahu kalo umur kita hanya selisih satu tahun Jar?" tanya Risa penuh selidik. Risa merasa Ia sama sekali tak pernah menyebut tanggal lahirnya pada Fajar. Lagipula mereka baru mengenal beberapa jam saja.
"Kamu lupa ya, saya polisi," jawab Fajar. Ia tersenyum menang melihat wajah Risa seolah-olah kecolongan. Tentu jawabannya tadi adalah kebenaran. Karena satu jam setelah bertemu Risa di ruangan Pak Arif Ia segera meminta bantuan temannya menyelidiki latar belakang Clarissa Gardenia.
"Saya juga Kaget, ternyata kamu lebih tua dari saya lho Ris," terang Fajar.
Ucapan Fajar sontak membuat Risa membelalakkan matanya tak percaya. "Bohong!" ucapnya. Fajar hanya mengendikkan bahunya. Seolah membenarkan kenyataan yang tak dipercaya oleh Risa.
"Tenang saja Ris, kalau kita bersanding kita tetap terlihat seperti pasangan yang pantas kok. Kamu imut, saya gagah. Lagipula selisih usia setahun ga terlalu banyak," kelakar Fajar.
Risa hanya memandang tak percaya pada Fajar. Entah darimana sifat percaya dirinya berasal. Dan Risa begitu terpancing dengan gurauan jenaka Fajar. Tanpa sadar Ia melampiaskan kekesalannya dengan memukuli lengan Fajar. Tentu pukulan kecil Risa tak sebanding dengan kokohnya lengan yang dimiliki Fajar. Tapi dengan sifat humorisnya, Ia tetap mengaduh seolah-olah merasakan pukulan yang menyakitkan.
Mereka tak menyadari bahwa interaksi mereka membuat seseorang yang sedang berada dalam mobil menatap keduanya penuh amarah.
"Ris, inikan pas makan siang. Gimana kalau kamu makan siang dulu sekalian, supaya pas sampai kantor nanti perut kamu sudah terisi," ucap Fajar. "Tenang saja, kali ini aku yang akan traktir kamu, sebagai tanda perkenalan kita, gimana?"
Risa tampak berpikir. Bari saja akan menjawab ajakan Fajar mereka dikejutkan oleh panggilan seorang pria.
"Yang ...!"
Fajar dan Risa menoleh ke arah suara. Dari arah parkiran muncul sosok pria yang dikenal oleh Risa. Dia Faris, tunangannya. Orang yang sedari tadi menelpon ponsel Risa. Ada dua puluh panggilan di sana.
"Kamu kok ga ngabarin aku sih Yang, kalo hari ini ada jadwal ke sini?" tanya Faris sambil berjalan menuju ke arah Risa dan Fajar.
Risa menyadari sengaja tak memberi tahu Faris tentang jadwalnya ke kantor polisi. Tapi Ia tak menyangka jika tunanganya akan menyusul ke sini.
Belum sempat mengatasi keterkejutannya, Risa dibuat kaget dengan sikap Faris yang tiba-tiba memeluk lalu mencium keningnya. Jujur Risa merasa malu dengan tindakan Faris. Ia tak pernah mengumbar kemesraan di depan orang lain. Apalagi ada Fajar di sana.
Faris berdiri tepat di hadapan Risa, dan menggenggam tangan gadis itu. "Untung tadi aku ke ruangan mu, jadi Siska bisa kasih tahu aku kamu dimana," ucapnya.
Pandangan Faris beralih ke sosok pria di sebelah tunangannya. "Siapa ini Yang?" tanya Faris kepada Risa.
Risa mengenalkan Faris ke Fajar, begitu sebaliknya. "Kenalkan Mas, beliau ini polisi yang tadi merekam laporan saksi, namanya Fajar. Fajar ini Mas Faris,--"
"Tunangan Risa," potong Faris dingin, sambil tangannya terulur ke hadapan Fajar.
"Fajar!" ucap pria tinggi besar itu.
Faris acuh dengan perkenalan Fajar. Ia malah berbalik menghadap ke arah kekasihnya. Dengan sedikit memaksa mulai menggenggam jemari Risa. "Sudah selesai 'kan Yang urusannya, yuk balik," ujar Faris.
Fajar yang menyadari ketidaknyamanan Risa karena perlakuan Faris kemudian tersenyum. "Kembali ke kantor saja dulu Ris, makan-makan nya lain waktu. Takut nanti kamu terlambat ngantor," ujarnya.
Risa menatap Fajar. Wajahnya menunjukkan penyesalan. Fajar hanya tersenyum. Akhirnya Ia harus menurut saat Faris mulai membawanya melangkah meninggalkan Fajar.
Fajar hanya bisa menatap kepergian Risa dengan wajah datar. Lalu Ia tersenyum.
"Sebelum janur melengkung, masih halal buat di tikung," gumam Fajar
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!