Mentari nyaris tenggelam, Nadira cepat cepat menyudahi mandinya di sungai. Tempat itu sudah mulai meremang gelap dan sangat sepi, setelah mengencangkan lilitan kain jarik di tubuhnya, kaki jenjang Nadira keluar dari air, lalu satu persatu batu batu besar ia injak dengan hati hati karena licin, takut kepleset.
Undakkan demi undakkan ia injak untuk naik menuju ke gubugnya yang berada di bantaran sungai.
"Siapa kamu?", pekik Nadira ketakutan. Seorang pria tak dikenal, berwajah sangat tampan, seperti menyambutnya ketika tubuhnya sudah naik sempurna dari bawah, dari sungai tempatnya mandi tadi.
" Maaf saya kesasar!", dusta pemuda itu. Pada hal dari tadi ia sudah mengintip saat Nadira mandi.
Nafsu birahinya memuncak, dan ia tak mampu mengendalikannya, ubun ubunnya seperti akan meledak jika dorongan dari bawah tubuhnya itu tidak segera disalurkan.
"Pinggir! Aku mau masuk!"
Nadira mengusir, Rangga, nama pria muda itu yang sedang menghalangi pintu gubugnya.
Namun nafsu yang sudah berkobar, telah menutup habis akal sehat Rangga. Detik itu juga pikirannya terbakar oleh syahwatnya. Otaknya lumpuh seketika, dengan reflek ia mendobrak pintu dan.menarik tangan Nadira agar ikut masuk ke dalam gubugnya.
Ceklek!
Pintu terkunci, lalu tubuh indah dan ramping itu ia dorong dengan kuat hingga Nadira terjerembab di atas dipannya yang berkasur tipis dan lapuk.
"Tolong ! Jangan!"
Nadira mendorong tubuh Rangga yang sudah berada di atas tubuhnya.
Merasa gerakkannya terganggu, Rangga membekap mulut Nadira dengan bantal.yang juga sudah sangat kusam dan dekil.
Nadira kesulitan bernafas, gerakkan kakinya yang liar menghentak hentak dan berusaha menyingkirkan tubuh kekar itu, makin membuat penutup tubuhnya berserak kemana mana dan makin membuat Rangga lebih mudah melakukan niatnya.
"Argh...!"
Lenguhan puas meluncur dari mulut Rangga. Selesai! Mahkota Nadira terenggut sudah, dengan kasar dan terpaksa. Darah perawan menetes dari sela selah paha gadis itu, membasahi kasur lusuh tanpa alas itu.
"Maafkan aku !", ucap Rangga penuh sesal.
" Aku akan bertanggung jawab!", cicitnya.
"Pergilah! Aku tak butuh belas kasihan dari pria bajingan seperti kamu!", rintih Nadira dalam isaknya.
Namun tangannya meraih sesuatu dari sisi kasurnya, sebuah alat suntik yang telah berisi cairan obat, entah apa.
Saat Rangga lengah karena sibuk membenahi celananya yang belum tertutup sempurna, dengan cepat Nadira menancapkan jarum suntik itu ke atas buah zakar Rangga.Nyaris mengenai benda itu.
" Heiii...!", pekik kesakitan keluar dari mulut Rangga.
Sesaat sebelum Rangga pingsan, ia mendengar gadis cantik yang tubuhnya baru saja ia gagahi itu berteriak.
"Demi Allah aku bersumpah, seumur hidupmu kau akan mandul dan loyo!"
Setelah itu Rangga pingsan. cepat cepat Nadira membenahi semua kekacauan yang mereka timbulkan tadi.
Ia juga membuang alat suntiknya beserta obat obatannya ke lubang sampah, lalu ia bakar!
Nadira adalah seorang gadis yatim piatu yang sedang menuntut ilmu di sebuah akademi keperawatan di sebuah rumah sakit besar di kota dekat kampung mereka.
Setelah ayah ibunya meninggal dunia akibat kecelakaan beberapa tahun yang lalu, Nadira menjual tanah warisan ayahnya yang merupakan anak tunggal dari kakek neneknya.Dan hanya tersisa kebun singkong, itu pun sudah disewakan kepada kerabat ayahnya.
Karena tidak ada modal kerja, tanah seluas setengah hektar itu disewakan oleh ayahnya kepada wak Bardi, abang sepupu ayahnya untuk ditanami singkong.
Dengan uang itu mereka menyambung hidup dan untuk biaya sekolah Nadira.
Tapi begitu orang tuanya Nadira tiada, ia menawarkan tanah tersebut kepada wak Bardi dengan harga sedikit miring.
Seluruh uang hasil penjualan tanah itu, langsung Nadira depositokan di bank milik pemerintah.
Sedangkan untuk tempat tinggal, Nadira memilih tinggal di gubug di pinggir sungai peninggalan ayahnya.
Dulu ketika hidup, orang tua Nadira memang miskin, satu satunya harta ya cuma tanah warisan itu, namun ayahnya tidak juga bisa mengelolanya karena keterbatasan biaya operasional.
Rumah gubug itu pun di bangun oleh ayahnya di atas tanah negara. Entah apa yang dipikirkan oleh ayahnya saat itu, mengapa tidak mau membangun rumah di atas tanahnya sendiri.
Sebenarnya wak Bardii sudah menawari Nadira untuk tinggal.di rumahnya saat Nadira pulang kampung karena libur kuliah, namun Nadira tidak mau.
Ia lebih nyaman tinggal di gubugnya sendiri walau dalam keadaan yang sangat sederhana.
"Nadira, tinggallah di rumah wak, jangan tinggal lagi di rumahmu! Bahaya jika anak gadis tinggal sendirian di situ!", bujuk wak Bardi kala itu.
Istri wak Bardi juga ikut membujuk Nadira, namun tetap saja Nadira menolak niat baik keluarga jauh ayahnya itu.
" Terimakasih wak Bardi, wak Lilis, Nadira kan cuma sebentar tinggal di gubug itu, karena Nadira juga lebih banyak di kota. Setelah tamat, Nadira juga akan mencari kerja di kota saja, tidak akan kembali ke gubug itu".
Kini Nadira menyesali keputusannya menolak ajakan wak Bardi dan wak Lilis.
Nasi telah menjadi bubur! Nadira menyesal, namun penyesalannya tiada arti lagi.
Setelah Nadira selesai melenyapkan barang bukti, termasuk bekas darah perawannya di kasur lusuhnya, yang ia bersihkan dengan kain dan air sabun, Nadira melangkah keluar gubug, menutup pintu, tanpa menghidupkan lampu, lalu menuju ke rumah wak Bardi.
Ia bermaksud menumpang tidur malam ini, lalu besok kembali ke kota.
Keesokan paginya, selepas sholat subuh, Nadira pamit untuk kembali ke kota.
"Jika pulang kampung, pulanglah ke sini nak!", ucap wak Lilis sedih.
Mereka tidak memiliki anak setelah usia senja, jadi mereka menyayangi Nadira seperti anak mereka sendiri.
" Insyah Allah wak!"
Dengan santun Nadira menyalami kedua orang keluarganya itu, lalu ia berjalan ke ujung gang dan menaiki salah satu ojek yang mangkal.di situ.
Di gubug, Rangga sadar dari pingsannya. Ia merasakan sakit yang luar biasa, berdenyut nyeri dari bagian bawah tubuhnya.
Rangga meraba benda tersebut dan ia terkejut setengah mati mana kala tangannya menyentuh alat vitalnya sudah bengkak membesar dan kemerah merahan.
Sejenak Rangga mengingat kembali kejadian yang sudah menimpanya itu.
"Sialan kau perempuan jalang!"
Rangga meringis sambil memaki perempuan yang tadi malam telah ia gagahi itu.
Rangga sadar, jika perempuan.itu bukan perempuan sembarangan, buktinya ia memiliki jarum suntik yang berisi cairan obat yang telah masuk ke alat vitalnya.
"Apa yang sudah kau suntikkan kepadaku perempuan sundal?!"
Rangga kesulitan untuk bangkit dari tidurnya. Sedikit saja ia bergerak, rasa sakit yang sangat seperti menusuk nusuk bagian tubuhnya itu.
Entah berapa lama Rangga terbaring, menunggu rasa sakit itu mereda.
Setelah dua puluh empat jam berlalu, rasa sakit itu sudah jauh berkurang, namun benda pusakanya masih membengkak, walau tidak sebesar tadinya.
Terseok seok, Rangga berjalan ke rumah bibinya, bi Mira, adik bungsu ibunya.
"Dari mana saja kamu?", tanya bi Mira cemas.
Brugh..!!
Rangga jatuh tersungkur di hadapan bibinya itu.
Brugh..!
Tubuh Rangga terjerembab di depan bik Mira, tentu saja perempuan paro baya yang masih ayu itu terkejut.
"Bapak..! Pak..!". Bik Mira berteriak kencang memanggil suaminya. Ia begitu panik karena keponakannya itu pingsan dan wajahnya juga sangat pucat dengan bibir membiru.
Bik Mira jongkok, lalu meraba dahi Rangga, panas sekali.
" Pak! Bapak!"
Kembali perempuan itu berteriak memanggil suaminya yang tak kunjung muncul. Ia jengkel sekali karena menghadapi Rangga sendiri.
"Ada apa sih bu? Heboh sekali!", bentak pria tua itu marah.
" Lihat, Rangga pingsan!" Tunjuk bik Mira pada Rangga yang masih tergeletak.di lantai.
"Astaga, ada apa dengan anak ini ?", keluh suami bik Mira.
" Aku tidak tahu pak, cepatlah kita angkat ke dipan!"
Kedua orang itu kesusahan mengangkat tubuh kekar Rangga.
"Apa yang terjadi dengan bocah nakal ini? Satu malaman ia tidak pulang, eh pulang pulang malah pingsan!", gerutu bik Mira jengkel.
" Cepat panggil mantri desa pak!Suruh dia memeriksa Rangga!"
Si suami tak membantah, ia mengambil ponselnya lalu menghubungi seseorang.
Karena rumah mantri desa tidak jauh, sepuluh menit kemudian terdengar suara motor berhenti di depan rumah, lalu diikuti oleh seseorang mengucapkan salam.
"Assalamualaikum...!"
"Waalaikum salam!", sahut kedua orang tua itu kompak.
Bik Mira menuju ke depan dan membuka pintu untuk tamunya.
" Siapa yag sakit?", tanya Mantri desa.
"Itu si Rangga, keponakan kami, ia pingsan tadi!", sahut bik Mira.
Dengan sigap, si mantri desa memeriksa tubuh Rangga.
" Suhu tubuhnya sangat tinggi!", ucapnya cemas.
Lalu pandangannya tertuju kepada selangkangan Rangga.
Karena Rangga saat itu memakai celana trening berbahan kaos yang tidak tebal, ia melihat sesuatu yang tidak wajar di area itu.
"Mengapa itunya Rangga membesar?", tanyanya dengan dahi berkedut.
" Hah..! Apa..?"
Pasangan suami istri itu kompak melihat objek yang dimaksud.
"Eh, kok iya ya?". Bik Mira melongo, ia lantas menutup mulutnya.
" Kalian periksa saja, aku keluar kamar dulu!"
Cepat cepat perempuan itu keluar karena sungkan. Rasanya tidak pantas ia melihat alat vital keponakannya yang telah dewasa.
Kedua pria dewasa itu sangat penasaran apa yang sedang terjadi pada Rangga
Mang Tejo dengan sangat pelan membuka celana Rangga.
"Astaga..!", jerit keduanya kompak.
Mang Tejo lantas membuka seluruh celana Rangga dengan cara menarik ke bawah, lalu ia menutupi tubuh Rangga dengan sarung.
" Apa yang terjadi dengan anak ini?", keluh mang Tejo cemas.
Sebenarnya Rangga itu dua hari yang lalu datang ke rumahnya.
Pemuda itu ingin menghabiskan libur kuliahnya di rumah pamannya, mang Tejo, adik dari ayahnya Rangga.
Kejadian yang menimpa sang keponakan tentu saja membuat mang Tejo, khawatir, ia takut abangnya marah.
"Mungkin ia digigit hewan beracun mang saat dia mandi di sungai", duga si mantri desa.
" Atau, jangan jangan, penunggu sungai itu marah karena bocah ini kencing sembarangan", ucap mang Tejo ikut menduga duga.
"Begini saja mang, saya beri obat untuk menurunkan demamnya dan mengobati bengkak itunya!"
Dan mantri desa itu lantas membuka tasnya, lalu meracik obat untuk Rangga.
"Ini ada salep untuk itunya, suruh dia mengolesi ke itunya setelah sadar nanti!"
Setelah berbasa basi dan menerima uang jasa, si mantri meninggalkan rumah mang Tejo.
"Ada apa pak?", tanya bik Mira penasaran.
" Itunya Rangga bengkak, menurut mantri, katanya digigit hewan beracun. Tapi menurut bapak, Rangga kena tulah karena kencing sembarangan!"
"Aarrgh..! Dasar perempuan jalang!"
Teriakan Rangga tentu saja mengejutkan kedua orang itu. Bik Mira sampai melompat memeluk suaminya.
"Bagaimana ini pak?", tanya bik Mira ketakutan.
Pria tua itu tercenung, namun ia coba menenangkan hatinya yang juga sama takutnya dengan sang istri.
" Tunggulah hingga Rangga sadar dan kita akan tanya mengapa ia jadi begini!", ujar mang Tejo.
"Jangan jangan Rangga bercinta dengan mbak Kunti di sungai itu pak!", kata bik Mira lirih.
" Hush, jangan sembarangan kalau bicara bu! Pamali !"
Tak urung jantung mang Tejo ikut berdebar keras, setengah pikirannya mengikuti pola istrinya namun setengahnya lagi ia coba berpikir waras.
"Siapa tahu pak? Rangga kan pria dewasa normal, terus mbak Kunti datang menggodanya!"
Pletak!
Mang Tejo memukul kepala istrinya dengan kotak rokok kosong yang kebetulan sedang ia pegang.
"Makin ngaco kamu bu!", ucap mang Tejo marah.
" Mamang, bibik, aku dimana?". Terdengar oleh keduanya suara Rangga merintih.
"Kamu di sini nak! Di rumah kami!"
Raut cemas di wajah penuh kerut bik Mira sedikit memudar. Hatinya juga sedikit lega karena sang ponakan sudah sadar.
"Ambilkan minum teh manis hangat bu!"
Dengan berbisik mang Tejo memerintah istrinya untuk segera mengambilkan Rangga minuman manis dan hangat.
Segera bik Mira untuk mengerjakan apa yang diminta oleh suaminya itu.
"Minumlah nak!" Bik Mira mendekatkan cangkir kaca itu ke mulut Rangga.
Mang Tejo membantu Rangga untuk duduk bersandar di kepala ranjang.
"Terimakasih bik!", ucap Rangga setelah ia menghabiskan cairan itu.
" Apa sebenarnya yang sudah menimpamu dan siapa perempuan jalang itu?", tanya mang Tejo dengan menatap tajam sang keponakan.
Mendapat pertanyaan yang tidak terduga dari sang paman, Rangga keliyengan. Cepat cepat ia mengumpulkan kesadarannya yang belum sempurna, lalu mengingat satu persatu peristiwa demi peristiwa yang telah ia alami.
Ia ingin bicara jujur, tapi tentu saja hal itu akan membuat kedua orang tua yang ada di hadapannya itu akan marah besar padanya, lalu mengadu kepada orang tuanya.
Bisa habis dia dimaki maki oleh ayah dan ibunya.
Beberapa saat Rangga diam, ia sibuk berpikir mencari alasan yang tepat agar selamat dari amukkan kedua orang itu.
"Rangga tidak tahu, awalnya Rangga hanya mandi mandi di sungai saja, tahu tahu Rangga pingsan semalaman. Dan saat terbangun itunya Rangga sakit sekali dan bengkak kemerahan".
Tentu saja Rangga bicara dusta, tapi sepertinya bik Mira percaya.
" Apa kamu sempat kencing di sungai?", kejar bik Mira penasaran.
Pertanyaan bik Mira malah memberikan ide jitu pada Rangga.
"Benar bi!", sahut Rangga.
" Apa ku bilang pak! Anak ini keteguran jin penunggu sungai, ia marah karena tempatnya dikencingi oleh Rangga!", seru bik Mira senang.
Ia yakin jika dugaannya itu benar, Rangga ditegur oleh jin penunggu sungai.
"Bu, jangan ngomong sembarangan! Belum tentu karena hal itu, bisa jadi ada hal lain yang menyebabkan nunutnya Rangga bengkak. Mungkin ada hal lain yang sudah kau lakukan di sungai Rangga?", tanya mang Tejo penuh selidik.
Wajah tampan itu menunduk menghindari tatapan mang Tejo yang tajam dan menghakiminya.
" Tidak mang!", sahut Rangga singkat.
Jawaban Rangga yang singkat serta ragu ragu, bagi mang Tejo, cukup untuk menilai jika keponakannya itu sedang berdusta.
Pria tua itu yakin ada hal lain yang sedang disembunyikan oleh Rangga.
"Apa itu? Nantilah akan aku selidiki!", bisik mang Tejo di dalam hatinya.
Hari masih terlalu pagi, namun Nadira dengan terburu buru meninggalkan rumah keluarga ayahnya.
Kejadian semalam sore sangat mengganggu mentalnya dan ia tidak ingin rentetan peristiwa itu semakin panjang dan semakin ruwet.
Kini di sinilah dia, di dalam sebuah bus besar lintas provinsi yang membawanya entah kemana.
Saat ia membeli tiket ia cuma mengatakan ingin ke pemberhentian terakhir bus ini.
Tentu saja petugas tiket kebingungan karena ulah Nadira.
"Gadis stres!", pikir petugas tiket itu.
Di bangku bus yang tinggi inilah Nadira membenamkan tubuhnya. Ia memejamkan matanya dan mencoba menghalau kejadian yang mengerikan tersebut.
Ketakutan Nadira semakin memuncak, mana kala ia ingat jika dia baru tiga hari selesai haid. Sebagai calon perawat tentu ia tahu ia sedang memasuki masa subur.
" Aku bisa hamil! Ya Tuhan, bagaimana ini?", keluhnya.
Sempat terpikirkan olehnya untuk membeli obat merk ge*****d, untuk melunturkan calon janin, namun ia takut, jika ia hamil anaknya bisa terlahir cacat atau bahkan mati.
Karena obat hormon itu tidak seratus persen ampuh. Bisa gugur, bisa tidak, jika calon janin tersebut kuat tertanam di rahimnya.
"Arkh..!"
Dengan kuat Nadira menggelengkan kepalanya, ia mencoba menghalau pikiran buruk yang menyesaki otaknya.
"Mau kemana dek", tanya seorang ibu yang duduk di sebelahnya. Ibu itu kira kira seumuran dengan bik Mira.
" Ke Jakarta bu!", sahut Nadira malas. Ia sengaja menguap lebar, agar ibu itu tidak lagi bertanya.
"Di Jakarta dimananya?"
Sepertinya keinginan Nadira untuk tidur tidak terlaksana, ibu itu terus saja bertanya.
"Nggak tahu bu, nanti kerabat saya jemput di terminal. Maaf bu saya mau tidur, saya ngantuk!", sahut Nadira jutek.
Malas berlama lama melayani ibu itu,Nadira menggeser tubuhnya menghadap jendela, karena ia duduk memang di samping jendela.
Kedua kakinya ia angkat dan tangannya ia gunakan untuk mengganjal kepalanya.
Nadira cukup waspada, ia memakai tas selempang berukuran sedang, yang ia letakkan di dada lalu ia menutupnya dengan hijab panjangnya yang ujungnya sengaja ia duduki.
Ia tidak mau kecopetan seperti kisah kisah di sinetron atau di novel, jika pertama kali datang ke kota besar.
Ibu itu tersenyum, di dalam hatinya ia bersorak gembira.
" Ada calon mangsa ini, gadis, cantik dan masih muda pula!"
Diam diam ibu itu mengamati wajah cantik yang sedang memejamkan matanya itu.
"Cantik alami tanpa polesan. Hidung sedang, bibir sensual, bulu mata lentik, alis tebal tanpa celak, ini pasti mahal!"
Satu persatu ia pindai wajah molek Nadira.
Setelah beberapa jam bus melaju, sopir membawa ke sebuah restoran yang cukup ramai yang terletak di pinggir jalan besar.
"Dek, bangun! Bus berhenti, sebaiknya kita turun untuk makan atau buang air!", ucap ibu itu sambil mengguncang tubuh Nadira.
" Hem..! Nadira berdehem, ia membuka matanya yang masih layu.
"Apakah kita sudah sampai bu?", tanya Nadira linglung. Nyawanya masih mengambang.
" Ha ha ha, masih jauh sekali dek! Kita belum menyeberangi lautan".
"Jadi dimana ini?"
"Baru pertama naik bus ya dek?"
"Iya, biasanya aku naik pesawat", dusta Nadira. Sengaja ia bicara tidak jujur agar tidak dianggap sepele.
Entah kenapa hatinya berkata, jika ibu itu bukan perempuan baik baik.
Gayanya terlalu berlebihan untuk perempuan seumurannya.
Celana panjang ketat, dengan atasan tunik leher sabrina dan dandanan menor, serta rambut berwana pirang, ibu itu mirip dengan gaya tante tante girang atau mami mucikari.
Nadira membungkuk, sengaja membuka tas pakaian yang ia letakkan di bawah kakinya dengan maksud untuk menunjukkan pada ibu itu jika isi tasnya bukan benda berharga.
Hanya berisikan pakaian murah, handuk dan sedikit perlengkapan mandi serta make upnya.
Dugaan Nadira benar, ibu itu melirik ke dalam tasnya.
" Ayo kita turun bu!"
Kemudian Nadira meminta jalan pada ibu itu untuk turun dari bus.
Setelah selesai urusannya di kamar mandi, Nadira memesan makanan dan memilih makan sendirian, karena ia tidak mengenal satu pun dari penumpang bus itu, termasuk.si ibu tadi.
Selesai makan, Nadira berjalan jalan di sekitar bus, sambil menunggu bus berangkat.
Ia melakukan hal itu, agar kakinya tidak bengkak karena berjam.jam duduk di dalam bus.
Setengah jam berlalu, bus kembali jalan.
Nadira memakai headset, lalu ia memainkan ponselnya.Ia malas beramah tamah dengan perempuan yang duduk di sebelahnya itu.
Walau telinganya mendengarkan lagu lagu dari ponselnya, namun pikiran juga terus berlari ke waktu kemarin.
Sebenarnya ia tidak sengaja membawa jarum suntik ke gubugnya.
Saat itu ia hanya berpikiran jarum suntik yang berisi obat bius dengan kadar yang cukup tinggi itu, hanyalah untuk berjaga jaga jika ada ancaman terhadap keselamatan dirinya.
Obat bius itu memang diperuntukan untuk melumpuhkan seseorang yang akan menyerangnya.
Ternyata Rangga berhasil merampas asetnya, sebelum ia berhasil melumpuhkannya.
Bus terus berlari, mengikis jarak dan mengejar waktu, pikiran Nadira juga berpacu menggilas hatinya yang kian nelangsa.
Ia tidak mungkin lagi melanjutkan kuliahnya.
Kota tempatnya menuntut ilmu hanya berjarak puluhan kilo meter saja dari desanya.
Mudah bagi Rangga jika ia ingin menemukan Nadira.
Berdasarkan keterangan dari bik Mira dan paman Bardi, tentu Rangga akan mendatangi kampusnya dan mencari keberadaannya.
Dalam diamnya dan sibuknya pikirannya, sesekali Nadira melantunkan doa pada Tuhannya.
Memohon perlindungan dan keselamatan dirinya dari orang orang yang ingin menyakitinya.
Namun Nadira tersentak kaget, saat ia merasakan seseorang meraba dadanya dan mencari cari keberadaan tas selempangnya.
Nadira mempererat dekapan tasnya itu, ia tahu, ibu yang di sebelahnya itu bermaksud ingin mencuri isi tasnya.
Karena merasa terganggu, dengan sekuatnya Nadira menampik tangan ibu itu lalu menegakkan tubuhnya pada sandaran kursi.
"Apa yang ibu lakukan hah!?", seru Nadira marah dan menoleh ke arah ibu itu.
Tapi Nadira heran, ternyata si ibunya seperti sedang tertidur lelap dan mengecap ngecapkan mulutnya.
Ibu itu bermimpi, ia juga menggerakan tangannya kemana mana.
" Benarkah ibu itu sedang bermimpi? Atau hanya berpura pura?", pikir Nadira.
Karena tidak ingin menimbulkan keributan, Nadira tidak mempedulikan si ibu itu.
Tubuh ibu itu yang sedikit condong ke arahnya, ia dorong perlahan hingga tubuhnya duduk tegak.
Tas selempang yang berisi benda benda berharga miliknya, ia geser ke sisi tubuhnya, dia jepit ke dinding bus.
"Jangan pernah percaya pada siapa pun di tempat asing!"
Begitu Nadira menanamkan prinsip itu pada dirinya sendiri.
"Tidak ada orang yang benar benar tulus membantumu!", bisik Nadira mensugesti dirinya.
Bus menikung, tubuh itu kembali mencondong, bahkan kali ini kepalanya jatuh ke bahu Nadira.
Tentu saja Nadira merasa risih sekali.
Apa lagi bau parfum murahan ibu itu sangat menyengat indra penciumannya membuat perut Nadira mual dan ingin muntah.
" Bu, tolong duduknya yang benar!", ucap Nadira sambil mendorong pelan kepala si ibu.
Namun tampaknya, ibu itu tidak senang akan perlakuan Nadira0 terhadapnya, ia menegakkan tubuhnya dan menatap Nadira dengan tajam.
"Mau enak, naik mobil pribadi kau!!", bentak.ibu itu marah dan tidak terima.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!