NovelToon NovelToon

Bolehkah Aku Bermimpi ?

bab 1 : hangat dalam kesederhanaan

Pagi itu, suara air yang mengalir dari keran tua di belakang rumah menjadi pengiring ritme tangan Tiara yang sibuk merendam pakaian kotor dalam ember besar. Matahari baru saja menampakkan sinarnya yang hangat, menyinari halaman rumah sederhana mereka yang beralaskan tanah. Tiara menghela napas panjang, meremas sehelai baju dengan tenaga yang tersisa di tangannya.

“Bu, biar Tiara saja yang kerjakan. Ibu istirahatlah dulu,” katanya lembut, matanya menatap sang ibu yang jongkok di sampingnya, sibuk menyikat pakaian lain.

Senyum lelah tersungging di bibir sang ibu, wajahnya memancarkan kelelahan yang tak pernah hilang. “Gak apa-apa, sayang. Ibu masih kuat kok.”

Tiara hanya mengangguk. Meski hatinya ingin agar ibunya beristirahat, ia tahu bahwa kelelahan bukanlah pilihan bagi keluarganya. Setiap hari mereka harus bekerja keras untuk memastikan ada makanan di meja dan biaya sekolah untuk adik-adiknya.

Tiara adalah anak sulung dari lima bersaudara. Keempat adik laki-lakinya—Raka, Bayu, Dimas, dan Arman—masih duduk di bangku sekolah. Ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di minimarket kecil di ujung jalan, namun penghasilannya tidak cukup untuk menutupi semua kebutuhan keluarga. Itulah sebabnya, ibunya bekerja sebagai buruh cuci pakaian bagi para tetangga di sekitar rumah.

Tangan Tiara semakin cepat bergerak, berusaha mempercepat pekerjaan. Saat mereka sibuk dengan cucian, terdengar langkah-langkah kecil mendekat. Raka, adik Tiara yang paling tua, muncul. Matanya yang bulat bersinar penuh semangat meski wajahnya tampak cemas.

“Ibu, aku butuh uang untuk bayar buku di sekolah. Kata Bu Guru, minggu depan harus sudah lunas.”

Mendengar ucapan sang adik, Tiara menghentikan pekerjaannya dan menoleh. Hatinya tergores. Mereka baru saja menyelesaikan pembayaran untuk seragam Raka, kini kebutuhan lain datang menyapa. Tiara tahu betapa beratnya mencari tambahan uang dengan kondisi ekonomi keluarganya yang terbatas.

Ibunya meletakkan sikat cucinya, mendekati Raka, dan mengusap kepala sang anak dengan penuh cinta. “Ibu akan cari cara, Nak. Jangan khawatir. Nanti sore, Ibu akan coba pinjam ke tetangga.”

Tiara menggigit bibirnya, merasa tak berdaya. Dia tahu ibunya tidak ingin membuat anak-anaknya khawatir, tapi Tiara bisa melihat kelelahan dan tekanan yang dirasakan ibunya. Menambah utang bukanlah solusi jangka panjang, pikir Tiara. Ia tahu orangtuanya sudah terlalu banyak meminjam dari tetangga, dan membayar utangnya pun terkadang sulit.

Ketika Raka kembali masuk ke rumah, Tiara menatap ibunya dengan tekad yang baru tumbuh. Ia tak bisa berdiam diri. Dalam pikirannya, ia harus melakukan sesuatu untuk membantu orangtuanya.

Tiara menoleh ke belakang dan melihat Pak Samsul, tetangganya yang bekerja sebagai satpam di sebuah klub malam. Pak Samsul adalah sosok yang ramah, sering menyapa anak-anak di lingkungan mereka dan menawarkan bantuan jika diperlukan. Beliau mendekati Tiara dengan senyum lebar.

“Bu,” kata Tiara pelan, namun pasti. “Aku mau cari kerja. Boleh kan, Bu? Tiara nggak bisa kalau cuma bantu Ibu cuci pakaian doang.”

Ibunya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Kamu mau kerja apa, sayang? Kau cuma lulusan SMP. Mencari pekerjaan di kota ini tidak mudah. Ibu tidak ingin kau susah…”

Tiara menggenggam tangan ibunya, menatap dengan keyakinan. “Tiara bakal coba, Bu. Apa pun pekerjaannya, Tiara lakukan. Yang penting Tiara bisa bantu adik-adik.”

Ibunya tidak menjawab, menatap mata putrinya dengan campuran bangga dan khawatir. Tiara tahu ibunya ingin melindunginya, namun di dalam lubuk hatinya, sang ibu juga tahu bahwa tekad putrinya sudah bulat.

Keesokan harinya, Tiara pergi dari rumah dengan semangat yang tinggi. Ia menyusuri jalan-jalan di sekitar kota kecil tempat tinggal mereka, berharap bisa menemukan pekerjaan meski hanya lulusan SMP. Namun, harapan sering kali berbeda dengan kenyataan.

Di setiap toko yang disinggahinya, jawaban yang diterima selalu sama. “Kami butuh karyawan dengan pengalaman,” atau “Maaf, kami tidak sedang mencari pegawai.” Tiara tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Ia terus berjalan dari satu tempat ke tempat lain, namun hasilnya tetap sama. Tidak ada yang mau menerimanya.

Sore itu, Tiara duduk di halte bus dengan wajah lesu. Di tangannya, beberapa brosur pekerjaan yang telah ia dapatkan sejak pagi, tetapi tidak ada satu pun yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Lulusan SMP memang tidak memberi banyak pilihan.

Namun, dalam hatinya, Tiara tidak ingin menyerah. Sempat terlintas di pikirannya untuk mencoba menjadi pemandu lagu saja, meskipun pekerjaan itu sering diremehkan dan dipandang sebelah mata. Tapi baginya, mungkin itulah satu-satunya pilihan yang tersisa. Baginya, apapun pekerjaannya, asalkan bisa mendapatkan penghasilan, itu sudah lebih dari cukup.

Tiara mengambil napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya. “Aku harus semangat, semua ini untuk adik-adikku,” ucapnya dalam hati, menguatkan tekadnya. Ia yakin bahwa segala sesuatu butuh pengorbanan.

Tanpa Tiara sadari, matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Ia kemudian berjalan kembali dengan perasaan hampa karena belum mendapatkan pekerjaan. Rasa lelah terlihat jelas di wajahnya, tetapi ia mencoba menutupi kegundahan hati dengan senyum kecil. Namun, senyumnya perlahan memudar ketika ia mengingat kembali hasil pencariannya yang nihil. Setiap tempat yang disambanginya seolah tertutup rapat, meninggalkan Tiara dengan rasa putus asa yang semakin besar.

Akhirnya, Tiara memutuskan untuk kembali ke rumah. Saat ia berjalan menuju rumahnya, terdengar suara laki-laki memanggilnya dari arah belakang.

“Tiara! Hei, Tiara! Tunggu…”

“Gimana kabarmu, Ra? Kamu habis dari mana?” tanyanya ramah.

Tiara tersenyum tipis. “Abis nyari kerja, Pak. Tapi belum dapet,” jawabnya dengan nada sedikit lesu.

Pak Samsul mengangguk pelan, seolah mengerti betul kesulitan yang Tiara hadapi. “Zaman sekarang emang susah cari kerja. Oh iya, kalau kamu nggak keberatan, Bapak mungkin bisa bantu.”

Mata Tiara langsung berbinar, sedikit harapan muncul. “Bantu bagaimana, Pak?”

“Di tempat saya kerja, biasanya sering butuh karyawan tambahan. Coba saja kamu melamar di sana, siapa tahu diterima. Kalau nggak salah kemarin-kemarin lagi butuh karyawan. Gajinya sih nggak gede, tapi lumayan lah buat tambah-tambah. Kalau mau, ambil sampingan saja, cuma jadi pemandu lagu, di karaoke gitu. Ya, kalau kamu mau sih itu juga,” jawab Pak Samsul santai namun penuh arti.

Tiara terdiam sejenak. Pikirannya berputar cepat. Bekerja di klub malam bukanlah pekerjaan yang ia bayangkan, apalagi sebagai pemandu karaoke. Ia tahu stigma yang melekat pada pekerjaan itu, bagaimana orang memandang rendah profesi tersebut. Tapi di sisi lain, Tiara tidak bisa terus-menerus menunggu kesempatan yang belum pasti. Ia butuh pekerjaan, dan keluarganya sangat membutuhkan penghasilan tambahan secepatnya.

Melihat keraguan di wajah Tiara, Pak Samsul menepuk pundaknya dengan lembut. “Gak usah buru-buru. Pikirkan baik-baik. Kalau memang kamu mau, besok sore Bapak bisa bawa kamu ke sana untuk melamar.”

Malam itu, Tiara duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela. Suara tawa adik-adiknya yang sedang bermain di halaman terdengar samar di kejauhan. Pikirannya terus berkecamuk. Bekerja di klub malam jelas bukan pilihan yang ideal, tetapi apalagi yang bisa ia lakukan? Tiara merasa terjebak antara harapannya untuk membantu keluarga dan ketakutannya mengecewakan ibunya.

Keesokan harinya, Tiara akhirnya memutuskan untuk melamar pekerjaan di tempat Pak Samsul bekerja. Dengan tekad yang bulat, ia menemui Pak Samsul di sore hari, dan bersama-sama mereka pergi ke klub malam tempat Pak Samsul bekerja.

Setibanya di sana, Tiara diajak berbicara dengan manajer klub, seorang pria berusia sekitar empat puluhan dengan wajah serius. Ia mulai menanyakan pengalaman kerja Tiara. Dengan jujur, Tiara menjawab bahwa ini adalah pertama kalinya ia melamar pekerjaan. Mendengar jawaban tersebut, pria itu hanya terdiam sejenak sebelum melanjutkan pertanyaannya.

“Di sini memang lagi butuh karyawan, terutama waiters. Kalau kamu mau, besok kamu sudah bisa langsung bekerja. Untuk sementara, paling training dulu, tapi kamu tidak usah khawatir, meskipun hanya training, kamu tetap akan menerima bayaran,” kata manajer itu dengan nada datar.

Hati Tiara berdebar-debar. Sejujurnya, ia merasa ragu dan takut bekerja di sini. Bukan karena pekerjaan itu sendiri, tetapi karena tempatnya. Bekerja di klub malam pasti akan menjadi bahan cibiran orang-orang, meskipun hanya sebagai pelayan. Namun, ia merasa tidak punya pilihan lain. Akhirnya, Tiara menerima tawaran pekerjaan tersebut. Dengan perasaan campur aduk, ia mengucapkan terima kasih kepada Pak Samsul dan kembali ke rumah.

Sesampainya di rumah, Tiara disambut oleh ibunya yang sedang sibuk menyiapkan makan malam untuk keluarga. Adik-adiknya, seperti biasa, berlarian di sekitar rumah sambil bersenda gurau. Kehangatan suasana keluarga itu membuat hati Tiara semakin berat. Ia tahu bahwa kabar yang akan ia sampaikan bisa mengecewakan ibunya, dan ia tidak siap untuk melihat kekecewaan itu di mata ibunya.

“Bu,” panggil Tiara pelan.

Ibunya menoleh sambil tersenyum. “Ada apa, sayang?”

Tiara menguatkan hatinya dan berusaha menyembunyikan kegugupan. “Tiara diterima kerja, Bu.”

Mata sang ibu melebar, penuh dengan rasa bahagia dan lega. “Beneran? Kerja di mana?”

Tiara menelan ludah. Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya, bahwa ia akan bekerja di klub malam. Ia terlalu takut jika ibunya akan kecewa dan merasa malu.

“Tiara kerja di toko pakaian, Bu. Jadi pelayan,” ucapnya berbohong dengan senyum yang dipaksakan.

Sang ibu tersenyum lebar dan langsung memeluk Tiara. “Alhamdulillah, Ibu senang mendengarnya. Semoga kamu bisa betah, ya.”

Tiara memeluk ibunya dengan erat, namun di dalam hatinya, ia merasakan perih yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kebohongannya terasa seperti beban berat di pundaknya, namun ia tidak punya pilihan lain. Demi keluarganya, Tiara rela menyembunyikan kebenaran.

Malam itu, meskipun tubuhnya terasa lelah, Tiara tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya terus berputar, membayangkan hari-hari yang harus ia hadapi ke depan. Di satu sisi, ia lega karena sudah mendapatkan pekerjaan, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa rahasia ini suatu hari nanti bisa terungkap dan melukai hati ibunya.

Namun, Tiara tahu satu hal: apa pun yang terjadi, ia akan terus berjuang. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarga yang dicintainya.

bab 2 : dibalik kebohongan

Sore itu, suasana rumah Tiara terasa lebih hangat dari biasanya. Sang ibu sedang menyiapkan masakan dengan senyum lebar yang tak pernah lepas dari wajahnya. Adik-adiknya, seperti biasa, berlarian di sekitar rumah, penuh dengan canda tawa, sementara Tiara duduk di meja makan, mengamati keluarganya yang tampak bahagia. Di dalam hatinya, ada rasa lega karena ia berhasil mendapatkan pekerjaan dan bisa membantu meringankan beban ekonomi keluarganya.

“Sayang, bekalnya jangan lupa dibawa ya. Ibu sudah siapkan untukmu,” ujar sang ibu sambil menyodorkan kotak makan berisi nasi dan lauk sederhana. “Ibu bener-bener bangga padamu. Akhirnya kamu bisa bekerja juga.”

Tiara pun tersenyum, meski dalam hatinya ada rasa bersalah yang mulai merayap. “Iya, Bu.”

Sang ibu melirik pakaian yang dikenakan Tiara: celana panjang hitam dan kemeja putih longgar. Pakaian itu sengaja dipilihnya agar tampak sopan di depan sang ibu, meskipun ia tahu bahwa seragam yang sebenarnya akan jauh berbeda dari yang ia gunakan saat ini.

Setelah Tiara menghabiskan makanannya, ia kemudian pamit dengan senyuman kepada ibu dan adik-adiknya. Di jalan menuju tempat kerja, hatinya mulai bergemuruh. Pikiran tentang pekerjaannya sebagai pelayan menghantui pikirannya. Bukan karena menjadi pelayan, tapi karena pekerjaan lain, yaitu sebagai pemandu karaoke. Sebelum ia diterima bekerja, sang manajer menjelaskan lebih detail tentang pekerjaannya. Itulah mengapa hatinya selalu dalam kegelisahan. Setiap langkahnya menuju club malam semakin membawanya jauh dalam kebohongan yang sudah ia katakan pada ibunya.

Sesampainya di club, Tiara langsung menuju ruang ganti. Manajer yang bertubuh kekar sudah menunggunya di sana, dengan pandangan tajam yang membuat Tiara merasa sedikit gugup.

“Tiara, ini seragammu,” kata manajer dengan nada tegas sambil menyerahkan pakaian yang terlipat rapi.

Tiara menerima pakaian itu dengan tangan gemetar. Ketika ia membuka lipatan seragam tersebut, hatinya mulai berdegup kencang. Sebuah rok hitam pendek, jauh di atas lutut, dan kemeja putih yang terlalu ketat. Seragam itu sangat jauh dari pakaian sopan yang ia kenakan saat keluar rumah tadi. Tiara menelan ludah, merasakan kerisihan yang mulai merayap ke seluruh tubuhnya.

“Ini terlalu pendek, Pak,” ucap Tiara merasa risih melihat seragam yang akan dikenakannya.

“Kamu harus pakai itu selama bekerja. Itu sudah bagian dari aturan di sini, semua pelayan harus memakai seragam ini,” tambah manajer tanpa basa-basi.

Dengan ragu, Tiara masuk ke kamar ganti. Matanya menatap cermin di hadapannya, memperhatikan bayangannya yang tampak begitu berbeda. Rok pendek itu membuatnya merasa tidak nyaman, apalagi kemeja putih yang ketat itu membuatnya sulit bergerak bebas. Ia terpaksa membuka satu kancing kemeja bagian atasnya demi membuatnya sedikit longgar meskipun ia merasa risih karena belahan dadanya sedikit terlihat.

Setelah bersiap, perlahan Tiara keluar dari ruang ganti. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah tiap langkahnya semakin menekan batinnya. Suasana di dalam club mulai ramai dengan pelanggan yang datang untuk menikmati malam mereka. Beberapa rekan kerjanya yang lain sudah berada di ruangan karaoke, menyambut pelanggan dengan senyuman lebar dan tawa yang riang.

Namun, di dalam hatinya, ada rasa takut yang terus bergelora. Takut jika suatu hari ibunya akan tahu pekerjaan aslinya. Ia merasa bersalah karena telah berbohong pada sang ibunda, meski ia tahu kebohongan itu dilakukannya demi kebaikan keluarganya, terutama untuk keempat adiknya.

Selama bekerja, Tiara berusaha tetap profesional. Ia melayani pelanggan dengan senyum meski hatinya terus dibebani oleh rasa bersalah. Setiap kali seorang pelanggan memanggilnya, ia harus menenangkan diri, menyembunyikan kegelisahannya di balik senyuman yang dipaksakan.

Jam kerja terasa berjalan begitu lambat. Ketika malam semakin larut, club semakin dipenuhi oleh suara tawa dan alunan musik keras. Tiara akhirnya bisa sedikit menyesuaikan diri, meski rasa risih dan ketidaknyamanan terus membayangi pikirannya.

Saat shift-nya selesai, Tiara kembali ke ruang ganti. Ketika ia melihat seragam yang baru saja ia tanggalkan, rasa risih itu kembali menyelimutinya. Ia cepat-cepat berganti ke pakaian yang ia kenakan saat berangkat tadi: celana hitam panjang dan kemeja longgar yang jauh lebih nyaman. Setelah memastikan dirinya tampak "biasa" lagi, ia berjalan pulang dengan hati yang masih diliputi rasa takut dan bersalah.

Sesampainya di rumah, Tiara melihat ibunya sudah tertidur di ruang tamu, kelelahan setelah bekerja seharian. Rasa bersalah di hatinya semakin membesar. Ia ingin menceritakan yang sebenarnya, namun rasa takut akan mengecewakan ibunya jauh lebih besar.

Tiara mencium kening ibunya yang terlelap, lalu menuju kamarnya dengan perasaan yang campur aduk. Ia tahu, kebohongan ini tidak bisa bertahan lama, tapi untuk sekarang, ia hanya berharap agar ibunya tetap bahagia dengan kebanggaan yang dirasakannya terhadap Tiara.

Hari-hari berlalu, perasaan Tiara mulai terasa lebih tenang. Suara musik yang dulu membuatnya gugup kini menjadi latar belakang yang biasa ia dengar. Setiap malam, ia menjalankan tugasnya dengan lebih lancar dalam menjamu tamu. Tiara selalu tersenyum dan memastikan setiap pengunjung merasa nyaman. Meskipun masih ada rasa risih di dalam dirinya, tapi seiring berjalannya waktu, ia mulai beradaptasi dengan lingkungan barunya.

Senyum ramah yang Tiara tampilkan selalu berhasil membuat para tamu betah berlama-lama. Ia tahu, senyum itu bukan hanya sekadar keramahan, melainkan tameng yang menutupi segala keresahannya. Setiap kali seorang tamu datang, Tiara akan menyambut mereka dengan sopan, menunjukkan kesan profesional meskipun hatinya kadang terasa berat.

Namun, di balik senyumannya, ada rasa risih yang tak bisa dihindari. Beberapa pengunjung sering bersikap kurang sopan; tak jarang mereka menyentuh tangan atau berbicara dengan nada yang merendahkan. Ia terpaksa tersenyum meskipun hatinya ingin melawan. Ia tahu, di tempat ini, menjaga suasana hati pengunjung adalah segalanya. Jika ia menunjukkan ketidaknyamanan, ada risiko besar ia akan kehilangan pekerjaannya.

Waktu pun terus berlalu. Saat ia sedang melayani pengunjung, seorang tamu yang mabuk mendekatinya dengan cara yang tidak menyenangkan. Ia mencoba menahan napas, tetap tersenyum meski rasa tidak nyaman meliputi dirinya. Dengan lembut, ia menghindari kontak fisik yang berlebihan dan segera mencari alasan untuk menjauh. Meski berhasil menghindar, hatinya tetap bergemuruh.

“Kamu cepat juga ya belajarnya, mantap, semangat ya, Ra,” puji salah satu rekannya saat mereka beristirahat di ruang belakang. “Senyum kamu bikin pengunjung pada betah,” lanjutnya.

Tiara tersenyum kecil. “Iya, makasih ya.”

Dalam hatinya, Tiara tahu ia harus bersikap seperti itu agar tetap aman di pekerjaannya. Meski beberapa kali hatinya merasa muak, ia sadar bahwa pekerjaan ini adalah satu-satunya cara untuk membantu keluarganya. Setiap malam, Tiara akan pulang dengan perasaan campur aduk antara lega karena bisa membantu keluarga dan risih karena harus menahan perasaan tidak nyaman sepanjang waktu.

Saat malam itu berakhir, Tiara menatap dirinya di cermin. Pakaian kerjanya, yang dulu terasa asing dan risih, kini mulai menjadi bagian dari rutinitas. Namun, setiap kali ia memandang bayangannya, rasa risih itu tidak pernah benar-benar hilang.

bab 3 : dibawah tekanan

Malam itu, suasana di club terasa lebih sibuk dari biasanya. Lampu-lampu berkelap-kelip menghiasi ruangan, sementara alunan musik menyelimuti setiap sudut. Tiara berdiri di belakang, menunggu instruksi dari manajernya seperti biasa. Namun, malam ini terasa berbeda. Manajernya, Pak Arif, memanggil Tiara dengan nada serius.

"Tiara, malam ini kamu bantu Diana menjamu tamu VIP," kata Pak Arif dengan tatapan tajam.

"VIP, Pak?" Tiara merasakan kegelisahan di dadanya.

"Ya, malam ini akan ada tamu penting. Kamu harus ikut bantu Diana. Jangan macam-macam, ya. Pastikan tamu-tamu kita puas."

Tiara terdiam sejenak. Ia ingin menolak, namun bayangan kehilangan pekerjaan yang sudah memberinya sedikit harapan langsung terlintas di pikirannya. Dengan berat hati, ia akhirnya mengangguk. “Baik, Pak.”

Diana menyambut Tiara dengan senyum tipis sebelum akhirnya mereka mulai bersiap menyambut tamu VIP tersebut. Diana sudah terbiasa dengan situasi ini, tapi bagi Tiara, malam itu adalah pertama kalinya ia harus menghadapi tamu penting secara langsung. Keduanya melangkah masuk ke ruangan VIP yang terpisah dari area utama club. Meja sudah penuh dengan makanan dan minuman mahal, sementara tamu yang duduk di sana tampak santai, tertawa keras dengan obrolan mereka yang seolah tak berujung.

Begitu Tiara masuk, salah satu tamu VIP langsung memperhatikannya. Tatapan pria itu membuat Tiara merasa tidak nyaman sejak awal. Tiara berusaha tersenyum tipis, mencoba menjaga sikap profesionalnya. Meskipun di dalam hatinya, ada perasaan takut mulai merayap.

Sepanjang malam, Tiara berusaha menjalankan tugasnya dengan baik, mengikuti Diana yang dengan luwes mengobrol dengan para tamu. Namun, tak lama, salah satu tamu mulai mengarahkan perhatiannya pada Tiara. Setiap kali ia lewat untuk menuangkan minuman, tangan tamu itu tak henti-hentinya menyentuh tangan Tiara, menyapu pelan dengan sentuhan yang tidak diinginkan. Tiara menahan napas, tangannya gemetar, tapi ia tetap tersenyum.

"Kamu manis sekali malam ini, siapa namamu?" ujar tamu itu sambil tersenyum, tangannya terus menyentuh jemari Tiara dengan lembut, namun terasa sangat mengganggu.

"Tiara," ucapnya pelan.

Tiara merasakan jantungnya berdebar kencang. Hatinya semakin kacau. Di satu sisi, ia merasa dilecehkan; sentuhan-sentuhan itu jelas tidak menyenangkan. Namun, di sisi lain, ia tahu jika ia menolak atau menunjukkan ketidaknyamanan, semuanya bisa berakhir buruk. Uang yang diberikan oleh tamu-tamu ini terlalu besar untuk ditolak, terutama mengingat kebutuhan keluarganya yang sangat mendesak.

Diana sesekali melirik Tiara, seolah mengisyaratkan bahwa semua ini adalah hal yang biasa dalam pekerjaan mereka. Tapi bagi Tiara, setiap sentuhan dari tamu VIP itu semakin membuat hatinya tertekan. Malam itu terasa sangat panjang, dan semakin lama, tekanan yang ia rasakan semakin berat.

Ketika tamu VIP itu kembali menarik tangannya dengan sentuhan lembut, kali ini Tiara tidak bisa lagi menyembunyikan kegelisahannya. Namun, ia tetap memaksa dirinya untuk tersenyum, meski hatinya terasa hancur. Di dalam pikirannya, hanya ada satu hal yang terpikirkan: ia harus bertahan, demi keluarganya.

Suasana ruangan VIP semakin bising. Tawa keras dan musik yang mengalun memadukan rasa tegang dalam hati Tiara. Ia terus berusaha tersenyum, meski pikirannya penuh dengan kebingungan. Diana, yang sejak awal terlihat santai, kini sudah duduk di pangkuan Pak Martin, salah satu tamu yang ada di ruangan tersebut. Ia bernyanyi dengan nada menggoda, diselingi tawa dan sedikit gerakan nakal yang membuat Pak Martin semakin tergelak. Tiara menyaksikan adegan itu dengan jantung berdebar.

Salah satu tamu, bernama Fajar, menatap ke arahnya dengan pandangan yang tak bisa dihindari. "Sini, duduk di samping aku," katanya sambil menepuk tempat kosong di sebelahnya.

Tiara terdiam. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Ia menatap Diana dengan harapan bisa meminta bantuan, tapi Diana hanya memberikan tatapan tajam, seolah memerintahkannya untuk menurut.

Dengan berat hati dan tanpa pilihan, Tiara berjalan mendekat dan duduk di sampingnya. Pria itu tersenyum puas, merangkul bahu Tiara tanpa ragu. Tiara berusaha menahan napas, mencoba mengalihkan pikiran dari rasa risih yang semakin mendominasi.

Sementara itu, Diana terus bernyanyi sambil menggoda Pak Martin dengan canda tawa dan jogetan kecil yang semakin membuat suasana memanas. Tiara melirik ke arah Diana, berharap ada cara untuk melepaskan diri, namun tatapan Diana seakan memberitahu bahwa ini adalah bagian dari pekerjaan.

Kini Fajar semakin akrab dengan Tiara. Ia mulai memainkan jarinya di sepanjang lengannya. Tiara menggigit bibir, berusaha menahan rasa tidak nyaman yang semakin menggerogoti dirinya. Detik demi detik terasa semakin lambat. Tiara tahu, ia tidak boleh menolak, karena ini adalah tamu VIP. Tamu yang tidak boleh dikecewakan.

Senyuman Fajar semakin melebar ketika ia menarik Tiara lebih dekat. Tanpa peringatan, ia menunduk dan mengecup pipi Tiara dengan ringan. Tangannya yang sedari tadi merangkul perlahan mulai nakal. Beberapa kali tangannya terasa menyentuh dan sedikit meremas semangkanya. Tiara menegang, namun tetap diam, takut akan konsekuensi jika ia menolak.

"Kamu cantik, besar dan kenyal. Makasih ya udah buat aku bahagia," kata Fajar sambil terkekeh.

Tiara hanya mengangguk pelan, meski hatinya penuh dengan rasa risih yang menyesakkan. Saat ciuman ringan itu kembali mendarat di pipinya, Tiara merasakan keinginan kuat untuk segera keluar dari ruangan itu. Namun, ia tahu, semua ini belum berakhir.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, akhirnya waktu bersenang-senang itu selesai. Fajar melepaskan rangkulannya, berdiri dengan tawa puas. "Terima kasih untuk malam yang luar biasa ini," katanya sambil mengedipkan mata ke arah Tiara.

Tiara segera bangkit, tak ingin berlama-lama di sana. Ia kembali ke ruang ganti dengan langkah cepat, rasa kesal dan jijik membanjiri hatinya. Begitu sampai di ruang ganti, Diana menyusulnya dengan senyum tipis di wajahnya.

"Kamu mesti membiasakan diri, Ra. Dulu aku juga sama, risih dan merasa jijik, tapi ya mau gimana, ini udah bagian dari pekerjaan. Kalau kita nggak mau adaptasi, kita nggak bakal bisa kerja di sini. Lagian, uangnya juga lumayan kan? Lagian, di mana ada kerjaan yang segampang ini, nemenin duduk doang terus dapat duit."

Tiara diam. Hatinya berperang antara rasa benci pada situasi ini dan rasa tanggung jawabnya kepada keluarga. Ia tak punya pilihan. Dengan perasaan yang campur aduk, ia hanya mengangguk lemah kepada Diana, lalu mengganti pakaian kerjanya.

Malam itu, Tiara pulang dengan pikiran yang penuh kekacauan. Tubuhnya lelah, pikirannya tak bisa tenang. Begitu sampai di rumah, ia melihat ibunya sudah tertidur pulas di kasur tua mereka. Tiara mengeluarkan uang yang ia dapatkan malam itu, dan dengan hati-hati, ia menyelipkannya di bawah bantal ibunya. Ini satu-satunya cara yang ia tahu untuk membantu keluarganya bertahan hidup.

Tiara menatap langit-langit kamar dengan perasaan tak menentu sebelum akhirnya perlahan-lahan terlelap dalam kelelahan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!