Pagi itu terasa berat. Kabut masih menggantung, menolak pergi meski sinar matahari sudah mulai menyeruak. Jalanan basah, hujan semalam meninggalkan jejak yang tak enak dipandang. Udara dingin, menyelinap ke dalam tulang, seakan memaksa semua orang untuk terjaga dengan paksa.
Langkah-langkah kaki terdengar di trotoar. Orang-orang berjalan, mata kosong. Mereka berbicara di telepon, tapi bukan karena ada hal penting yang harus dikatakan, melainkan karena itulah yang harus dilakukan.
"Ya, Pak. Saya akan urus sekarang," ucap seorang pria. Suaranya keras, tapi tanpa jiwa.
Di sisi lain jalan, beberapa orang berlari. Musik di telinga mereka tak mampu menenggelamkan kebosanan yang mereka rasakan. Di sudut, seorang pengamen memetik gitarnya, nadanya tenggelam dalam kesunyian pagi. Kucing hitam berjalan, matanya tajam mengejar kupu-kupu biru yang terbang rendah.
Namun, di balik itu semua, ada sesuatu yang lebih gelap. Di sebuah gang sempit, tiga remaja berdiri. Gang itu sepi, basah, dan baunya busuk. Rei dan Ivan berdiri di sana, mengelilingi Ryan yang terjatuh. Seragam Ryan kotor, tubuhnya gemetar.
Rei menendang Ryan dengan keras.
"Dasar pecundang," kata Rei dengan suara dingin.
Ryan mengerang, mencoba menahan rasa sakit yang menusuk. Wajahnya memar, darah mengalir dari sudut bibirnya.
"Kau pikir bisa kabur dari kami?" Rei mendekatkan wajahnya ke Ryan. "Kau sendirian di sini."
Ryan menunduk, tak sanggup menatap mata Rei. Ketakutan mencengkeramnya. Tubuhnya terasa berat. Setiap kata yang ingin ia ucapkan terjebak di tenggorokan.
Ivan, yang berdiri di samping Rei, tertawa kecil.
"Lihat dia, Rei. Benar-benar menyedihkan."
Rei menyeringai, lalu menendang tas Ryan. Buku-buku berserakan di tanah. Ryan hanya bisa melihat tanpa bisa berbuat apa-apa. Rasa putus asa menyelimutinya, membuat napasnya terasa sesak.
Ivan menepuk bahu Rei. "Ayo, tinggalkan dia. Tidak ada gunanya."
Rei berdiri tegak. "Kau benar." la meludah ke tanah, lalu berbalik meninggalkan Ryan.
Ryan tetap terbaring di tanah, matanya kosong. Tangan gemetar mengumpulkan barang-barangnya yang berserakan. Setiap gerakan terasa berat, seolah dunia telah runtuh di atasnya. Air mata mulai mengalir, tapi ia tak peduli lagi.
Dengan susah payah, Ryan berdiri. Pakaian dan tubuhnya kotor, penuh luka. la melangkah keluar dari gang, mencoba menghilang di keramaian yang tak peduli. Namun tiba-tiba, kepanikan melandanya.
"HP-ku..." suaranya hampir tak terdengar.
Ryan berlari kembali ke dalam gang dengan napas tersengal. Jantungnya berdetak cepat, bukan hanya karena rasa takut kehilangan ponselnya, tetapi karena bayang-bayang ketidakberdayaan yang semakin menghantuinya. Setiap langkah terasa seperti beban yang menggelayuti tubuhnya, seolah kaki-kakinya diseret ke dalam lumpur yang tak terlihat.
Setibanya di sudut gang, matanya cepat menyapu tanah kotor. Buku-bukunya berserakan, kertas-kertas robek terinjak-injak, tapi tak ada tanda-tanda ponsel. Rasa cemas semakin mencengkramnya.
"Di mana..." Ryan bergumam panik. Tangannya menyibak debu dan sampah yang teronggok di sana. "Aku tidak mungkin kehilangan ini. Ini satu-satunya..."
Matanya terpaku pada benda kecil yang memantulkan sedikit cahaya dari bawah kaleng bekas yang tergeletak di sudut. Harapan kecil muncul. Dia segera meraih ponselnya. Tapi ketika diangkat, layar retak besar menggores permukaan, menampilkan bayangan wajahnya yang kusut.
"Ya Tuhan," keluhnya pelan, suaranya hampir tidak terdengar.
Tak ada yang bisa dia lakukan selain meremas ponselnya erat-erat. Mungkin masih berfungsi, mungkin juga sudah rusak total. Tapi, di saat itu, masalah yang lebih besar adalah rasa putus asa yang kembali menyelimuti hatinya.
Dia berdiri di sana, terdiam sejenak. Gang sempit itu semakin mencekam, seolah-olah tembok-temboknya mendekat, memerangkapnya di dalam kegelapan yang abadi. Nafasnya berat, dadanya terasa sesak.
"Kau pikir ini akan berakhir?" Ryan bergumam, setengah kepada dirinya sendiri, setengah kepada keheningan gang.
Langkah-langkah berat terdengar mendekat dari ujung gang. Ryan menoleh cepat, jantungnya seakan berhenti sesaat. Tapi, bukan Rei atau Ivan yang muncul. Seorang pria tua dengan mata sayu dan wajah penuh kerut muncul dari balik bayangan, membawa kereta dorong yang penuh dengan barang-barang rongsokan.
Ryan mundur selangkah, mencoba menenangkan napasnya.
Pria tua itu berhenti sejenak, memandang Ryan dengan mata yang seolah menelanjangi jiwanya. Dia tidak berbicara, hanya tersenyum tipis, sebuah senyum yang lebih menyerupai cengiran tanpa niat baik. Ada sesuatu yang aneh dalam tatapannya, sesuatu yang membuat bulu kuduk Ryan meremang.
(intinya \= Orang mesum)
Ryan menggenggam erat ponselnya dan dengan cepat berbalik keluar dari gang. Ia tidak tahu siapa pria itu, tapi nalurinya mengatakan untuk tidak tinggal lebih lama. Dia melangkah keluar ke jalan raya, berusaha menghindar dari siapa pun yang mungkin melihat keadaan dirinya.
Saat ia kembali menyatu dengan keramaian kota, langkahnya melambat. Tubuhnya masih terasa sakit, tapi pikirannya berkecamuk lebih keras. Setiap langkah, setiap tatapan orang yang tak sengaja melihatnya, seakan-akan menghantam perasaannya yang sudah hancur. Di dalam kepalanya, pertanyaan yang sama terus berputar.
"Kenapa harus aku? Kenapa aku selalu jadi sasaran?"
Tapi jawaban yang ia harapkan tak pernah muncul. Dunia terus berjalan, dan tak ada yang peduli dengan luka yang ia bawa. Ryan tahu, ini bukan akhir. Rei dan Ivan akan kembali. Mereka selalu kembali.
Tanpa sadar, langkah kakinya membawa Ryan ke sebuah taman kecil. Tempat yang biasanya ramai kini terasa kosong, sepi. Dia duduk di bangku tua, menghela napas panjang.
Sambil menatap ponselnya yang rusak, Ryan merasa dunia ini terlalu keras untuknya. Bukan hanya fisiknya yang luka, tapi juga hatinya. Tidak ada yang tersisa, hanya rasa sakit dan kekosongan yang menghantuinya setiap hari.
"Tidak ada yang bisa kulakukan..." gumamnya lagi. Tapi di dalam pikirannya, benih kemarahan perlahan tumbuh, bercampur dengan keputusasaan yang semakin mencekiknya.
Dia tahu, sesuatu harus berubah. Jika tidak, dia akan terus terjebak dalam siklus ini akan dihancurkan berulang kali tanpa pernah ada jalan keluar.
Saat matahari mulai tenggelam, Ryan masih duduk di sana, memikirkan segalanya. Tapi di balik pikirannya yang kacau, sebuah ide muncul. Sebuah pemikiran yang gelap, sesuatu yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.
"Jika tak ada yang bisa menolongku... Mungkin aku harus melawan sendiri."
Hidup Ryan dulu tidak selalu penuh teror. Ia hanya remaja biasa, tenggelam dalam rutinitas sekolah. Nilai-nilainya tak buruk, tak juga cemerlang, cukup untuk membuatnya lulus tanpa masalah. Teman? Tak banyak. Hanya beberapa yang sesekali menghabiskan waktu dengannya di kelas, tanpa ikatan yang berarti.
Pagi itu, seperti biasa, alarm berdering keras pada pukul enam. Ryan membuka matanya perlahan, menatap langit-langit yang dipenuhi poster-poster band kesukaannya. Meja belajarnya berantakan dengan buku pelajaran bertumpuk bersama komik yang belum selesai dibaca.
"Ah... hari baru," gumamnya lemah, tanpa semangat. Tak ada yang istimewa dari hari ini.
Setelah mandi dan mengenakan seragam, Ryan turun ke dapur. Di meja makan, ibunya sudah duduk dengan ponsel di tangannya, sibuk dengan sesuatu yang tampak lebih penting daripada percakapan pagi.
"Bekalmu ada di atas meja," ucap ibunya tanpa menoleh.
"Iya, Bu," sahut Ryan sambil meraih kotak bekal dan memasukkannya ke dalam tas.
Di perjalanan menuju sekolah, earphone sudah menempel di telinganya. Musik, ya... musik selalu menjadi tempat pelariannya. Di tengah keramaian kota, lirik dan melodi menjadi perisai dari realitas yang semakin menyesakkan.
Sampai di sekolah, suasana ramai. Siswa-siswa berkumpul di depan gerbang, bercanda dan tertawa. Ryan, seperti biasa, menghindari keramaian itu. Dia memilih lorong belakang, lebih sepi, menuju kelasnya di lantai dua.
Di dalam kelas, Ryan memilih duduk di bangku dekat jendela. Pikirannya sering melayang jauh ke luar, melihat langit dan membayangkan dunia lain yang lebih tenang. Pelajaran demi pelajaran berlalu, tapi fokusnya tak pernah utuh.
Belakangan, ada sesuatu yang berubah. Teman-temannya mulai menjauh. Tatapan mereka dingin, tak lagi menyapa. Mereka berbisik-bisik di belakangnya, tertawa kecil, dan Ryan tahu itu tentang dia.
Di kantin suatu siang, saat ia makan sendirian, bisikan itu makin jelas.
"Itu Ryan, kan? Katanya aneh banget," seorang siswa berbisik, cukup keras untuk didengar.
"Iya, dia selalu menyendiri. Seram," jawab temannya sambil melirik ke arah Ryan.
Ryan menunduk, berpura-pura tidak mendengar, tapi hatinya terasa ditusuk. Di antara semua ini, ada satu sosok yang makin membuat hidupnya tak nyaman, Rei.
Anak perwira polisi, Rei selalu mendapat perhatian. Tubuhnya tinggi, atletis, dan selalu membawa aura dominan. Ia dikenal sebagai anak yang tak suka diganggu, dan lebih buruk lagi, suka mengganggu.
Suatu hari, saat Ryan berjalan di koridor, suara itu datang.
"Hei, Ryan!" suara keras Rei memanggilnya.
Ryan berhenti, ragu-ragu. Dengan enggan, dia menoleh.
"Ada apa?" tanyanya pelan, mencoba terlihat tenang meski hatinya berdegup kencang.
Rei mendekat, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Kau selalu sendirian. Nggak bosan?"
Ryan mengangkat bahu. "Nggak juga."
Ivan, teman dekat Rei, muncul di samping. "Mungkin dia nggak punya teman," katanya, tawa kecil keluar dari mulutnya.
Ryan menunduk. "Aku baik-baik saja," jawabnya canggung, berusaha tersenyum.
Rei menatapnya tajam, tapi kemudian tertawa. "Kalau butuh teman, bilang saja. Kami akan senang bermain denganmu."
Ryan tak tahu apa yang harus dikatakan. Dia hanya mengangguk kecil, lalu pergi meninggalkan mereka. Sejak saat itu, interaksi mereka mulai sering, tapi bukan dalam bentuk yang diharapkan Ryan.
Sore itu, setelah kelas usai, Ryan sedang merapikan buku-bukunya ketika Ivan muncul tiba-tiba, berdiri di depannya dengan senyum licik.
"Mau ke mana, Ryan?" tanya Ivan, suaranya meremehkan.
"Pulang," jawab Ryan singkat, mencoba menghindar.
"Tunggu dulu, Rei mau bicara," Ivan menunjuk ke arah belakang. Rei berdiri di sana, bersandar di pintu kelas, tangan disilangkan di dada.
Ryan menelan ludah, merasa tak enak. "Apa?"
Rei berjalan mendekat, senyumnya tak menyenangkan. "Kau buru-buru? Ada yang penting?"
Ryan mencoba tetap tenang. "Nggak, aku cuma mau pulang."
"Tapi kami ingin ngobrol dulu," kata Rei, nadanya penuh ancaman.
Sebelum Ryan bisa bereaksi, Ivan sudah meraih tasnya, menarik dengan kasar. Tas itu terjatuh ke lantai, isinya berhamburan. Buku, pensil, dan kotak bekal yang belum sempat dibuka terlempar, makanan tumpah berceceran di lantai.
"Hei! Apa-apaan ini?" Ryan mulai protes, tapi suaranya terhenti saat Rei menatapnya tajam.
"Kau harus lebih berhati-hati," kata Rei, nada suaranya dingin. "Bekalmu jatuh, sayang sekali."
Ryan marah, tapi juga malu. "Kembalikan tasku," pintanya dengan suara yang bergetar.
Ivan tertawa keras. "Lihat, dia marah!"
Rei mendekat lebih dekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Ryan. "Mau melakukan sesuatu?" tantangnya, suaranya seperti ancaman yang tak perlu disembunyikan.
Ryan mundur satu langkah. "Aku nggak mau masalah," katanya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Rei tersenyum sinis, lalu mengulurkan tas kosong ke Ryan. "Bagus. Ingat itu."
Dengan tawa kecil, mereka meninggalkan Ryan di sana, di tengah kelas yang kosong. Ryan menatap lantai, melihat makanannya berserakan, isi tasnya tergeletak tanpa ada yang peduli.
Air mata mulai menggenang di sudut matanya. Dengan tangan gemetar, dia berjongkok, mengumpulkan barang-barangnya yang berserakan.
"Kenapa harus aku?" bisiknya pelan, suara itu hampir tenggelam dalam keheningan kelas.
Dia tahu, ini baru permulaan. Perundungan ini belum akan berakhir. Tapi bagaimana cara menghentikannya? Ryan tidak tahu.
Malam mulai datang saat Ryan akhirnya meninggalkan sekolah. Langit gelap, awan pekat menggantung rendah. Jalanan sudah mulai lengang. Ryan berjalan cepat, kepalanya tertunduk, seolah ingin menghindar dari semua orang. Setiap langkahnya terasa berat, seperti ada yang terus menekan punggungnya.
Hatinya masih terasa sakit. Apa yang baru saja terjadi masih berputar di kepalanya. Dia ingin berteriak, marah, tapi tak ada yang bisa dia lakukan. Semuanya terasa sia-sia.
"Kenapa aku?" gumamnya lagi, suara itu tenggelam dalam desahan angin malam.
Tak lama kemudian, dia sampai di rumah. Ryan masuk tanpa berkata apa-apa. Ibunya masih duduk di ruang tamu, wajahnya tenggelam di layar ponsel, sama seperti tadi pagi. Tak ada yang berubah.
"Kamu sudah pulang?" tanya ibunya tanpa menatapnya.
"Iya, Bu," jawab Ryan pendek. Dia langsung menuju kamarnya, menutup pintu dengan keras, mencoba mengurung diri dari semua hal yang membuatnya ingin lari.
Dia duduk di tempat tidur, melempar tasnya ke sudut ruangan. Isi tasnya sudah tak lengkap, bekalnya habis tercecer di sekolah. Dia menatap ke arah meja, buku-buku berserakan, poster band yang dulu memberi semangat kini hanya terasa hampa.
'Selalu begini,' pikirnya. 'Aku nggak bisa terus kayak gini.'
Ryan meraih ponselnya, melihat notifikasi yang tak begitu banyak. Pesan dari grup sekolah dan beberapa pemberitahuan lainnya yang tak penting. Tak ada yang menanyakan kabarnya, tak ada yang peduli.
Saat dia mulai membuka salah satu aplikasi, ponselnya tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan masuk.
"Hei, pecundang," isi pesannya singkat. Nomor itu jelas tak dikenal, tapi Ryan tahu betul siapa yang mengirimnya.
Rei.
Ryan menggenggam ponselnya erat. Tangannya gemetar. Dia menatap pesan itu dengan campuran marah dan ketakutan.
"Pecundang," katanya berulang-ulang dalam hati. Kata itu terus menghantam pikirannya, seolah itu adalah satu-satunya hal yang pantas untuk dirinya.
Dia ingin membalas pesan itu, ingin melawan. Namun, apa gunanya? Rei selalu menang. Ryan tahu itu. Selalu.
Akhirnya, dia hanya melempar ponselnya ke kasur, rasa frustasi mendidih dalam dadanya. Setiap malam, ini terus terjadi. Setiap hari, hal yang sama berulang. Dihina, ditertawakan, dijatuhkan.
Sementara dunia di sekitarnya seakan tak peduli.
Hari berikutnya, Ryan tiba di sekolah lebih awal dari biasanya. Hatinya masih berat, tapi dia tidak ingin bertemu Rei lebih dulu. Dia memilih tempat duduk di sudut kelas, jauh dari pandangan orang lain.
Tapi pagi itu berbeda. Baru beberapa menit duduk, dia melihat sesuatu yang tak biasa. Di luar kelas, berdiri dua orang siswa dan siswi baru yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Penampilan mereka berbeda dari kebanyakan siswa lainnya, lebih... menyeramkan.
Salah satu dari mereka, seorang laki-laki dengan rambut abu-abu yang kontras dengan wajah nya yang pucat, Andree, menatap Ryan langsung. Tatapannya tajam, menusuk, dan membuat Ryan merasa tidak nyaman. Tapi Ryan tidak bisa mengalihkan pandangannya.
Siapa mereka?
Ryan memalingkan wajah, mencoba tak memikirkan lebih jauh. Namun, perasaan aneh itu tidak hilang. Sepanjang hari, ia terus merasa seperti diawasi. Setiap kali dia menoleh, kedua siswa itu selalu ada di dekatnya, berdiri diam, seperti bayangan yang tak terhindarkan.
Ketika istirahat tiba, Ryan memutuskan untuk keluar sebentar, mencari udara segar di taman belakang sekolah. Tapi saat dia baru saja keluar dari koridor, suara familiar menghentikannya.
"Ryan," suara itu keras, penuh ejekan. Rei.
Ryan memejamkan mata sejenak, menahan napas. Ia tak ingin berhadapan dengan Rei sekarang, tidak hari ini. Namun, seperti yang selalu terjadi, ia tidak punya pilihan.
Dia berbalik. Rei berdiri di ujung lorong, bersama Ivan. Wajah mereka menyeringai, jelas sedang menikmati saat-saat ini.
"Ke mana, pecundang?" tanya Rei, mendekat dengan langkah santai.
Ryan menelan ludah, tubuhnya mulai tegang. "Aku cuma mau keluar sebentar."
"Keluar?" Ivan tertawa. "Kau pikir bisa kabur dari kami begitu saja?"
Ryan menunduk, tak tahu harus berkata apa. Tubuhnya terasa kaku, seolah semua energi terkuras hanya untuk berdiri.
Rei mendekat, terlalu dekat. Dia menepuk bahu Ryan dengan kasar. "Kami kan sudah bilang, kau bisa bilang kalau butuh teman. Kami selalu siap bermain."
Kata 'bermain' keluar dari mulut Rei seperti ancaman yang jelas. Ryan bisa merasakannya, dan perasaan takut itu makin mengikat.
"Tidak perlu, aku baik-baik saja," ucap Ryan, suaranya hampir bergetar.
Tapi sebelum dia bisa melangkah pergi, Ivan meraih kerahnya. "Jangan buru-buru. Kami belum selesai."
Ryan tersentak, berusaha melepaskan diri, tapi Ivan terlalu kuat. Rei hanya menonton dengan tawa kecil di sudut bibirnya.
"Jangan buat masalah, Ryan," bisik Ivan di telinganya, dengan nada yang mengancam.
Ryan bisa merasakan jantungnya berdegup kencang, ketakutan mulai menyelimuti pikirannya. Namun, di saat yang sama, sesuatu di dalam dirinya mulai pecah.
Bukan ketakutan lagi. Kemarahan.
'Aku sudah cukup dengan semua ini,' pikirnya, kepalan tangan mulai gemetar.
Sebelum Ivan bisa mengatakan lebih banyak, Ryan menarik nafas dalam-dalam dan...
"Maaf," ucapnya, hampir berbisik.
Rei menaikkan alis, seolah terkejut mendengar kata itu. Namun, senyum dingin segera kembali di wajahnya.
"Kau minta maaf?" tanya Rei, suaranya pelan tapi jelas terdengar penuh kepuasan. "Bagus. Sudah seharusnya begitu."
Ryan menunduk. "Aku… akan bermain bersama kalian," lanjutnya, suaranya masih gemetar. Dia merasa kecil, terjepit di antara mereka, tanpa jalan keluar.
Ivan tertawa kecil, melepaskan kerah Ryan. "Nah, itu lebih baik."
"Jadi, mari kita mulai," Rei menepuk bahu Ryan dengan kasar. "Kau tahu aturannya, kan?"
Ryan mengangguk lemah. Tak ada pilihan lain. Mereka akan bermain, seperti yang selalu mereka lakukan. Permainan di mana dia selalu kalah, dan mereka selalu tertawa di atas rasa malunya.
Tapi kali ini, dia tidak punya energi untuk melawan atau lari.
Puncaknya, dia di pukuli di gang.
(Baca Plorog)
...----------------...
Dua hari berlalu, tapi bayang-bayang insiden itu tak pernah hilang dari pikiran Ryan. Setiap kali melangkah di lorong sekolah, rasanya seperti semua orang tahu apa yang terjadi. Tatapan-tatapan itu menghujamnya, penuh ejekan yang tak pernah diucapkan. Tak ada yang peduli. Tak satu pun.
Di rumah, ia berusaha bersikap biasa. Saat makan malam, duduk berhadapan dengan ibunya yang tenggelam dalam layar ponselnya. Tangannya gemetar saat memegang sendok, namun ibunya tak memperhatikan.
"Bagaimana sekolah hari ini?" tanya ibunya, tanpa mengangkat kepala.
"Baik," jawab Ryan, singkat, tanpa emosi.
Ibunya mengangguk, kembali fokus ke dunianya sendiri.
Ryan menunduk, mengaduk makanannya. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi suaranya tertahan. Ia tahu, bahkan jika ia bicara, tak ada yang akan berubah.
Hari Sabtu datang. Ryan bangun dan menatap wajahnya di cermin kamar mandi. Kantung mata menghitam. Tidur bukan lagi pelarian, setiap malam mimpi buruk menghantamnya. Dia hanya berdiri di depan cermin, memaksa senyum yang tak pernah sampai ke hatinya.
"Semangat, Ryan," bisiknya, mencoba memberi semangat pada dirinya sendiri, meski tahu itu bohong.
Saat sampai di sekolah, suasana tampak tenang. Tidak ada tanda-tanda Rei atau Ivan di sekitar. Ryan sedikit lega, meski hatinya tetap penuh waspada.
Di dalam kelas, pelajaran Matematika dimulai. Ryan mencoba fokus pada angka-angka di papan tulis, tapi pikirannya terus melayang. Setiap suara langkah di luar kelas membuat tubuhnya tegang, seolah menunggu sesuatu yang buruk terjadi.
Saat bel istirahat berbunyi, Ryan memutuskan pergi ke kantin lebih awal. Ia mengambil tempat duduk di sudut, menjauh dari keramaian. Bekal yang dibawa ibunya pagi tadi tergeletak di depannya, tapi tak ada nafsu makan.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Ivan duduk di depannya, senyum licik menghiasi wajahnya.
"Hai, Ryan," sapanya dengan nada yang sudah Ryan kenal.
Ryan berusaha tetap tenang. "Hai," jawabnya singkat.
"Sendirian? Lagi?" Ivan bertanya sambil memainkan sedotannya.
Ryan mengangguk. "Aku suka sendiri."
Ivan tertawa pelan, tatapannya beralih ke bekal Ryan. "Bekal dari mama, ya?"
Ryan hanya mengangguk, tidak ada gunanya menjawab lebih banyak.
Tanpa permisi, Ivan meraih kotak bekal Ryan dan membuka tutupnya. "Hmm, lumayan nih kayaknya."
"Hei, kembalikan," kata Ryan, mencoba terdengar tegas meski suaranya bergetar.
"Tenang aja," sahut Ivan sambil tersenyum. Tapi bukannya mengembalikan, dia membalik kotak bekal itu, menjatuhkan sandwich ke lantai.
Ryan terdiam, menatap makanannya tergeletak di lantai yang kotor. "Kenapa kau lakukan itu?"
Ivan tersenyum dingin. "Tangan gw licin."
Tiba-tiba, Rei muncul di samping Ivan, tatapannya menelusuri kejadian itu tanpa ekspresi. "Ada masalah di sini?"
"Nggak, cuma kecelakaan kecil," sahut Ivan, tertawa kecil.
Ryan merasakan kemarahan dan ketakutan bercampur aduk di dalam dadanya. "Tolong, pergi."
Rei mendekatkan wajahnya ke Ryan. "Kau nyuruh kami pergi?"
"Aku cuma mau sendiri," jawab Ryan, suaranya hampir tak terdengar.
Rei menatapnya lama. "Kenapa kau selalu menghindar? Kami cuma mau berteman."
"Kalian bukan teman," kata Ryan, tanpa sadar kata itu keluar begitu saja.
Ivan tersenyum tipis. "Aduh, kami sakit hati nih. Kami berusaha baik padamu."
"Kalau begitu, tinggalkan aku sendiri," pinta Ryan, lebih berani dari biasanya.
Rei menghela napas, seolah kecewa. "Sayang sekali. Kupikir kita bisa akrab."
Mereka tertawa, lalu beranjak pergi. Sebelum itu, Ivan menepuk bahu Ryan keras. "Sampai ketemu lagi, teman."
Setelah mereka pergi, Ryan merasa lututnya lemas. Ia menunduk, memungut sandwich yang jatuh, tangan gemetar. Orang-orang di kantin menatapnya, sebagian dengan kasihan, sebagian lagi acuh tak acuh. Tak ada yang bergerak untuk membantunya.
"Ahh... aku lelah?" bisiknya, menahan air mata yang hampir tumpah.
Ryan tahu, dalam hatinya, ini belum berakhir. Mereka belum selesai dengannya.
...----------------...
Ryan duduk sendirian di kelas pada jam terakhir, kepalanya masih terngiang-ngiang kejadian di kantin tadi. Ia memegang pensil, tapi tak satu pun kata atau angka yang ia tulis. Pikiran itu terus berputar, menyiksa.
Saat bel berbunyi, semua orang bergegas keluar. Ryan mengemasi barang-barangnya dengan perlahan, berharap bisa menghindari kerumunan. Namun, suara yang ia kenal terlalu baik muncul dari pintu.
"Ryan, kau nggak buru-buru?" Suara Rei menggema di belakangnya, disusul dengan Ivan yang berdiri di samping.
Ryan menghela napas, kepalanya menunduk. "Aku cuma mau pulang," jawabnya, tanpa menoleh.
"Ah, masa? Kami juga," Rei mendekat, langkah kakinya terdengar berat. "Mungkin kita bisa pulang bareng?"
Ryan tahu apa artinya itu. Bukan 'pulang bersama', tapi lebih kepada 'pulang di bawah tekanan'. Ia bisa merasakan ketakutan yang sudah biasa muncul kembali, menggigit dari dalam.
"Kalian pulang saja dulu," katanya pelan, berusaha terdengar tenang, meski di dalam, jantungnya berpacu.
Ivan tertawa kecil, suaranya dingin. "Jangan begitu. Kami cuma mau ngobrol kok."
Rei menepuk bahu Ryan dengan keras. "Ayo, jangan jadi pengecut."
Ryan akhirnya berdiri, tak punya pilihan. Ia keluar kelas dengan Rei dan Ivan di belakangnya, mengintimidasi tanpa harus berkata banyak. Setiap langkah mereka terasa seperti pukulan kecil di punggung Ryan, semakin menambah beban yang sudah ia rasakan sepanjang hari.
Di luar sekolah, mereka mulai berjalan menuju gang kecil yang biasa mereka lalui. Sebuah jalan pintas, atau lebih tepatnya, jalan yang selalu jadi tempat penyiksaan mental bagi Ryan. Setiap kali mereka melewati sana, sesuatu buruk terjadi.
"Jadi, Ryan," mulai Rei, sambil memasukkan kedua tangannya ke saku. "Kau mau cerita apa hari ini? Atau… kami yang akan mulai?"
Ryan tetap diam. Ia tahu apa pun yang ia katakan akan berakhir buruk. Sementara itu, Ivan berjalan di sebelahnya, melempar senyum sinis setiap kali Ryan menoleh.
Tiba-tiba Ivan meraih tas Ryan, menariknya kasar.
"Lihat ini, apa yang kau bawa kali ini?" Ivan tertawa sambil membongkar isi tas Ryan.
Ryan hanya bisa diam, berusaha menahan marah dan frustasi yang meluap dalam dirinya. Ivan mengeluarkan buku dan barang-barang dari tas Ryan, melemparkannya ke tanah dengan cengiran puas.
"Kenapa kau selalu diam, Ryan?" tanya Rei sambil melangkah mendekat, wajahnya serius. "Kau pengecut, ya?"
Ryan menggertakkan giginya, tapi tak mengatakan apa-apa. Semua yang terjadi membuatnya merasa tak punya pilihan. Mereka ingin reaksinya, mereka ingin membuatnya pecah.
"Jawab, Ryan," tekan Rei lagi, lebih dekat sekarang, suaranya dingin dan penuh ejekan.
"Apa yang kau mau?" tanya Ryan akhirnya, suaranya rendah, hampir putus asa.
Rei tersenyum kecil. "Kami cuma mau main-main. Kau terlalu serius."
Ivan tertawa, masih sibuk dengan tas Ryan. "Iya, rileks lah. Hidup itu bukan buat diseriusin."
Ryan merasakan amarah yang mulai membara di dadanya. Tapi, seperti biasa, ia menelannya kembali. Tak ada gunanya. Mereka lebih kuat. Mereka selalu menang.
Rei menepuk bahu Ryan lagi, kali ini lebih keras. "Santai aja, Ryan. Kami cuma bercanda. Jangan terlalu dipikirin."
Ryan tak menjawab. Ia hanya ingin ini segera selesai.
Namun, sebelum mereka pergi, Ivan meraih botol minum dari tas Ryan, membukanya, dan menuangkannya ke kepala Ryan tanpa peringatan. Air dingin langsung membasahi rambut dan seragamnya.
"Ups, maaf, tergelincir," kata Ivan, tertawa terbahak-bahak.
Ryan membeku, air menetes dari wajahnya ke tanah. Hatinya terasa hancur, tapi tak ada yang bisa ia lakukan. Lagi-lagi, ia kalah. Lagi-lagi, ia menjadi bahan tertawaan mereka.
"Sudahlah, kita pulang," kata Rei akhirnya, puas dengan apa yang terjadi. Ia berjalan pergi dengan santai, diikuti oleh Ivan yang masih tertawa.
Ryan berdiri di sana, basah kuyup, menatap tanah di bawah kakinya. Tak ada satu pun yang lewat untuk melihat, tak ada yang peduli.
"Kenapa?" bisiknya pelan, suaranya tertelan oleh angin dingin yang berhembus.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!