Tujuh tahun yang sia sia, tujuh tahun yang penuh luka.
Seorang pria tampan berahang tegas berdiri didepan dinding kaca menatap kota Jakarta dari atas ketinggian. Ia fikir tempatnya adalah yang tertinggi namun ternyata didepan matanya ada gedung yang jauh lebih tinggi.
Pada akhirnya ia tak pernah mendapat kepuasan maupun kebahagiaan, semuanya bagai fatamorgana dalam kehidupannya.
Padahal ia pernah memiliki oase yang begitu indah namun ia memilih mengikuti Ilusi air tak nyata ditengah gurun pasir.
Danish, pria yang kini berusia tiga puluh tujuh tahun itu telah kehilangan segala kesenangannya. Ia bagai manusia yang hidup dengan menjalankan kutukan. sekuat apapun ia ingin bahagia rasa itu seakan enggan untuk mampir karena Danish yang memang menutup diri untuk merasakannya.
"Pak....."
Danish berbalik mendengar suara wanita yang sudah lama bekerja bersamanya.
"Hemmm kenapa Sell?" Danish kembali ke kursi kebesarannya.
"Ibuk membuka galery seni." Tatapan wanita bernama Selly itu begitu berbinar. Ia merasa telah menjadi malaikat penolong bagi sang atasan dengan berita yang ia bawa.
"Ibuk? Ibuk siapa?" Danish masih bingung.
"Ibuk Jingga pak....." Wanita bertubuh gempal yang sudah memiliki dua orang putri itu menatap Danish dengan pandangan yang berkabut. Tangannya gemetar tatkala menyebut nama wanita yang pernah menjadi istri atasannya.
"Ji...Jingga....Istriku? Tidak...tidak...." Danish berjalan cepat menuju sekertarisnya dan mencengkram dengan kuat kedua bahu Selly.
"Dimana dia Sell.....dimana Jingga sekarang? Kau yakin itu Jingga?"
Tujuh tahun yang mungkin tidak sia sia!
kabar yang sangat ingin ia dengar akhirnya tersaji didepannya.
"Ibuk membuka Galeri Seni pak, saya belum memastikannya, tapi saya yakin pemiliknya Ibuk Jingga Marina yang kita kenal, saya bahkan memperlihatkan foto Ibuk pada Kurator disana."
"Dimana itu?" Tanya Danish antusias, ia buru buru memakai jasnya yang tadi tersampir disandaran kursi.
"di daerah xxx."
"Batalkan semua jadwalku hari ini! Saya akan ke Galery."
Tidak ada kata terlambat, entah itu hanya permintaan maaf atau harapan untuk kembali bersama Danish sudah tak peduli lagi. Asalkan ia masih bisa melihat wajah teduh itu Danish sudah sangat merasa bahagia.
'Maaf terlambat menyadari jika seberanya kau adalah bahagiaku!' Danish hanya bisa membatin kuat sembari melajukan kendaraannya dengan kecepatan diatas rata rata menuju Galery yang dimaksud Selly dan itu terletak masih satu kawasan dengan rumah lama Danish.
Galery itu cukup luas dan berdiri di salah satu kawasan Elite, Tentu saja Jingga mampu membeli bangunan disini karena sebagai salah satu pemegang saham Jingga mendapatkan keuntungan dari perusahaan Danish setiap bulannya.
Danish berhenti mengecek pergerakan rekening Jingga dua tahun yang lalu karena merasa Jingga sama sekali tak pernah menggunakan uangnya. Bukan karena takut Jingga memakai uangnya sendiri Danish hanya ingin tahu posisi Jingga berada kala itu.
Jantung Danish bergemuruh begitu hebat saat ia masuk kedalam ruangan besar bernuansa serba putih itu, matanya begitu kagum dengan deretan lukisan yang terpajang pada dinding.
Beberapa Lukisan nampak begitu memukau dengan aliran yang mungkin tidak dipahami Danish. Pria tiga puluh tujuh tahun itu kemudia membuka brosur yang diberikan kurator tadi.
Tulisan Koa Galery sebagai judul utama mengundang tanya Dibenak Danish. Namun semua terjawab pada kata pengantar didalam brosur.
Koa berarti berani, teguh dan tak kenal takut. Ia adalah sosok pelindung bagi sang Jingga.
Alis Danish sedikit terangkat, tanda tanyanya sama sekali belum terjawab.
"kubisme....realisme...naturalisme...." Danish dengan serius membaca semua jenis aliran lukisan yang tertera.
Sejak kapan Jingga menyukai seni lukis? Tanya itu masih menari nari, Danish merasa bersalah karena ia tidak mengenal Jingga seutuhnya.
Pandangan Danish tertuju pada sebuah lukisan Senja dengan siluet wanita yang nampak sangat tidak asing. Dalam benaknya rambut sebahu sang siluet seakan bergerak tertiup angin laut.
"Jingga...." bahkan Danish bisa mengenali bayangan wanita itu.
Lukisan tersebut memiliki tempat yang paling spesial diantara semua lukisan yang ada.
"Sosok yang berada dilukisan itu adalah Jingga Marina."Jelas Kurator wanita dan tiba tiba saja berdiri disamping Danish yang masih belum bisa mengalihkan pandangannya dari coretan indah yang didominasi warna jingga dan hitam itu.
Kini Danish yakin pemilik Galery itu adalah Jingga.
"Berapa harga lukisannya?" tanya Danish dengan raut wajah serius.
"Maaf pak, kata atasan kami lukisan ini hanya untuk dinikmati bukan untuk dijual. Beliau begitu menghargai lukisan ini, karena semua bahagianya tertuang didalam karna seni yang tengah bapak pandangi ini."
Air mata Danish tiba tiba jatuh begitu saja, mungkin ini yang dinamakan bisa merasakan perasaan yang sang pelukis yang ia tuangkan diatas kanvas. Danish bergerak maju dan meraba ujung lukisan yang diberi Nama sang Senja itu.
"Koa Love Jingga...."gumam Danish.
Rasanya begitu kosong dan hampa saat Danish menyadari Koa adalah nama dari seseorang.
Bab selanjutnya adalah flashback yang begitu panjang.......
Cekidoooot🥰
7 tahun yang lalu.
" Sang Jingga sepertinya akan habis jika setiap hari kau pandangi terus." Sebuah suara mengalun dirungu Wanita bernama Jingga Marina .
Wanita cantik berusia dua puluh empat tahun itu menoleh dan tersenyum pada sosok pria yang sudah beberapa bulan ini menemani kesendiriannya meratapi kehidupan yang rasanya ingin ia tinggalkan.
Koa Danudara. Pria itu hanya setahun lebih tua dari Jingga. Mereka bertemu karena sebuah takdir yang telah dilukiskan semesta.
Sekitar tiga bulan yang lalu Jingga menemukan fakta jika mantan kekasih suaminya bekerja di perusahaan milik sang suami.
Hubungan yang pernah terjalin penuh cinta itu terpaksa harus berpisah karena perjanjian perjodohan konyol ayah Danish Bratajaya suami Jingga dan mendiang ayahnya.
Mereka menikah tiga tahun lalu, meski tanpa cinta namun Danish selalu memperlakukan Jingga dengan baik. walau tak bisa bersikap hangat layaknya seorang suami normal yang menyayangi istrinya.
bahkan butuh waktu hampir satu tahun bagi Danish untuk menjadikan Jingga wanita seutuhnya. Seorang wanita yang menyerahkan jiwa dan raganya secara utuh pada sang Imam.
Danish hanya butuh Jingga untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya saja. setelahnya ia akan kembali bersikap normal sebagaimana biasanya.
Mereka juga belum dikaruniai buah Hati dengan alasan Danish belum siap menjadi seorang ayah.
namun setelah Mendengar kabar mantan kekasih suaminya kembali dekat dengan Danish. Jingga melepaskan alat yang selama ini membuatnya tak bisa memiliki keturunan. Ia masih ingin mempertahankan rumah tangga tidak sehat ini dengan anak sebagai pengikatnya, tentunya tanpa sepengetahuan Danish.
Tapi akhir akhir ini Jingga rasanya ingin menyerah saja. Ia sudah tak sanggup.
"Koa, Duduk disini." Jingga menepuk bangku kosong disampingnya. Memberikan ruang bagi pria itu untuk menikmati sang jingga di cakrawala yang bersinar indah di ufuk barat.
saat pertama kali ke Pantai ini Jingga sama sekali tak pernah tertarik dengan keberadaan Koa. Pria dengan topi base ball dan Kaos over size yang dipadukan dengan jeans longgar sobeknya. Ia hanya ingin menikmati keindahan sang senja tanpa berinteraksi dengan siapapun.
Koa sudah sekitar Lima tahun menjadi pelukis jalanan di pantai ini. Ia menjajakan jasa lukisnya kepada para pengunjung yang hendak dilukis, hanya bermodalkan kanvas dan cat minyak Koa meraup seratus ribu rupiah per lukisan yang ia buat dan itu sudah lebih dari cukup untuk menghidupi dirinya sendiri.
Flashback
Jingga membuka satu persatu lembar buku gambar dimana memperlihatkan sebuah gambar yang sama sekali tak ia mengerti.
"Kubisme, kau pasti baru pertama kali melihat lukisan seperti itu." Seorang pria bertopi mengulurkan tangannya meminta buku gambar berukuran folio ditangan Jingga, dan wanita itu pun menyerahkannya.
Buku itu memang miliknya yang sengaja ia tinggalkan.
"Koa, namaku Koa." pria berkulit sedikit coklat itu kemudian mengulurkan tanganya, yang disambut Jingga dengan bingung, namun ia akhirnya mengerti dan menyebutkan namanya terbata bata.
"Ji-jingga."
Pria bernama Koa itu Lalu menjelaskan dengan lembut arti dari setiap lukisan yang ada didalam buku tersebut.
"lukisanmu terlihat mengerikan." jawab Jingga polos, tentu saja ia sama sekali tak mengerti arti dari karya seni.
Koa hanya tersenyum simpul sambil berkata" Lantas lukisan seperti apa yang kau sukai Jingga?"
"Pemandangan, seperti Senja itu!" Jingga menunjuk Matahari yang sebentar lagi akan terbenam sempurna.
"Sayangnya aku tidak melukis pemandangan seperti itu."
flashback off.
Koa mengambil posisi tepat disamping Jingga.
sejak pembicaraan mereka yang pertama kali, Koa dan Jingga menjadi sangat dekat. Menyandang gelar sesama yatim piatu membuat mereka tak sungkan berbagi luka bersama.
"Apa hari ini ia masih membuatmu terluka?"tanya Koa, tanpa mengalihkan pandangannya dari sang Senja.
"Masih! seperti hari hari biasanya," Jingga tersenyum getir seraya meremat kedua tangannya kuat,"Mereka ke pesta bersama, bahkan kemarin aku menemukan fakta mereka menginap dihotel yang sama." lanjut Jingga dengan perasaan yang hancur lebur.
"hahhhh." Hanya helaaan nafas berat yang terdengar keluar dari bibir Koa yang berwarna coklat karena kebiasaan merokoknya.
Penampilan Koa sangat berbanding terbalik dengan Danish yang rapi dan memiliki kulit putih, badan Danish tinggi dan atletis karena memiliki gym dan personal trainer pribadi sedangkan Koa tinggi kurus dengan kulit coklatnya. Meski begitu keduanya dianugrahi paras yang rupawan.
Koa tak pernah bisa memberikan solusi atas permasalahan yang menimpa sang 'sahabat baru' seperti itulah ia menyebut Jingga sekarang.
Sahabat? Bohong jika hati pria itu tak bergetar saat berdekatan dengan seorang wanita yang sangat cantik itu. Wanita yang menyebut dirinya jika sebentar lagi mungkin ia akan menjadi seorang janda. Bahkan sejak pertemuan pertama Koa merasa tertarik kepada Jingga. Tapi ia sadar diri Kasta mereka terlalu jauh.
Koa tak pernah memberi masukan dèngan apa yang terjadi pada rumah tangga Jingga, ia hanya berusaha menjadi pendengar yang baik dan siap menampung segala kesakitan Jingga.
"Saat aku melepas semuanya mungkin kita tidak akan pernah bertemu lagi, aku sudah tak lagi membutuhkan dirimu dan sang Senja untuk mengobati luka hatiku." ujar Jingga, masih dengan senyuman yang penuh luka menganga.
"Kau mau kemana?"
"Entahlah! Mungkin aku akan pergi keujung dunia dan menenangkan diri disana."
"Bodoh!" umpat Koa pelan yang sontak membuat Jingga mengernyitkan dahinya.
"Kau menyiksa dirimu! jangan berkata seperti itu! kau terdengar akan meratap seumur hidup, Memeluk guling sambil menangis setiap malam dan menyebut namanya."
"Lalu aku harus apa?"
"Kau harus bahagia!"
Lagi lagi Jingga tersenyum getir," kau tak tau rasanya dikhianati saat perasaan cinta itu sudah mendarah daging."
"Kau hanya dikhianati pria, sedangkan aku dikhianati takdir. beruntung Tuhan masih menyisakan nyawa dan kemampuan melukisku. Tapi aku masih berusaha untuk bahagia."
Jingga menoleh dan menatap wajah Koa yang masih terlihat begitu tegas meski tengah menceritakan luka masa kelamnya.
tangan mungilnya yang lentik terulur mengusap bulu halus yang tumbuh disekitar wajah lelah itu.
Jingga sudah tahu seluruh anggota keluarga Koa tewas dalam kecelakaan kereta api saat mereka tengah dalam perjalanan untuk menghadiri acara wisuda Koa.
Dua adik perempuan dan kedua oranya tak ada yang selamat dalam peristiwa naas tersebut. Koa Sempat menyalahkan dirinya sendiri namun seiring berjalannya waktu ia bisa menerima segalanya.
"Bapak dan ibuku tak pernah setuju aku mengambil jurusan seni rupa. namun diakhir masa kuliahku mereka begitu bersemangat saat aku dan teman teman mengadakan pameran lukisan, mereka bangga melihat coretan tanganku dikagumi banyak orang, padahal aku hanya mengirimi mereka Video. semuanya begitu bersemangat mengantarkanku menuju gerbang kesuksesan, tapi sayangnya tak ada yang benar benar sampai digerbang. sehingga aku memutuskan untuk menjadi pelukis jalanan. Dulu kufikir menjadi seniman yang karyanya dipajang dikantor kantor pemerintah atau gedung gedung besar adalah sebuah kebahagiaan. tapi kini melihat orang orang tersenyum bahagia dengan hasil karyaku ternyata jauh lebih membuatku bahagia. Itulah caraku membahagiakan diri sendiri sekarang."
"Cari bahagiamu sendiri, jangan terus meratapi kehidupan Jingga."
"Andai aku bisa....." Air mata Jingga meleleh dipipi dan gegas Koa mengusapnya dengan lembut.
"Kau bisa Jingga!"
"Dimana istriku Bik?" Danish akhirnya bertanya pada salah satu ART nya setelah puas mengelilingi rumah besar yang menjadi tempat tinggalnya bersama sang istri tiga tahun ini.
"Ibuk sepertinya keluar mencari angin segar pak." Jawab Bik Asih penuh hormat.
akhir akhir ini nyonya rumahnya itu memang selalu meminta ijin setiap sore untuk mencari angin segar, tepatnya saat Jingga mulai mengetahui mantan kekasih suaminya kembali dekat dengan sang suami.
"Angin segar?" Beo Danish, ia memang tak melihat mobil yang biasa dipakai istrinya digarasi. Padahal biasanya Jingga selalu menyambutnya setiap ia pulang kerja disore hari.
namun beberapa bulan ini ia selalu lembur dan pulang diatas jam sepuluh malam, saat jingga sudah terlelap, sehingga Danish tak tahu jika Jingga tak pernah ada diwaktu sore. Jingga pun tak ambil pusing karena ia yakin Danish sedang bersenang senang dengan kekasihnya.
Danish menghela nafas kemudian beranjak menuju lift, hatinya merasa tak tenang Jingga keluar rumah tanpa seijinnya? Padahal dulu istrinya itu begitu cerewet bahkan hanya untuk sekedar belanja bulanan di swalayan pun ia meminta ijin.
Kenapa ia baru menyadari sekarang? Senyum ceria itu sudah tak pernah lagi memyambutnya dipagi hari. Pakaian kerja dan pakaian tidur sudah sangat jarang disiapkan Jingga.
Apa jangan jangan?
Danish menghantam kuat tembok kamar mandi saat tubuhnya diguyur air dari shower.
Iapun dilanda dilema. Kembalinya sang cinta pertama dan justru bekerja di perusahaannya membuatnya sejenak melupakan sang istri.
Danish tak berbohong, ia masih begitu mengagumi Alea Dinata, wanita dewasa yang usianya sepantaran denganya. 30 tahun!
Gadis yang mencuri hatinya sejak mereka masih duduk dibangku SMA. Sayangnya sang ayah dan Ibu tak pernah merestui pernikahan mereka dengan alasan Sejak kecil ia sudah dijodohkan dengan bayi merah yang baru saja lahir kedunia. Konyol memang tapi keinginan sang pemimpin PT. Bratajaya Milk itu tak bisa diganggu gugat.
Keluarga Danish memang memiliki perusahaan yang menaungi beberapa merk minuman Susu UHT dan Teh dalam Kemasan.
Setelah mandi Danish memeriksa ponselnya, dan tak ada pesan terbaru dari sang istri, pesan terakhir bahkan dikirim dua bulan yang lalu.
Mengapa baru hari ini ia menyadari semuanya?
Danish yang hendak meletakkan ponselnya tiba tiba urung melakukannya. Sebuah pesan masuk dan segera ia buka.
'Besok orang tuaku mengajak makan malam dirumah' sebuah emoticon love mengakhiri pesan tersebut.
Danish salah karena bermain api, kini ia pun bingung harus melakukan apa? ia mencintai Alea namun enggan kehilangan Jingga. Egois memang namun Danish berharap keduanya bisa berjalan selaras.
.
.
.
Matahari nyaris terbenam sempurna saat Jingga dan Koa saling berjalan bersisian menuju tempat parkir. Koa mengambil motor maticnya yang sudah berusia lima tahun sedangkan Jingga menuju mobil HRV keluaran terbaru yang diberikan Danish sebagai hadiah ulang tahunnya lima bulan yang lalu.
Satu menit, dua menit hingga beberapa waktu berlalu Koa menunggu pergerakan mobil berwarna krem itu namun sama sekali tak ada tanda tanda Jingga menjalankan roda empatnya.
karena khawatir Koa berlari kecil menghampiri Jingga yang terlihat berdiri santai disamping mobil.
"Kenapa?" tanya Koa, seraya mengikuti arah pandang Jingga.
"Bannya kempes." keduanya berujar bersamaan.
"Ada Dongkrak? Ban serep? Kunci kunci?" Koa meletakkan tas ransel hitam dari punggungnya. Yang berisi semua peralatan melukisnya. Ia menyuruh Jingga membuka bagasi dengan remot kecil yang sejak tadi digenggamnya.
Jingga menggeleng seraya melakukan apa yang diperintahkan Koa. Tak ada apapun yang disebutkan Koa didalam bagasi, hanya ada dua pasang sepatu olah raga dan sekotak air mineral.
Sejak gadis Jingga memang tak menyukai ada peralatan penting itu dibagasi mobilnya. karena saat bermasalah maka ia akan menelpon pihak bengkel saja untuk menyelesaikan semuanya.
Bodoh memang. tapi itulah Jingga.
Koa mengulum senyumannya sambil menggeleng pelan.
"Aku akan memanggil bengkel dan pulang dengan taxi." jawab Jingga santai.
"Mau aku antar?"Tawar Koa, menunjuk motor maticnya yang terparkir jauh dengan dagu.
Jingga tersenyum nakal lalu mengangguk dengan semangat. Ia hampir lupa rasanya menaiki kendaraan roda dua itu. dulu ia sering naik motor saat kuliah bersama temannya, itupun hanya saat mobil pemberian orang tuanya bermasalah seperti sekarang ini. tentu bukan Jingga yang mengendarainya karena ia sama sekali tak tahu.
Dan begitu lulus ia langsung menyandang gelar nyonya Danish Bratajaya. Meski belum tergolong konglomerat kelas kakap yg memiliki jet pribadi, namun kekayaan Danish sanggup membuatnya tak lagi pernah mengendarai kendaraan roda dua itu. Beberapa mobil lengkap dengan supir disiapkan Danish untuk mengantar istrinya kemana saja.
"Kau punya pacar?" tanya jingga, menatap wajah tampan Koa yang tengah memakaikannya helm.
"Jika aku punya pacar aku tidak akan menawarimu tebengan, aku akan menghargai kekasihku dengan tidak memberikan tumpangan pada wanita lain." jawaban Koa membuat Jingga menelan salivanya.
Ah betapa bahagianya menjadi kekasih pria ini! Batin Jingga.
"Aku fikir kau punya pacar karena memiliki dua helm." Jingga memegang helm bogo dikepalanya.
"Aku baru membelinya untukmu. karena kutahu suatu saat kau membutuhkan tumpanganku." jawab Koa jujur.
"Hah?"
"Sudahlah....ayo naik." tak ingin berlama lama, Koa mulai menjalankan motornya.
Pria itu bahkan tidak kedinginan ditengah angin malam yang menghampiri tubuhnya yang hanya dibalut kaos.
Jingga memejamkan matanya sembari memeluk erat pinggang Koa tanpa disuruh. Takut jatuh membuatnya reflek mencari perlindungan.
"Punggungmu begitu bidang Koa...." gumam Jingga yang masih bisa didengar Koa.
Pria itu bisa merasakan buliran hangat membasahi Kaosnya.
Koa mengurangi kecepatannya.
"Kau bisa berlindung dipunggungku jika ada yang menyakitimu." balas Koa.
"Aku sedang melakukannya." Isakan Lirih Jingga semakin terdengar.
Namun dengan cepat Jingga 80kembali mengusap segala kesedihannya yang baru saja tercurah. Ia ingin menikmati perjalanan panjang malam ini.
"Rumahku Di___" kata kata Jingga terhenti saat Koa justru berbelok dihalaman sebuah bangunan besar yang tidak asing bagi Jingga. Namun ia lupa kapan terakhir kali kesana. Masihkan ia pantas masuk kedalam?
Jingga turun dari motor dan membiarkan Koa kembali membantunya membuka helm. Sementara pandangan wanita itu tak pernah lepas dari bangunan yang begitu terang bagian dalamnya.
"Ayo....." Ajak Koa sembari menggenggam tangan Jingga menuju tempat menyucikan diri.
Jingga menggeleng lemah, ia merasa tidak pantas dengan apa yang kini dikenakannya. Celana kulot sebetis dipadukan kaos lengan pendek ngepas dibadan yang membentuk jelas lekuk tubuh indahnya.
Namun dengan bujukan Koa, Jingga akhirnya masuk dan mengenakan kain putih yang telah disediakan didalam yang nyaris menutup semua tubuhnya.
Ada getaran halus menyapa jiwanya saat dengan perlahan ia mengikuti semua gerakan sholat yang dilakukannya terakhir kali saat masih disekolah dasar.
Jingga telah ditinggal sang ibu sejak usianya masih satu tahun, dan ayahnya tak pernah menikah lagi. Menjabat sebagai Direktur di salah satu perusahaan BUMN membuat ayah Jingga tak pernah punya waktu untuk mengajarkan apapun kepada anak gadisnya itu. yang ia tahu ia sudah pernah mendatangkan guru mengaji untuk mengajarkan tentang agama kepada Jingga. Mengenai kelanjutannya ayah Jingga tak pernah lagi bertanya. Jingga pun masa bodo toh ia tak pernah melihat ayahnya juga melakukan Sholat.
Jingga menangis ditengah sholatnya. Entah mengapa ia kini merasa memiliki tempat untuk mengadukan segalanya.
Bagaimana bisa sudah ia pergi sejauh ini?
Bagaimana mungkin selama ini Jingga lupa jika ia punya tempat untuk kembali. Menceritakan segala sesuatu yang terjadi didalam hidupnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!