Terlihat seorang gadis belia yang mematung kaku sambil melihat ke arah jendela kamarnya. Sudah tiga pekan gadis itu tidak makan, kecuali sereal untuk bayi yang di suapi oleh ibunya. Sekar namanya. Sesuai wajahnya yang secantik bunga.
Sayang, madu dari nektar bunganya telah di renggut oleh kumbang yang tidak bertanggung jawab. Gadis itu mengalami depresi ringan pasca ia mengetahui kehamilannya.
Sekar tak menyangka sama sekali, bahwa kejadian buruk yang menimpanya di kota akan meninggalkan sesuatu yang semakin menekan mentalnya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Apa yang akan ia katakan pada teman-temannya di desa? Sekar terbungkus kebingungan dan terkurung keputusasaan.
"Mas, gimana nasib anak kita? Kalau sekar sakit bagaimana?" Entah sudah berapa kali Semar mendapati pertanyaan yang tak pernah ia tau jawabannya. Pria itu lagi-lagi hanya bisa mengucapkan istighfar sambil mengusap dadanya.
Ia dan istrinya dengan lapang dada menerima keadaan putri mereka. Bagaimana lagi, toh semua adalah musibah. Mungkin ini semua teguran dari Allah atas tindakan putrinya yang sempat membangkang larangannya. Atau mungkin ini juga teguran dari Allah untuk ia karena belum bisa menjadi ayah yang bisa di teladani oleh putrinya.
Semar tidak menyalahkan siapapun selain dirinya dan menerima itu semua sebagai takdir. Akan tetapi Sekar yang memang masih muda dan memiliki cita-cita, nyatanya tidak dapat menerima kenyataan pahit yang menimpa dirinya.
"Kamu jagain Sekar ya. Aku mau diskusi dengan Mas Alif dan ustadz Zayn. Semoga mereka bisa memberikan jalan keluar dari masalah kita ini," kata Semar, meminta ijin pada istrinya untuk pergi ke pesantren DARUSSALAM.
Pesantren yang di dirikan oleh ustadz Zayn, anak dari Max dan Arumi.
"Pergilah. Semoga ada jalan keluar dari keadaan Sekar," ucap istrinya Semar mengijinkan suaminya pergi malam itu.
Wanita itu beralih ke dalam, menghampiri putrinya yang masih dengan posisi sama sejak beberapa jam yang lalu.
"Nak, apa kamu tidak lelah duduk di depan jendela terus? Pindah ke tempat tidur ya," tawar sang ibu.
Sekar menoleh dengan tatapan nanar. "Maaf, Sekar telah gagal menjadi anak kalian. Sekar membuat ibu dan bapak malu. Sekar telah--"
"Berhenti menyalahkan diri sendiri. Berhenti berpikir seperti itu. Ibu dan bapak, sangat menyayangimu. Kami bangga memiliki anak perempuan sepertimu. Kau gadis yang pintar dan cantik, Nak. Masa depanmu masih panjang. Kita hadapi ini semua sama-sama, tenanglah," bisik wanita itu sambil memeluk putrinya. Ia menahan agar tangisnya tak meledak seperti biasa. Ia harus kuat dan tegar demi Sekar.
"Berdoalah pada Tuhan, agar Sekar mati saja, Bu. Itu lebih baik," ucapnya datar tanpa ekspresi sama sekali. Gadis itu bahkan sudah kehabisan stok air mata. Batinnya sudah tak ada ruang lagi untuk luka, semua sudah penuh dengan segala kesakitan yang di torehkan pria durjana itu.
Sang ibu hanya bisa menunduk demi menutupi tangisnya. Permintaan putrinya kali ini cukup menikam hingga ke ulu hatinya. Ibu mana yang akan mendoakan hal sekejam itu pada anaknya?
Sementara itu di kediaman ustadz Zayn yang berada cukup dekat dengan lingkungan pesantren. Di sana telah berkumpul, Max, Dave dan juga ustadz muda itu.
Gareng hanya bisa melihat dari jauh. Ia memilih tidak ikut duduk di antara semua orang. Seandainya saja balas dendam di perbolehkan dalam agama, sudah pasti ia cari pria yang telah memperkosa hingga adik perempuan satu-satunya itu hamil dan depresi.
"Berbagai cara yang telah ustadz dan pak yai ajarkan telah saya lakukan. Namun tidak satupun yang dapat membuat Sekar menjadi semangat hidup lagi. Putri saya memang sudah tak lagi mencoba bunuh diri, akan tetapi kali ini yang ia lakukan adalah menyiksa dirinya dengan menolak makan dan juga minum. Saya dan istri sudah tak tau lagi harus berbuat apa." Semar bercerita sambil sesekali mengusap ujung matanya.
"Satu-satunya cara, kita harus mencari laki-laki yang mau menikahi Sekar," kata ustadz Zayn.
"Tapi, siapa yang mau menikahi perempuan yang sudah tak lagi suci? Bahkan sedang hamil tiga bulan?"
Dave tersentak. Pria itu mendongak menatap kesedihan mendalam yang tersirat di wajah sahabatnya itu. Ya, Dave, Max dan Zayn telah menganggap Semar adalah sahabat mereka yang bersama-sama berjuang hingga bangunan pesantren tersebut tegak berdiri.
"Saya, yang akan menikahinya."
"APA!! Max terkejut bukan main. Setaunya, Dave masih belum move on atas meninggalnya Anne. Mendiang istrinya Dave yang tiada beberapa bulan lalu.
"Paman, apa kau yakin?" Kali ini, giliran Zayn yang angkat suara.
"Mas Dave ..." Semar menjadi salah satu orang yang paling terkejut di sini. Apalagi, usia pria itu dan putrinya memiliki selisih yang sangat jauh. Mereka lebih pantas menjadi ayah dan anak.
"Dave. Kau yakin? Kau tau hukumnya menikahi perempuan yang hamil di luar nikah? Kau tidak akan bisa menyentuhnya sampai ia --"
"Aku tidak akan pernah menyentuhnya. Aku hanya memberikan status padanya dan juga calon anaknya." Dave memotong begitu saja ucapan sahabatnya, Max.
Mendengar itu, Semar merasa seperti musafir yang akhirnya menemukan air. Pria itu senang sekali. Hingga ia pamit pulang pada semuanya untuk menyampaikan hal ini pada putrinya.
*
*
"Sekar, tidak menginginkan anak ini, Pak. Sekar tidak mau menerimanya!" pekik Sekar seraya memukul-mukul perutnya yang masih rata.
________________
ASSALAMUALAIKUM SAYANGKU SEMUAAAA ....
ALHAMDULILLAH AKHIRNYA PUBLISH JUGA NIH NOVEL DAVE SAMA SEKAR.
GIMANA-GIMANA, SENENG GAK??
MAKASIH YA, KALIAN UDAH SABAAAAR BANGET NUNGGUIN.
MAAPIN OTOR KARENA BARU SEMPAT NGERJAINNYA.
POKOKNYA KALIAN HARUS LIKE, KOMEN YANG RAME, VOTE DAN GIFT NOVEL INI🥳🥳🤗🤗
SAMPE KETEMU DI BAB SELANJUTNYA YAAA ....TATAAAAA ...
"Menikahlah dengan tuan Dave. Beliau akan memberikan nama baik dan perlindungan untuk kalian." Ucapan sang ayah sontak membuat gadis berwajah ayu itu terkesiap. Rambutnya yang berantakan menutupi sebagian wajahnya yang sembab.
Miranti menyibak anak rambut yang menutupi sebagian wajah putrinya itu perlahan. "Besok beliau akan datang kesini untuk menemuimu. Semangatlah. Jangan biarkan bayi tak bersalah itu menanggung dosa," bisik wanita itu lirih.
"Pria bodoh mana, yang mau menikahi gadis kotor seperti Sekar, Bu? Bahkan, aku sedang mengandung anak haram sekarang!" Sekar masih belum mampu menguasai emosinya. Meskipun kedua orang tuanya begitu sabar membujuknya.
"Astagfirullahal adzim. Janganlah begini, Nak. Bapak dan Ibu sangat sedih melihatmu begini." Miranti terus mengelus punggung putrinya sambil sesekali mengecup pelipis gadis ayu itu. Sekar memiliki wajah yang menarik dengan alis hitam dan bulu mata lentik. Siapa pun akan terpesona.
Sebenarnya banyak pemuda yang menginginkan gadis itu. Juga ada beberapa orang tua yang telah meminta putrinya langsung kepada Semar. Akan tetapi, apakah mereka akan menerima putrinya itu dengan keadaannya yang sekarang? Semar tak yakin. Jika saja mereka tau, maka bukan hanya nama baiknya, akan tetapi pencitraan putrinya selama ini yang terkenal baik-baik pun akan tercemar. Bisa saja mereka akan menghinanya habis-habisan.
Semar tak menginginkan hal itu terjadi. Ia akan melindungi putrinya sekuat tenaga. Semar telah merasa kecolongan dan bersalah atas apa yang menimpa Sekar di kota. Semua itu ia anggap sebagai keteledorannya sebagai orang tua. Semua salahnya, kenapa ia tak sekuat tenaga menahan putrinya itu ketika akan pergi. Ya, Semar hanya menyalahkan dirinya seorang.
"Sekar. Bapak mohon kamu dengar ini, Nak. Jangan pernah menyebutnya anak haram. Bayimu tak bersalah. Semua yang terjadi padamu sudah menjadi ketetapan dari Allah. Kamu tak bisa terus-terusan menghakiminya. Allah maha tau, Nak. Pasti ada hal baik di balik ini semua. Allah pasti menyiapkan rencana yang baik untuk kamu di masa depan. Yakinlah atas segala takdirnya." Semar berkata dengan begitu bijak dan meneduhkan.
Pria itu mampu menenangkan batin sang putri yang terus bergejolak dalam amarah dan penolakan. Semar mendekati Sekar, kemudian menarik tubuh mungil gadis itu ke dalam pelukannya.
"Kalau mau salahkan, ya salahkan Bapak saja. Seharusnya pada saat kamu pergi, Bapak segera menyusulmu. Bukan malah membiarkanmu ke kota yang mengerikan itu sendirian. Bapak ini sudah gagal menjagamu, Nak. Ijinkan Bapak menebusnya. Menikahlah dengan tuan Dave. Beliau telah berjanji akan menjaga kalian. Membawa kamu dan juga bayiku ke lingkungan pesantren. Kamu pasti akan lebih tenang di sana."
Mendengar ucapan sang bapak, Sekar seketika menangis dengan hebat. Walaupun Semar menyalahkan dirinya, akan tetapi Sekar justru semakin merasa bersalah. Andai saja dulu dia mendengarkan apa kata pria itu. Andai saja dulu dia tidak sok tau dan keras kepala. Mungkin ini semua tidak akan terjadi padanya. Mungkin dia tidak akan tertipu hingga berakhir di jual ke seorang Casanova.
"Ndak! Bapak ndak salah. Sekar yang bersalah di sini karena tidak mendengar nasihatmu. Berhenti mengatai dirimu gagal, Pak. Sekar yang telah gagal jadi anak kebanggaanmu. Sekar minta maaf ...!" Sekar tergugu hingga tau-tau menjatuhkan dirinya dan berlutut.
Sekar memegangi kedua kaki sang bapak. Semar ikut menjatuhkan tubuhnya. "Bangunlah. Nanti perutmu sakit. Kasian dia yang di dalam sana. Itu kan cucu, Bapak dan Ibuk. Anakmu," kata Semar dengan lembut.
Ia dan Miranti telah berdamai dengan kejadian yang menimpa putri satu-satunya itu. Tak lagi ada kemarahan di sana. Keduanya sama-sama introspeksi diri ketimbang menyalahkan putri mereka.
"Sekar mau, ketemu tuan Dave."
Miranti dan Semar saling menatap, kemudian menyapu rintik air mata mereka dengan senyum yang mencuat.
"Alhamdulillah, Buk." Semar langsung menggenggam tangan Miranti.
*
*
"Kau yakin Dave?" tanya Max malam itu. Ketika ia dan sahabatnya baru selesai patroli bangunan santri laki-laki.
"Yakin tentang apa?" Dave mengernyitkan keningnya bingung. Gak ada angin gak ada ujan. Max tau-tau bertanya seperti itu.
Max menghela napasnya lebih dulu. Kemudian ia menatap sahabatnya itu dengan lekat. "Keputusanmu, yang akan menikahi putrinya Semar. Apa kau yakin? Kau benar sudah--"
"Tentu aku yakin. Tapi ada syarat dan ketentuan yang akan berlaku. Aku hanya bermaksud menjaga nama baik keluarga mereka. Termasuk gadis itu dah juga anaknya nanti."
"Maksudmu?"
"Seperti yang kau tau sebelumnya. Aku tidak akan menyentuhnya sampai kapanpun. Dia gadis kecil, Max. Sementara hatiku telah pergi bersama Anne."
"Dave, kau--"
"Aku hanya bisa menawarkan bantuan sebatas itu. Semua terserah padanya." Dave kemudian pergi begitu saja setelah mengatakan isi hatinya itu pada Max.
"Ya Allah. Apakah ini solusi terbaik?" Max mengusap wajahnya gusar.
Hari ini keduanya benar-benar bertemu. Didampingi oleh Semar dan Max. Sekar dengan kerudung pasminanya, terlihat manis. Namun itu tak menjadi perhatian seorang Dave.
Pria itu hanya sekilas melihat ke arah gadis mungil yang manis itu. Berpikir, betapa jahatnya kelakuan mantan calon menantunya dulu. Darren Dajjal. Andai saja dia masih yang dulu, mungkin pria itu telah ia kirimkan virus mematikan pada kediamannya. Agar Darren mati tersiksa dengan penyakit yang tak akan ada obatnya. Karena memang kelompok Black Hawk terkenal sebagai ilmuwan.
"Sepertinya, putrimu perlu bicara denganku," kata Dave tiba-tiba. Akhirnya pria itu membuka suaranya. Memecah kesunyian yang memerangkap keempat orang itu.
Semar mengangguk. Pria pribumi dengan kontur wajah khas itu menoleh ke arah putrinya. "Sekar, mungkin ada yang ingin kamu bicarakan dengan Tuan Dave?" tanya Semar dengan lembut.
Putrinya itu sontak mengangkat kepala, menatap ke arahnya dengan sorot mata memohon. Sekar tak berani. Pria yang akan menikahinya itu begitu berwibawa dan tidak tersentuh. Sekar pun menggeleng pelan.
"Tapi, kalian akan menikah. Berkenalanlah lebih dulu. Ayo, Nak. Tuan Dave adalah pria yang sangat baik," ucap Semar lagi pelan. Ia mencoba membujuk dan meyakinkan putrinya.
Pada akhirnya Sekar menurut. Satu hal dalam pikirannya adalah, ia takkan mengecewakan bapaknya lagi. Pria yang berbesar hati menerima kesalahannya. Pria yang telah ia kecewakan dengan begitu besar. Pria yang telah ia lukai perasaannya dengan sikapnya yang membangkang.
Melihat gerak-gerik Sekar yang meliriknya, Dave langsung berdiri dan berjalan lebih dulu ke depan gazebo yang ada di salah satu sudut pesantren Darussalam itu.
"Kemarilah, jangan takut padaku," panggil Dave agar Sekar sedikit mendekat padanya. Gadis itu maju sedikit demi sedikit dengan kepala tertunduk. Hingga akhirnya Sekar terantuk kakinya sendiri.
Grepp!
Untung saja, dengan sigap Dave menahan tubuh mungilnya itu. Kalau tidak, mungkin Sekar sudah terjerembab ke atas tanah. Tatapan keduanya sempat bertabrakan sepersekian detik. Hingga Dave buru-buru mengalihkan pandangannya dan melepas pegangannya.
"Hati-hati. Kau sedang mengandung," kata Dave datar, bahkan tanpa ekspresi sama sekali. Siapa pula orang yang tak grogi jika harus di hadapkan dengan pria sepertinya. Apalagi hanya bagi Sekar, gadis desa biasa.
Gadis berwajah ayu itu semakin menundukkan wajahnya. Kecerobohannya barusan membuatnya semakin tak memiliki kepercayaan diri untuk berhadapan dengan pria penuh kharisma di hadapannya ini. Ah, kenapa harus pria seperti ini yang mau menjadi suaminya? Bagaimana ia bersikap nanti? Itulah beberapa pikiran yang berkelebat di dalam kepala Sekar.
"Kamu pasti bertanya-tanya kenapa saya menawarkan diri untuk menikahimu. Apalagi usia kita terpaut jauh dan di balik status saya yang belum lama kehilangan istri. Benar begitu kan, Nona Sekar?" tanya Dave membuka sesi obrolan mereka. Ia sedikit menoleh karena tak ada sahutan dari gadis yang Istiqomah berdiri di belakang tubuhnya.
Dave kembali berbalik. Rupanya gadis itu gak nyaman jika berhadapan dengannya.
"Saya melakukannya, karena saya tau takkan ada pria di desa ini yang akan menerima kamu dengan keadaan seperti sekarang ini. Saya juga merasa bertanggung jawab terhadap keadaanmu karena ... hubungan masa lalu saya dengan pria yang melecehkanmu. Niat saya baik terhadapmu, hanya saja ... saya tidak bisa memberikanmu tahta yang utuh di pernikahan kita nanti. Kau paham, Nona?" jelas Dave dengan nada bicaranya yang tegas namun tetap sopan.
Sekar, sempat terkejut mendengar penuturan Dave. Namun ia tak mau memikirkan tentang hubungan masa lalu pria itu terhadap laki-laki durjana yang telah menciptakan penderita dan luka fisik sekaligus batin padanya. Sekar tak peduli itu. Namun dia mengiyakan pernyataan Dave mengenai tak ada pria yang mau menikahinya apabila tau mengenai keadaannya.
Tanpa sadar hal itu membuatnya mengangguk pelan. Tapi mana Dave tau, pria itu bahkan membelakanginya sekarang. Walaupun begitu, Dave tak ambil pusing. Mau Sekar menyahut atau tidak perkataannya. Dave paham dengan keadaan gadis itu yang saat ini tertekan dari segala sisi.
Dave memutuskan berbalik dengan tiba-tiba. Hal itu membuat Sekar terkesiap, hingga ia memundurkan tubuhnya.
"Aku tidak bisa mengkhianati mendiang istriku. Apakah kau ridho jika menjadi istri yang tidak tersentuh? Kalau setuju, ayo kita menikah!"
Untuk pertama kalinya, Sekar berani memandang wajah dengan pahatan sempurna itu.
Dengan suara bergetar ia menjawab. "Sekar setuju. Bukankah, jika semua sesuai kesepakatan, maka pernikahan kita tetap sah di mata Agama dan Tuhan? Jika Tuan sudah tidak sanggup, maka boleh ceraikan saya."
Dave terdiam.
Ucapan gadis mungil di hadapannya menohok sudut hatinya. Ia sama sekali tak berniat membuat pernikahan ini seolah perjanjian dengan masa tertentu, selayaknya nikah kontrak. Tidak begitu.
*
*
Pernikahan sederhana di laksanakan di area pesantren Darussalam. Tepatnya di dalam aula masjid An-Nur.
"Bersabarlah. Ibu yakin, ini adalah jalan keluar dari Allah untukmu. Patuhi dia, dan curahkan baktimu padanya."
Sekar mengangguk dan tersenyum demi menenangkan hati ibunya. Padahal gemuruh itu hampir meledak dari dalam dadanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!