Amara masih menatap punggung suaminya yang tidur membelakanginya. Seperti biasa, seusai mereka bercinta suaminya langsung membelakagi Amara. Tidak ada ucapan romantis, pelukan hangat, dan kecupan mesra setelah bercinta. Dingin, hanya itu yang Amara rasakan selama ini, selama tiga tahun menikah dengan Pria kaya raya pilihan Ayahnya.
Alvaro Pramudya, pria dingin yang menikahi Amara Khairunisa. Tiga tahun sudah pernikahan mereka terjalin karena sebuah perjodohan, lebih tepatnya mereka dijodohkan sejak mereka masih kecil oleh ayah mereka. Ayah Alvaro berhutang budi pada Ayah Amara saat dulu sedang tertimpa masalah dalam bisnisnya. Mereka menikah setelah Ayah Amara meninggal dunia. Itu semua karena Ayah Alvaro tidak ingin Amara hidup sendirian, karena Ibu Amara sudah meninggal dunia sejak Amara masih SMP, terlebih Ayah Alvaro dan Amara sudah sepakat ingin menjodohkan mereka. Amara hanya tinggal dengan ayahnya sampai Ayahnya menyusul ibunya ke surga.
Awalnya Alvaro menolak, namun karena bujukan sang ayah yang sedang sakit, dan itu seperti permintaan terakhir sang Ayah, akhirnya Alvaro tidak bisa menolak semua itu, dan Alvaro menikahi Amara.
Selama tiga tahun pernikahan, Amara sudah tahu tabiat suaminya yang sangat dingin, cuek terhadap dirinya. Amara tidak mempermasalahkan akan hal itu, meskipun hatinya ingin sekali diperlakukan selayaknya seorang istri di luar sana yang bahagia karena selalu mendapatkan perlakuan romantis dari suaminya. Amara sadar, pernikahannya saja karena sebuah perjodohan, dan Amara tahu kalau Alvaro tidak mencintainya, karena masih ada masa lalu di hatinya sampai sekarang.
“Tadi mama ke sini, Mas,” ucap Amara memecah keheningan.
“Hmmm ....” Hanya itu jawaban Alvaro, yang membuat Amara harus sabar sekali.
“Tadi mama ke sini bawain aku jamu, Mas. Katanya jamu penyubur kandungan. Mama ingin sekali aku hamil.”
Sebetulnya Amara sudah bosan sekali membahas soal anak dengan suaminya, tapi mau bagaimana lagi, mertuanya terus mendesak dirinya supaya hamil.
Tidak menggubris ucapan Amara, Alvaro malah memilih langsung bangkit dari tempat tidurya. Ia memakai celana dan bajunya lagi. “Aku ke ruang kerja, masih banyak kerjaan yang harus aku selesaikan.” Alvaro langsung pergi dari kamarnya, tanpa memedulikan Amara sedikit pun.
Amara hanya bisa diam saat melihat suaminya bersikap dingin seperti itu. Memang itu sudah hal biasa yang Alvaro lakukan pada Amara, jadi Amara sudah terbiasa akan hal itu. “Mau sampai kapan kita seperti ini, Mas?” lirih Amara sedih.
Amara memegang dadanya yang terasa sesak. Ia disudutkan dari segala arah. Dianggap mandul oleh orang-orang yang berada di sekelilingnya. Tiga tahun bukan waktu yang singkat, tiga tahun dia menutupi semuanya. Hinaan demi hinaan ia terima dengan ikhlas demi menutupi keinginan suaminya yang tidak ingin memiliki anak dalam pernikahannya dengan Amara.
^^^
Amara terbangun dari tidurnya. Ia menatap kosong sisi tempat tidurnya. Ternyata semalam Alvaro tidak kembali lagi ke kamar setelah meninggalkan dirinya. Amara tahu, mungkin Alvaro marah karena Amara membahas soal anak. Jadi, Alvaro lebih memilih tidur di ruang kerjanya.
Amara mengembuskan napasnya kasar. Ia menyingkap selimut yang menutup tubuhnya, lalu bangkit dari tempat tidurnya untuk ke kamar mandi, membersihkan diri.
Setelah selesai dengan ritual mandinya, Amara bergegas ke bawah menuju dapur. Walau hatinya masih sedih dan sakit karena sikap Alvaro yang masih sama, dingin dan cuek, Amara tetap melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Ia tak mau mengabaikan tugasnya sebagai istri Alvaro.
Amara memasak untuk sarapan Alvaro, dibantu oleh beberapa asisten di rumahnya. Padahal semua asisten sudah melarang Amara untuk masak, namun Amara tidak mau, ia tetap harus memasakkan makanan untuk suaminya. Asisten di rumah hanya membantu menyiapkan bahan masakan, juga membantu menghidangkan di meja makan.
Selesai memasak, Amara menata beberapa makanan hasil dari masakannya pagi ini. Dibantu oleh Bi Asih yang sedang mengangsurkan air putih ke dalam gelas. Amara melihat Alvaro keluar dari ruag kerjanya. Tatapan mereka saling pandang, Amara menyambut Alvaro dengan senyuman manisnya, namun Alvaro membalasnya dengan tatapan dingin.
“Mas, sarapan dulu yuk?” ajak Amara dengan penuh perhatian. Ia mengambilkan nasi untuk Alvaro.
“Hmmm ...,” jawab Alvaro.
Amira sampai sudah hafal dengan jawaban apa yang keluar dari mulut suaminya itu. Akhirnya Amara memilih untuk diam. Mereka sarapan bersama tapi dalam mode dingin.
^^^
Setelah Alvaro berangkat ke kantor. Seperti biasa Amara menyibukkan dirinya di kebun kecil miliknya. Kebun yang ia tanamani berbagai macam sayuran, bunga, dan buah. Amara dulu meminta izin pada Alvaro, untuk menghilangkan kejenuhannya, ia meminta tanah yang bersebalahan dengan taman di belakang rumahnya untuk ia berkebun. Seperti itu kegiatan Amara setiap hari setelah Alvaro pergi ke kantornya. Dan, hasil dari kebun bisa untuk masak sayur setiap harinya. Irit bukan? Amara jadi bisa menyisihkan uang belanja dari suaminya untuk kebutuhan lain? Padahal Alvaro mampu memberikan uang berapa pun yang Amara mau.
“Bu ...,” panggil Bi Asih pada Amara yang sedang sibuk di kebun, menyemai biji-biji sayuran.
“Iya, Bi Asih, ada apa?” tanya Amara.
“Ehm ... i—itu, Bu Eliana sama Mbak Vira datang, mereka ingin bertemu ibu, sedang menunggu di ruang tamu.”
“Oh, ya sudah saya cuci tangan dulu, Bi. Bilang saja saya sedang berkebun, dan akan segera ke sana. Tolong buatkan minum sama sediakan cemilan buat mereka juga ya, Bi?”
“Baik, Bu. Saya permisi ke dalam lagi.”
Amara menghela napasnnya kasar, setelah Bi Asih kembali masuk ke dalam untuk membuatkan minuman dan menyiapkan cemilan untuk mereka. Baru kemari Mama mertuanya datang, Amara tahu maksud kedatangan Mama Mertuanya dan Kakak Iparnya itu. Mau apa lagi kalau tidak menghina dirinya, yang mandul, karena lama belum hamil juga.
Amara langsung masuk ke dalam, tanpa berganti pakaian lebih dulu. Yang penting ia menemui dulu ibu mertuanya, karena ia takut kelamaan tidak keluar-keluar, nanti malah membuat ibu mertuanya mengomel tanpa henti.
“Ma, maaf lama,” ucap Amara sambil mencium tangan mertuanya.
“Pantas saja Varo gak betah di rumah, Mah! Lihat saja penampilan dia? Dekil, kucel, kotor, pakaiannya jelek!” sindir Vira.
Vira memang sejak awal tidak suka dengan Amara, karena Amara hanya perempuan biasa, bahkan bisa dikatakan perempuan miskin yang tak selevel dengan kehidupan mereka, dan tentunya tidak selevel dengan adik laki-lakinya.
“Maaf, Kak Vira, aku tidak sempat ganti baju. Takut Mama dan Kak Vira menunggu lama,” ucap Amara dengan menunduk melihat pakaiannya yang memang sedikit kotor karena terkena tanah.
Duduklah, ada yang ingin Mama bicarakan dengan kamu. Ini sangat penting!” perintah Mama Eliana.
Amara mengikuti perintah Mama Mertuanya itu. Amara yakin, mertuanya itu akan bicara serius soal dirinya yang tak kunjung hamil. Amara duduk di hadapan Mama Mertua dan Kakak Iparnya.
“Gini, Ra. Pernikahan kamu dan Alvaro sudah tiga tahun lebih, tapi belum ada tanda-tanda kamu hamil, itu kenapa bisa, Ra? Benar hasil pemeriksaan kalian berdua baik, dan tidak ada masalah pada kalian?” tanya Eliana.
Amara hanya bisa meremas baju daster yang ia gunakan, merasakan akan terjadi sesuatu hal yang sangat buruk yang akan disampaikan mertuanya.
“Benar hasilnya baik-baik saja? Tidak salah dengan hasilnya?” tanya Eliana lagi.
“Benar hasilnya, dan tidak ada yang salah dengan hasil pemeriksaan kami berdua, Ma. Mungkin belum waktunya saja,” jawab Amara jujur. Tidak mungkin Amara bilag pada mertuanya kalau suaminya lah yang tidak ingin memiliki anak. Suaminya lah yang menyuruh Amara untuk memakai alat kontrasepsi selama ini, dari awal mereka menikah.
“Halah, alasan! Kami tahu kok, kalau kamu itu mandul!” sarkas Vira dengan tatapan tajam, yang membuat Amara menunduk sedih.
“Mama terpakasa akan menjodohkan Alvaro dengan seseorang. Mama tahu ini tidak adil bagimu, tapi Vari harus punya masa depan, Varo harus punya penerus untuk keluarga besarnya. Keluarga Pramudya.” Ucapan Eliana seperti ribuan jarum menusuk relung hati Amara.
Amara tidak tahu, apa dirinya bisa merelakan Alvaro untuk wanita lain? Rasanya Amara tidak sanggup, membayangkan saja sudah membuat dadanya sesak dan sakit.
“Kamu tidak perlu khawatir, kamu masih tetap menjadi istri sah Varo. Kamu tidak akan kehilangan semua yang kau miliki saat ini. Asalkan kamu mengizikan Alvaro menikah lagi!” lanjut Eliana.
“Lagi pula, wanita yang Varo cintai sudah kembali, pasti Varo tidak akan keberatan akan hal itu, mungkin mereka akan kembali bersama,” ucap Vira dengan tatapan mengejek pada Amara.
Degh ....
“Wanita yang Varo cintai? Terusa aku ini siapa? Aku ini istrinya? Ah iya, aku sadar, aku hanya istri yang tak dicintainya,” batin Amara.
Setelah Mama Mertua dan Kakak Iparnya pulang, Amara hanya bisa mengurung dirinya di dalam kamar. Menangisi pernikahannya yang selama ini ia pertahankan. Semuanya akan sia-sia pada akhirnya. Menangisi kenyataan bahwa suaminya tidak pernah mencintainya selama ini. Seharusnya Amara sadar diri akan sikap suaminya yang dingin dan cuek padanya selama ini. Ia seharusnya sadar juga, kenapa suaminya tak mau memiliki anak darinya. Semua itu karena Alvaro tidak pernah mencintainya. Dan, Amara baru menyadarinya sekarang.
Kenapa selama ini Alvaro dingin, cuek, dan bercinta pun tak pernah memandangnya dengan baik. Seusai bercinta pun Amara seperti dibiarkan saja, layaknya perempuan pemuas nafsu saja, setelah dipakai langsung dibiarkan tanpa sentuhan lembut, tanpa perlakuan baik dan romantis. Itu semua karena Alvaro tidak mencintainya, terpaksa menikahinya. Bahkan Alvaro tidak ingin anaknya terlahir darinya. Dari wanita yang tidak dicintainya. Dari wanita miskin yang hanya menumpang hidup padanya.
Lantas kenapa suaminya itu terus menyentuhnya? Bahkan setiap malam tubuh Amara seakan sudah menjadi candu bagi Alvaro? Sedangkan selama ini Alvaro sama sekali tidak pernah mencintainya. Apa tubuh Amara hanya dijadikan pelampiasan nafsu birahinya saja selama ini?
“Tuhan .... Apa yang harus aku lakukan?” lirih Amara dengan memukul dadanya lirih yang terasa sakit akan kenyataan yang sekarang ia hadapi.
Apa Amara sanggup jika melihat suaminya menikah dengan wanita yang benar-benar suaminya cintai? Apa ia sanggup jika ada dua ratu di istananya?
Tentu saja tidak. Amara tidak sanggup, membayangkan saja Amara tak sanggup. Membayangkan jika semua itu terjadi saja membuat hatinya sakit, dadanya sakit.
“Sakit sekali, Tuhan ....” ucapnya dengan mengusap dadanya.
^^^
Amara terbangun dari tidurnya saat Alvaro memasuki kamar. Amara merasa sedikit pusing, mungkin karena ia terlalu banyak menangis, hingga ia tertidur dalam tangisannya.
“Mas, baru pulang?” tanya Amara sambil melihat jam dinding, yang menunjukkan pukul dua dini hari.
“Hmm ....”
Alvaro hanya bergumam sambil melepas jaz kerjanya dan kemejanya. Lalu meletakkan ke dalam keranjang kotor. Alvaro segera memakai piyamanya, lalu mengikuti Amara berbaring di atas tempat tidur.
“Mas, aku boleh minta sesuatu?” tanya Amara.
“Apa?” jawab Alvaro.
“Aku minta izin untuk bekerja lagi boleh?” ucap Amara lirih dengan menatap langit-langit kamar.
“Apa uang yang aku berikan padamu selama ini kurang, Ra?” tanya Alvaro.
“Tidak, Mas. Uang darimu selalu lebih, tidak pernah kurang. Tapi aku ingin mencari kesibukan, agar aku tidak terlalu memikirkan soal anak.” jawab Amara.
Padahal bukan itu alasan Amara sebenarnya. Amara hanya ingin hidup mandiri sekarang, tidak mau bergantung dengan suaminya lagi, setelah ia sadar kalau suaminya tak mencintainya, dan sudah pasti suaminya akan menceraikannya dalam waktu dekat ini karena wanita yang dicintai suaminya sudah kembali, dan sudah mendapatkan restu dari ibu juga kakaknya untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Dengan beralasan seperti itu, Amara yakin kalau suaminya pasti akan mengizinkan dirinya bekerja lagi. Karena, Alvaro pun tak ingin Amara selalu mempertanyakan soal anak.
“Baiklah, aku akan mengatur posisimu untuk kerja di kantor, besok aku suruh asistenku untuk mencarikan posisi yang pas sesuai lulusan kamu,” ucap Alvaro.
“Tidak usah, Mas. Aku ingin mencari pekerjaan sendiri,” ucap Amara.
“Bagaimana jika ada yang tahu kalau Istri dari Direktur Utama Pramudya Group mencari uang sendiri di perusahaan lain, dan jadi bawahan orang lain? Mau ditaruh mana mukaku nanti, Ara?” Varo bangkit dan menatap tajam pada Amara, Amara pun ikut bangun dari tidurnya.
“Mas tenang dulu, mas pernah gak mikir pernikahan ini sudah tiga tahun lamanya? Orang di luar sana juga sudah pasti lupa dengan wajahku, wajah istrimu ini. Kamu ingat kapan terakhir kamu mengajak aku ke pesta atau ke jamuan klien? Kamu ingat terakhir kali kita jalan keluar, makan diluar? Enggak, kan? Sudah lama sekali, Mas! Itu terjadi di awal pernikahan kita saja, itu pun hanya beberapa bulan saja, setelah itu sampai sekarang tidak lagi?” ucap Amara dengan perasaan terluka.
Alvaro hanya diam menatap Amara, karena yang diucapkan Amara itu benar adanya. Dirinya sekarang lebih suka sendiri jika ada jamuan atau pesta dengan klien. Alvaro masih menatap Amara lekat, namun Amara mengalihkan pandangannya, supaya matanya tak menatap mata Alvaro.
^^^
Pagi ini Amara bersiap untuk interview. Setelah perdebatan panjang dengan Alvaro malam itu, akhirya Amara diizinkan untuk bekerja oleh Alvaro. Amara mencari lowongan pekerjaan lewat online, dan tak lama Amara mendapatkan panggilan dari sebuah perusahaa untuk mengikuti tes interview pagi ini.
Amara terlihat sedang berdiri di depan cermin yang ada di dalam kamarnya. Amara mengenakan kemeja putih dipadukan dengan rok hitam selutut. Ia memoles wajahnya dengan make up tipis. Alvaro masih terlihat terlelap di atas kasur empuknya. Sesekali Amara lihat wajah damai nan tenang milik suaminya itu. Amara tidak ingin membangunkan tidur suaminya yang pulas. Ia hanya menuliskan pesan singkat di aplikasi perpesanan untuk suaminya.
Setelah merasa penampilannya sempurna, Amara langsung keluar dari kamarnya. Ia bergegas menuruni anak tangga, tak lupa ia juga membawa tas kecil yang cocok digunakan untuk bekerja.
“Bi Asih ... sarapannya sudah siap, kan?” tanya Amara.
“Sebentar lagi siap, Bu. Ini Bu Ara mau ke mana? Pagi-pagi sudah cantik sekali?” tanya Asih yang merasa heran dengan majikannya, karena tak biasa Amara terlihat begitu cantik seperti pagi ini.
“Aku mau ada urusan di luar sebentar, Bi. Nanti tolong jangan lupa buatkan kopi untuk Bapak ya, Bi? Kalau Bapak sudah bangun,” ucap Amara.
“Iya, Bu. Apa ibu gak sarapan dulu? Mau saya siapkan roti, atau saya tatakan nasi gorengnya?” tanya Bi Asih.
“Gak usah, Bi. Nanti aku terlambat, aku sarapan di luar saja sekalian. Aku berangkat ya, Bi?” pamit Amara, ia pun segera meninggalkan teras rumahnya saat Ojek Online pesanannya sudah datang di halaman rumahnya.
^^^
Setelah bangun, dan melakukan peregangan otot sebentar, Alvaro tidak mendapati istrinya. Biasanya saat Alvaro olah raga di halaman belakang, ia melihat Amara sedang sibuk dengan tanaman sayurannya. Kadang sedang memetik hasil sayuran untuk dimasak siang nanti. Namun, kali ini Alvaro tidak melihat istrinya itu di kebun kesayangannya.
“Eh Bi Narti, ibu ke mana, kok tidak kelihatan dari tadi?” tanya Alvaro kepada Bi Narti, asisten yang bertugas membersihkan rumah, kalau Bi Asih, dia yang ditugaskan untuk menjadi koki.
“Ibu sepertinya sudah pergi dari pagi-pagi sekali, Pak. Tadi saya lihat pas ibu pamit sama Bi Asih,” jawab Narti.
“Oh begitu, ya sudah,” ucap Alvaro.
Alvaro bergegas mengambil ponselnya di meja kecil yang ada di dekatnya. Berniat menghubungi Amara, akan tetapi ia mengurungkan niatnya, karena melihat pesan dari istrinya.
[Mas, aku izin pergi sebentar. Hari ini aku mau interview kerja. Maaf aku gak pamit Mas dulu. Aku gak tega membangunkan tidurmu yang sedang pulas, aku gak mau ganggu tidur mas, jadi aku langsung berangkat. Bibi sudah aku suruh siapkan sarapan, dan buatkan kopi untuk Mas. Jangan lupa sarapan, Mas.]
Alvaro meletakkan kembali ponselnya, tanpa membalas pesan dari Amara. Sedingin ini hubungan mereka berdua, jangankan satu pesan dari Amara, puluhan pesan dari Amara pun kadang dibalas Alvaro hanya pesang singkat. Bahkan kadang tak dibalas oleh Alvaro.
Amara pulang dengan perasaan bahagia. Dia diterima bekerja sebagai resepsionis di perusahaan tersebut. Amara sangat bersyukur, ternyata masih diberi kesempatan bekerja lagi, dan posisi pekerjaannya sama dengan dulu, saat dirinya bekerja sebelum menikah dengan Alvaro. Amara benar-benar bersyukur sekali, karena di antara banyaknya peserta, namanya terpanggil menjadi salah satu karyawan di perusahaan yang cukup bonafit.
“Dari mana kamu? Jam segini baru pulang kelayaban!” tanya seorang perempuan yang sudah berada di ruang keluarga.
Amara langsung menoleh ke arah sumber suara tersebut. Ternyata ada Mama Mertua dan Kakak Iparnya sedang duduk santai di runang keluarga sambil menikmati secangkir teh, dan menonton televisi.
“Eh ada Mama? Dari tadi, Ma?” tanya Amaara.
“Hmm ... sudah setengah jam yang lalu. Kamu dari mana? Kata Bi Asih kamu keluar pagi-pagi sekali? Kenapa jam segini baru pulang?” tanya Eliana.
“Paling kelayaban ngabisin uang suaminya, Ma! Boros kamu!” sarkas Vira.
“Tadi aku ada sedikit urusan di luar, bukan ngabisin uang seperti yang Kak Vira katakan,” jawab Amara santai.
“Ya sudah, mama sudah bilang sama Varo, untuk segera pulang, untuk makan siang bersama di sini,” ucap Eliana.
“Ya sudah saya mau ke kamar, ganti baju, lalu memasak untuk makan siang, masih ada waktu kan, kalau aku masak?” ucap Amara.
Amara langsung masuk ke kamarnya, mengganti pakaiannya, lalu memasak untuk makan siang. Tidak lupa ia memasak udang sambal dan rendang kesukaan suaminya.
Akhirnya setelah bergelut dengan tiga menu masakannya, Amara bisa menyelesaikannya tepat waktu. Dengan bantuan Bi Asih juga tentunya. Amara dibantu beberapa Asisten menata makanan di meja makan. Selesai itu, Amara melepas apronnya. Baru saja Amara akan masuk ke kamar untuk ganti pakaian, Mama Mertuanya masuk ke dalam ruang makan bersama suaminya dan kakak iparnya. Bergegas Amara menyambut kepulangan Alvaro.
“Mas sudah pulang ternyata?” tanya Amara, lalu ia mencium punggung tangan suaminya.
“Hmmm ...,” sahut Alvaro.
“Ya sudah, yuk makan, Mas? Aku sudah masakin makanan kesukaan Mas tuh?” ucap Amara.
“Varo, kenapa Cindi tidak diajak masuk?” tanya Eliana.
“Oh iya,” ucap Varo.
“Cin, sini masuk,” panggil Alvaro.
“Cindi, sini sayang masuk. Gak usah sungkan,” ucap Eliana ramah.
Amara tidak tahu ternyata ada orang lain lagi yang datang untuk ikut makan siang. Ternyata ada perempuan lain, bernama Cindi yang baru masuk dan sekarang berdiri di sebelah suaminya. Perempuan yang begitu cantik dan anggun, membuat Amara insecure. Mungkin perempuan itu datang bersama suaminya, atau perempuan itu yang kemarin dibahas oleh Mama Mertuanya dan Kakak Iparnya, yang akan dinikahi oleh suaminya. Apa mungkin perempuan itu yang dicintai suaminya selama ini?
Pertanyaan itu memenuhi seisi kepalanya. Amara benar-benar tidak percaya itu akan terjadi nyata pada kehidupannya ini.
“Amara, perkenalkan dia Cindi, teman Varo,” ucap Eliana.
“Cindi.” Dia memperkenalkan diri pada Amara, tersenyum seraya mengulurkan tangannya pada Amara.
“Amara. Yuk silakan duduk, jangan sungkan,” ucap Amara dengan ramah, dan mengulurkan tangannya, menyambut kedatangan Cindi.
Cindi langsung duduk di sebelah Alvaro, padahal tempat duduk itu biasa digunakan oleh Amara. “Ini tempat duduk saya,” ucap Amara.
Varo menatap tajam Amara, seakan menyuruh Amara duduk di kursi lainnya. “Masih banyak kursi yang kosong, tidak usah dipermasalahkan, Ara!” ucapnya dengan dingin.
Amara pun menurut, akhirnya ia duduk di sebelah kakak iparnya. Amara begitu terkejut, karena Cindi berani mengambilkan nasi dan lauk pauk untuk Varo. Padahal itu adalah tugas Amara setiap hari. Amara merasakan sesak di dadanya saat itu. Tugasnya direbut begitu saja oleh perempuan yang baru ia kenal.
“Apa tugas lainnya akan kamu rebut juga?” batin Amara perih. Apalagi melihat suaminya tidak menolak, bahkan dia tersenyum dan berterima kasih dengan tulus pada Cindi.
“Makasih ya, Cin?” ucap Alvaro dengan mengulas senyum. Hal yang tidak pernah Alvaro lakukan pada Amara, padahal setiap harinya Amara melakukan hal yang sama dengan Cindi.
“Oh ya, lupa udang sambalnya. Ini juga makanan kesukaan kamu kan, Varo?” ucap Cindi, lalu menyendokkan udang sambal, dan menaruh di piring Varo.
“Kamu masih ingat saja makanan kesuakaan Varo, Cin?” ucap Eliana.
“Tentu saja aku masih ingat, Tante. Bagaimana aku bisa melupakan apa yang Varo sukai?” ucap Cindi.
“Cocok banget mereka ya, Ma?” ucap Vira dengan berbisik pada mamanya, dan bisa terdengar oleh Amara apa yang dikatakan Kakak Iparnya itu.
Amara benar-benar tak dipedulikan, padahal dialah yang memasak semua masakan. Tapi tak pernah ia dipuji oleh suaminya atau mertuanya. Cindi yang masih ingat soal makanan kesukaan Varo saja sudah dipuji dengan segitunya. Dengan cepat, Amara menyelesaikan makannya, lalu ia bergegas pergi dari ruang makan, karena merasa kehadirannya tidak dianggap di sana. Dengan alasan ingin segera ke kamar kecil, akhirnya Amara pergi dari ruang makan.
^^^
Amara masuk ke kamarnya. Ia tidak mau melanjutkan drama di ruang makan yang membuat dadanya sakit dan sesak. Ia masih merasakan sakitnya tadi. Amara berjalan menuju balkon, tapi tak disangka ia malah melihat Varo begitu mesra pada Cindi. Bisa-bisanya Varo mengusap kepala Cindi, lalu memeluknya, serta mengecup kepala Cindi. Amara semakin yakin, kalau Cindi adalah perempuan yang masih Alvaro cintai selama ini.
Amara menyeka air matanya yang sudah membasahi pipinya. Ia menangis, meratapi sakitnya. Benar-benar sakit melihat hal seperti itu. Belum hilang rasa sakit saat di ruang makan tadi, malah ditambah ia melihat kemesraan suaminya dengan Cindi.
“Amara ... stop! Jangan tangisi dia! Mulai sekarang belajarlah untuk perlahan melepaskan dia. Sudah jelas, bukan? Kamu ini hanya pelampiasan dia saja, kamu tidak dicintainya. Lepaskan dia, Amara! Kamu harus bisa!”
Lagi-lagi Amara melihat Varo tersenyum dengan penuh kebahagiaan di depan Cindi. Senyuman yang tak pernah Amara lihat selama tiga tahun hidup bersama Alvaro. Tiga tahun lamanya, sepertinya apa pun yang Amara lakukan tidak pernah membuat hati Alvaro terbuka, dan mencintainya.
^^^
Pagi menyapa, Amara sudah siap dengan pakaian kerjanya. Pakaian yang mungkin seadanya dulu. Mengenakan kemeja putih dan rok hitam selutut, karena itu yang Amara punya. Ia memoles wajahnya dengan make up tipis, namun terlihat begitu manis dan natural.
Amara menuruni anak tangga, ia segera ke ruang makan untuk sarapan. Amara pagi ini tidak memasak, karena takut terlambat masuk kantor. Ini hari pertamanya ia bekerja, jadi tidak mungkin kalau dia harus terlambat datang ke kantor.
Amara dengan cepat menyelesaikan sarapanya. Setelah selesai, terlihat Alvaro baru saja turun dari kamar. Varo menatap penampilan istrinya yang tidak seperti biasanya. Terlihat begitu cantik sekali Amara pagi ini, hingga membuat Alvaro terpesona akan penampilan Amara.
Alvaro duduk di sebelah Amara yang sudah selesai sarapan. Dia melihat rok Amara yang sedikit ketat, dengan belahan di tengah bagian belakang.
“Kamu beli pakaian kerja yang sopan! Mau kerja atau mau pamer paha?” ucap Alvaro dengan memberikan blackcard pada Amara.
Amara menghela napasnya dengan kasar, karena ia merasa tidak ada yang salah dengan pakaiannya. Roknya saja sudah sesuai standar yang perusahaan kasih tahu.
“Aku berangkat, Mas.” Amara meraih tangan Alvaro, lalu mencium punggung tangannya karena ia tak mau debat kusir dengan suaminya hanya karena pakaian yang ia kenakan pagi ini. Bahkan Amara langsung pergi, tanpa mengambil blackcard yang Alvaro letakkan di depan Amara.
Alvaro hanya menggelengkan kepala saat Amara pergi begitu saja tanpa membawa kartu yang ia berikah. Tak mau pusing dengan sikap Amara, akhrinya Alvaro memulai sarapannya. Ia menyendokkan nasi goreng yang sudah disajikan istrinya tadi. Namun, baru sesuap, ia menghentikan kunyahannya.
“Bi Asih, ini nasi goreng kok rasanya beda dari biasanya?” tanya Alvaro.
“Ehm ... masa, Pak? Padahal bumbunya sama dengan apa yang Bu Ara ajarkan,” jawab Bi Asih.
“Biasanya gak seperti ini rasanya, kamu yang biasa masak, kan?”
“Ehm ... sebetulnya selama ini Bibi hanya bantu-bantu Bu Ara menyiapka bahan masakan saja, Pak. Semua Bu Ara yang masak setiap hari,” jawab Bi Asih.
Alvaro terkejut dengan ucapan Bi Asih. Varo kira selama ini Amara hanya bantu-bantu saja di dapur, supaya tidak jenuh. Tapi ternyata malah Amara semua yang memasak untuknya selama ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!