NovelToon NovelToon

Semesta Asmara Pria Pecundang

Dihyan Danumaya

Bila ada kontes bagi laki-laki pecundang, Dihyan Danumaya pasti akan ikut serta. Mungkin ia belum tentu menang, tetapi sepuluh besar sudah pasti ada di tangannya. Bayangkan saja, bagaimana bisa kedua orang tuanya memberinya nama yang begitu berat? Dihyan berarti matahari dan Danumaya berarti bersinar. Luar biasa menyilaukan harusnya kehidupannya. Lucunya, nama yang begitu berat saking agungnya ini tidak membuatnya sakit sewaktu masih kecil. Maka, tidak ada upacara atau ritual khusus yang diselenggarakan ayah ibunya sehingga namanya tidak lantas diubah menjadi Tono, atau Budi, atau Deni, atau Adit misalnya.

Jadilah Dihyan membopong nama berat itu di punggungnya sampai sekarang.

Dihyan sudah setahun kuliah di kota ini, sebut saja sebuah kota kepulauan. Tak perlu lah dunia tahu apa nama kota itu, pikir Dihyan. Ia tak mau hidupnya yang sudah mosak masik dan masai seperti rambutnya itu kembali dipermalukan di depan wajah dunia.

Dihyan bertubuh kurus, tapi tinggi menjulang. “Bapakmu makan bambu ya, Yan, waktu kamu masih di dalam perut?” tanya teman sekolahnya dulu.

Dihyan mengedikkan kedua bahunya cuek. “Iya kalik,” jawabnya asal.

Rambutnya acak-acakan. Tukang cukur manapun menyerah menggarap rambut Dihyan. Belahannya tak beraturan. “Aduh, Mas, ini rambutnya ngelawan,” ujar tukang cukur di depan rumah sakit swasta besar di kota itu suatu saat.

“Hah, ngalawan gimana, Pak?” tanya Dihyan bingung.

Sang bapak tukang cukur terkekeh. “Kalau disisir ke kanan, dia lari ke kiri. Kalau disisir ke kiri, dia lari ke kanan. Kalau di belah tengah …”

“Udah, Pak, jangan di belah tengah. Nanti teman-teman mengejek saya. katanya saya sok-sokan mau mirip Jong Kook-nya BTS.”

“Ha? Jongkok?” ujar si bapak pencukur dengan bingung. Hidungnya naik, dan jidatnya berkerut.

“Ah, nggak usah dipikir. Itu artis cowok Korea gitu, Pak. Ya sudah, pokoknya dipotong pendek saja, tapi jangan terlalu pendek, Pak,” ujar Dihyan pasrah.

Padahal, Dihyan bukan tidak punya tampang, malah sebaliknya. Hidungnya mancung, matanya tajam, rahangnya tegas. Sialnya dengan tampang dan perawakan seperti ini, Dihyan sedari kecil sudah menjadi sasaran mutlak perundungan dan ejekan.

“Bule kampung!” atau “Bule tersesat” atau “Bule kere”. Intinya selalu ada kata “bule” menyertai kreatifitas para pengejek.

“Jadi, Bapak ini memang sebenarnya bule ya, Pak?”

“Piye to, maksudmu, Mas?” tanya sang ayah dengan logat Jawa yang kental (Dihyan curiga selama ini ayahnya sengaja menggunakan logat itu untuk menutupi cara bicaranya yang asli).

“Ya itu, Bapak bule to sebenarnya?” ulang Dihyan.

“Kalau Bapakmu bule, Bapak sudah main sinetron atau jadi bintang iklan, Mas.” mendadak sang ibu muncul dari dalam kamar.

“Nah, itu yang aku mau tanyakan ke Bapak dan Ibu. Kalau Bapak bule, kok kita masih kere kayak gini?”

Bapak dan Ibunya tertawa.

“Huss, kamu itu lho. Harus banyak bersyukur. Siapa bilang kita kere?” ujar sang Ibu.

“Lah, ‘kan aku yang bilang tadi.”

Plak**!**

Satu tamparan telah menghajar kepala Dihyan. Tidak keras, tapi lumayan membuat Dihyan tersentak.

“Kamu itu, malah ndagel, ngelucu,” kata Bapak Dihyan. Baliau juga yang menampar kepala anaknya tersebut.

Dihyan mengelus-elus kepalanya yang sebenarnya tak sakit itu.

“Kita sudah hidup berkecukupan. Mungkin tidak berlebihan, tetapi kita juga nggak sampai miskin, nggak mengais-ngais makan di tempat sampah,” ucap Ibu Dihyan. Suaranya lembut.

Dihyan menghela nafas. “Keluarga kita ini lucu lho, Pak, Bu. Coba lihat, ada yang salah nggak sih sama Bapak? Bapak itu tinggi, kulitnya terang, malah cenderung pucat, terus hidungnya mancung, matanya dalam dan tajam, rahang dan dahinya juga tegas. Kalau nggak bule, minimal indo lah.”

“Ya, terus. Kamu juga ‘kan tinggi, mancung juga hidungnya, kulitnya juga putih, sama ‘kan seperti Bapak? Lha, terus opo masalahe, le?”

Dihyan menyerang untuk berbicara dengan Bapak dan Ibunya yang setiap menit cekikikan melihat respon Dihyan yang menunjukkan rasa frustasinya.

Yang ingin ia utarakan sebenarnya, mengapa keluarganya ini bukan orang kaya atau terkenal? Padahal ayahnya terus terang memiliki paras tampan dan khas orang kulit putih. Sang ibu, tidak kalah menawannya. Ada semburat wajah Jawa klasik tetapi berpadu dengan entah Timur Tengah, Persia, atau malah Spanyol dan Italia.

Namun, lihatlah keadaan mereka saat ini. Sang ayah adalah seorang pegawai pemerintahan. Yak, benar, si bapak bule itu adalah seorang PNS atau ASN sekarang istilahnya. Masih sangat aktif dan masih lumayan jauh sampai usia pensiun.

Sang ibu, membuka warung kelontong di rumah. Ibunya sangat cantik. Dihyan sudah bosan mendengar tetangga datang beli rokok atau satu sachet sampo dengan menghabiskan waktu berlama-lama di warung mereka untuk menggoda ibunya. Yah, Dihyan tak bisa menyalahkan betapa cantik sang ibu, sih memang, walau untuk melayani para pembeli, ibunya hanya bermodal daster.

“Mau gimana, wong ibumu pancen ayu kok,” ujar sang bapak suatu saat, mengakui bahwa memang sang ibu sangat cantik nan menarik. Tidak ada kecemburuan disana. Toh, sang ibu juga tidak menunjukkan perilaku ganjen dan genit. Kedua orang tuanya ini sangat harmonis, dan romantis.

Ini yang membuat Dihyan sangat nelangsa.

“Aku nggak punya pacar. Mana ada yang mau sama aku, pecundang gini.”

“Oh … oh … oh …, jadi, selama ini alasan kamu itu merasa tidak bahagia berada di dalam keluarga kita ini karena kamu nggak punya pacar, gitu?” ujar Centhini, sang kakak suatu saat.

Centhini menambahkan keunikan, atau anggap saja keanehan, di dalam keluarga Dihyan. Kakaknya itu adalah anak angkat. Seorang gadis Tionghoa yang semakin dewasa semakin menunjukkan kecantikannya. Sewaktu masih bayi, Centhini diambil dari satu keluarga Tionghoa yang miskin. Saking miskinnya, keluarga Centhini waktu itu dikutuk oleh keluarga besarnya. Dianggap sebagai keluarga yang malas, bodoh, karena tidak mampu bekerja keras seperti kebanyakan keluarga peranakan lainnya di negeri ini.

Centhini diangkat anak awalnya sebagai pancingan bagi ayah dan ibu Dihyan. Hanya dalam beberapa bulan, sang ibu hamil. Syukurnya, tidak ada perbedaan sama sekali pada perlakuan keluarga ini kepada Centhini. Buktinya, Centhini lah yang paling sering mengganggu dan merundung adiknya itu.

“Ya, itu ‘kan berarti tampang bule Bapak dan wajah cantik Ibu nggak ada gunanya, Mbak,” ujar Dihyan.

“Ah, kamu aja yang nggak ada gunanya. Udah syukur punya tinggi dan tampang turunan Bapak Ibu. Eh, kamunya yang nggak becus. Nggak bisa memanfaatkan berkat, nih.”

Centhini menjambak rambut adiknya itu dan memberantakkannya.

“Aduh, sana pergi dari kamarku, Mbak. Ganggu aku aja kerjanya.”

“Gimana mau survive bullying kalau kamu sendiri yang minta dibully. Huu …” sang kakak ngacir pergi dari kamarnya.

Memiliki kakak angkat berbeda ras, apalagi fisik, dan hampir sebaya, merupakan beban yang lebih besar lagi. Centhini sungguh adalah sosok perempuan yang cantik. Rambutnya panjang, lurus dan sehitam jelaga. Sepasang matanya yang sipit itu kerap bersinar ceria. Bibirnya merah terang, kontras dengan kulitnya yang seputih susu.

Dihyan dan Centhini, walaupun berbeda setahun usinya, bersekolah bersama, bahkan sampai kuliah. Bila keduanya berjalan berdampingan, tidak sedikit teman kampus yang menggoda mbaknya itu. Dan, Dihyan merasa tidak ada harganya sama sekali karena tidak dianggap. Tidak ada yang segan dengan Dihyan ketika mereka bersama. Dihyan tidak pernah dianggap saudara Centhini, pun tak seorang pun pernah salah beranggapan bahwa Dihyan berpacaran dengan Centhini.

“Karena aku adalah seorang pecundang,” ujar Dihyan selalu di depan cermin, menatap ke arahnya sendiri.

Camelia Green

Dihyan dan Centhini berkampus di tempat yang sama. Bedanya, Dihyan mengambil jurusan komunikasi, sedangkan Centhini di jurusan bisnis. Setiap hari keduanya berangkat dan pulang bersama, kecuali bila ada satu dua kegiatan tambahan atau acara khusus.

“Eh, Yan, cece kamu sampai sekarang belum punya pacar?” tanya Derrick, teman kuliah Dihyan. Ia tidak terlalu akrab dengan Derrick.

“Kamu adalah cowok kesekian yang nanya ini ke aku. Mbakku belum punya pacar. Tapi nggak tahu juga, tanya aja langsung,” jawab Dihyan ogah-ogahan.

“Kok bisa sih kamu punya cece secantik itu?”

Dihyan melirik sebal ke arah Derrick. “Kan dia kakak angkat.”

“Iya, semua orang juga tahu itu. Cuma, kok bisa dia cantik?”

Dihyan menghela nafas panjang. Ini sudah tahun pertama, berarti dua semester, ia dan Centhini berkuliah. Selama itulah ia menjadi sasaran pertanyaan sekaligus hinaan dari banyak orang. Centhini terus-menerus mendapatkan pujian dari banyak orang. Teman-teman perempuannya pun tidak segan-segan menunjukkan kekaguman, tetapi tak satupun menunjukkan ketertarikan kepadanya.

Belum lagi ketika mereka sampai tahu bahwa ayahnya, si Aparatur Sipil Negara itu, adalah seorang bule tampan. Atau ibunya, yang sederhana itu, berwajah luar biasa cantik.

Masih mending Derrick yang bertanya, kalau teman-teman atau bahkan tetangganya yang tahu mengenai kedua orang tuanya ini, maka pertanyaannya bisa, “Kok bisa sih bapak dan ibu kamu cakep gitu, sedangkan kamu cuma dapat jangkung kayak buluh bambunya doang?”

Dihyan akhirnya hanya bisa mengedikkan kedua bahunya merespon pertanyaan Derrick.

Awalnya, sedari masa sekolah dulu, Dihyan merasa biasa dan terbiasa dengan sikap orang-orang terhadap keluarganya ini. Namun, semenjak Dihyan bertemu dengan sosok Camelia Green, Dihyan mulai merasakan bahwa dirinya begitu rendah serta tak berharga.

Gadis itu mengambil jurusan bisnis yang sama dengan Centhini, bahkan sedari awal sudah dekat dengan kakaknya itu. Tak lama mereka bahkan menjadi sahabat baik.

Camelia membuat Dihyan klepak-klepek. Wajahnya luar biasa cantik, perpaduan darah Inggris sang ayah dan Manado sang ibu. Robert Green, sang ayah, adalah seorang guru ekspat di salah satu sekolah internasional di kota ini. Sebenarnya, tidak sulit bagi Camelia untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri, paling tidak di Inggris, tempat asal ayahnya. Namun, Camelia merasa bahwa ia tidak terlalu pintar dan tidak berkeinginan terlalu besar untuk memiliki karir tertentu. Ia dekat dengan ibunya yang merupakan seorang pengusaha katering sukses nan terkenal di kota ini.

“Aku mau melanjutkan bisnis Mama aja, Cen. Makanya aku harus belajar banyak soal bisnis,” jelasnya pada Centhini suatu saat.

Rambut Camelia berwarna coklat, atau kemerah-merahan, Dihyan tidak tahu terlalu pasti. Ia tidak memiliki nyali untuk memandang Camelia terlalu dekat. Hidungnya mancung, pas, tidak terlalu panjang dan tajam. Wajahnya secara keseluruhan seperti bidadari – kalau bidadari memang ada, harusnya wajahnya seperti Camelia, pikir Dihyan.

“Mbak, memangnya Camelia itu warga negara kita, ya?” rasa penasaran Dihyan akhirnya membawanya ke Centhini.

Centhini mengerutkan keningnya dan menatap curiga Dihyan dengan sepasang matanya yang sipit itu. “Kenapa tanya-tanya? Naksir? Mentang-mentang sama-sama punya tampang semi bule gitu, terus kamu bakal merasa cocok sama Camelia?”

“Opo, sih, Mbak,” protes Dihyan.

Centhini tertawa puas melihat reaksi adiknya itu.

Dihyan memutuskan untuk tidak mengulik informasi apapun dari Centhini. Sudah diejek orang lain, jangan sampai membuka kesempatan untuk dirundung kakaknya sendiri.

Padahal, sulit baginya untuk tidak bertanya kepada Centhini. Camelia dan Centhini selalu bersama di kampus. Keduanya menjadi pusat perhatian karena sama-sama cantik dan menarik. Camelia yang blasteran Indo-Inggris, dan Centhini yang mewakili pesona oriental. Dan, Dihyan jatuh hati pada Camelia, meski maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai.

Akhirnya, ketidakmampuan ini langsung kembali ia salahkan kepada kondisinya yang serba tidak beruntung dan hidup sebagai pecundang ini. Apa gunanya memiliki latar belakang keluarga yang serba tampan, cantik dan menarik, kalau dirinya tak mampu mendapatkan orang yang ia sukai.

Camelia Green seakan menjadi standar tertinggi pencapaiannya. Dalam kondisi latar belakang keluarga yang seperti ini, harusnya mendekati Camelia bukanlah perkara yang terlalu sulit. Itu juga kalau ia sungguh cakep, dianugerahi semua ciri fisik dan pesona kedua orang tuanya.

“Hei, kamu Dihyan kan, ya? Adiknya Centhini, kan?”

Dihyan tersentak.

Ia sedang menunggu kakaknya di parkiran motor untuk pulang bersama. Sudah lebih dari 30 menit Centhini tidak muncul. Gawai Centhini pun sepertinya tidak aktif karena tidak bisa dihubungi. Namun, Dihyan memutuskan menunggu sampai sosok kakak perempuannya tersebut muncul.

Dihyan tidak percaya bahwa Camelia jauh lebih cantik bila sedekat ini. Sepasang matanya lentik, pupilnya berwarna kecoklatan, bukan hitam, serupa dengan warna rambutnya. Bibirnya, merah merekah, tipis tetapi melebar ke samping dengan lengkungan yang terlalu sempurna, membentuk semacam seringai unik yang sulit untuk dibaca.

“Ah, eh … ehm … iya. Saya Dihyan,” jawab Dihyan terbata-bata.

“Hape Centhini mati, jadi dia nggak bisa hubungi kamu. Jadi, ceritanya aku mau ajak dia keluar sebentar. Boleh ya? Nanti sore atau malam aku antar dia balik sampai ke rumah. Nggak usah khawatir. Dia bisa charge hapenya di dalam mobilku aja nanti.”

Bahkan suara yang keluar dari rongga mulut Camelia pun terdengar indah. Cenderung berat, datar, tetapi lembut dan tidak tergesa-gesa. Santai, tetapi jelas dan tegas. Berbeda dengan suara Centhini yang tipis, tinggi, dan cenderung sengau, sangat mengganggu, pikir Dihyan.

Dihyan hanya bisa mengangguk kaku.

Camelia tersenyum dan berterima kasih sebelum meninggalkan Dihyan terpekur seorang diri di parkiran. Untung bukan di wilayah parkiran ruko. Bisa-bisa ada orang yang menghampirinya dan memberikannya lembaran uang dua ribu rupiah, berpikir ia adalah tukang parkirnya.

Sore itu, Dihyan menunggu kakaknya diantar sampai rumah, hanya untuk melihat Camelia lagi.

Camelia sungguh mengantar sampai depan rumah, sebelum berpamitan kepada orang tua Dihyan, serta Dihyan sendiri, yang pura-pura sedang membaca di ruang tamu.

Kulit Camelia putih pucat, dengan sedikit freckles alias titik-titik noda di pipinya. Membuat wajah si gadis semakin cantik luar biasa.

Mana mungkin gadis secantik itu melirik kepada dirinya, pikir Dihyan. Tidak peduli bahwasanya ia adalah sahabat baik seorang Centhini, kakaknya sendiri. Di keluarga ini, mungkin Centhini lebih tepat sebagai anak kandung. Bukan karena kemiripan wajahnya dengan kedua orang tuanya, melainkan karena mereka sama-sama rupawan semua.

Dihyan merasa luar biasa konyol dan bodoh karena mematung di depan Camelia saat itu. Mengapa ia tak mampu bertindak normal layaknya laki-laki? Derrick yang tidak bisa dikatakan memiliki tampang tampan saja masih memiliki keberanian untuk coba-coba peruntungan dengan cewek-cewek yang ia sukai. Sedangkan dirinya?

“Karena aku adalah seorang pecundang,” ujar Dihyan selalu di depan cermin, menatap ke arahnya sendiri.

Centhini Bong

Benjamin Setiadi dan istrinya, Maryam Setyaningsih, sudah menikah selama dua tahun, tetapi belum dikaruniai seorang momongan pun. Mereka adalah pasangan yang aslinya berasal dari Semarang, Ungaran tepatnya. Namun, keduanya bertemu di Pekanbaru, provinsi Riau, pulau Sumatra. Setelah berpacaran sebentar, mereka kemudian memutuskan untuk menikah dan pindah ke sebuah kota kepulauan di seberang pulau Sumatra daratan karena Benjamin diterima menjadi pegawai negeri dan ditempatkan disana.

Selama dua tahun pernikahan itu, Benjamin sudah dua kali mendapatkan tugas ke Kalimantan Barat. Disana, ia mengunjungi Pontianak, Mempawah, Sanggau dan Singkawang sebagai bagian dari tugasnya di Departemen Sosial.

“Mah, kowe harus ikut aku ke Singkawang kali ini. Kita berangkat minggu depan,” ujar Benjamin kepada istrinya.

“Lah, kok mendadak? Ujug-ujug ngajak aku ke Kalimantan ki piye to, Pak? Warungku gimana?”

“Udah, to. Manut wae. Nanti aku jelaskan sambil kesana. Mumpung aku dapat cuti.”

“Tapi Bapak kan baru ke Kalimantan minggu lalu. Kok sudah mau kesana lagi? Ada apa sih, Pak? Bikin aku penasaran aja.”

Benjamin Setiadi, laki-laki tinggi, tampan dengan wajah kebulean, tetapi ngeyel mengaku sebagai orang Jawa itu sungguh tak mau membocorkan tujuannya sampai hari yang sudah ditentukan.

Sesampainya mereka di Singkawang, barulah Maryam tahu apa mau suaminya. Bayi itu menggeliat menggemaskan, tujuh bulan usianya. Namun, Maryam sudah jatuh hati. Ia cantik luar biasa, bahkan ketika masih berbentuk orok, meskipun kondisi kesehatannya sedikit memprihatinkan.

Keluarga miskin itu tidak merasa mampu mengurus anak ke-11 mereka. Sang suami mendadak sakit-sakitan sehingga pekerjaannya di pabrik kertas tidak bisa berjalan dengan baik. Istrinya masih harus bekerja menjual bubur babi di pagi dan sore hari sekaligus mengurus serta membantu membiayai sisa anak-anaknya yang lain – yang jedanya diantara mereka hanya setahunan.

“Bapak mau jadikan anak ini sebagai pancingan?” tanya Maryam berbisik kepada suaminya.

“Awalnya gitu, Mah. Tapi, aku kok kesengsem ya sama anak itu. Mau nanti kita punya anak ataupun nggak, kita urus bayi ini ya, Mah?”

Saat itu, keluarganya belum memberikannya nama. Mereka hanya memohon agar pasangan suami istri dari Sumatra tersebut tetap memberikan marga keluarga Hakka-nya kepada sang bayi, Bong. Maka, Benjamin dan Maryam sepakat menamai bayi tersebut dengan Centhini, Centhini Bong.

Ternyata selama ini Benjamin diam-diam sudah terlebih dahulu mengurus keperluan untuk mengadopsi bayi itu, bahkan sejak sang ibu masih mengandung Centhini. Itu sebabnya, tugasnya di Kalimantan membuatnya beruntung karena bisa sekaligus mengurus semuanya terlebih dahulu, sampai tinggal Maryam yang memberikan restunya pula.

Benjamin dan Maryam sama sekali tidak menutupi kenyataan bahwa Centhini adalah anak angkat mereka. Mereka juga tidak melarang bila kelak Centhini ingin kembali atau paling tidak menengok kedua orang tuanya ketika telah dewasa.

“Lha, mana mungkin menyembunyikan kenyataan kalau Centhini bukan anak kandungku, to. Wong matanya sipit, kulitnya putih. Anak TK juga tahu Centhini itu gadis Cina,” ujar Benjamin kepada rekan sejawatnya suatu kali.

Bayi Centhini ternyata anteng, tenang, tidak rewel sama sekali. Seakan-akan bayi itu tahu bahwa ia akan diasuh oleh sebuah keluarga yang merawatnya dengan penuh cinta.

Sekembalinya pasangan suami istri itu ke rumah di kota kepulauan itu, mereka merayakannya dengan bercinta.

Benjamin mencumbu tubuh Maryam dengan sepenuh hati. Tubuhnya yang tinggi dan kukuh itu menghimpit Maryam dari atas, menghimpitnya dan menghujaninya dengan tekanan-tekanan yang tak beraturan, sebelum akhirnya ia melenguh dan keduanya meledak berkeping-keping karena hasrat yang memuncak.

Hasilnya, sebulan kemudian, Maryam sadar ia telah hamil.

Bayi laki-laki berambut tebal tetapi acak-acakan, dengan wajah kebule-bulean mirip sekali dengan Benjamin lahir ke dunia beberapa waktu kemudian.

“Ini benar anakmu, Pak. Lihat hidungnya. Bayi sudah mancung seperti itu,” ujar Maryam.

Centhini Bong, sang kakak, yang belum genap dua tahun usianya itu berseru-seru nyaring dan girang. Menciumi bayi laki-laki itu dengan penuh sayang.

Beberapa tahun kemudian.

Centhini Bong, sang kakak, berseru-seru nyaring dan girang. Menjambaki rambut masai laki-laki muda itu dengan penuh semangat.

“Kita bakal ke Singkawang, Yan. Bulan depan. Bapak yang bilang. Liburan semester, kita sekeluarga bakal ke sana,” ujar Centhini.

Seperti biasa, gadis itu tidak pernah absen untuk masuk ke kamar Dihyan, mengganggunya, atau hanya sekadar mengabsen keberadaan adiknya tersebut.

“Mbak, kalau ke kamarku tu yang sopan. Nggak kasian apa sama aku? Aku ini laki-laki, lho,” keluh Dihyan sebagai respon atas cerita bersemangat kakaknya itu.

Centhini, mengenakan celana super pendek serta tanktop yang menunjukkan lengannya yang ramping dan tungkai kakinya yang jenjang, serta kulitnya yang putih itu.

“Halah, dulu aja kita sering mandi bareng, kok.”

“Dulu itu kapan, Mbak? Seingatku SD aja kita sudah pisah kamar, kok. Masih bayi maksudnya, Mbak?” protes Dihyan.

Centhini cuek saja dengan keluhan adiknya itu. Ia malah begitu saja menghempaskan tubuhnya di kasur Dihyan dan terlentang di sana.

Dihyan menghela nafasnya panjang.

Ia melirik ke arah kakaknya. “Mbak, nggak deg-degan apa mau ketemu keluarga … ehm, keluarga asli?”

Centhini yang terlentang menatap langit-langit mengernyit mendengar pertanyaan Dihyan. Ia bangkit dan duduk di tepian kasur. Dihyan duduk bersila di lantai menghadapnya.

“Keluarga asli?”

“Iya, orang tua dan saudara-saudara kandung Mbak, lah.”

Centhini memandang Dihyan lekat-lekat, kemudian tersenyum. Ia mendekat dan duduk di samping adiknya itu.

“Sampai saat ini, yang aku tahu, kamu itu adikku, Bapak dan Ibu adalah kedua orang tuaku. Mau kandung atau tidak, itu sama sekali tidak mengubah fakta bahwa kalian adalah orang-orang yang aku kenal dan mengenalku dengan baik. Mengapa aku bersemangat karena mau ke Singkawang? Bukan karena terus aku mau hidup dengan mereka, tetapi karena, ya aku penasaran gimana wajah dan keadaan mereka, yang mungkin secara fisik bakal mirip aku. Sama-sama sipit dan putih. Nggak kayak kamu yang kayak bule tersesat,” ujar Centhini sambil mencolek hidung Dihyan yang mancung itu.

“Berarti malu sama fisik keluarga kita?”

“Kalau sama Bapak ya nggak lah. Ganteng gitu. apalagi Ibu. Kalau kamu … ya iya, malu aku.” Centhini tertawa.

Dihyan merengut. “Aku tu sebel sama kamu, Mbak. Kamu cantik banget, padahal nggak dapat DNA dari Bapak Ibu. Cuma, sekarang dengar kamu seneng banget mau ketemuan sama keluarga biologismu, Mbak, aku kok sedih banget ya. Takut kamu, ehm ….”

Centhini melingkarkan lengannya di bahu Dihyan. “Jangan gitu, dong, ah. Aku nggak akan kemana-kemana. Kita adalah satu keluarga selama-lamanya.”

Centhini mengecup pipi Dihyan, kemudian mengacak-acak rambutnya yang memang sudah dah selalu masai itu.

“Janji ya, Mbak. Sumpah?”

“Iya, sumpah. Emangnya aku rela ada orang lain yang membully kamu selain aku?”

Centhini kembali tertawa. Tapi kali ini Dihyan ikut tertawa, sedikit lega. Perasaan aneh memang datang mengganggu batinnya ketika mengetahui bahwa mereka sekeluarga akan mengunjungi keluarga asli Centhini di Singkawang sana. Meskipun Centhini berkali-kali meyakinkan bahwa ia sekadar penasaran dan ingin berlibur ke Singkawang, sedikit banyak Dihyan merasa gamang.

“Karena aku adalah seorang pecundang,” ujar Dihyan selalu di depan cermin, menatap ke arahnya sendiri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!