Hingar bingar musik yang menghentak mengiringi langkah seorang wanita cantik berambut coklat sepunggung yang sedang sibuk meliuk-liukan tubuhnya, menggoda setiap pria yang ia temui disepanjang jalan menuju lantai disko. Dengan pakaian ketat berwaran hitam sebatas paha, dan wajah cantik yang begitu memikat, wanita itu mampu menarik pria manapun yang ia sukai. Siulan, decakan, dan ajakan untuk menaripun berbondong-bondong datang mengiringi setiap langkahnya, namun tak banyak dari mereka yang benar-benar bisa menaklukan hati sang ratu yang angkuh itu, karena ia tidak benar-benar menyukai apa yang ia lakukan saat ini.
“Hai manis, ingin berkencan denganku? Menghabiskan malam yang begitu panjang ini di ranjang kamarku, hmm?”
“Hai tampan, senang bertemu denganmu malam ini. Tapi.... aku tidak bisa melakukannya denganmu.” Jawab wanita itu angkuh dengan aksen manjanya. Sang pria berjaket hitam itu tampak kecewa, namun ia tidak menyerah begitu saja. Ia tetap akan merayu wanita itu agar ia bersedia menghangatkan ranjangnya malam ini.
“Ayolah, hanya satu malam. Aku tidak akan mengikatmu atau memaksamu untuk menjadi kekasihku. Hanya menjadi teman kencanku malam ini, bagaimana?”
“Maaf, tapi aku tidak bisa. Aku... tidak suka dengan mata coklatmu.”
“Apa? Aku tidak mengerti?” Tanya pria itu setengah berteriak. Suara musik yang semakin keras dan semakin menghentak membuat suara mereka berdua sama-sama tertelan oleh suara bising disekitar mereka.
“Aku tidak suka pria bermata coklat. Apa kau dengar?” Ucap wanita itu setengah berteriak juga. Raut wajahnya yang semula tampak baik-baik saja, perlahan-lahan mulai berubah gusar karena perbuatan pria cerewet pemaksa di depannya. Ia benar-benar tidak suka dengan jenis pria yang terlalu banyak bertanya seperti ini. Ia lebih suka pria dingin pendiam yang misterius, dan memancarkan aura mengintimidasi yang kuat, seperti seorang pria yang saat ini sedang menatapnya dari lantai dua gedung diskotik ini.
“Ada apa dengan pria bermata coklat? Apa kau akan menerima ajakanku untuk berkencan jika aku menggunakan lensa mata berwarna lain? Aku benar-benar ingin mengajakmu berkencan manis.” Goda pria itu. Eden menyentak tangan pria itu dari wajahnya dan menatap mata pria itu tajam dengan wajah fake smilenya.
“Tentu kau bisa mengajakku berkencan, tapi aku tidak suka sesuatu yang palsu. Aku lebih suka sesuatu yang.... hmm... original. Jadi kau bisa mencongkel mata coklatmu terlebihdulu dan menggantinya dengan warna lain sebelum kau mengajakku untuk berkencan. Sampai jumpa tampan.”
Pria itu menganga tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh wanita itu. Hanya karena bola matanya berwarna coklat, ia gagal melakukan kencan dengan wanita seksi itu. Huh, selamanya ia jelas tidak bisa mendapatkan wanita itu karena ia tidak mungkin benar-benar mencongkel mata coklatnya seperti apa yang diminta oleh wanita seksi yang menawan itu.
“Kau gagal bung.” ucap salah seorang pria mencemooh. Pria itu hanya mendengus gusar, lantas berjalan pergi meninggalkan lantai disko itu untuk mencari mangsa yang lain.
Sementara itu, Eden telah berada di tengah-tengah lantai disko untuk mulai menggerakan pinggulnya kesana kemari, sesuai dengan irama menghentak yang sedang dimainkan oleh DJ. Satu persatu teman-temannya pun mulai datang berbondong-bondong sambil merangkul Eden yang sedang asik dengan kegiatan menarinya yang begitu erotis.
“Kau terlihat bersemangat sekali babe, sesuatu terjadi padamu hari ini?” tanya Tiffany sambil merangkul bahu Eden. Wanita cantik itu menghentikan gerakan tarinya seketika, dan langsung memeluk kedua sahabatnya heboh tanpa mempedulikan orang-orang yang masih menatapnya penuh napsu.
“Tebak apa yang kudapatkan hari ini, kontrak baru untuk pemotretan milik brand Gucci dan Jestina. Oh My Gosh, these two make me feel like fucking crazy! Kalian tahu bukan, selama ini aku selalu ingin menjadi model untuk brand mereka, sayangnya si jalang Rossie selalu berhasil mendapatkannya karena ia menggunakan cara licik yang sangat menjijikan.”
“Menjual tubuhnya?” tanya Summer memastikan.
“Yeah, something like that. Malam ini kita harus merayakan keberhasilanku dengan minum sepuasnya, aku akan mentraktir kalian minum.”
“Apa kau yakin Eden? Jam malammu sepertinya akan segera habis.”
Tiffany melirik jam tangannya sekilas dan langsung mengarahkan kedua bola matanya pada seorang pria yang sejak tadi masih sibuk mengintai sang ratu disko malam ini, Eden Morel. Pria itu dengan mata tajamnya terus mengawasi gerak-gerik Eden di lantai disko sambil menyesap martininya dengan gaya aristrokat khasnya yang begitu memikat. Di samping kiri kanannya, duduk dua orang wanita seksi yang sejak tadi terus membelai dadanya untuk memprovokasi. Namun tetap saja kedua mata tajam pria itu hanya terarah pada Eden seorang.
“Persetan dengan jam malam Tiffany, malam ini aku hanya ingin merayakan keberhasilanku sebagai model untuk brand yang paling kuinginkan.”
Eden lantas menarik kedua temannya
untuk menari bersama di lantai disko sambil menggoda pria-pria tampan yang sejak tadi telah menatap mereka dengan tatapan kelaparan, terutama padanya karena ia adalah wanita yang paling diinginkan untuk menjadi teman kencan mereka, namun tak pernah ada satupun dari mereka yang berhasil mendapatkannya. Wanita itu, ia misterius. Ia sering terlihat berada di dalam club bersama kedua temannya, Tiffany dan Summer, namun wanita itu sangat sulit untuk ditaklukan. Berbagai pria dari strata rendah hingga tinggi selalu berlomba-lomba untuk menaklukan Eden, bahkan dengan cara-cara kotor sekalipun, namun Eden tetap tidak bisa dijangkau. Wanita itu selalu dilindungi oleh bayang-bayang hitam sang penguasa dunia malam, Aciel Lutherford. Jadi tak pernah ada satupun pria yang benar-benar bisa mengajak Eden berkencan. Selain karena Eden memiliki kualifikasi yang sangat tinggi, pria-pria yang berani mendekati Eden akan mendapatkan ancaman yang mengerikan dari Aciel. Meskipun begitu, Eden tetap saja gemar menggoda pria-pria kelaparan itu dengan tubuh seksinya. Ia berpura-pura seperti seorang jalang yang membutuhkan teman kencan di klub, namun pada akhirnya ia hanya akan mencampakan mereka dengan sadis, terutama pria-pria dengan bola mata berwarna coklat.
“Saatnya pulang, seret dia sekarang juga.”
Aciel berbisik tegas pada dua anak buahnya dan segera beranjak dari kursinya. Dengan langkah tegas ia berjalan meninggalkan gedung klub malam itu bersama dua wanita seksi yang sejak tadi masih terus menggelayuti kedua lengan kekarnya dengan manja. Ia lantas menunggu di dalam mobil limosinnya sambil menyesap sebatang cerutu yang asapnya telah membumbung tinggi di dalam mobil. Malam ini ia merasa kesal dengan wanita itu. Seenaknya saja ia memamerkan tubuh indahnya pada semua orang dan menggoda mereka dengan gaya nakalnya. Eden memang wanita paling cantik yang pernah ia ketahui, dan beruntung ia telah memiliki wanita itu untuk dirinya sendiri. Sayang, ia lebih suka Edennya yang dulu. Edennya yang polos dan penuh kelembutan, yang selalu menatapnya dengan kedua mata bulatnya yang indah. Harta dan pergaulan telah merubah Eden menjadi wanita yang tak terkontrol. Entah apa yang telah ia lewatkan selama ini, tiba-tiba saja Eden telah menjadi seorang
wanita yang berbeda. Tepatnya satu setengah tahun yang lalu Eden mulai menjadi pribadi yang sangat bertolak belakang dengan pribadinya yang dulu. Mungkin ini memang salahnya karena selama ini ia selalu membiarkan Eden bersikap sesuka hatinya. Ia tidak pernah memperhatikan siapa saja teman bergaul Eden hingga pada akhirnya Eden berakhir seperti seorang jalang yang gemar menggoda pria-pria di klub malam.
“Sialan! Kenapa kau mengganggu kesenanganku Aciel!” maki Eden keras dari ujung pintu. Wanita itu terlihat gusar dan langsung memberikan tatapan tajamnya pada dua orang wanita yang masih setia menjadi parasit dikedua lengan Aciel. Dengan kasar Eden menarik mereka semua keluar dan segera membanting pintu mobil Aciel keras untuk menyalurkan seluruh amarahnya pada pria menyebalkan di sampingnya.
“Saatnya pulang.” jawab Aciel datar. Ia melirik Eden sekilas dan segera meminta supirnya untuk pergi menuju ke kediamannya.
“Kenapa kau selalu membatasi ruang gerakku? Aku ingin bebas, aku ingin bersenang-senang dengan Tiffany dan Summer. Selama ini aku juga tidak pernah mengusik kesenanganmu. Kau bebas pergi dengan
wanita manapun di luar sana. Kau bebas! Tapi kenapa kau selalu mengekangku hah?” Marah Eden berapi-api. Ia kesal dengan sikap Aciel yang selalu menarik ulurnya seperti ini. Di satu sisi pria itu melindunginya, namun di sisi lain pria itu juga membiarkannya bersikap sesuka hatinya. Sesekali ia ingin bebas, tanpa ada Aciel yang selalu menjadi bayang-bayang hitamnya.
“Aku tidak pernah mengajaraimu untuk bersikap tidak sopan, panggil aku...”
“Kakak? Kau bahkan tidak mengadopsiku untuk menjadi adikmu, lalu untuk apa aku memanggilmu kakak? Kau seharusnya menjadi ayahku.”
Aciel mengetatkan rahangnya jengkel dan tiba-tiba tangan kanannya telah menarik tangan kiri Eden agar wanita itu merapat pada tubuhnya. Sudah cukup ia menahan kesabarannya untuk wanita itu malam ini. Dan sekarang tak akan ada ampun lagi untuk Eden Morel.
“Kau masih ingin aku menjadi ayahmu setelah apa yang terjadi selama ini, hmm?” tanya Aciel penuh penekanan. Eden memalingkan wajahnya kearah lain dan tampak malas untuk menatap wajah Aciel. Ia sangat benci dengan kedua mata Aciel yang selalu memancarkan warna coklat yang sangat dibencinya. Aciel Lutherford adalah pria dengan bola mata berwarna coklat pertama yang dibenci Eden. Karena pria itu, ia sekarang sangat membenci semua pria dengan bola mata berwarna coklat!
“Lihat aku, aku tidak suka diabaikan!”
“Kenapa kau selalu memperlakukanku seperti ini? Seharusnya kau tidak perlu mengadopsiku karena kau tidak pernah bersikap baik padaku. Kau brengsek!” Teriak Eden marah tepat di depan wajah Aciel. Dengan kasar Aciel melepaskan cengkeraman tangannya dari lengan Eden dan membiarkan wanita itu beringsut menjauh darinya. Eden memang telah berubah. Dulu mungkin wanita itu masih bisa bersikap baik padanya, menghargainya sebagai seseorang yang mengadopsinya dari panti asuhan, dan menganggapnya sebagai seorang kakak yang baik, meskipun ia sebenarnya lebih pantas untuk menjadi ayahnya.
Flashback
Saat itu bulan November ketika Aciel untuk kali pertama menginjakan kakinya di sebuah panti asuhan yang berada di pinggiran kota. Bangunan sederhanan dengan warna putih lusuh itu terlihat berdiri kokoh dengan anak-anak yang sedang berlarian kesana kemari sambil tertawa terbahak-bahak dengan lepas. Aciel cukup lama memperhatikan semua kegiatan itu hingga tiba-tiba asistennya telah berdiri di sampingnya sambil menunjuk seorang gadis kecil yang selama ini telah dicarinya.
“Itu anak dari Brexton.”
“Sudah berapa lama ia berada di sini?” Tanya Aciel datar. Ia sejujurnya sangat malas berurusan dengan seorang anak kecil. Lebih tepatnya seorang anak kecil yang sedang beranjak menuju fase remaja. Anak itu sekarang berusia empat belas tahun, memang tidak terlalu terlihat seperti anak-anak. Tapi tetap saja Aciel menganggapnya sebagai anak-anak, mengingat usianya yang telah menginjak tiga puluh tahun saat ini.
“Kira-kira empat tahun. Sejak ayahnya meninggal karena insiden itu, ia langsung dimasukan kedalam panti asuhan ini oleh pihak kepolisian. Anak itu sama sekali tidak memiliki keluarga, sehingga polisi memutuskan untuk membawa anak itu ke sini. Tuan, apa anda yakin akan mengadopsi gadis kecil itu?”
Aciel terdiam sejenak. Memikirkan jawaban untuk pertanyaan yang diajukan oleh asistennya. Ia sebenarnya tidak suka jika harus berurusan dengan anak kecil. Terlalu repot dan menyusahkan, namun ia telah berjanji pada ayah gadis kecil itu jika ia akan menjaga putrinya setelah pria itu meninggal. Jadi apapun alasannya, janji tetap harus ditepati. Meskipun ia brengsek, tapi ia selalu menepati janjinya dengan baik.
“Ayo kita masuk.”
Tanpa menghiraukan pertanyaan dari asistennya, Aciel segera melangkah masuk kedalam bangunan panti. Kesan pertama yang ditangkap Aciel dari panti asuhan itu adalah berisik, ramai, dan sesak. Bangunan panti itu ternyata tidak sebesar yang ia kira. Saat ia masuk ke dalam, ia bisa melihat betapa kecilnya bangunan panti itu dengan puluhan anak-anak panti yang malang. Tak bisa ia bayangkan bagaimana kehidupan mereka selama ini. Sudah pasti mereka hidup dengan kehidupan yang sangat seadanya di sana.
“Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?” seorang wanita paruh baya yang merupakan pengurus panti menyapa Aciel dengan ramah sambil mempersilahkan Aciel untuk duduk di atas kursi kayu yang terlihat lapuk. Wanita itu kira-kira berusia akhir lima puluhan dengan beberapa rambut putih yang terlihat menghiasi kepalanya. Namun aura keibuan yang dipancarkan oleh wanita itu mampu menentramkan siapapun yang melihat senyum bijaknya, termasuk Aciel.
“Aku ingin mengadopsi salah satu anak di sini.” ucap Aciel langsung. Pria itu benar-benar tidak suka berbasa basi dan hanya ingin segera menyelesaikan urusannya untuk menepati janjinya pada Brexton. Ia sebenarnya sudah lama menunda hal ini, kira-kira empat tahun. Ia telah menunda hal ini selama empat tahun karena rasa malas yang terus menggelayutinya sejak dulu. Lagipula ia sendiri adalah seorang pria yang bebas. Mengadopsi seorang anak perempuan sebenarnya sangat tidak cocok untuknya. Terlebih lagi selama ini ia tidak pernah merasakan bagaimana kasih sayang seorang ibu. Ibunya meninggal saat ia masih anak-anak, dan sang ayah adalah seorang yang sangat diktaktor ketika mendidiknya, sehingga ia sekarang tumbuh menjadi pria arogan yang berhati keras, sama seperti ayahnya. Dan sudah sejak lama ia tinggal sendiri. Ia memutuskan untuk meninggalkan rumah utama dan menjalankan bisnisnya sendiri sejak sepuluh tahun yang lalu. Ia bosan tinggal
satu atap dengan ayahnya yang keras. Terkadang mereka terlibat adu argumen yang sangat panjang karena mereka sama-sama memiliki sifat keras kepala yang sangat merepotkan.
“Benarkah? Saya sangat senang mendengarnya. Sudah lama tidak ada keluarga yang datang untuk mengadopsi anak di panti asuhan ini. Mungkin karena letaknya yang berada di pinggir kota, sehingga panti asuhan ini sulit untuk ditemukan. Jika anda ingin mengadopsi salah satu anak di panti asuhan ini, saya akan menyiapkan mereka sebentar agar anda lebih mudah untuk memilihnya.” wanita itu hendak beranjak dari duduknya untuk memanggil seluruh anak-anak asuhnya yang sedang asik bermain di halaman panti. Namun Aciel langsung mencegah wanita itu melakukannya sambil menyebutkan nama sang anak panti yang akan diadopsinya hari ini.
“Tidak perlu, aku ingin mengadopsi Eden Morel.”
Wanita itu mengerutkan keningnya sekilas dan ia kembali duduk di kursinya sambil menatap penuh tanya pada Aciel.
“Gadis itu adalah putri dari rekan kerjaku, sebelum meninggal aku berjanji untuk merawatnya. Namun karena ada beberapa masalah, hal itu menjadi sedikit tertunda.” jawab Aciel dengan wajah datar tanpa ekspresi. Sekilas wanita itu tampak ragu dengan cerita Aciel. Tapi pada akhirnya ia memilih untuk percaya dan memerintahkan salah satu anak yang lewat untuk memanggil Eden. Gadis kecil itu harus bertemu dengan ayah angkatnya sebelum ia nantinya dibawa pergi oleh pria tampan yang terlihat angkuh itu.
“Ibu memanggilku?”
Seorang gadis belia dengan rambut panjang sepunggung tiba-tiba muncul di ambang pintu sambil menunjukan wajah bingungnya. Sekilas Aciel seperti sedang bertatapan dengan sahabat lamanya yang
sudah lama pergi, namun dalam versi mini. Ia seperti baru saja melihat gadis itu meraung-raung di depan peti mati ayahnya sambil menendang siapapun yang berusaha untuk menghalaunya pergi dari sana, namun sekarang gadis itu telah tumbuh menjadi seorang gadis belia yang begitu manis dan juga polos di depannya.
“Masuklah Eden, ada seseorang yang ingin mengadopsimu.”
Mendengar hal itu Eden langsung terlihat berbinar-binar, dan dengan sopan ia membungkuk hormat pada Aciel. Ia sudah lama berharap mendapatkan keluarga baru karena kehidupannya di panti bisa dibilang pas-pasan dan sangat sederhana untuk gadis seusianya. Di sekolah ia sering melihat teman-temannya yang hidup berkecukupan karena orang tua mereka selalu memberikan apa yang mereka inginkan. Sedangkan dirinya selama ini harus menahan semua keinginan itu karena ia sadar jika ia tidak mungkin bisa mendapatkannya. Panti asuhan tempatnya tinggal memiliki cukup banyak anak-anak kurang beruntung sepertinya, sehingga uang yang dimiliki oleh panti pasti selalu habis untuk biaya kehidupan mereka sehari-hari. Sedangkan untuk sekolah, mereka mendapatkan keringanan dari pemerintah setempat yang merasa iba pada nasib malang mereka.
“Selamat siang tuan.”
Eden tersenyum manis kearah Aciel dan langsung menghampiri ibu panti yang telah melambaikan tangan kearahnya. Gadis kecil itu terlihat begitu bahagia dengan kabar gembira yang baru saja diterimanya dari ibu panti. Apalagi melihat bagaimana penampilan Aciel yang sangat rapi dan menunjukan kesan sebagai orang kaya, membuat Eden semakin tidak sabar untuk menjadi salah satu anggota keluarga dari pria itu.
“Ini adalah tuan Aciel Lutherford dan asistennya, tuan Aciel hari ini ingin mengadopsimu.”
“Benarkah? Tuan terimakasih, terimakasih banyak atas kebaikan hati tuan.”
Aciel menatap datar senyuman manis yang terlihat tulus itu. Namun dalam hatinya ia merasa senang dan tenteram secara bersamaan karena senyuman manis itu. Gadi yang manis, semoga kau tidak akan pernah kehilangan senyuman manis itu....
Flashback end
Brakk
Aciel berjengit kaget ketika suara bantingan terdengar begitu keras di dekatnya dan membuatnya kembali lagi ke realitasnya yang suram. Pria itu menatap tajam kepergian Eden dari mobilnya sambil membayangkan bagaimana dulu wanita angkuh itu saat bertemu dengannya pertama kali. Waktu telah mengubah segalanya. Semua kepolosan gadis kecil itu telah bertransformasi menjadi sebuah keangkuhan khas wanita kelas atas yang penuh dengan gelimang harta. Mungkin semua ini memang salahnya karena tidak pernah memperhatikan Eden selama ini hingga pada akhirnya gadis polos itu berubah menjadi seorang wanita dewasa yang jauh dari kata polos.
-00-
Siang hari yang panas itu, Eden terlihat sedang berpose di sebuah kolam renang dengan bikini seksi berwarna merah menyala yang sangat kontras dengan kulit putihnya yang bersih. Sambil berpose seksi, kilatan blits itu terus menghujani Eden hingga pada akhirnya sesi pemotretan itu berakhir dengan lancar.
“Terimakasih atas kerja kerasmu Eden.”
Eden mengangguk sekilas pada sang fotografer dan langsung menghampiri asistennya untuk meminta bathdrobe. Ia merasa benar-benar terbakar siang ini karena cuaca panas yang melanda Las Vegas. Kulit putihnya yang tampak bersinar itu perlahan-lahan berubah menjadi kemerahan karena ia terlalu lama terpapar oleh sinar matahari.
“Eden, Tranz mencarimu.”
“Tranz? Dimana?”
Eden terlihat berbinar-binar ketika seorang pria tampan sedang melambaikan tangan kearahnya dari kejauhan. Dengan semangat Eden langsung menghampiri pria itu dan memeluknya.
“Tranz, kau lama tidak menemuiku. Aku merindukanmu.” Rengek Eden manja. Wanita itu langsung bergelung kedalam pelukan Tranz dan mengabaikan tatapan orang-orang yang terlihat jijik dengan sikapnya.
“Maafkan aku sayang, aku terlalu banyak pekerjaan di luar negeri. Wow... konsep pemotretanmu hari ini sangat seksi.” Goda Tranz nakal. Ia sengaja menepuk pantat Eden pelan sebelum melepaskan pelukan wanita itu dari lehernya.
“Ini spesial untuk edisi musim panas. Tranz hari ini kita harus bersenang-senang di klub karena aku baru saja mendapatkan kontrak pemotretan untuk brand Gucci dan Jestina.”
“Wah.. selamat untuk keberhasilanmu sayang, aku selalu bangga padamu.”
Tranz mengecup sekilas bibir Eden dan membiarkan wanita cantik itu berjalan menjauh untuk mengganti pakainnya. Sudah lama ia menjalin persahabatan dengan Eden. Dulu ia yang pertama kali menawari Eden untuk menjadi model karena ia melihat wanita itu memiliki bakat. Pertemun pertama mereka terjadi saat Eden berada di tahun pertama masa perkuliahannya. Saat itu ia menjadi senior pembimbing Eden untuk tugas pertama sebagai mahasiswa baru di kampus. Awalnya Eden adalah gadis polos yang sangat ceria dan memiliki banyak teman. Saat itu Eden adalah mahasiswa baru yang paling banyak dibicarakan karena kecantikan dan kebaikan yang dimilikinya. Setelah itu ia berkali-kali menawari Eden untuk mengikuti sebuah casting pencarian model, namun berkali-kali pula ia mendapatkan penolakan karena Eden yang dulu tidak seperti Edennya saat ini. Eden yang dulu begitu polos dan penurut. Ia setiap hari selalu pergi ke kampus diantar oleh seorang supir pribadi, dan pulang dengan supir pribadi yang sama. Siklus pulang dan perginya di kampus juga selalu sama. Tidak pernah ia melihat Eden masih berkeliaran di kampus lebih dari jam pulang kampus. Wanita itu selalu pulang tepat waktu sesuai jadwal kuliahnya dan sangat jarang sekali mengikuti kegiatan di kampus. Ia hanya pernah melihat Eden sekali mengikuti klub voli di kampusnya, namun di minggu ke dua ia tidak lagi melihat wanita itu di sana. Alasannya karena waktu selesai klub voli selalu lebih lama dua jam dari waktu jam kuliahnya, sehingga ia tidak bisa melanjutkan kegiatannya untuk mengikuti klub voli. Pernah suatu ketika ia mendekati Eden, bertanya secara lebih pribadi kepada wanita itu, mengapa ia selalu pulang tepat waktu dan jarang mengikuti kegiatan di luar jam kampus. Saat itu Eden menjawab jika ayah angkatnya tidak suka melihatnya pulang terlambat dari waktu yang seharusnya. Lalu saat ia diam-diam mengikuti Eden pulang ke rumahnya untuk melihat bagaimana sosok ayah menakutkan yang selama ini diceritakan oleh Eden, ia justru merasa terkejut. Ia benar-benar tidak percaya jika ayah angkat Eden masih terlihat sangat muda. Pria itu justru lebih cocok menjadi kakak Eden atau kekasih Eden karena usia mereka yang tak jauh berbeda. Setelah itu ia tidak mau lagi ikut campur dengan urusan Eden dan hubungan mereka menjadi sedikit renggang. Ia yang sudah bosan menawari Eden pekerjaan sebagai model, memilih untuk fokus pada masa studinya
yang sebentar lagi akan berakhir. Namun tiba-tiba, di suatu siang yang terik, Eden mendatanginya dengan mata sembab. Wanita itu meminta padanya untuk menjadikannya sebagai seorang model. Sayangnya Eden tidak mau memberitahu penyebab dari kesedihannya dan hanya memohon-mohon untuk dijadikan sebagai model, sehingga pada akhirnya ia hanya menuruti permintaan wanita itu tanpa pernah bertanya lagi apa masalah yang saat itu sedang menimpa Eden. Hingga detik inipun ia tidak pernah lagi membahas masalah itu di depan Eden. Hanya saja ia menjadi heran dengan perubahan sikap Eden setelah wanita itu memohon-mohon untuk dijadikan super model. Eden tidak pernah lagi terlihat polos. Setiap hari ia selalu datang ke kampus dengan pakaian seksi dan menjadi bahan pembicaraan seisi kampus. Gaya bergaulnya pun dari ke hari juga mengalami perubahan. Eden kemudian bertemu dengan Summer dan Tiffany yang dulunya merupakan salah satu dari sekian banyak mahasiswi populer di kampus. Dan untung saja dua wanita itu mau menerima Eden apa adanya. Ia sempat khawatir jika Tiffany dan Summer hanya akan memanfaatkan Eden belaka. Tapi syukurlah, ternyata mereka berdua mampu
menjalin persahabatan lebih lama dari apa yang ia duga sebelumnya. Setidaknya Summer dan Tiffany dapat menemani hari-hari Eden yang membosankan, dan mengajari Eden bagaimana menjadi wanita yang sesungguhnya.
“Ayo Tranz, kau melamun?” Tanya Eden sambil merangkul bahu Tranz santai. Di belakangnya, Jimin sedang membawakan tas Eden dan beberapa barang Eden yang lain dengan kesusahan. Pria yang telah
menjadi asisten Eden selama dua setengah tahun itu tampak ingin buru-buru pergi menuju mobil milik Eden yang telah terparkir di depan gedung majalah Allure. Sayangnya sang majikan ternyata masih ingin bersantai bersama Tranz sambil mengobrolkan berbagai hal yang sebenarnya tidak terlalu penting.
“Tidak juga, hanya memikirkan wanita cantik yang kutemui di Puerto Rico.”
“Ck, berapa banyak wanita yang kau kencani selama di sana? Kau pasti sibuk menggoda wanita-wanita seksi di sana hingga melupakanku di sini.” Sungut Eden berpura-pura marah. Tranz meringis kecil menanggapi racaun Eden, lantas ia merangkul bahu wanita itu agar berbelok menuju mobilnya.
“Katakan pada ayah angkat Eden jika putri kecilnya aku pinjam sebentar malam ini.” Teriak Tranz pada Jimin dari pintu mobilnya. Pria berwajah imut itu tampak keberatan dan ingin mencegah Eden untuk masuk kedalam mobil Tranz, namun terlambat. Eden sudah terlebihdulu masuk kedalam mobil Tranz dan membanting pintu mobilnya keras-keras, tanda ia tidak ingin dicegah.
“Apa ayah angkatmu akan baik-baik saja jika aku membawamu pergi?”
“Anggap saja seperti itu. Bukankah ia memang pemarah. Ada atau tidaknya diriku di rumah besar itu, ia akan tetap marah pada siapapun. Jadi biarkan saja, sesekali Jimin mungkin memang perlu syok terapi.” Jawab Eden acuh tak acuh. Wanita itu benar-benar tidak mau terlalu pusing dengan nasib Jimin karena ia yakin Aciel pasti tidak akan sampai membunuh Jimin. Hanya sedikit bentakan kasar dan umpatan, itu tidak akan membuat nyawa Jimin melayang.
“Ceritakan padaku apa yang terjadi padamu selama aku berada di luar negeri, kau masih menjalin hubungan dengan Andrew, Tony, Dannis, Cooper, Leo, dan... siapa lagi kekasihmu? Otakku sepertinya sudah
tidak sanggup untuk mengingat nama-nama kekasihmu yang segudang itu.” Keluh Tranz berlebihan. Eden tertawa terbahak-bahak menertawakan tingkah konyol Tranz dan sedikit menambahkan nama beberapa pria yang menjadi teman kencannya minggu ini.
“Aku baru saja menambahkan beberapa koleksi priaku, lima hari yang lalu aku mendapatkan Changmin, empat hari yang lalu aku mendapatkan Bryan Fox, dan kemarin aku mendapatkan Prixton.”
“Dan mereka semua tidak memiliki bola mata berwarna coklat?”
“Tepat sekali! Aku tidak akan pernah sudi memiliki kekasih dengan bola mata coklat. Tapi... sebenarnya mereka semua juga bukan kekasihku, mereka hanyalah mainanku. Kau tahu, rasanya benar-benar menyenangkan saat bisa mempermainkan hati banyak pria.” Ucap Eden terbahak-bahak. Tranz menggelengkan kepalanya tak habis pikir sambil tetap berkonsentrasi pada setir kemudinya. Ia tidak tahu masalah apa yang bisa membuat Eden segila ini, tapi wanita itu selalu saja menghindari pria-pria bermata coklat. Sungguh itu alasan yang sangat konyol. Tapi seperti itulah Eden, ia tidak pernah memberikan alasan yang logis terkait prinsipnya yang aneh itu, namun ia pikir semua itu masih berkaitan dengan masalah yang dimiliki Eden tiga tahun yang lalu.
“Kau jahat, bagaimana jika mereka tahu dan ingin membalasmu?”
“Huh, tentu saja aku akan meminta Aciel untuk menangani mereka, bukankah ia ayahku.” Jawab Eden santai. Wanita itu benar-benar tidak peduli lagi pada hidupnya sejak pria bermata coklat itu merusak semua kepolosannya. Dalam kurun waktu satu tahun, pria itu berhasil membuat Eden menjadi seorang wanita yang berbeda. Wanita yang kehilangan semua kepolosannya, lalu berganti dengan kelicikan yang selalu terpancar dari mata bulatnya.
-00-
Aciel memijit pelipisnya lelah. Hari ini pekerjaanya di kantor begitu menguras emosi. Belum lagi ia mendapatkan laporan dari Jimin jika hari ini Eden pergi bersenang-senang bersama Tranz. Gadis kecilnya yang polos memang telah berubah. Ia tidak pernah tahu apa yang menyebabkan Eden berubah menjadi seperti itu. Yang jelas keacuhannyalah yang membuat Eden pada akhirnya berubah menjadi seorang wanita pesolek yang angkuh.
“Tuan, nona Eden sudah pulang.”
Aciel melirik jam tangannya sekilas, lalu menggeram kesal setelahnya. Ini sudah pukul satu dini hari, dan wanita itu baru pulang ke rumahnya setelah menghabiskan hampir seluruh harinya di luar rumah. Ia sepertinya harus memberikan Eden pelajaran. Kebebasan yang selama ini diberikannya seharusnya tidak disalahartikan oleh wanita itu.
“Ya ampun Tony, jangan menggodaku seperti itu. Kau membuatku ingin segera memakanmu di sini.”
Aciel melirik sinis kearah ruang keluarganya yang berisi Eden dan seorang pria yang sama sekali tak dikenalnya. Pria itu pasti salah satu mainan Eden untuk hari ini. Dengan langkah terburu-buru Aciel segera turun dari lantai dua dan berjalan lebar-lebar menuju ke ruang keluarga untuk memberikan pelajaran pada pria lancang itu. Seenaknya saja ia menginjakan kakinya di rumahnya. Meskipun hal itu terjadi karena Eden, tapi ia tetap tidak akan mengampuni pria itu. Pria itu harus segera pergi dari rumah ini atau ia akan mati di tangannya.
“Siapa yang mengijinkanmu membawa pria asing ke rumahku?”
“Oh, hai ayah... maaf mengusik ketenanganmu malam ini. Kenalkan, ini Antony , kekasihku.” ucap Eden acuh tak acuh. Tak ada sedikitpun emosi yang terpancar di wajah Eden. Wanita itu hanya menunjukan wajah datarnya kearah Aciel, lalu ia kembali asyik bercengkrama dengan Tony yang terlihat setengah mabuk.
“Suruh pria sialan ini pergi Eden, atau ia akan berakhir mengenaskan di tangan mereka.”
Aciel menggeram kesal sambil mengarahkan tatapan matanya pada segerombolan tukang pukulnya yang sudah siap di ujung pintu. Mereka semua hanya tinggal menunggu perintah dari bos besar mereka, dan dalam sekejap wajah tampan Tony akan berubah menjadi buruk rupa, penuh luka lebam.
“Huh, kau benar-benar curang. Kau bebas membawa masuk jalang manapun kedalam rumahmu, sedangkan aku harus selalu menuruti kemauanmu. Kau tidak adil!”
Eden lantas berlalu begitu saja dari hadapan Aciel tanpa menghiraukan Tony yang terus meneriaki namanya. Aciel kemudian segera menyuruh dua anak buahnya untuk menyeret Tony keluar dari rumahnya karena ia benar-benar muak melihat pria menjijikan itu di dalam rumahnya. Beruntung pria itu malam ini tidak menjadi objek kemarahannya seperti pria-pria lain yang beberapa kali terlihat menempel pada Edennya.
-00-
“Keluar dari kamarku!” usir Eden keras ketika ia melihat Aciel justru mengekorinya masuk kedalam kamar. Pria itu dengan baju tidur sutra yang melekat di tubuhnya, tampak begitu angkuh dan berbahaya disaat yang bersamaan. Setiap kali ia melihat Eden bersama pria-pria sialan di luar sana, emosinya selalu meluap-luap tak terkendali. Ia hanya ingin memiliki Eden untuk dirinya sendiri. Namun apa yang dikatakan Eden benar, ia adalah pria yang curang.
“Darimana saja kau hari ini?”
“Bukan urusanmu! Ini adalah hidupku, jadi kau tidak perlu mengaturku Aciel.”
Eden menyahut sengit pertanyaan Aciel
sambil mengobrak abrik lemarinya untuk mencari pakaian tidur yang nyaman untuk ia kenakan malam ini. Setelah menemukan baju tidur yang pas, Eden segera
melepaskan celana hot pantsnya yang ketat dan membuang asal tank top hitamnya ke atas lantai. Tanpa menghiraukan keberadaan Aciel di dalam kamarnya, Eden segera menggunakan piyama tidurnya yang tipis dan segera berjalan menuju ranjangnya untuk tidur. Hari ini ia terlalu banyak menggunakan energinya untuk bersenang-senang bersama teman-temannya di klub. Sekarang ia merasa ranjangnya yang empuk itu tengah memanggil-manggilnya untuk mendekat dan segera merebahkan tubuh lelahnya di atas permukaan ranjangnya yang empuk.
“Jangan harap kau bisa lepas dari genggamanku malam ini Eden.”
“Apa? Kau ingin seks lagi? Apa kemarin malam belum cukup?”
“Bukankah kau tahu jika aku tidak pernah puas pada tubuhmu yang menggoda?”
Aciel mengamati tubuh seksi Eden lekat-lekat dibalik gaun tidur tipisnyang yang sangat menggoda malam ini. Eden dari ke hari memang selalu menggairahkan. Ia terkadang menyesali kebodohannya dulu, mengapa ia tidak pernah menyadari adanya aset yang begitu besar dari dalam diri Eden. Lebih dari enam tahun ia hanya membiarkan Eden berkeliarandisekitarnya tanpa pernah memperhatikan wanita itu. Dan setelah enam tahun berlalu, barulah ia sadar jika Eden adalah seorang wanita yang sangat cantik dan juga seksi. Wanita itu selalu bisa memuaskannya di atas ranjang hingga ia tidak lagi bergairah dengan wanita manapun di luar sana. Sayangnya Eden terkadang memilih untuk bermain-main dengan pria-pria menjijikan di luar sana daripada melayaninya di rumah dengan nyaman.
“Aku hanya ingin tidur malam ini Aciel, jangan sentuh aku.” Ucap Eden malas sambil mendorong sejauh-jauhnya tubuh Aciel dari hadapannya. Namun bukannya terdorong menjauhi Eden, Aciel justru dengan mudahnya mendorong Eden ke belakang hingga wanita itu kini telah terbaring kesal di atas ranjangnya.
“Aku membencimu!”
“Aku tahu, tapi aku lebih menyukai tubuhmu.”
Eden mendengus kesal dan langsung memalingkan wajahnya ke arah lain ketika Aciel mulai mengecupi seluruh wajahnya dengan kecupan-kecupan basah yang menggelikan untuknya.
“Ahh... kau menjijikan Aciel.” Desah Eden disela-sela kemarahannya. Entah kenapa ia tidak pernah bisa benar-benar lepas dari cengkeraman Aciel. Pria itu selalu saja memenangkan tubuhnya, dan dulu mungkin juga memenangkan hatinya. Tapi sekarang ia telah mematikan seluruh perasaanya untuk Aciel, karena pria itu sampai kapanpun tidak akan pernah pantas mendapatkan cinta tulus darinya. Terlalu sakit mencintai seorang Aciel Lutherford yang notabenenya adalah ayah angkatnya sendiri. Dan mungkin ini memang karma dari Tuhan untuknya karena dulu ia pernah memberikan perasaan laknat untuk pria brengsek seperti Aciel.
“Kau sudah minum pil kontrasepsimu?”
“Hmm, aku tidak mungkin betingkah bodoh dengan membiarkan benihmu berada di rahimku.”
“Bagus, karena aku tidak pernah suka menggunakan pengaman saat bersamamu.”
Setelah itu Aciel langsung menerjang tubuh Eden tanpa ampun dan ia tidak sedikitpun membiarkan Eden tidur malam ini, karena ia akan membuat wanita itu terus menggila di bawahnya dengan desahan seksi yang tidak akan pernah berhenti menghiasi suasana kamar Eden yang sunyi malam ini.
“Eden, kau benar-benar akan pergi?”
Eden menoleh sekilas kearah gadis kecil di sebelahnya sambil memasukan barang-barangnya yang sedikit kedalam tas jinjingnya yang kecil.
“Pria baik hati itu telah mengadopsiku Sasha, jadi aku harus pergi.”
Eden terlihat berjalan kesana kemari untuk memasukan beberapa barang-barangnya yang masih tertinggal di dalam kamarnya. Semua barang itu adalah satu-satunya barang berharga miliknya yang dulu pernah diberikan oleh orang tuanya. Sayang, kecelakaan itu telah merenggut ayahnya, sehingga selama beberapa tahun ini ia harus merasakan sulitnya tinggal di panti asuhan. Terkadang ia merasa marah pada Tuhan karena Ia dengan teganya mengambil seluruh kebahagiaanya dan juga satu-satunya keluarga yang ia miliki. Saat ia berusia dua tahun ibunya pergi bersama pria lain yang sama sekali tidak dikenalnya. Ayahnya selama ini selalu berkata jujur padanya jika sang ibu memang telah meninggalkan mereka untuk pria lain. Dan untung saja gadis seusianya telah mengerti akan hal itu, sehingga ia tidak pernah lagi mengungkit-ungkit mengenai ibunya di depan ayahnya. Hanya saja ia juga terkadang ingin merasakan bagaimana kasih sayang keluarga lengkap. Ibunya pergi disaat ia belum bisa merasakan apa itu kasih sayang, dan saat ia duduk di bangku sekolah dasar, ia mulai merasa iri pada teman-temannya yang memiliki keluarga lengkap. Kemudian kemalangan mulai menimpanya lagi. Di suatu malam yang mencekam polisi tiba-tiba mendatangi rumahnya dan mengatakan jika ayahnya telah meninggal. Saat itu ia bagaikan disengat oleh ribuan volt listrik, seluruh tubuhnya terasa kaku dan ia tidak bisa melakukan apapun selain menangis di dalam pelukan bibi Claire, asisten rumah tangganya yang selama ini selalu ada untuk menemaninya di rumah. Sayangnya setelah ayahnya meninggal ia tidak bisa ikut bibi Claire pulang ke kampung halamannya. Polisi justru memasukannya kedalam sebuah panti asuhan kecil yang berada di pinggir kota. Sempat terbersit dibenaknya jika polisi-polisi itu berniat untuk membuangnya. Namun pada akhirnya ia mencoba menerima seluruh nasibnya dan beradaptasi dengan lingkungan barunya yang keras.
Empat tahun berada di panti asuhan, membuat Eden merasa hidupnya benar-benar berat. Setiap ia menginginkan sesuatu, ia tidak bisa langsung mendapatkannya seperti dulu. Ia harus menahan keinginan itu berbulan-bulan lamanya hingga datang seorang donatur baik hati yang akan menyumbangkan sedikit uang mereka untuk kehidupan anak-anak panti. Dan biasanya saat ia telah mendapatkan uang, maka barang yang ia inginkan sudah habis dibeli oleh orang lain. Jadi pada akhirnya ia hanya mampu menahan kepedihan hatinya sambil menangis tersedu-sedu di dalam kamarnya yang gelap. Namun semua kesedihan itu langsung menguap begitu saja setelah ia mendapatkan kabar gembira mengenai keluarga baru yang akan mengadopsinya. Ia sungguh telah melupakan semua masa-masa kelamnya yang pahit, dan saat ini ia hanya sibuk membayangkan masa depan yang akan segera menjemputnya sebentar lagi.
“Kalau kau pergi, lalu bagaimana denganku?” Tanya Sasha sedih. Gadis kecil itu terduduk lesu di atas kasur kapas lusuh milik Eden sambil menggoyang-goyangkan kakinya pelan. Selama ini ia hanya memiliki Eden sebagai satu-satunya teman yang memahami dirinya. Jika Eden pergi bersama keluarga barunya, lalu apa yang akan terjadi dengannya?
“Maafkan aku Sasha, aku memang harus pergi. Bergabunglah bersama yang lain, mereka pasti akan menerimamu sama baiknya denganku.”
“Tapi mereka tidak pernah sebaik dirimu Eden. Jangan pergi.” Ucap Sasha pelan. Gadis itu hampir saja mengeluarkan butiran-butiran bening itu dari pelupuk matanya sebelum ibu panti tiba-tiba datang dan menyuruh Eden untuk segera keluar.
“Eden, tuan Lutherford telah menunggumu di depan.”
“Baik ibu, aku akan berpamitan dengan Sasha terlebihdahulu.” Ucap Eden dengan nada berat sambil melirik Sasha sedih. Sejujurnya ia juga merasa berat untuk kehilangan Sasha, tapi ini adalah satu-satunya kesempatan untuk dapat merasakan kehidupan yang lebih baik di luar panti. Kehidupannya di panti jelas tidak akan bisa membawanya menjadi seorang Eden Morel yang sukses karena pada kenyataanya mereka semua selalu hidup dalam kekurangan. Dengan berat hati ia memang harus meninggalkan Sasha untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi bersama tuan Lutherford, ayah angkatnya.
“Sampai jumpa Sasha. Semoga kita bisa bertemu lagi.”
Eden memeluk tubuh Sasha singkat dan segera berjalan pergi meninggalkan Sasha yang masih tersengguk-sengguk di dalam kamarnya, namun ia tidak memiliki pilihan lain selain terus berjalan lurus sambil mengeraskan hatinya agar ia tidak tergiur untuk berbalik dan memeluk tubuh kecil Sasha yang masih
tersengguk-sengguk.
“Eden, kau sudah siap?”
“Sudah, aku sudah siap.”
Eden menjawab mantap sambil memamerkan senyum manisnya pada ayah barunya yang sedang berdiri di ambang pintu. Pria berjas itu tampak angkuh dengan kacamata hitam yang membingkai kedua mata sendunya. Namun hal itu tidak membuat Eden ragu sedikitpun untuk berjalan mengekori Aciel menuju mobil sedan hitam yang telah menunggu mereka di halaman depan panti asuhan. Ketika ia mulai masuk kedalam mobil, seluruh teman-temannya mulai riuh mengucapkan selamat tinggal padanya sambil melambaikan tangannya berkali-kali. Dengan wajah sedih, Eden hanya menatap itu semua dalam diam tanpa bisa membalas lambaian tangan mereka karena kaca mobil di sampingnya sama sekali tidak bisa dibuka.
“Bagaimana cara membuka ini? Aku ingin berpamitan pada mereka untuk terakhir kali.” Tanya Eden
dengan wajah sendu. Ia berkali-kali mencoba menekan tombol hitam di sebelahnya, namun tombol itu seperti tidak berfungsi dan hanya sekedar menjadi pemanis dari mobil itu. Sedangkan Aciel, ia sejak tadi hanya menatap lurus kedepan tanpa sedikitpun menghiraukan Eden yang tampak gelisah di sebelahnya.
* “Mereka sudah tidak terlihat, percuma saja kau membuka jendelanya.” Jawab Aciel dingin sambil menatap kedepan. Eden kemudian menundukan kepalanya sedih sambil ***-remas tanganya dengan gugup. Ini bukanlah awal mula yang ia harapkan. Ia ingin mengenal ayah angkatnya dengan baik dan bercengkeraman layaknya sebuah keluarga yang bahagia. Namun melihat Aciel yang sangat dingin seperti itu, membuat Eden ragu dan memilih untuk menghibur hatinya dengan melihat pemandangan indah yang tersaji di sisi kanannya.
“Jangan terlalu banyak berharap.”
Eden refleks menoleh sambil menatap Aciel tak mengerti.
“Maksud ayah?”
“Aku bukan ayahmu.” balas Aciel ketus. Sungguh itu adalah panggilan paling menggelikan yang pernah ia dengar seumur hidupnya.
“Lalu, aku harus memanggil anda siapa?” Tanya Eden ketakutan dengan suara bergetar. Untuk pertama kalinya, Aciel menatap kedua manik karamel Eden intens sambil menyeringai licik pada gadis polos itu.
“Jangan pernah panggil aku apapun. Dan jangan pernah berharap terlalu banyak padaku.”*
Eden membuka matanya perlahan sambil membayangkan mimpinya yang sangat mengerikan. Pertemuan pertamanya dengan Aciel dan awal mula ia menjadi bagian dari pria brengsek itu. Ia sungguh membencinya
hingga hal itu menjadi mimpi buruk baginya setiap kali ia merasa tertekan atau merasa begitu marah pada pria keparat yang saat ini tengah duduk santai di sofa hitam di dalam kamarnya.
“Kau sudah bangun....”
Pernyataan itu dilayangkan oleh Aciel sambil menyesap winenya pelan. Pria itu dengan penuh kuasa terlihat mengamati Eden sambil menunjukan sinar kecokalatan dari matanya yang tertimpa oleh cahaya rembulan dari jendela besar di ujung ruangan. Melihat Aciel yang masih berada di dalam kamarnya, membuat Eden mendengus sebal sambil bangkit berdiri untuk mengenakan kembali gaun tidurnya yang dibuang asal oleh Aciel sebelum mereka bercinta.
“Pergilah, kau sudah mendapatkan apa yang kau mau.” usir Eden kasar. Tanpa mempedulikan Aciel yang masih menatapnya, Eden terus menggunakan gaun tidurnya hingga tiba-tiba sebuah tangan membelai punggung telanjangnya dan mulai menaikan resleting gaun tidurnya perlahan.
“Jangan sungkan untuk meminta bantuan Eden.”
“Aku bisa melakukannya sendiri tanpa bantuanmu.” Desis Eden tajam. Ia menyingkirkan tangan Aciel dari tubuhnya dan segera berjalan menjauh menuju ranjangnya yang nyaman.
“Sombong dan keras kepala..... berhati-hatilah Eden, karena dua sifat itu dapat menghancurkanmu perlahan-lahan.”
“Huh, benarkah? Aku justru merasa sebaliknya.” sangkal Eden cepat. Dari atas tempat tidurnya ia menatap Aciel sengit sambil mengepalkan kedua tangannya di balik selimut. Dulu, dirinya yang lugu dan baik hati justru selalu dimanfaatkan oleh orang-orang tak bertanggungjawab untuk kepentingan mereka masing-masing. Sejak saat itu ia bertekad untuk menjadi seorang wanita yang angkuh agar ia tidak lagi dimanfaatkan oleh orang lain, terutama dimanfaatkan oleh ayah angkatnya.
“Dua sifat itulah yang melindungiku saat ini. Kepolosan dan kebaikan hatiku justru sering dimanfaatkan oleh orang-orang jahat di luar sana.”
“Siapa? Kau tidak pernah mengatakannya padaku? Jika kau mengatakannya, aku dapat menghancurkan orang-orang yang telah melukaimu dengan mudah.”
Eden tertawa hambar di atas ranjangnya sambil berbalik memunggungi Aciel. Ternyata pria itu cukup bodoh
untuk menyadari jika orang jahat yang ia maksud adalah pria itu sendiri. Aciel Lutherford memang seorang pria yang buta menurut Eden. Disaat ia telah melakukan banyak kesalahan pada Eden, ia justru selalu menyalahkan orang lain dan menghancurkan orang lain yang ia anggap sebagai pihak yang menyakiti Eden.
“Keluarlah, aku ingin tidur.”
Eden lagi-lagi mengusir Aciel sambil menatap nyalang pada pemandangan gelap di kamarnya. Sejujurnya ia sama sekali tidak mengantuk. Ia hanya ingin pria itu pergi dan meninggalkannya sendiri di sini untuk berpikir. Ada banyak masalah yang berjubel di dalam pikirannya, yang ingin segera ia selesaikan. Keberadaan Aciel di kamarnya jelas membuat seluruh akal sehatnya hilang karena sejak tadi ia sedang menahan seluruh amarahnya untuk pria itu.
“Andrew menghubungimu. Aku mengatakan padanya jika kau sedang tidur. Apa kau sekarang memilih untuk berhubungan serius dengannya?”
“Kenapa kau ingin tahu? Itu urusanku. Jangan lakukan apapun pada Andrew, ia pria yang baik.”
“Hmm, jika ia tidak berbuat macam-macam padamu, aku tidak akan melukainya.”
“Kenapa kau selalu membatasi ruang gerakku dengan kekasih-kekasihku? Aku bahkan tidak pernah membatasimu pergi dengan wanita manapun.” ucap Eden datar. Saat ini hatinya benar-benar merasa sesak. Ia merasa sikap Aciel terlalu membingungkan untuknya. Pria itu selalu melarangnya berdekatan dengan pria-pria brengsek di luar sana, bahkan ia tidak segan-segan melakukan tindakan kotor untuk memberi pelajaran pada pria-pria brengsek itu. Namun di satu sisi ia selalu bertanya-tanya, untuk apa Aciel melakukan hal itu padanya jika pria itu sama sekali tidak memiliki perasaan apapun untuknya?
“Itu berbeda, kau adalah wanita lugu yang tidak bisa membedakan mana pria brengsek dan mana pria baik-baik.”
“Apa kau pikir kau bukan salah satu dari mereka, pria brengsek yang tega meniduri anak angkatnya sendiri.” Marah Eden berapi-api. Masih dengan membelakangi Aciel, Eden tampak terengah-engah sambil mengatur napasnya karena terlalu emosi dengan sikap Aciel yang selalu membingungkannya.
“Aku tidak pernah menganggapmu anakku Eden, kau sendiri yang menyimpulkannya sejak pertama kali aku menjemputmu di panti.”
Eden tampak diam. Ia tidak lagi menanggapi ucapan Aciel dan memilih untuk memejamkan matanya. Percuma saja ia membalas setiap ucapan pria itu jika kenyataanya pria itu selalu memiliki seribu satu jawaban untuk membolak balikan jawabannya.
“Aku tahu kau belum tidur.”
“Lalu apa yang kau harapkan dariku jika aku memang belum tidur. Kau ingin memulai pertengkaran denganku?” tanya Eden sengit. Pria bermata coklat itu benar-benar telah menguji kesabarannya malam ini.
“Jika sejak awal kau tidak berniat untuk menjadi ayah angkatku, lalu untuk apa kau mengadopsiku? Kau membuatku berharap lebih akan masa depanku, tapi nyatanya justru kehidupan seperti ini yang kudapatkan.”
“Kau akan tahu suatu saat nanti. Tidurlah Eden, kurasa kau memang seharusnya mengistirahatkan pikiranmu yang kacau.”
Dengan santai Aciel melenggang pergi, meninggalkan botol winenya yang masih tersisa separuh begitu saja di dalam kamar Eden sambil memakai jubah tidurnya untuk membungkus tubuh tegapnya yang polos. Malam ini ia benar-benar puas dengan permainan panasnya dengan Eden. Wanita itu selalu berhasil memberikan sensasi yang berbeda dari jalang-jalang murahan di luar sana. Dan Eden memang bukanlah seorang jalang, sehingga wanita itu jelas memiliki rasa yang berbeda dari mereka semua.
“Aciel...”
Aciel menaikan alisnya sekilas dan memutuskan untuk berhenti di ambang pintu. Tanpa menoleh ke belakang, pria itu menunggu Eden menyelesaikan kalimatnya yang terdengar seperti menggantung di udara.
“Apa kau mencintaiku?”
Hening... Untuk beberapa saat suasana di dalam kamar itu menjadi lebih hening dan mencekam. Aciel tidak pernah suka dengan kalimat sentimentil semacam cinta. Tidak pernah ada cinta di dalam kamus hidupnya. Sayangnya Eden masih saja menanyakan hal itu padanya setelah lebih dari sembilan tahun mereka hidup bersama.
“Kau tahu pasti bagaimana perasaanku Eden. Kosong!”
“Lalu untuk apa semua ini? Kau seharusnya membiarkanku memilih priaku sendiri tanpa harus mengganggu
kehidupanku.”
“Kau adalah tanggungjawabku. Dan aku sudah mengatakan hal ini sejak awal Eden, jangan pernah berharap lebih padaku. Apalagi mendapatkan cinta dariku.”
Eden tertawa hambar di dalam kegelapan kamarnya sambil mencengkeram selimut putihnya erat-erat. Kalimat yang baru saja diucapkan oleh Aciel, adalah kalimat yang sama dengan yang pernah diucapkan oleh pria itu tiga tahun yang lalu ketika ia dengan tololnya memiliki perasaan laknat itu untuk si pria bermata coklat, Aciel Lutherford.
Flashback
Tahun demi tahun berlalu begitu cepat untuk Eden. Tak terasa ia telah menghabiskan enam tahun waktunya dengan hidup di bawah tanggungjawab Aciel Lutherford sebagai ayah angkatnya. Namun selama ia tinggal di mansion mewah itu, tak pernah sedikitpun ia bertemu dengan sosok ayah angkatnya yang mengerikan itu. Setiap hari sebelum ia berangkat ke sekolah, ia tidak pernah pernah menemukan ayah angkatnya berada di meja makan
untuk sarapan bersamanya. Dan saat malam haripun, ia juga tidak pernah melihat sosoknya berada di rumah itu. Sempat ia bertanya pada kepala pelayan mengenai keberadaan Aciel selama ini, namun pria tua itu hanya menjawab jika tuan Aciel memang jarang menghabiskan waktu di rumah.
Bosan.... dengan rasa ingin tahunya itu, akhirnya Eden memutuskan untuk mengabaikan
semuanya. Ia menganggap keberadaan Aciel di rumah itu sudah tidak penting lagi dan memilih untuk menjalankan hidupnya dengan baik. Diam-diam ia memiliki cita-cita untuk keluar dari mansion mewah itu suatu saat nanti dan memiliki kehidupannya sendiri. Ia sadar jika ia tidak mungkin akan selamanya seperti ini, tinggal di rumah Aciel sendiri tanpa status yang jelas dan merepotkan pria mengerikan itu hingga ia tua. Ia ingin belajar untuk mandiri, dan setelah itu menemukan pria yang tepat untuk menemani kehidupannya yang selalu sendiri ini.
“Ini jus jeruk anda nona.”
“Terimakasih.”
Eden tersenyum ramah pada Tina dan segera meminum jus jeruknya sebagai bagian dari sesi terakhir sarapannya. Hari ini ia memiliki mata kuliah pagi yang harus ia hadiri, sehingga ia harus cepat menyelesaikan sarapannya sebelum ia mendapatkan masalah karena keterlambatannya pagi ini.
Tap tap tap
Suara ketukan sol sepatu dan lantai marmer putih yang nyaring itu membuat Eden menoleh cepat kearah sumber suara sambil menatap sang pemilik sepatu itu heran. Akhirnya setelah enam tahun lamanya ia tidak melihat Aciel Lutherford di mansionnya, kini ia dapat melihat pria itu lagi di hadapannya dengan wajah angkuh khasnya yang tidak pernah berubah sedikitpun.
“Selamat pagi.... ayah.” Sapa Eden ragu. Ia sebenarnya masih ingat dengan jelas kata-kata pria itu enam tahun yang lalu, namun ia tidak memiliki sebutan lain selain ayah, yang cocok untuk memanggil pria itu. Mungkin jika ia memang tidak suka jika dipanggil ayah, maka ia akan memanggilnya dengan panggilan yang lebih formal.
“Aku bukan ayahmu.”
Tepat seperti dugaan Eden, pria itu tidak suka dipanggil ayah. Dan dengan tatapan tajamnya pria itu menatap Eden sambil mendudukan dirinya dengan tenang di atas kursi utama yang berada di ujung meja.
“Selamat pagi tuan Aciel Lutherford.” Sapa Eden dengan suara pelan. Dari raut wajahnya ia tidak bisa berbohong jika saat ini ia sangat takut dengan tatapan tajam yang dilayangkan oleh Aciel padanya. Namun ia tidak bisa mengelak sedikitpun karena pria itu memiliki aura mendominasi yang begitu ditakutinya.
“Bagaimana kehidupanmu selama ini?”
“Baik.” Jawab Eden singkat. Ia benar-benar tidak menyangka jika hari ini akan tiba. Hari dimana Aciel Lutherford akan duduk di meja yang sama dengannya sambil menanyakan bagaimana kehidupannya selama ini.
“Aku.. tidak pernah melihat anda selama enam tahun terakhir ini, sebenarnya anda berada dimana?”
Eden berusaha memberanikan diri untuk menanyakan kemana perginya Aciel selama enam tahun ini, karena ia merasa ganjil dengan pria itu. Ia yakin jika sebenarnya Aciel selalu berada di mansionnya. Hanya saja pria itu tidak pernah menunjukan batang hidungnya. Atau mungkin Aciel selama ini memang menghindarinya karena pria itu tidak terlalu menyukai keberadaanya di mansion ini.
“Aku selalu berada dimanapun yang aku mau Eden. Dan bahkan aku juga berada di mansion ini.”
“Tapi aku tidak pernah melihat anda.” Balas Eden cepat. Ia benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa
penasarannya terhadap pria itu. Rasanya selama enam tahun tinggal di mansion mewah itu tidak bisa membuat Eden mengenal bagaimana sosok Aciel yang sebenarnya. Ia justru semakin buta dengan semua hal yang berkaitan dengan pria itu. Ditambah lagi tidak ada satupun yang bersedia membagikan informasi mengenai ayah angkatnya itu padanya. Kepala pelayan Kim tidak pernah mau menceritakan hal-hal detail mengenai Aciel dan hanya berbicara seperlunya jika ia bertanya mengenai keberadaan pria itu.
“Kita hanya hidup di waktu yang berbeda Eden. Saat aku berada di sini, kau mungkin sudah terlelap, dan saat kau membuka matamu, aku sudah pergi untuk bekerja.”
“Begitukah? Tapi, bukankah itu memang perintah anda? Anda yang memintaku melalui tuan Kim untuk selalu mematuhi jam malam yang telah anda tetapkan. Aku tidak diperkenankan untuk tidur lebih dari jam sembilan malam dan aku harus pulang tepat waktu dari kampus. Tuan, sebenarnya aku ingin hidup seperti gadis-gadis seusiaku pada umumnya. Aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu di kampus untuk melakukan kegiatan sosial yang sering diadakan oleh rekan-rekanku atau bergabung di salah satu klub olahraga yang kusukai.”
“Jenis olahraga apa yang kau sukai?”
Sambil memasukan makanan kedalam mulutnya, Aciel bertanya serius mengenai jenis olahraga yang disukai Eden. Sementara itu, Eden terlihat tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya karena pria itu untuk pertama kalinya lagi menanyakan sesuatu yang terdengar aneh untuk ditanyakan oleh seorang Aciel yang acuh.
“Aku menyukai voli. Dulu aku pernah mengikutu klub voli, tapi sejak ayahku meninggal, aku tidak mengikutinya lagi karena di sekolahku yang baru mereka tidak memiliki klub voli.”
“Sedikit banyak itu karena salahku, maafkan aku Eden.”
“Maksud anda?” Tanya Eden tidak mengerti. Ia benar-benar dibuat pusing dengan sikap pria matang yang saat ini sedang menyantap menu sarapannya dengan tenang di depannya. Pagi ini benar-benar sebuah pencapaian yang begitu luar biasa untuknya, karena untuk pertama kalinya ia dapat berbicara cukup panjang dengan Aciel. Namun ia sedikit sedih dengan dirinya sendiri karena sepanjang ia berbicara dengan pria itu, tak ada satupun hal yang bisa ia pahami dari pria itu. Semua hal yang ditanyakan oleh Aciel padanya terkesan ambigu dan sebenarnya menyimpan sebuah makna tersembunyi di belakangnya.
“Lupakan saja. Apa kau tidak ingin pergi ke kampus? Dosen Rider akan segera memulai perkuliahannya lima menit lagi.”
“Aa apa?”
Eden memekik terbata sambil melirik jamnya heboh. Sungguh ia lupa jika pagi ini ia memiliki jadwal kuliah dengan dosen killer yang paling dihindarinya. Namun si misterius Aciel Lutherford justru tiba-tiba datang dan membuatnya melupakan dosen killer yang pagi ini pasti akan memberikan hukuman karena keterlambatannya.
“Tidak perlu panik seperti itu Eden, aku akan mengantarmu.”
“Apa?”
Eden lagi-lagi memekik terkejut tanpa menutupi sedikitpun raut heran yang tercetak jelas di wajahnya.
Lagi-lagi, ayah angkatnya melakukan sesuatu yang membuatnya terheran-heran dan juga terkejut di saat yang bersamaan. Setelah enam tahun lamanya mereka tidak pernah saling bersua, pria-pria itu tiba-tiba menawarkan diri untuk mengantarkannya ke kampus. Terlebih lagi pria itu juga mengetahui jadwal dosen killernya yang sangat menyebalkan itu.
Apa selama ini ia diam-diam memperhatikanku?
Eden refleks menjeritkan hal itu di dalam kepalanya sambil terus mengikuti langkah lebar Aciel di depannya. Pria itu tanpa kata terus memimpin jalannya dengan gaya angkuh khas seorang pria aristrokat yang begitu mendominasi. Dan ketika tiba di depan mobil, Aciel tiba-tiba membukakan pintu mobil silver untuknya sambil memberikan seulas senyum yang tanpa sadar juga membuat Eden ikut tersenyum kearah pria itu.
“Terimakasih. Anda baik sekali tuan Aciel.”
Pukul tiga Eden keluar dari kelasnya sambil melirik kearah pintu utama di kampusnya. Biasanya mobil tuan Han telah menunggu di sana untuk menjemputnya pulang. Namun sore ini ia sama sekali tidak melihat keberadaan mobil Han di sana dan tempat yang biasa digunakan oleh tuan Han justru telah terisi oleh mobil lain.
“Eden, tumben kau tidak langsung pulang dengan supirmu.”
Zyan, salah satu mahasiswa populer di kampusnya, dan salah satu teman sekelasnya tiba-tiba datang sambil menepuk bahunya pelan.
“Oh, supirku belum datang. Kau... kenapa kau tahu jika aku selalu pulang tepat waktu dengan supirku?”
Eden tampak terkejut sambil menatap wajah Zyan tak mengerti. Ia pikir pria itu tidak pernah memperhatikannya karena setiap hari Zyan selalu menjadi incaran para siswi di kampusnya. Lagipula ia bukanlah bagian dari siswi-siswi populer yang setiap hari selalu menjadi sorotan. Di sini ia hanyalah mahasiswi biasa dengan sedikit teman yang jarang menghabiskan banyak waktu di kampus. Jadi ia sangat merasa aneh jika tiba-tiba seorang Zyan mengetahui salah satu kebiasaanya selama ini.
“Kau pasti tidak tahu.”
“Apa?”
“Kau sebenarnya cukup banyak dibicarakan oleh mahasiswa-mahasiswa di sini. Kau cantik Eden, dan polos.”
Seketika Eden tersipu malu sambil mengalihkan tatapan matanya kearah lain. Sungguh ia tidak pernah tahu jika ia sering dibicarakan oleh mahasiswa di kampusnya karena ia sendiri selalu tidak memiliki waktu untuk berbaur dengan mereka. Hanya saat mengerjakan tugas kelompok saja ia membaur dengan teman-temannya, selebihnya ia jarang berinteraksi dengan teman-temannya di kelas.
“Aa aku tidak tahu jika teman-teman sering membicarakanku. Selama ini aku jarang berinteraksi dengan mereka.”
“Kenapa kau selalu pulang tepat waktu? Apa kau memiliki pekerjaan yang mendesak di rumah?”
Eden terkekeh pelan mendengar pertanyaan yang dilontarkan Zyan padanya. Tentu Zyan bukanlah orang pertama yang menanyakan hal itu padanya. Beberapa seniornya di klub dan juga teman-temannya yang lain juga sering menanyakannya. Dan dari seluruh pertanyaan itu, hanya satu jawaban yang selalu diberikan oleh Eden pada mereka.
“Ayah angkatku tidak suka jika aku pulang terlambat, ia membuat peraturan yang sangat ketat di rumah.”
“Benarkah?”
Eden mengangguk mengiyakan sambil membayangkan serentetan aturan yang dulu pernah dikatakan tuan Kim padanya. Saat pertama ia menginjakan kaki di mansion milik Aciel Lutherford, tuan Kim, selaku kepala pelayan di mansion itu langsung memberikan banyak aturan yang cukup memusingkan untuknya. Dan saat ia mulai masuk ke sekolah, tuan Kim memberikan aturan tambahan padanya. Salah satu aturan itu adalah ia dilarang untuk pulang melebihi jam pelajaran yang telah ditetapkan oleh sekolah. Dulu sebenarnya ia cukup tidak nyaman dengan peraturan itu karena semua peraturan itu jelas-jelas telah membatasi ruang geraknya. Namun semakin lama ia semakin terbiasa dengan semua itu, dan sekarang ia justru menikmati semua itu dengan santai.
“Apa ayah angkatmu orang yang galak?”
Eden langsung terbahak-bahak mendengar pertanyaan yang dilontarkan Zyan sambil menutup mulutnya agar tawanya tidak sampai membuat mahasiswa yang berlalu lalang merasa terganggu.
“Ayahku tidak galak.” Jawab Eden pendek. Ia masih tertawa membayangkan Aciel yang bahkan sangat jarang ditemuinya di rumah. Justru sekali-sekali ia ingin tahu bagaimana bentuk kemarahan Aciel karena pria itu selama ini sangat jarang ia temui di rumah.
“Lalu kenapa ia tidak memperbolehkanmu pulang terlambat?”
“Itu karena.....”
“Eden.”
Suara dingin dan tegas itu tiba-tiba menginterupsi kata-kata Eden dan membuat wanita itu menoleh terkejut kearah sumber suara. Di samping kirinya telah berdiri Aciel dengan stelan kantornya yang terlihat gagah sambil memasukan tangan kanannya ke dalam saku jas. Pria itu menatap Eden dan Zyan bergantian dengan tatapan intens, dan terakhir ia kembali menatap Eden sambil mendesis tajam pada wanita itu.
“Ayo pulang, kau sudah membuatku menunggu lama Eden.”
“Oo oh, maafkan aku. Zyan, aku duluan. Sampai jumpa.”
Eden tersenyum kecil pada Zyan dan segera melangkah mengikuti Aciel yang telah berjalan terlebih dahulu di depannya. Beberapa pasang mata tampak mencuri-curi pandang kearah Aciel sambil berdecak kagum karena ketampanan pria itu. Namun Aciel hanya diam sambil menunjukan wajah datarnya pada semua orang tanpa mempedulikan semua tatapan memuja yang diarahkan kepadanya.
“Masuk.”
Eden mengikuti perintah Aciel tanpa suara sambil menunjukan wajah terheran-herannya pada pria itu. Lagi-lagi ia mendapatkan sebuah kejutan yang luar biasa. Pagi tadi pria itu menampakan dirinya setelah lebih dari enam tahun tidak pernah terlihat batang hidungnya. Dan sekarang tiba-tiba pria itu menjemputnya di kampus. Apakah benar yang bersamanya saat ini adalah Aciel, ayah angkatnya yang dingin dan juga mengerikan itu?
“Kenapa tiba-tiba anda menjemputku?”
“Panggil aku kakak, aku tidak suka bahasa formal seperti itu.”
“Kakak? Tapi kau lebih pantas untuk menjadi ayahku.” Ucap Eden dengan suara pelan. Ia takut Aciel akan tersinggung dengan ucapannya. Dan benar saja, Aciel memang langsung menatap kearahnya dengan tatapan tajam yang terlihat mengerikan.
“Aku bukan ayahmu. Aku mengambilmu dari panti asuhan bukan untuk menjadi ayahmu.”
“Lalu untuk apa? Aku berharap untuk memiliki sebuah keluarga, tapi kau memperlakukanku seperti ini.”
Eden tanpa sadar telah mengeluarkan seluruh emosinya yang telah ia pendam selama enam tahun terakhir ini.
“Bukankah aku sudah pernah mengatakan padamu untuk tidak mengharapkan apapun padaku? Kau lupa baby? Di sini aku hanya menepati janjiku pada ayahmu. Ia ingin aku menjagamu setelah dirinya tidak ada.”
Aciel menatap jalanan di depannya dengan rahang mengeras sambil mencengkeram kemudi mobilnya erat. Ternyata Eden dewasa sangat berbeda dengan Eden remaja yang tampak diam dan pemalu. Eden dewasa lebih berani hingga ia dibuat geram dengan sikap menuntut yang ditunjukan wanita itu beberapa detik yang lalu. Untung saja Eden adalah putri dari sahabat baiknya, jika tidak, mungkin ia akan melempar keluar wanita itu sekarang juga dari mobilnya.
“Kau sekarang adalah tanggungjawabku, jadi menurutlah dengan semua aturan yang telah kuberikan padamu.”
“Jika aku adalah tanggungjawabmu, kau seharusnya memperlakukanku sebagaimana mestinya. Aku ingin kau menjadi keluargaku dalam artian yang sebenarnya.”
Aciel menoleh cepat kearah Eden, dan sedetik kemudian pria itu langsung menyeringai misterius kearah wanita itu.
“Deal! Akan kutunjukan bagaimana sebuah keluarga itu Eden Morel. Sekarang turunlah, aku harus kembali ke kantor.”
Tanpa terlihat takut sedikitpun, Eden segera melangkah turun sambil membalas tatapan tajam Aciel dengan tatapan polos miliknya. Tanpa sadar ia mengagumi netra coklat itu dan ingin sekali menatapnya untuk waktu yang lebih lama. Sayangnya pria itu sudah lebih dulu menutup pintu mobilnya keras-keras dan pergi begitu saja dengan mobil mewahnya, meninggalkan mansion miliknya dengan hembusan asap tipis yang membumbung tinggi ke udara.
-00-
Tok tok tok
Eden menguap pelan sambil merentangkan tangannya ke udara. Dengan rambut acak-acakan ia segera menuruni ranjangnya sambil berusaha membuka matanya lebar-lebar yang terasa lengket. Semalam ia tidur terlalu larut karena harus mengerjakan tugas-tugas kuliahnya yang begitu banyak. Dan setelah ia selesai mengerjakan seluruh tugasnya, ia justru menonton drama yang akhir-akhir ini cukup populer di kalangan teman-teman sekelasnya. Setiap hari ia selalu dibuat penasaran oleh teman-temannya yang tidak pernah berhenti membicarakan sang tokoh utama yang menurut mereka tampan. Tapi setelah ia bertemu dengan ayah angkatnya, ia merasa tokoh utama itu sama sekali tidak tampan. Aciel Lutherford justru jauh lebih tampan dengan mata coklatnya yang tajam dan juga stelan jasnya yang selalu membuatnya terlihat lebih seksi.
“Nona, tuan Aciel menunggu anda di meja makan untuk sarapan bersama.”
Eden mengucek-ucek matanya sekali lagi dan langsung menoleh kearah jam dindingnya yang masih menunjukan pukul lima pagi. Pantas saja langit di luar jendela kamarnya masih terlihat gelap. Ini benar-benar terlalu pagi untuk sarapan. Ia tidak pernah makan sepagi ini karena jam makan paginya selalu pukul tujuh.
“Ini masih terlalu pagi untuk sarapan.” Ucap Eden terlihat enggan. Ia kemudian melirik tubuhnya sendiri yang masih dibalut hot pants pendek dan juga kaus yang terlihat kusut di sana sini karena digunakannya untuk tidur. Bagaimana mungkin ia akan sarapan dengan pakaian seperti itu? Paling tidak ia membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk mandi dan mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih pantas untuk dibawa ke
meja makan.
“Tapi tuan Aciel biasa sarapan di pagi hari seperti ini. Lima belas menit lagi tuan Aciel harus sudah berangkat ke kantor, jadi lebih baik anda segera bersiap untuk sarapan bersama tuan Aciel sekarang.”
“Tapi aku setidaknya memerlukan waktu tiga puluh menit untuk bersiap-siap. Tuan Kim, apa ini yang membuat aku tidak pernah bertemu dengan kak Aciel selama ini? Ia selalu sarapan di pagi hari saat aku masih terlelap dan ia akan pulang larut malam saat aku sudah tertidur?”
“Benar nona. Dan sekarang tuan Aciel ingin sarapan bersama dengan anda....”
“Bukankah kau ingin memiliki keluarga yang sesungguhnya baby.”
Eden langsung terkesiap terkejut sambil memiringkan wajahnya ke samping untuk melirik sosok Aciel yang baru saja memotong ucapan tuan Kim. Melihat Aciel yang telah siap dan tampak segar membuat Eden langsung mengernyitkan dahinya bingung. Ia benar-benar tak habis pikir dengan pola hidup Aciel selama ini. Jika pria itu selalu pulang larut malam, lalu berapa jam pria itu menghabiskan waktunya untuk tidur jika sepagi ini saja ia sudah terlihat rapi dengan kemeja biru yang terlihat begitu menawan di depan matanya?
“Tapi aku belum bersiap-siap.”
Aciel melirik tubuh Eden intens dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dengan tatapan yang terlihat datar, Aciel sebenarnya sedang mengagumi tubuh Eden yang mulai beranjak dewasa. Eden dewasa ternyata lebih memukau daripada Eden anak-anak yang masih terlihat polos. Tapi meskipun Eden telah beranjak dewasa, tatapan wanita itu masih tetap menunjukan tatapan polos yang menggemaskan. Ia tiba-tiba saja berpikir untuk merusak
kepolosan itu. Namun pikiran itu seketika buyar ketika Eden tiba-tiba menggerakan tangan kanannya di depannya sambil menatapnya aneh.
“Kakak, kau melamun?”
“Hanya sedang berpikir. Cepatlah bersiap-siap. Aku memberimu waktu sepuluh menit.”
Mendengar itu, Eden langsung berlari cepat kedalam kamarnya untuk bersiap-siap. Ia tidak ingin Aciel menunggunya terlalu lama di meja makan, sedangkan pria itu sudah berusaha untuk mewujudkan keinginannya sebagai seorang anggota keluarga yang baik.
Sambil berlari-lari kecil, Eden masuk kedalam kamar mandinya dan langsung mandi secepat yang ia bisa. Pagi ini ia hanya menggosok sedikit tubuhnya dan langsung berjalan menuju westafel untuk menggosok gigi. Setelah itu ia segera meraih jubah mandinya dan berjalan menuju lemari pakaian untuk mengambil satu dress yang sudah lama ingin ia gunakan di depan Aciel. Setelah itu Eden segera menyisir rambutnya asal dan membiarkan rambut itu menggantung indah dibalik punggungnya.
“Astaga!”
Eden memekik heboh saat melihat jam di dindingnya telah menunjukan pukul lima lebih sepuluh menit. Ia telah kehabisan waktu untuk sekedar memoles wajahnya dengan makeup tipis. Akhirnya tanpa sempat membubuhkan apapun di wajahnya, Eden segera berlari turun menuju meja makan untuk sarapan bersama Aciel. Selama menuruni tangga, Eden terus berpikir, kata-kata apa yang sebaiknya ia gunakan untuk menyapa Aciel. Ia
terlalu senang dan juga bersamangat pagi ini karena Aciel akhirnya mau menganggapnya sebagai bagian dari anggota keluarganya.
“Maaf telah membuatmu menunggu lama.”
Eden tampak belum terbiasa memanggil Aciel dengan sebutan kakak. Rasanya sedikit aneh untuknya memanggil Aciel dengan sebutan itu. Namun ia juga tidak memiliki pilihan lain karena Aciel tidak suka dipanggil dengan sebutan ayah.
“Duduklah.”
Tanpa mengalihkan tatapan matanya dari layar ponsel pintarnya, Aciel meminta Eden duduk. Dan hal itu langsung dipatuhi oleh Eden tanpa banyak berkomentar. Saat mendudukan tubuhnya di kursi di samping Aciel, Eden benar-benar gugup hingga ia merasa sulit untuk bernapas. Kegiatan makan pagi yang selama ini ia idam-idamkan akhirnya terlaksana juga. Meskipun kemarin ia sudah melakukannya, namun kali ini terasa berbeda karena pria itu melakukannya karena ia yang memintanya kemarin.
“Kau ada kelas pagi bukan?”
“I iya, jam setengah delapan.”
“Kalau begitu kau pergi bersamaku.”
Eden langsung mengangkat wajahnya dan terlihat ingin protes pada Aciel. Ia tidak mungkin berangkat bersama pria itu karena ini masih terlalu pagi untuk pergi ke kampus. Lagipula kampus masih sangat sepi di jam setengah enam seperti ini. Ia takut berada di kampus sendirian.
“Kita ke kantor dulu pagi ini. Bukankah kita keluarga, Eden? Sudah sepantasnya kau mengetahui apa pekerjaanku selama ini.”
Tanpa sadar Eden menelan salivanya gugup sambil berpura-pura sedang mengaduk supnya di dalam mangkuk. Tatapan pria itu sungguh mengerikan hingga membuat jantungnya berdebar-debar. Namun jika dipikir-pikir, apa yang dikatakan oleh Aciel memang benar. Ia sudah seharusnya mengetahui jenis pekerjaan Aciel dan juga dimana letak kantor pria itu.
“Memangnya kau bekerja dimana?”
“Pertanyaan bagus, tapi kita akan mengetahuinya nanti. Sekarang makanlah sarapanmu, dan setelah itu bersiaplah. Aku tahu, kau pasti memerlukan waktu untuk memoles wajahmu setelah ini.”
Tanpa sadar Eden menyentuh pipinya sambil menatap Aciel keheranan. Pria itu, meskipun mereka tidak pernah bertemu selama ini, namun ia selalu tahu apa saja yang berkaitan dengannya. Bahkan Aciel juga tahu nama-nama dosennya yang selama ini tidak pernah ia sebutkan pada pria itu. Apakah Aciel selama ini diam-diam mengawasinya.
“Kau terlihat sudah hafal dengan beberapa hal yang berkaitan denganku.”
“Itu karena wajahmu mudah untuk dibaca. Kau terlalu polos untuk ukuran wanita seusiamu.”
Eden menggigit bibir bawahnya jengkel dan segera melanjutkan kegiatan makannya kembali. Berbicara dengan Aciel memang tidak pernah semenyenangkan berbicara dengan orang lain yang selama ini selalu ditemuinya, karena Aciel adalah pria dewasa misterius yang terkadang jalan pikirannya sulit sekali untuk ditebak. Setiap kata-kata yang terlontar dari bibirnya, pasti akan dijawab dengan jawaban bernada datar dan terkadang berisi hal-hal yang membuat ia emosi saat mendengarnya.
“Aku sudah selesai.”
Eden meninggalkan sarapannya yang masih tersisa separuh begitu saja dan segera melangkah pergi menuju kamarnya. Tiba-tiba saja ia sudah kenyang dan tidak ingin lagi menghabiskan sarapannya, sehingga ia memilih untuk kembali ke kamarnya dan bersiap-siap. Mungkin moodnya bisa kembali bagus setelah ia sedikit menjauhi Aciel untuk sementara waktu.
-00-
Eden tidak bisa menyembunyikan wajah kagumnya ketika Aciel membawanya kedalamm kantornya yang sangat besar dan juga mewah. Bangunan tinggi yang didominasi oleh arsitektur bergaya eropa itu membuat Eden terus berdecak kagum selama mereka berjalan menyusuri lobi kantor yang tampak sepi.
“Kakak, kantormu bagus. Kau memiliki bisnis apa hingga memiliki kantor sebesar ini?”
“Otomotif. Perusahaanku memproduksi mobil.
“Apa? Mobil! Kalau begitu berikan aku satu mobil keluaran perusahaanmu.”
Tanpa sungkan Eden meminta hal itu pada Aciel sambil bergelayut manja di lengan kekar pria itu. Sekilas
mereka berdua tampak seperti sepasang kekasih jika dilihat dari kejauhan. Sikap Eden yang terlihat sedikit manja pada Aciel membuat orang-orang bisa saja berpikiran yang tidak-tidak tentang mereka. Meskipun Aciel sebenarnya memang cukup tua untuk menjadi kekasih Eden, namun wajah tampan penuh karisma milik pria itu mampu menyamarkan garis-garis usia yang seharusnya tercetak jelas di wajahnya.
“Akan kuberikan setelah kau bisa mengemudikannya.” Janji Aciel. Eden langsung berteriak girang sambil berjalan mengikuti Aciel kedalam sebuah lift khusus yang hanya diperuntukan untuk Aciel. Setelah itu mereka bersama-sama naik ke lantai dua puluh untuk melihat bagaimana rupa ruangan Aciel di sana. Dan Eden sama sekali tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya, kala lift yang membawanya dapat menunjukan pemandangan indah kota Las Vegas saat Aciel menekan sebuah tombol untuk membuka tabir abu-abu yang sebelumnya menutupi seluruh badan lift.
“Ini indah, kau memiliki perusahaan yang menakjubkan.”
“Kau masih bisa melihat yang lebih menakjubkan nanti.”
Ketika lift berhenti dan berdenting nyaring, Aciel langsung melangkah keluar sambil memasukan kedua tangannya kedalam saku celana dengan gaya angkuhnya. Pria itu lantas membuka pintu kantornya lebar-lebar dan membuat Eden langsung terkagum-kagum dengan desain interior ruangan Aciel yang menakjubkan.
“Ini indah, sungguh indah! Kenapa kau tidak memberitahuku semua ini sejak awal?”
“Hanya menunggu waktu yang tepat.” Jawab Aciel asal. Sejujurnya ia tidak pernah berencana untuk memperkenalkan pada Eden tentang bagaimana kehidupannya selama ini. Tapi tiba-tiba saja ia memiliki ide gila itu setelah mengetahui bagaimana wajah cantik Eden yang luar biasa. Untuk pertama kalinya, ia merasa tertarik dengan seorang wanita. Dan sayangnya wanita itu adalah anak dari sahabatnya sendiri.
“Jadi kau sering menghabiskan waktumu di sini?”
“Kantor ini sudah kuanggap seperti rumahku sendiri sejak aku berusia dua puluh lima tahun.”
“Dua puluh lima? Sekarang berapa usiamu?” Tanya Eden penasaran. Selama ini ia hanya sebatas menerka-nerka berapa usia Aciel sebenarnya tanpa pernah tahu berapa tepatnya usia pria itu. Tapi dari paras yang ditunjukan oleh Aciel, mungkin usianya sekitar tiga puluh empat tahun.
“Usia hanyalah angka Eden, itu tidak terlalu penting. Lihatlah pantulan dirimu di dalam cermin, bukankah kita sama? Manusia sebenarnya hanya digolongkan kedalam empat jenis, anak-anak, remaja, dewasa, dan lansia. Saat ini kita sama-sama berada di tahap manusia dewasa, jadi bukankah kita sama?”
Eden mengamati pantulan dirinya di dalam cermin dengan serius sambil sesekali melirik pantulan Aciel yang berada tepat di belakangnya. Apa yang dikatakan oleh Aciel padanya sedikit banyak memang benar. Ia dan Aciel terlihat tidak ada bedanya sekarang. Mereka berdua sama-sama dua orang manusia dewasa dan jika diamati secara sekilas mereka berdua tampak berada di usia yang hampir sama.
“Kau benar, usia hanyalah angka. Kau akan menunjukan apa lagi padaku?”
“Untuk hari ini aku hanya akan menunjukan bagaimana kehidupanku di kantor. Aku janji, kau akan mendapatkan lebih banyak lagi setelah ini.” Bisik Aciel menggoda di telinga Eden. Wanita itu refleks memundurkan kepalanya sambil menatap pantulan wajah Aciel dengan raut takut. Ia belum pernah berada sedekat itu dengan seorang pria. Keberadaan Aciel di belakangnya yang sedang berbisik di telinganya, membuat bulu kuduknya seketika meremang karena sensasi geli yang ditimbulkan Aciel dari hembusan napasnya yang hangat.
“Sebelum kita pergi, bolehkah aku menanyakan sesuatu?”
“Dimana keluargamu yang lain?”
Untuk beberapa saat Aciel hanya diam sambil membuang wajahnya kearah lain. Pria itu terlihat enggan untuk membahas masalah keluarga yang terasa seperti sebuah omong kosong untuknya. Sejak dulu ia tidak terlalu menyukai sebuah ikatan yang dinamakan dengan keluarga karena ia tidak pernah tahu bagaimana rasanya memiliki sebuah keluarga. Ayahnya yang keras tidak pernah memperlakukannya seperti seorang keluarga, tapi lebih kepada seorang pekerja yang terus diperbudak untuk memenuhi seluruh keinginannya.
“Aku tidak memiliki keluarga. Lebih baik kita pergi sekarang, dosen Herris akan segera tiba untuk memberikan kuliah pagi.”
Tanpa menunggu jawaban dari Eden, Aciel segera melangkah keluar dari ruangannya sambil mengepalkan tangannya dibalik saku celana hitamnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!