Perkenalkan namaku Arnesa Putri Maharani, usiaku 19tahun, aku tinggal di Banjarmasin bersama ayah kandung dan Ibu tiriku yang serakah, juga adik tiriku yang usianya sudah beranjak remaja.
Ibu kandungku meninggal di saat usiaku 7 tahun, ada rasa sesak yang menggantung dihatiku, dan aku tidak bisa mengatakan apa pun disaat ayahku tergaet oleh Ibu tiriku yang memang usianya jauh lebih muda dari ayahku.
Karena persoalan hidup yang aku hadapi dan ketika merasa terkekang oleh banyaknya sepasang mata yang memicing juga banyak mulut yang menyinyir, aku pun bergaul dengan teman-teman yang tidak menganggapku teman mereka. Aku tahu bahwa mereka hanya menganggapku mainan mereka ketika mereka sedang kesepian.
Mereka semua selalu memerintahku, namun entah mengapa aku merasa semua yang mereka lakukan adalah benar. Aku membutuhkan mereka disaat aku kesepian dan ingin memiliki teman, meski mereka hanya membutuhkanku untuk mereka bully.
Setelah sering di ingatkan oleh teman sebangkuku untuk menjauhi grup Airin, aku tidak pernah mendengarkan, hukuman yang aku dapatkan pun tidak biasa. Mereka menjebakku di hotel dan membuatku tidur dengan seorang lelaki yang tidak aku kenali.
Lelaki yang sebentar lagi akan menikahiku, karena hubungan pertama kami berhasil membuatku hamil, karena berhubungan disaat masa suburku.
Lelaki itu pun sampai tidak sadar jika ternyata dia tidur denganku, bukan dengan gadis yang ia sukai dan cintai.
Setelah ayahku tahu aku hamil, mereka menekanku dan membuatku semakin terpuruk, mereka bertanya siapa lelaki yang menghamiliku.
Dan, lelaki itu bernama Devan Aliand, usianya 29 tahun, yang artinya kami terpaut 10 tahun. Dia memang sudah dewasa, namun pikirannya setelah menikahiku tidak dewasa.
Ia selalu merutuki diri sendiri, setelah menghamiliku.
Setelah hubungan semalam kami di hotel waktu itu, ia memberiku nomor ponselnya, karena itu aku berani mengatakan bahwa aku hamil anaknya.
Awalnya dia tidak percaya, namun setelah memeriksakan diri ke dokter, dia pun membelalak bahwa ternyata dia menghamiliku.
Semua impianku pun hancur, di usiaku yang masih dua puluh tahun kebawah harus hamil diluar nikah. Semua karena hukuman dari Tuhan karena aku mengabaikan sahabatku dan mau bersama teman yang hanya menjebakku.
Awalnya aku ingin mengaborsi kandunganku, namun ibu dari Devan terlalu bahagia setelah tahu bahwa Devan akan memiliki anak dariku. Sungguh, semuanya seperti takdir yang memang mau tak mau harus mau aku terima.
Aku kecewa terhadap diriku sendiri yang tidak bisa melawan apa kata teman-teman yang menjebakku, bahkan setelah kejadian itu, aku marah besar, dan nyatanya setelah memberi pelajaran kepada mereka. Aku malah harus kena teguran, karena yang aku sakito adalah orang yang berpengaruh di kampus.
Aku harus mabuk dan terjebak di kamar hotel bersama pria yang tidak aku kenal.
Bagaimana rasanya? Itu sakit sekali, bahwa mendongak pun, aku tidak bisa, lelaki yang sudah ku sukai lama, tak bisa ku tatap wajahnya.
Semua impianku pun hancur dan aku tidak bisa kemana-mana. Rasanya aku harus mengeluh pada siapa.
Ku langkahkan kakiku memasuki kamar sempit yang hanya ada satu lemari dan satu ranjang mini, tempatku sering meluapkan tangisku yang selalu keluar begitu saja.
Jika aku menikah, bagaimana nantinya aku akan melihat masa depanku?
***Mau tahu kisahku?
Kalian bisa bersama Author (Istrinya Ji Chang Wook***)
Setelah kejadian itu, Nesa tidak lagi ke kampus dan memilih menutup diri, ia memilih terus diam di kamar. Ada rasa sedih dan trauma yang menggantung dihati dan pikirannya. Ia menghindari semua orang termaksud keluarganya.
Hari ini adalah hari dimana keluarga Devan akan datang melamarnya, sedih sekali menikah dengan lelaki yang tidak ia cintai, bagaimana nantinya mereka akan menjalani kehidupan rumah tangga jika keduanya bersama tak berdasarkan cinta.
Ketika Ibu Ningrum—Ibu kandung—Devan mengetahui tentang kehamilan Nesa, ia bukannya terkejut, atau menolak perempuan itu yang hanya dari keluarga sederhana, ia malah senang dan bahagia akhirnya ia akan memiliki cucu.
Ningrum senang sekali ketika mendengar kabar itu, kabar yang membuat hatinya berdebar ketika putranya akan menjadi ayah. Sedangkan ia tahu bahwa putranya itu memiliki perempuan yang dicintainya.
Suara ketukan pintu kamar terdengar, Nesa diam saja, sesaat kemudian Ranti—sahabatnya—datang dengan senyum mengambang di wajahnya.
Nesa menatap wajah Ranti.
"Ya ampun calon pengantin kok masam begitu wajahnya?" tanya Ranti, menutup pintu kamar dan menghampiri sahabatnya yang kini duduk didekat jendela yang tertutup tirai. "Dan kenapa juga ini tirai nggak kamu buka. Dasar pemalas."
"Ranti?"
"Hem. Ini aku," ucap Ranti, seraya menganggukkan kepala. "Kamu gugup?"
Nesa menggelengkan kepala, dan berkata, "Tidak kok."
"Ya sudah. Kamu mau makan apa? Biar aku buatkan. Jangan menghukum dirimu seperti ini donk, Nes," kata Ranti, menggelengkan kepala melihat kondisi sahabatnya.
"Kamu sudah nggak marah?" tanya Nesa.
"Marah? Iya sih. Aku emang marah sama kamu, marah itu karena kamu terlalu lemah dan mudah di bodohi sama mereka. Apa kamu tahu apa yang ku lalukan pada mereka sebelum kemari?"
"Apa?"
"Aku sudah memberikan mereka peringatan."
"Peringatan?"
"Hem. Aku membuat mereka bertekuk lutut padaku," seru Ranti, membuat Arnesa tersenyum. "Jadi, kamu nggak usah menutup diri seperti itu, yang lalu biarlah berlalu."
"Bagaimana bisa aku beranggapan yang lalu biarlah berlalu, Ran? Aku hamil anak lelaki yang tidak aku kenali, bahkan kami akan menikah diusiaku yang masih muda, aku baru 19 tahun, kuliah juga masih disemester awal. Bagaimana bisa aku menikah secepat itu," kata Nesa, membuat Ranti mengangguk.
"Nes, yang namanya jodoh kita nggak tahu. Mungkin jodohmu emang harus seperti ini cara ketemunya."
"Mana aku hamil diluar nikah, sungguh memalukan, melihat diriku saja, aku nggak bisa," gumam Nesa.
Ranti menganggukkan kepala. "Aku tahu dan aku paham apa yang kamu rasakan."
Nesa menghela napas panjang, ia tak menyangka jodoh itu ternyata memiliki cara sendiri.
"Kamu mau makan apa? Biar aku masakkan," tanya Ranti.
Nesa menggelengkan kepala. "Nggak nafsu makan, Ran, aku juga udah makan tadi pagi."
"Itu tadi pagi loh, sekarang udah sore ini."
"Masih kenyang aku."
"Gimana badan nggak kurus kayak gini, kalau makanmu dikit banget."
Nesa tersenyum dan memeluk sahabatnya. "Maafin aku, Ran, aku salah."
"Salah apa?"
"Aku nggak pernah dengerin kamu kalau kamu ngasih saran, bahkan aku mengabaikan kamu. Dan, aku udah sadar, hanya kamu yang ada disisiku disaat sedih maupun senang."
"Udah nggak usah dibahas, yang lalu biarlah berlalu. Itu aja sih, asalkan kamu udah sadar dan mau memperbaiki diri, aku udah maafin kok."
"Kamu memang sahabat yang terbaik, Ran."
"Ya sudah. Sekarang kamu siap-siap, malam nanti kan ada pertemuan keluarga. Kamu harus ikut hadirin."
Nesa menganggukkan kepala.
Sesaat kemudian, pintu kamar terbuka. Santi—Ibu tiri Nesa—berdeham dan menatap tajam ke arah putri tirinya itu.
"Apa yang kau lakukan seharian, Nesa? Tidak membantu Ibu?" tanya Santi, dengan suara keras. "Kamu itu sedang hamil. Masih kecil sudah hamil saja. Memberikan contoh yang tidak baik untuk Kinan, bikin malu saja."
Nesa terdiam, ia tahu sekali jika ia melawan itu hanya akan memperkeruh masalah. Apalagi di sini ada Ranti yang memperhatikan dan berusaha diam saja.
"Ayo bantu Ibu, banyak kerjaan noh di dapur," kata Santi.
"Nesa biar siap-siap dulu, Tante, saya yang akan membantu Tante untuk kerja di dapur," kata Ranti beranjak dari duduknya dan menoleh melihat sahabatnya lalu memberikannya isyarat.
"Untung saja calon suamimu itu kaya, kalau enggak, kamu bakal mempermalukan kami. Jadi anak jangan bandel, ikuti nasehat orangtua, jangan bergaul sana-sini akibatnya lihat sendiri. Kamu hanya membuat kita malu." Santi menunjuk ke arah Nesa yang memilih diam saja.
"Sudah, Tante, ayo kita ke dapur."
"Dengerin orangtua nggak pernah. Tapi pas hamil luar nikah ngerepotin orangtua iya." Santi berjalan meninggalkan kamar Nesa dengan omelan yang tidak berhenti. "Untung saja saya bisa mengatakan alasan yang masuk akal pada Ibu-ibu kompleks. Jika tidak, benar-benar akan membuatku malu."
"Kamu siap-siap gih," kata Ranti, membuat Nesa menganggukkan kepala.
"Ada apa lagi sih, San?" tanya Hakim—Ayah kandung Nesa.
"Itu putrimu bikin malu aja, di pasar dan dimana-mana kalau saya ketemu mereka, pasti pada nanya kenapa Nesa udah mau nikah saja."
"Ya jawab aja udah jodoh."
"Saya jadi pengen acara pernikahannya cepat selesai, supaya nggak ngerepotin," gumam Santi.
"Tante, kerjain apa nih?" tanya Ranti.
"Irisin wortel sama kentang itu, Tante mau buat sup," kata Santi menunjuk wadah yang berisi sayuran.
"Udah tahu sebentar ada pertemuan keluarga tetap saja di kamar seharian. Haduh anak itu udah gede masih bikin kesal dan repot aja," celetuk Santi, sedangkan Ranti dan Hakim memilih diam. "Seharusnya dia bantuin saya di dapur. Tapi kerjaannya di kamar aja."
"San, kamu kan tahu, Nesa sedang hamil, moodnya berubah-rubah," kata Hakim yang masih membaca koran.
"Kalau bisa kamu pergi dari sini, jangan menampakkan wajahmu didepaku, kamu pengangguran nggak berguna," bentak Santi, membuat Hakim terdiam, dan menutup rapat bibirnya.
"San—"
"Apa? Kalau nggak mau di usir, lebih baik diam saja."
"Kamu ini, selalu saja begitu," gumam Hakim.
"Ngomong lagi ku banting semua yang ada di sini," ancam Santi, membuat Hakim menoleh sesaat pada Ranti yang sibuk mengiris wortel dan kentang.
"Oke oke, saya diam," ucap Hakim.
"Bapak sama anak sama saja, sama-sama bikin kesal," kata Santi. "Makasih ya, Ran, kamu udah mau bantuin tante."
"Iya, Tante, nggak masalah."
"Jangan kayak Nesa ya, Nak, dia itu kerjanya hanya ngerepotin, sudah hamil, malas lagi," celetuk Santi, membuat Ranti memilih diam.
"Ya sudah. Kamu lanjutin kerjanya, Tante ke kamar kecik dulu. Begini lah nasib orang miskin, apa-apa semua dikerjakan sendiri, nggak ada pembantu dan nggak ada uang pulak," celetuk Santi, dan terus saja mengomel.
.
.
Bersambung.
Beberapa hari berlalu, setelah pertemuan keluarga waktu itu, akhirnya tanggal pernikahan Nesa dan Devan sudah ditetapkan. Karena takut kandungan Nesa membesar dan memperlihatkan pada orang-orang, akhirnya tanggal pernikahan ditetapkan empat hari kemudian. Itu permintaan Hakim karena tidak ingin perut anaknya menjadi bahan nyinyiran tetangga.
Ningrum, Winda dan Alwi—Adik kandung Devan—bahagia akhirnya pernikahan sebentar lagi di langsungkan.
Devan saat ini sedang di salah satu restoran menunggu seseorang, perempuan yang ia cintai bernama—Lestari—perempuan itu terlihat ketika beberapa saat pesanan makanan mereka sampai.
"Maafin aku, aku telat, ya," kata Lestari, menyambar mencium pipi kanan dan kiri Devan, lalu duduk dihadapan kekasihnya itu.
"Nggak kok, kebetulan pesanan kita juga baru datang," jawab Devan. "Kamu darimana? Kantor?"
Lestari menganggukkan kepala, dan berkata, "Iya. Kerjaanku makin banyak, mana dikejar deadline. Pokoknya repot banget."
"Kalau begitu makan dulu," kata Devan.
"Sayang, aku nggak makan makanan ini, ini kebanyakan lemak, dan aku sedang diet," tolak Lestari, membuat Devan menghela napas panjang, selalunya kekasihnya itu menolak makanan yang sudah ia pesan karena alasan diet.
"Baiklah. Kamu mau makan apa?"
"Aku nggak makan deh, aku minum aja," jawab Lestari.
"Kalau hanya mau minum, kan kita bisa ke cafe," kata Devan.
"Aku kan tahunya kamu belum makan, jadi aku pilih tempat ini untuk makan malam."
"Apa gunanya makan sendirian." Devan menghela napas panjang dan bergumam sendirian.
"Sebentar, kamu kok sensitif? Lagi banyak pikiran?" tanya Lestari.
"Aku—"
"Ada apa? Apa ada sesuatu yang ingin kamu katakan? Katakan saja, aku siap mendengarnya," kata Lestari, membuat Devan menggaruk tengkuknya karena merasa bersalah, ia ragu mengatakan tentang pernikahannya yang akan di langsungkan pekan ini. "Sayang, apa yang ingin kamu katakan? Hem? Katakan saja."
"Pekan ini aku akan menikah," lirih Devan, membuat Lestari tertawa kecil.
"Sayang, sudah aku katakan, aku belum siap."
"Bukan dengan kamu, tapi dengan orang lain," jawab Devan, membuat Lestari membulatkan matanya penuh.
"Apa maksudmu? Kamu mau menikah dengan orang lain? Dan, mengkhianatiku, begitu?"
"Bukan begitu, Sayang, aku—"
"Jelaskan sekarang juga!"
Devan lalu menjelaskan semuanya pada Lestari, tak ada yang ia lewatkan, ia katakan semuanya tentang bagaimana ia masuk ke kamar hotel dan tidur dengan perempuan lain, lalu perempuan yang ia tiduri itu sedang hamil anaknya.
"Apa? Kamu menghamili perempuan lain? Apa itu masuk akal?" tanya Lestari lalu meneguk air putih yang ada didepan Devan.
Devan menganggukkan kepala, dan berkata, "Aku nggak tahu kenapa bisa aku melakukan itu."
"Berapa usia perempuan yang kamu hamili itu?"
"19 tahun."
"Ha ha. Kamu menghamili perempuan yang masih muda?"
Devan menundukkan kepala.
"Jadi kamu bertanggung jawab pada kehamilannya?"
"Ya. Mama memaksaku bertanggung jawab, apalagi Mama senang sekali dan bahagia ketika mendengar ia akan memiliki cucu dariku."
"Jadi, kamu terima menikahi gadis itu?"
"Aku harus bagaimana? Mama menginginkan itu?"
"Ya sudah."
"Apa kamu mau menungguku?"
"Baiklah. Aku nggak apa-apa menunggu karena aku juga belum siap menikah, jadi setelah gadis itu melahirkan, selesaikan semuanya dan ceraikan dia. Aku akan siap menikah setelah setahun kemudian."
"Baiklah," jawab Devan
"Dan, hubungan kita jangan pernah berubah, selalu seperti ini," kata Lestari, membuat Devan tersenyum dan menganggukkan kepala.
"Baiklah. Aku janji," jawab Devan.
"Aku harap kamu jangan pernah menyentuh gadis itu, dia memang lebih muda dariku, namun aku paling tahu kamu dibandingkan dirinya," kata Lestari.
Devan tersenyum dan menganggukkan kepala.
****
Segala persiapan sudah dilakukan, beberapa hari ini Ranti menginap di rumah Nesa, untuk menemani sahabatnya itu agar tak terlalu sedih.
Hari ini pun di adakan pengajian Ibu-ibu, karena empat hari dari sekarang acara pernikahan akan digelar secara sederhana, ada akad nikah yang akan dilaksanakan di rumah ini, dan resepsi yang akan di lakukan di salah satu hotel di Banjarmasin.
Terdengar suara lantunan yang merdu dari Ibu-ibu, membuat Nesa mendengarnya dengan seksama, kali ini ia duduk ditengah keramaian, ada dekorasi ditengah rumah yang diperuntukkan untuknya.
Beberapa menit kemudian setelah selesai pengajian, cemilan pun di suguhkan, semuanya memandang takjub pada Nesa yang terlihat cantik dengan baju muslim berwarna putih, dan jilbab syari berwarna pink baby yang ia kenakan, menambah kesan menarik yang terlihat.
Meski usianya masih 19 tahun, namun pikiran Nesa benar-benar dewasa, hanya salah pergaulan saja yang ia lakukan dan membawanya ke pernikahan yang tak di inginkan.
"Nes, kamu cantik sekali," puji Amira, salah satu Ibu pengajian.
"Dia memang cantik, Bu," kata Gina, salah satu Ibu pengajian. "Kamu beruntung, Santi, mendapatkan anak gadis secantik Nesa."
"Terima kasih, Bu Gina," ucap Santi, tersenyum palsu didepan semua orang.
"Semoga Kinan juga bisa mendapatkan jodoh yang baik ya seperti Nesa," kata Amira.
"Amin." Semua orang mengaminkan.
"Sependengaranku, suamimu itu asalnya dari Jakarta, ya?" tanya Dian, salah satu Ibu pengajian.
"Benar, Bu, dia seorang pengusaha dan dia juga punya perusahaan gede di Jakarta, dia juga seorang bangsawan Turki, Bu, jadi tampan sekali," seru Santi, menceritakan semuanya tentang Devan yang berwajah tampan karena ayahnya adalah lelaki keturunan Turki.
"Wah. Beruntung sekali ya kamu, Nes," puji Amira.
Nesa mengangguk dengan senyum.
"Gimana nggak nikah, wong hamil," gumam Kinan, adik tiri Nesa, yang kini beranjak remaja, dengan cepat Santi mencubit paha putrinya agar tidak sampai mengatakan hal yang membuat malu.
"Diam, Kinan," bisik Santi, membuat Kinan menghela napas panjang karena ibunya itu terlalu menjaga harga dirinya.
"Kamu baik-baik saja?" bisik Ranti.
"Iya, aku baik-baik saja," jawab Nesa.
"Kamu yang sabar, ya, semuanya pasti akan indah."
Nesa menganggukkan kepala.
****
Empat hari kemudian ....
Rumah keluarga Nesa sudah sangat ramai, ada tenda diluar sana yang bisa meneduhkan tamu dari sinar matahari.
"Kamu cantik sekali, Nes," puji Indah, sepupu Nesa.
"Terima kasih, Ndah," jawab Nesa.
"Aku nggak nyangka kamu nikah muda," kata Indah.
"Semua itu karena ada alasannya, Ndah," sambung Kinan, yang duduk di tepi ranjang kakaknya.
"Apa nikah membutuhkan alasan?" tanya Indah.
"Nggak juga, alasannya itu karena—"
"Eh Kinan, kamu dipanggil ibumu," sergah Ranti membuat kalimat Kinan terpotong, sungguh mengesalkan melihat Kinan selalu mencari cela untuk memberitahu tentang kehamilan kakaknya.
Kinan memang iri pada Nesa yang bisa mendapatkan suami yang tampan dan sukses seperti Devan, bahkan satu kampung ini terkejut melihat wajahnya dan mengatakan bahwa Nesa beruntung sekali.
Semuanya terlihat sempurna diluar, sedangkan tak ada yang tahu alasan sebenarnya Nesa menikah di usia muda.
CAST ARNESA PUTRI MAHARANI
CAST DEVAN ALIAND
.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!