Hanung Rahayu adalah seorang gadis yang periang dengan paras menawan. Jika saja hidungnya tidak pesek, mungkin orang akan mengira Hanung adalah keturunan Chinese.
Kedua orang tua Hanung berpisah saat dirinya masih duduk di bangku kelas 4 SD dan berakhir mengikuti sang ayah karena sang ibu tak mau membawanya. 5 tahun kemudian, Ayah Hanung menikahi seorang janda yang dikenalkan oleh teman sejawatnya.
Ibu Jamilah, masuk ke rumah Hanung membawa anak laki-lakinya yang masih balita. Beliau bukan Ibu tiri yang jahat seperti di kisah Cinderella, Ibu Jamilah yang akrab disapa Ibu Jam itu sangat menyayangi Hanung layaknya anak kandung. Segera Ibu Jam dan Ayah Hanung dikaruniai anak laki-laki.
Beberapa tahun kemudian saat Hanung baru saja tamat SMA, Ibu Jam melahirkan anak kedua seorang bayi perempuan. Akan tetapi tak lama setelah kelahiran anak kedua, Ayah Hanung yang bekerja sebagai guru Bahasa Inggris di sebuah sekolah menengah mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Tinggallah Hanung bersama Ibu Jam dan ketiga adiknya.
"Mbak Hanung kalau mau lanjut kuliah, lanjut saja. Kita bisa jual sawah yang disewakan Ayah." Ibu Jam mengkhawatirkan Hanung yang sudah lulus SMA setengah tahun yang lalu.
"Tidak perlu, Bu. Kalau dijual kita tidak ada pemasukan bulanan nanti, Bu. Kasihan adik-adik masih kecil." tolak Hanung.
"Ibu bisa kembali bekerja dengan Bu Nyai, Mbak."
Ibu Jam dulunya adalah santri di pesantren yang kemudian menikah dengan seorang ustadz dan ikut mengabdi bersama suaminya sampai suaminya meninggal karena sakit.
"Jangan, Bu! Bagaimana dengan adik-adik kalau Ibu bekerja?"
"Di pesantren itu ngabdi, Mbak Hanung. Bukan kerja pembantu."
"Tetap tidak boleh, Bu. Kalau Ayah masih hidup, juga tidak menginginkan hal itu."
"Lalu Mbak Hanung maunya bagaimana?"
"Hanung mau bekerja saja, Bu. Bisa mengumpulkan uang untuk kuliah nanti sambil bantu-bantu Ibu. Kuliah di universitas terbuka juga tidak apa, Bu."
Ibu Jam tersenyum. Beliau mendukung keputusan Hanung. Bagi Ibu Jam, kebahagiaan Hanung yang utama. Secara kasar, Hanung bisa saja mengusirnya dari rumah sejak suaminya meninggal. Tetapi Hanung justru memintanya untuk tetap tinggal dan memikirkan adik-adiknya.
"Sudah ada bayangan mau kerja apa?"
"Belum, Bu. Hanung masih menunggu kabar dari teman yang sudah bekerja di sebuah percetakan."
"Yang sabar, cari kerja memang tidak mudah." Hanung mengangguk.
Keseharian Hanung diisi dengan membantu pekerjaan rumah dan membuka les privat dirumah atas permintaan para tetangga, mengingat almarhum Ayah Hanung adalah seorang guru. Banyak anak-anak yang mau belajar dengan Hanung. Menurut mereka, mereka lebih cepat paham dengan penjelasan Hanung dibandingkan disekolah.
Les tersebut berjalan dengan bayaran semampu mereka. Terkadang mereka memberikan uang, terkadang mereka akan membayar Hanung dengan hasil panen. Hanung menerimanya untuk menghormati mereka karena niatnya membantu anak-anak.
"Mbak Hanung, maaf. Sebaiknya Didik tidak les dulu, saya belum mampu membayar 2 bulan ini." kata orang tua Didik yang mendatangi rumah Hanung.
"Tidak apa, Bu. Didik sudah mulai bisa menulis. Sayang kalau tidak dilanjutkan."
"Iya, kemarin dia memamerkan tulisan namanya. Tapi saya sungkan, Mbak Hanung."
"Saya tidak masalah, Bu. Yang penting Didik bisa mengikuti pelajaran disekolahnya. Apalagi sebentar lagi akan ada ulangan semester."
"Terima kasih, Mbak Hanung. Saya tidak berharap Didik bisa rangking, yang penting dia tidak tinggal kelas lagi." Hanung mengangguk sambil tersenyum.
Kedua orang tua Didik pun berpamitan pulang. Walaupun mereka masih merasa sungkan, mereka lega bisa berterus terang dengan Hanung.
"Didik itu yang tunggakan kelas satu itu, Mbak?" tanya Iwan, adik tiri Hanung.
"Iya. Kamu tahu?"
"Tahu. Anaknya penyendiri tidak seperti anak kelas satu yang masih seperti anak TK."
"Kamu saja masih seperti anak kecil!"
"Paling tidak aku sudah bisa menulis saat kelas satu, Mbak!" Iwan tidak Terima.
"Iya-iya. Ulangan hari ini bagaimana?" Hanung mengalihkan topik.
"Salah satu, Mbak." Iwan menyerahkan kertas ulangannya.
"Cara kamu sudah benar, cuma kamu lupa menyamakan penyebut disini. Makanya hasilnya salah. Hasil yang benar itu 2 1/24 karena penyebut yang sama untuk 3 dan 8 adalah 24." jelas Hanung.
"Iya, Mbak. Tidak aku teliti lagi tadi karena waktunya sudah mepet."
"Tak apa, lain kali harus teliti kalau kamu mau mengejar 3 besar."
"Jangan lupa rewardnya, ya?"
"Iya." jawab Hanung sambil mengacak rambut Iwan.
Ibu Jam yang sedang menyuapi Jamal pun tersenyum melihat interaksi keduanya. Beruntung anak ketiganya, Nada tidak begitu rewel sehingga beliau bisa membagi waktunya antara Jamal dan Nada yang hanya beda 1 tahun.
Yang menjadi ganjalan hati beliau adalah kabar dari Ningrum, yang mengatakan suaminya membatalkan lamaran anaknya untuk Hanung. Dengan alasan tak ada lagi koneksi untuk bisa menjadi guru honorer di sekolah menengah yang Ayah Hanung ampu sebelumnya. Ibu Jam masih bingung bagaimana menyampaikan nya.
Tengah malam, Hanung terbangun untuk melaksanakan sholat malam. Mempunyai Ibu tiri jebolan pesantren, membuat Hanung mengikuti rutinitas beliau dan berakhir menjadi kebiasaannya. Hanya saja Hanung tidak penghafal Quran seperti Ibu Jam, ia hanya hafal juz 30 dan surah tertentu.
"Kenapa, Bu?" tanya Hanung yang mendapati Ibu Jam sedang duduk diam menatap teh di depannya.
"Mbak Hanung sudah selesai sholat?" tanya Ibu Jam balik.
"Sudah. Ibu kenapa?"
"Duduk sini, Mbak. Ada yang mau Ibu sampaikan." Ibu Jam menepuk kursi makan disebelahnya.
Hanung pun duduk dan menuang teh yang ada didepan Ibu Jam ke gelas kosong, untuk dirinya.
"Mbak Hanung suka dengan Marsudi?" tanya Ibu Jam hati-hati.
"Marsudi?" Hanung mencoba mengingat-ingat.
"Marsudi yang pernah menemui Ayah itu?" tanya Hanung yang mendapat anggukan Ibu Jam.
"Tidak, Bu. Jangankan suka, kenal saja tidak."
"Waktu itu, Marsudi melamar kamu. Tetapi Ayah mengatakan semua keputusan ada ditanganmu, sehingga mereka menunggu kamu lulus. Tetapi siapa sangka, ajal lebih dulu menemui Ayah dan pembicaraan itupun terlupakan. Kemarin, Ibu Marsudi menghubungi Ibu dan mengatakan kalau lamaran mereka batalkan."
"Lalu?"
"Lalu, Ibu jawab tidak masalah karena Ayah waktu itu juga belum memberikan keputusan."
"Bagus itu, Bu! Ibu yang terbaik!"
"Mbak Hanung tidak sedih gagal dilamar?"
"Untuk apa sedih, Bu? Ayah saja tidak menjawab! Lebih baik batal daripada Hanung harus terikat dengan laki-laki yang Hanung tidak kenal." Ibu Jam tersenyum mendengar perkataan Hanung.
Beliau menghembuskan nafas lega. Perlu waktu bagi beliau menyampaikan hal tersebut. Jika tahu respon Hanung seperti ini, beliau akan mengatakannya lebih awal.
Mereka pun terlibat obrolan seputar jodoh dari kacamata agama. Ibu Jam tak segan membagikan ilmunya untuk Hanung, bahkan Ibu Jam memberikan pengetahuan tentang hubungan yang ada dalam kitab Fathul Izar agar anak tirinya tersebut memiliki bekal nantinya.
Hanung yang awalnya merasa malu, mendengarkan semua penjelasan Ibu Jam dengan seksama. Sampai adzan subuh berkumandang, mereka pun membangunkan Iwan untuk sholat subuh ke masjid.
Selesai dengan kegiatan pagi, Hanung bersiap untuk pergi ke kota menemui temannya. Katanya ada lowongan kosong di bagian fotokopi, sehingga Hanung mengenakan pakaian formal seperti kemeja dan rok untuk melamar. Tak lupa ia juga membawa berkas lengkap.
"Ibu nitip ini untuk Bu Nyai Khairunnisa, ya? Bayaran les kamu melimpah sampai kulkas tidak muat lagi. Kalau dikirim ke pesantren, bisa manfaat untuk santri-santri disana." kata Ibu Jam yang meletakkan kardus dan kantong plastik di meja.
"Iya, Bu. Tapi apa Ibu sudah mengabari beliau? Hanung takut jadi kambing cengo disana."
"Mana ada kambing cengo! Kang Rahim penjaga gerbang saja sudah kenal kamu." Hanung meringis.
Tentu saja kenal. Setiap ada kajian dan Ibu Jam tidak repot, beliau akan membawa Hanung ikut bersama menghadiri kajian.
"Siapa tahu bukan Kang Rahim yang menjaga, Bu." kilah Hanung.
"Benar juga!" Ibu Jam pun mengambil ponsel dan menghubungi Umi Siti, kepala dapur.
Ibu Jam mengatakan kalau Hanung akan kesana mengantarkan bahan makanan. Umi Siti menyambutnya dengan gembira. Beliau mengatakan akan menunggu Hanung di gerbang karena Kang Rahim sedang tidak bertugas.
"Benar kan, Bu?" goda Hanung.
"Iya-iya. Sana berangkat, hati-hati!"
Hanung mencium punggung tangan Ibu Jam. Ia meletakkan kardus di bagian depan motor dan kantong plastik ia masukkan ke dalam bagasi. Ia pun mengucap salam sebelum melajukan motornya ke arah kota.
Sekitar 30 menit kemudian, Hanung sampai di percetakan. Temannya mengatakan jika manager mereka baru saja keluar dan tidak bisa menerima lamaran saat ini. Hanung pun menitipkan berkas kepada temannya dan mengatakan untuk mengabarinya jika ada panggilan. Lalu Hanung beranjak menuju Pesantren Darul Ilmi yang tak jauh dari percetakan.
Hanung pun sampai 15 menit kemudian. Jika biasanya pesantren ada di pedesaan atau pinggiran, Pesantren milik Kyai Kholiq ini berada di kota dan dikelilingi kompleks perumahan. Akses kepasar bisa berjalan kaki, dekat dengan terminal bus dan tak jauh dari Sekolah Muslimin Muslimah tempat santri dan santriwati menimba ilmu selain ilmu pesantren.
"Hanung!" seru Umi Siti yang melihat Hanung berhenti di depan gerbang.
Segera petugas gerbang membukakan gerbang dan Hanung pun masuk ke parkiran yang disediakan. Setelah memberi salam dan mencium tangan Umi Siti, Hanung mengeluarkan kantong plastik yang ada di jok.
"Biarkan Rahmat yang mengangkatnya. Kamu ikut Umi." Umi Siti meminta Rahmat yang sebelumnya membukakan gerbang untuk mengangkat bawaan Hanung.
"Tumben sepi, Umi?"
"Iya, sebagian santri dan santriwati pulang karena libur 4 hari. Makanya Umi senang kamu datang."
"Jangan bilang Umi mau menahanku disini?" Hanung sudah merinding.
"Kata-kata kamu terlalu kasar! Umi cuma minta tolong kamu bantu-bantu memasak."
"Sama saja, Umi." keluh Hanung yang mendapatkan tawa Umi Siti.
Ia masih tak terbiasa dengan lingkungan pesantren karena ia dari kecil sudah terbiasa bebas. Walapun begitu, Hanung tetap mengikuti Umi Siti sampai ke dapur disusul Rahmat yang membawakan barang.
"Kalian itu suka repot-repot kirim bahan makanan, coba telepon kesini biar anak-anak yang mengambilnya."
"Kata Ibu tidak afdol kalau tidak diantarkan sekalian, Umi."
"Bagus itu, jadi kamu bisa bantu-bantu Umi sekalian." seru Umi yang mulai membuka isi kardus.
Ada pisang, singkong, Ubi, timun dan beberapa sayuran khas panen pedesaan, sedangkan kantong plastik berisi telur. Umi pun meminta Hanung untuk membantu beliau membuat pisang dan Ubi goreng untuk camilan sebelum makan siang.
Hanung menggulung lengannya menyisakan manset dan mengikat hijabnya kebelakang agar tidak terkena getah. Ia mulai mengupas pisang dan dilanjutkan mengupas Ubi, sementara Umi Siti membuat adonan tepung untuk pisang. Setelah mencuci bersih Ubi yang telah dipotong korek api, Hanung menyerahkannya kepada Umi Siti dan ia mengambil alih gorengan pisang.
"Loh, ada Hanung disini. Kapan datang?" tanya Bu Nyai Nisa yang baru saja masuk ke dapur.
"Baru saja, Umi." Hanung meraih tangan beliau untuk mencium punggung tangan.
"Kesempatan Siti ini, ada yang membantu."
"Iya Bu Nyai, kapan lagi Hanung berkunjung kemari." Hanung hanya terseyum.
Bu Nyai pun ikut membantu menggoreng Ubi, sambil menanyakan kabar Ibu Jam. Hanung menjawab pertanyaan beliau dengan antusias. Keduanya akhirnya selesai menggoreng dan Umi Siti juga sudah selesai membuat kopi dan teh.
"Habis ini kamu pulang, Nung?" tanya Bu Nyai.
"I.."
"Habis makan siang, Bu Nyai." jawab Umi Siti mendahului Hanung.
Bu Nyai hanya tersenyum, dan pergi meninggalkan mereka membawa nampan berisi gorengan kopi dan teh untuk Pak Kyai.
"Umi! Hanung ada jadwal les siang ini. Kasihan anak-anak menunggu." protes Hanung setelah tidak ada Bu Nyai.
"Kamu tinggal mengabari mereka apa susahnya?"
"Sebagian dari mereka tidak memiliki ponsel, Umi."
Umi Siti pun menepuk dahi. Beliau lupa kalau tempat tinggal Hanung masih pedesaan. Beliau akhirnya mengizinkan Hanung pulang setelah membantu beliau memarut singkong untuk dibuat bakwan. Hanung mengangguk setuju.
Setengah jam kemudian, mereka telah selesai memarut singkong. Hanung pergi membersihkan tangannya.
"Hanung, sampaikan salam Umi untuk Ibu mu." kata Umi saat Hanung mencium punggung tangan beliau.
"Iya, Umi." Umi Siti memeluk Hanun sebelum mengantar ke parkiran.
"Umi, Hanung ingin ke kamar mandi." cicit Hanung saat mereka hampir sampai di parkiran.
"Kenapa tidak dari tadi?"
"Baru saja ingin, Umi." Umi Siti menggeleng.
"Kearah sana saja lebih dekat. Kamar mandi untuk para ustadzah." tunjuk Umi kearah sela bangunan.
Segera Hanung berlari kearah yang ditunjuk. Sayangnya Hanung salah belok, hingga ia masuk kamar mandi yang merupakan kamar mandi para ustadz. Dan saat Hanung baru saja keluar dari kamar mandi, ia menabrak seseorang.
"Aduh!" seru Hanung yang merasakan sakit di pantatnya.
"Maaf, saya tidak sengaja." kata Hanung yang berusaha berdiri sambil membersihkan roknya.
Hanung menatap orang yang ia tabrak. Seorang laki-laki bertubuh tegap, berpenampilan seperti seorang ustadz dengan paras yang menawan. Tetapi anehnya, laki-laki tersebut hanya diam membatu.
"Maaf, saya tidak sengaja." Hanung mengulangi perkataannya.
Tetapi laki-laki tersebut justru berbalik dan meninggalkan Hanung begitu saja. Hanung bingung dengan situasinya saat ini. Ia pun mengabaikannya dan kembali menemui Umi Siti.
"Kenapa di kamar mandi khusus ustadzah ada laki-laki masuk, Umi?" tanya Hanung.
"Hah?" Umi Siti membola mendengar pertanyaan Hanung.
"Kamu tidak salah?" Umi Siti memastikan.
"Umi menunjuk gang itu kan?" Hanung menunjukan dimana ia menggunakan kamar mandi.
"Hanung.. Kamu salah, yang Umi tunjuk bukan itu. Tetapi yang ada didepannya lagi." Umi Siti kembali menepuk dahi.
"Jadi, Hanung yang salah?" Hanung meringis tanpa merasa bersalah.
Umi Siti hampir saja menjewer telinga Hanung kalau saja tidak berhijab. Beliau pun bertanya bagaimana penampilan ustadz yang ia tabrak dan Hanung menjawab apa adanya.
Hanya ada satu orang yang memenuhi kriteria seperti yang dijabarkan Hanung, tetapi Umi Siti memilih diam dan mengatakan akan mencari tahu nanti.
"Maaf ya, semua.. Tadi ada urusan." kata Hanung kepada anak-anak kelas 2 yang sudah menunggunya.
"Nanti Hanung jelasin, Bu." kata Hanung yang melihat tatapan tanya dari Ibu Jam.
Hanung pun segera mencuci tangan dan menemui anak-anak. Hari ini bukan hari belajar melainkan hari PR. Jadi mereka mengeluarkan PR Tematik yang mereka miliki. Pertama-tama Hanung meminta mereka mengerjakan sebisa mereka dan setelah mereka selesai, Hanung akan membahasnya.
"Sudah selesai, Mbak!" seru salah satu anak.
"Belum!" seru yang lain.
"Santai saja, yang sudah selesai coba di cek lagi." kata Hanung menengahi.
Setelah semuanya selesai, Hanung meminta mereka bertukar buku. Lalu meminta mereka membaca satu persatu. Semuanya lancar sampai disoal ke 6, jawaban yang dibaca salah. Hanung pun membahas kesalahan tersebut dengan menjelaskan.
Anak-anak yang sudah paham, menyalin jawaban mereka ke buku tulis. Dan yang belum paham, masih mendengarkan penjelasan Hanung.
"Jadi, 1 baris balok ini nilainya 10. Kalau ada 5 balok, kita hitung 10+10+10+10+10. Berapa?" tanya Hanung.
"50." seru Nayla.
"Betul. Lalu, kalau ini berapa?" tanya Hanung yang menunjuk ke arah tumpukan balok.
"4 baris 10 dan 1 baris 5, jadi.. 45!" seru Nayla.
"Sudah paham kan? Sekarang kamu salin kalau tidak, kamu akan pulang terakhir."
"Siap, Mbak!"
Jika di kelas 1 ada Didik yang sedikit lambat, di kelas 2 ada Nayla, dan begitu juga dikelas lain. Sekolah di desa Hanung terbatas. Hanya ada satu sekolah yang mengakomodasi beberapa desa. Sehingga pihak sekolah menerapkan sistem jam pagi dan siang untuk membagi jam masuk setiap kelas.
Maka dari itu, para tetangga meminta Hanung untuk membantu anak mereka belajar. Mereka bahkan bersedia menyiapkan meja untuk digunakan anak mereka saat les. Hingga Ibu Jam dan Hanung merelakan ruang tamu mereka untuk digunakan.
Setelah anak-anak pulang, Hanung masih ada 2 kali jadwal les hari ini. Sebelum itu ia memutuskan untuk makan siang yang sudah terlewat. Ia bertemu Iwan yang juga sedang makan siang karena baru saja pulang sekolah.
"Mbak, nanti aku ikut les malamnya." kata Iwan setelah selesai makan.
"Tumben?"
Pasalnya Iwan tak pernah ikut lesnya, jika ada pertanyaan ia akan bertanya langsung kepada Hanung.
"Ada PR yang tidak aku mengerti. Kalau menunggu Mbak Hanung kosong, takut mengganggu jam istirahat."
"Padahal biasa begitu." goda Hanung.
"Mbak Hanung tidak asyik!" kesal Iwan yang pergi meninggalkan Hanung.
"Jadi, kenapa tadi pulangnya siang sekali?" tanya Ibu Jam yang menghampiri.
"Umi Siti minta bantuan di dapur tadi, Bu. Sebenarnya Umi Siti minta sampai selesai makan siang, tetapi Hanung tidak bisa. Dan dijalan tadi macet karena ada kecelakaan di lampu merah arah pasar.
"Innalillahi.. Apa anak-anak libur?"
"Iya. Libur 4 hari kata Umi Siti tadi."
"Pantas saja Umi Siti bersemangat mendengar kamu mau kesana, akhir bulan maulid ini anak-anak libur."
"Hanung tidur sebentar ya, Bu. Sakit kepala kepanasan di jalan tadi."
"Iya, jangan lupa dzuhur dulu. Nanti Ibu bangunkan kalau sudah jam 3." Hanung menganggukkan kepalanya.
Hanung yang hanya terlelap sebentar, bangun sekitar pukul 14.30. Ia pun memutuskan untuk mandi. Tetapi ketika ia masuk ke dalam kamar mandi, tidak ada air didalam bak.
Ia pun menyalakan pompa air. Tetapi tidak ada suara air mengisi di penampungan. Hanung berjalan keluar menuju sumur. Disana sudah ada Ibu Jam dan Marsudi yang sedang memperbaiki pompa air.
"Pompa nya masuk angin, Bu. Jadi bagian ini harus dibuka, lalu diisi air. Sepertinya air sumurnya surut juga, Bu."
"Terimakasih Mas Marsudi. Nanti saya cari Lek Samin untuk melihatnya." ucap Ibu Jam.
"Sama-sama, Bu. Kebetulan saya juga ada perlu dengan Hanung." Ibu Jam pun melihat kearah Hanung yang baru saja datang.
Sedangkan Hanung yang masa bodoh dengan percakapan Ibu Jam dan Marsudi, bingung dengan tatapan sang ibu. Ibu Jam menggelengkan kepala pelan dan mempersilakan Marsudi duduk di teras. Beliau juga meminta Hanung untuk menyuguhkan minuman.
"Maaf, disini saja takut mengundang fitnah."
"Iya, Bu. Saya mengerti."
"Ini minumnya, Mas. Silahkan diminum." Hanung menyuguhkan 2 cangkir teh untuk Marsudi dan Ibu Jam.
"Mbak Hanung tetap disini, katanya Mas Marsudi ada yang ingin disampaikan."
Hanung mengangguk dan ikut duduk disebelah Ibu Jam. Marsudi pun menatap kearah Hanung yang mengenakan gamis polos berwarna coklat dengan hijab instan senada.
"Hanung, sebelumnya saya minta maaf. Mungkin kamu sudah mendengar pembatalan lamaran dari orang tua saya. Tetapi saya sungguh tidak ada niatan untuk membatalkannya. Jadi, saya kesini untuk meyakinkan kamu atas keinginan saya untuk melamar kamu." Ibu Jam dan Hanung saling pandang.
Ibu Jam memberikan anggukan, tanda beliau menyerahkan keputusan kepada Hanung. Hanung pun mengutarakan pikirannya dengan mengatakan jika sebaiknya mengikuti keputusan kedua orang tua Marsudi. Alasannya sederhana. Menikah bukan hanya hubungan antara suami dan istri, melainkan juga hubungan kedua orang tua.
Jika orang tua sudah tidak setuju diawal, dipaksa pun akan menjadi masalah dikemudian hari. Hanung tidak menginginkannya. Lagipula, Hanung belum ada niatan untuk menikah saat ini.
Marsudi menunduk. Sungguh malu ia dengan sikap Hanung yang lebih dewasa dibandingkan dirinya. Ia hanya memikirkan perasaannya tanpa berpikir bagaimana kedepannya. Ibu Jam pun membenarkan ucapan Hanung dan menyarankan Marsudi untuk mendengarkan perkataan orang tuanya. Biarkanlah hubungan mereka tetap seperti ini daripada menjadi musuh.
"Salut sama kamu, Mbak." kata Ibu Jam setelah Marsudi pulang dengan wajah lesu.
"Salut apanya, Bu?" Hanung menghabiskan teh yang tidak tersentuh.
"Kamu menolak lamaran tanpa berkedip!" goda Ibu Jam.
"Iya-ya, Bu. Harusnya tadi Hanung sambil berkedip-kedip." Hanung tak mau kalah.
"Yang ada kamu dibilang "kiyer"!" Hanung tertawa, membuat Ibu Jam meninggalkannya di teras.
Hanung tak menyesali keputusannya menolak Marsudi. Ia sama sekali tak merasakan ketertarikan dengan Marsudi, walaupun laki-laki tersebut memiliki sikap yang lembut dan pengertian. Memang sifat yang cocok sebagai guru, tetapi tidak menarik di mata Hanung. Ia justru membandingkan Marsudi dengan laki-laki yang ia tabrak tadi.
"Astagfirullah.. Apa yang aku pikirkan? Kenal saja tidak!" gumam Hanung sambil menepuk dahinya.
Ia pun berlari masuk kedalam rumah dan mandi sesuai niat awalnya sebelum anak-anak datang. Selesai mandi, Hanung menyempatkan membantu Ibu Jam di dapur menyiapkan makanan untuk Jamal dan Nada.
"Assalamu'alaikum.." salam serempak terdengar dari luar, yang sudah bisa dipastikan adalah suara anak-anak.
"Wa'alakumsalam.." jawab Hanung dan Ibu Jam.
Segera Hanung pergi menyambut anak-anak dan memulai sesi PR mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!