Catherine Donovan, seorang psikolog yang sukses di kota New York, berjalan dengan tenang menuju pameran seni yang digelar di salah satu galeri terkenal di kota. Meski baru beberapa jam sebelumnya dia selesai dengan jadwal klien yang padat, pameran lukisan ini menawarkan pelarian dari rutinitas hariannya yang intens. Seni selalu menjadi pelipur lara baginya, satu-satunya bentuk ekspresi yang tidak dipenuhi oleh suara-suara pikiran orang lain. Dia membutuhkan keheningan itu—di dalam pikirannya sendiri.
Di balik senyum ramahnya yang selalu dia tunjukkan kepada klien-kliennya, Catherine menyimpan sebuah rahasia besar. Dia memiliki kemampuan yang tidak dimiliki orang lain: bisa membaca pikiran. Sejak kecil, bakat ini telah menjadi bagian dari hidupnya, dan seiring waktu, dia mengasahnya hingga menjadi alat yang ampuh dalam pekerjaannya sebagai psikolog. Meskipun begitu, kemampuan ini juga membawa banyak masalah pribadi. Dalam hubungan, dia sering kali merasa terbebani dengan mengetahui hal-hal yang bahkan orang-orang terdekatnya tidak ingin dia ketahui. Selalu tahu apa yang orang lain pikirkan, tapi jarang merasakan kejujuran atau keterbukaan yang sejati.
Saat dia melangkah masuk ke dalam galeri seni, suasana yang damai langsung menyelimuti dirinya. Catherine menyukai tempat seperti ini—seni dalam bentuk lukisan, patung, atau instalasi tidak memiliki pikiran yang bisa dia baca. Ia bisa meresapi keindahan murni tanpa harus disibukkan oleh suara-suara dalam kepalanya.
Hari ini, galeri itu menampilkan karya seorang pelukis lokal yang terkenal dengan gaya abstraknya yang memukau. Lukisan-lukisan yang penuh warna dan emosi tergantung di sepanjang dinding putih galeri. Catherine merasa terhibur oleh kerumunan yang sibuk berbincang-bincang di sekitar lukisan. Sesekali, dia mendengar pikiran mereka—beberapa memuji karya seni, yang lain hanya datang untuk pamer atau menghabiskan waktu luang.
Setelah berkeliling sebentar, Catherine berhenti di depan sebuah lukisan besar yang menarik perhatiannya. Karya itu menggambarkan kekacauan warna yang anehnya terasa harmonis. Ada sesuatu dalam pola dan bentuk abstrak yang membuatnya merasa terhubung, meskipun dia tidak bisa menjelaskan alasannya.
Di saat itulah, seorang pria berdiri di sampingnya. Catherine menyadarinya hanya dari ekor matanya pada awalnya, namun ada sesuatu tentang pria ini yang membuatnya menoleh. Dia memiliki postur tegap dan aura tenang yang kuat, hampir mengintimidasi. Rambutnya hitam, rapi, dengan sedikit semburat abu di pelipisnya. Penampilannya tampak elegan, namun ada aura misterius yang mengelilinginya.
Pria itu melirik Catherine sekilas dan kemudian kembali memandangi lukisan di depannya.
“Aneh, ya? Kekacauan yang indah,” katanya perlahan, suaranya dalam dan menenangkan.
Catherine tersenyum tipis dan mengangguk. “Ya, sepertinya begitu. Saya suka bagaimana lukisan ini tampak tidak teratur, tapi tetap terasa ada keselarasan di baliknya.”
Dia merasakan dorongan alami untuk mencoba membaca pikirannya. Bukan karena ingin mengganggunya, tetapi dia selalu penasaran dengan orang-orang seperti ini—yang tenang, namun penuh rahasia. Dia membiarkan pikirannya bersentuhan dengan milik pria itu, berharap mendapatkan petunjuk.
Yang mengejutkan Catherine adalah betapa mudahnya dia bisa menangkap sedikit dari pikirannya. Leo, begitu pria itu bernama, tampak penasaran padanya. Pikiran Leo menunjukkan ketertarikan yang samar, seolah dia mencoba menilai siapa Catherine sebenarnya. Ada dorongan keingintahuan yang kuat, tetapi juga kendali yang luar biasa. Seperti seseorang yang terbiasa menutup emosi atau memproyeksikan hanya apa yang dia inginkan.
"Leo," pria itu memperkenalkan diri, mengulurkan tangannya. "Nama saya Leo. Apa kamu juga penggemar seni?"
Catherine menerima jabat tangannya dan tersenyum. "Catherine. Ya, saya suka seni. Ini semacam pelarian dari kesibukan sehari-hari."
“Pelarian, ya? Dari pekerjaan, saya asumsikan?”
Catherine mengangguk. “Tepat sekali. Saya bekerja sebagai psikolog.”
Leo mengangkat alisnya, seolah-olah tertarik, tetapi Catherine merasa itu lebih dari sekadar respons sopan. “Sepertinya pekerjaan yang berat, berurusan dengan pikiran orang lain setiap hari.”
Catherine terkekeh kecil. "Ya, kadang-kadang."
Di dalam pikirannya, Catherine mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Leo. Apa yang Leo pikirkan tentangnya? Dia bisa merasakan ketertarikan dan sedikit rasa ingin tahu, tetapi ada sesuatu yang mengganggunya. Meskipun dia bisa membaca pikirannya, pikiran Leo terasa terkendali, seolah-olah dia mengizinkan Catherine untuk mengetahui hanya apa yang dia inginkan. Ini bukan pertama kalinya Catherine bertemu seseorang yang sangat pandai mengendalikan pikiran mereka, tetapi jarang ada orang yang bisa melakukannya dengan cara sehalus ini.
"Dan kamu sendiri?" tanya Catherine, mencoba untuk mengetahui lebih banyak. "Apa yang kamu lakukan?"
Leo tersenyum tipis, senyum yang tampak menyembunyikan sesuatu. “Ah, tidak ada yang terlalu menarik. Saya menjalankan beberapa bisnis di sana-sini.”
Catherine merasakan ketidakjelasan dalam jawabannya, tetapi dia tidak menekannya. Ini pertemuan pertama mereka, dan dia tidak ingin terdengar terlalu ingin tahu. Namun, Leo memancarkan aura misteri yang semakin membuat Catherine tertarik. Biasanya, dia bisa dengan mudah memahami seseorang hanya dengan membaca pikiran mereka, tetapi dengan Leo, ada banyak lapisan yang dia tidak bisa tembus.
“Jadi, lukisan ini yang menarik perhatianmu?” tanya Leo, mengalihkan perhatian mereka kembali ke karya seni.
“Iya,” jawab Catherine, kembali memandang lukisan itu. “Ada sesuatu tentang lukisan ini yang—saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya—menarik, meskipun terlihat kacau.”
Leo memandang lukisan itu dengan tatapan yang lebih serius. “Kacau tapi harmonis. Seperti hidup, bukan?”
Kata-kata itu membuat Catherine terdiam sejenak. Hidupnya sendiri sering kali terasa seperti lukisan itu—kacau di luar, tetapi ada semacam ketertiban dalam pikirannya, meskipun terletak dalam kemampuan yang memberinya keunggulan tapi juga memisahkannya dari banyak orang.
Namun, dengan Leo, Catherine tidak merasakan ketertiban itu. Dia merasa ada sesuatu yang lebih dalam di balik ketenangan luar yang ditampilkan pria itu.
“Saya rasa begitu,” balas Catherine. “Terkadang, kekacauan itu membuat kita merasa hidup.”
Leo menatapnya, kali ini lebih lama, seolah-olah menilai kata-katanya. Catherine mencoba menebak apa yang dia pikirkan, tetapi meskipun dia bisa membaca pikiran pria ini, ada sesuatu yang tak tertangkap. Leo terlalu terkendali.
“Sepertinya kita melihat dunia dengan cara yang mirip,” kata Leo akhirnya, suaranya tenang namun penuh dengan sesuatu yang tersembunyi.
Percakapan mereka mengalir dengan mudah, tetapi Catherine tahu ada lebih dari sekadar obrolan ringan di sini. Leo memancarkan rasa ingin tahu yang tajam, seolah dia tahu sesuatu yang Catherine belum sadari. Dan yang lebih penting, Catherine merasa bahwa pria ini, meskipun pikirannya bisa dia baca, menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih dalam.
Malam itu, saat Catherine meninggalkan galeri, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan tentang siapa Leo sebenarnya. Di balik tatapan tajam dan senyum yang sopan, ada lebih banyak rahasia yang harus diungkapkan.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Catherine merasa bahwa dia mungkin menemukan seseorang yang tidak bisa sepenuhnya dia kendalikan—seseorang yang bisa membuka babak baru dalam hidupnya, meski penuh misteri
...Cerita ini merupakan Flashback dari kisah sebelum episode satu terjadi...
\=\=≈\=\=\=\=≈\=\=\=\=\=\=≈\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Tanah Pemakaman masih basah. Mendung yang diikuti hujan deras mengguyur Kota Manhattan menyisakan jalanan pemakaman yang becek dan sedikit banjir. Disanalah Leo Dawson Salvatore memakamkan adiknya, Nicholas Salvatore yang merupakan satu satunya keluarga Salvatore yang dimilikinya. Tak terasa air mata menetes dari ujung matanya. Untunglah hujan turun dengan deras, sehingga tidak satupun anak buahnya dan pengunjung pemakaman yang tahu bahwa Bos Mafia paling berpengaruh sedang menangis saat menguburkan jenazah adiknya.
Tanah basah bercampur air hujan, masuk jadi satu dalam liang lahat Nicholas. Untunglah pemakaman itu terletak di kawasan elit yang mempunyai sistem drainase modern, sehingga dijamin setiap makam tidak akan terendam air. Leo menekan tombol penurunan peti. Perlahan tapi pasti peti itu turun ke dalam liang lahat. Setelahnya beberapa petugas segera melakukan penguburan hingga sempurna.
Leo masih saja termangu dibawah payung hitam yang dibawanya. Ingatannya kembali ke setahun yang lalu, ketika adiknya bercerita bahwa dia sedang jatuh cinta pada seorang wanita dan ingin menikahinya.
“Aku jatuh cinta pada terapisku Leo, dia wanita yang sangat pengertian. Aku ingin menjadikan dia sebagai istriku,” ujar Nicholas waktu itu
Sekarang semua tinggal kenangan. Tidak ada perkawinan, yang ada justru pemakaman Nicholas. Ingin rasanya Leo menangis meraung raung. Dia sangat mencintai adiknya. Baginya Nicholas adalah separuh jiwanya.
“ Pemakaman sudah selesai Leo, ayu kita kembali ke hotel,” ujar Paman Valleti.
Sambil menepuk pundaknya paman Valletti berlalu meninggalkan Nicholas seorang diri. Disaat semua sudah pergi, hanya ada Leo dan makam Nicholas yang masih basah. Leo tidak bisa lagi membendung air matanya, tanpa suara dia menangis dengan air mata mengucur deras.
“Beristirahatlah dengan tenang Nick. Aku bersumpah dihadapan makam mu yang masih basah ini. Siapapun yang menyebabkan kematianmu, dia harus membayarnya dengan Mahal. Bila perlu dengan sepuluh kali kematian yang menyengsarakan,” ujar leo lirih
Tangannya mengepal dengan kuat, seperti bersiap untuk memukul sesuatu atau seseorang yang ada didepannya. Tak berapa lama, supir pribadinya Alex menyapanya,” Tuan, anda harus segera kembali ke hotel. Lepaskan kesedihan anda, sebentar lagi hujan akan tambah lebat. Saya khawatir anda sakit. Mari tuan.”
Alex supir pribadinya, satu satunya orang yang mengikuti dirinya sejak kematian kedua orang tuanya. Alex tahu betul seberapa berat kematian kali ini. Perginya Nicholas menjadikan Leo sebagai satu satunya keturunan Salvatore yang masih hidup. Kenyataan pahit itu berat untuk siapapun termasuk bagi Leo. Perlahan Leo memalingkan badannya dari makam Nicholas dan berjalan ke arah mobil yang akan mengangkutnya kembali ke hotel.
Sepanjang perjalanan kembali ke hotel, Leo hanya diam termangu. Memorynya tentang Nicholas kembali muncul. Ingatannya melayang ketika mereka masih sama sama bocah kecil. Leo berusia 12 tahun dan Nick 8 tahun. Ada sebuah percakapan yang paling diingatnya, sebuah janji yang dia ucapkan pada almarhum adiknya itu semasa hidup. Ingatannya kembali pada peristiwa pemakaman ibu mereka yang waktu itu meninggal karena sakit.
“Jangan menangis Nicholas, Aku akan menjagamu, merawatmu sampai kita dewasa,” ujar Leo kecil waktu itu.
“Leo apakah kau akan selalu menyayangiku dan menjagaku? Meskipun kelak kita sudah sama sama dewasa?” tanya Nicholas kecil waktu itu.
“Pasti Nick, aku berjanji akan menjagamu dan menyayangimu. Aku tidak akan pernah menikah sebelum kau menikah. Aku akan pastikan kau bahagia, baru aku bahagia,” jawab Leo kecil sambil mengusap kepala adiknya penuh kasih.
Mendadak Leo tersentak dari lamunannya, dan tiba tiba memberi instruksi pada supirnya,” Kita tidak akan ke Hotel, aku ingin kau mengantarku ke Apartemen Nicholas,” perintah Leo
Supirnya mengangguk dan menjawab, “ Baik Tuan, saya akan mengantar anda ke Apartemen Nicholas.”
*****
Apartemen Nicholas terletak di Jantung Kota Manhattan. Apartemen itu kecil dan tampak sederhana. Nicholas memang punya ketakutan berada dalam ruangan besar seorang diri. Sehingga Leo lewat agent propertinya meminta untuk membantu Nick memilih apartemen selama tinggal di Manhattan.
Leo masuk perlahan dalam Apartemen Nick. Petugas Apartemen nampaknya sudah merapikan unit milik Nicholas. Semuanya tampak apik, bersih dan tertata. Leo memandang bebarapa foto yang dipajang Nick diatas meja hias di ruang tamu. Terdapat foto mereka berdua. Leo tersenyum getir memandang foto kenangan itu.
Leo perlahan masuk ke kamar pribadi Nicholas. Dia duduk di tempat tidur NIck lalu mulai berbicata sendiri,” Why Nick….why? Mengapa kamu loncat dari apartemen ini dan bunuh diri. Apa yang mengganggu ketenangan dan jiwamu Nick.?’
Air mata Leo kembali menetes. Kali ini dia tidak dapat lagi membendungnya. Leo menangis sekuat kuatnya diatas tempat tidur Nicholas. Hingga dia tertidur di atas tempat tidur Nicholan untuk beberapa saat. Kurang lebih selama 10 menit Leo tertidur di sana. Tiba tiba matanya tertuju pada sebuah buku yang bentuknya seperti buku harian, tergeletak diatas meja dekat tempat tidur Nicholas. Ada dorongan kuat untuk membuka buku diary itu. Pada halaman awal buku diary nicholas terpampang foto seorang gadis. Dibaliknya foto itu, dibagian belakang tertulis nama,” My Sweet Heart Catherine Donovan,” Leo menduga pasti inilah wanita yang pernah diceritakan Nick tahun lalu.
Lembar berikutnya berisi kegiatan Nick dan segala aktivitasnya yang ditulis dengan runut pada buku harian itu. Tibalah Leo pada halaman halaman akhir, kurang lebih 10 hari sebelum Nick bundir.
Pada sebuah halaman tertulis sbb:
Catherine menipuku
Dia punya kemampuan membaca pikiran ku. Dan dia bereksperimen dengan itu. Dia tidak benar benar mencintaiku. Dia pergi makan malam dengan Donovan, mereka tampak mesra. Catherine mengatakan padaku di malam itu aku harus menjauhinya dan segera pulang dan minum obat. Dia mengatakan itu di hadapan orang banyak, dia membuatku malu dan merasa terhina. Catherine kamu penipu, kamu menipu semua klien mu dengan kemampuanmu membaca pikiran orang. Kamu juga menipuku. Sungguh kejam kau Catherine.
Dada Leo bergetar hebat, setelah membaca tulisan adiknya. Dia segera menuju ruang kerja adiknya. Disana dia menemukan beberapa Amplop dari Klinik Psikologi Donovan, dimana Catherine sebagai penanggung jawab dan Psikolog. Segera dibawanya semua amplop terkait Klinik Psikologi Donovan beserta buku harian adiknya. Lalu Leo keluar dari apartemen itu.
Saat di lobby , leo bertemu dengan agent yang dulu membantu Nick mencarikan apartemen. Agent itu bernama Jack.
“ Selamat sore tuan Salvatore, saya turut berduka cita atas kepergian Nicholas,” ujar Jack
“Terima Kasih Jack. Oya tolong panggil saja aku leo Dawson. Mohon jangan menyebut nama Salvatore dimanapun kelak kita bertemu. Aku tidak nyaman dengan nama itu,” ujar Leo
“Baik Tuan Dawson, saya akan mengingat pesan anda. Oya ada beberapa berkas yang perlu anda tanda tangani terkait dengan penjualan unit apartemen Nicholas. NIscaya dua hari lagi pembelinya siap memasuki unit tersebut. Hemm nanti saya akan bantu anda untuk mencarikan gudang sewaan untuk semua barang barang Nicholas. Setelah itu perlahan lahan anda bisa menjualnya atau memberikan pada kerabat anda,” terang Jack
“ Baik Jack. Ayo kita ngobrol di Bar untuk menyelesaikan masalah ini.”
Leo melambaikan tangan pada Bodyguardnya untuk menerima surat dan buku yang dia ambik dari apartemen Nicholas. Lalu bersama dengan Jack menuju ke Bar untuk minum minum dan menyelesaikan urusan meraka.
Pagi itu Leo bangun pukul 8 pagi. Kebiasaannya adalah langsung melakukan Gym setelah bangun tidur. Segera setelah sarapan, Leo beranjak ke tempat Gym yang ada di hotel tempatnya menginap. Selama di arena Gym banyak sekali wanita yang berbisik bisik dan memperhatikan Leo. Hal ini sudah biasa dialami. Sebagai seorang Don Juan atau Playboy elit, tentu saja Leo sudah terbiasa dengan hal itu.
Pengawalnya selalu menjaganya dimanapun dia melakukan olahraga. Bahkan pengawalnya setia menantinya di pinggir kolam renang saat leo asyik berenang. Tak berapa lama Ponsel leo berdering, pengawalnya memberikan ponsel tersebut pada Leo.
“Halo George, jam berapa kita bertemu hari ini? Ohw jam 9 oke aku segera bersiap diri. Kau tunggu aku di bar hotel, setengah jam lagi aku ke sana.” KLIK.
Diserahkannya kembali ponsel pada pengawal pribadinya. Lalu leo keluar dari kolam renang dan menuju kamarnya untuk bersiap bertemu dengan George.
George adalah pengacara yang disewa Leo untuk mengurusi segala sesuatu terkait masalah keuangan dan hukum yang mungkin ditinggalkan Nick. Syukurlah pada akhir hidupnya Nick tidak punya banyak persoalan dan hutang. Track record Nick termasuk bersih. Namun ada satu hal yang ingin ditanyakan pada George terkait Nicholas, yaitu tentang Catherine Donovan dan kliniknya.
“Apakah kau mengetahui sesuatu tentang Catherine Donovan?’ tanya Leo pada George.
George mengangguk dan berkata, “ Setahuku dia adalah terapis dari Nicholas. Yaaa memang Nick pernah bercerita padaku, bahwa dia maksir Catherine, dan sempat berkencan beberapa saat. Namun entahlah karena suatu masalah hubungan mereka berakhir.”
“Kapan hubungan Nick dan Catherine berakhir?” tanya leo
“Aku tidak tahu persisnya, tetapi Nick pernah bercerita padaku, soal itu kurang lebih sebulan lalu. Dia dalam keadaan mabuk berat saat itu, dan aku yang menemaninya. Dia banyak menceritakan tentang kekecewaannya pada terapisnya itu. Tapi aku tidak begitu jelas, karena dia dalam kondisi mabuk berat,” ujar George.
“ Baiklah George, apakah ada hal lain yang ingin kau sampaikan?” tanya leo
“Tidak ada lagi yang perlu aku sampaikan padamu Leo. Aku hanya bisa mengatakan keprihatinan yang amat sangat. Kapanpun kau butuh nasehat hukum, kau bisa menemuiku.” ujar George mengakhiri percakapan mereka.
Tak lama setelah George pergi, Leo melakukan panggilan ponsel,” Romero, aku tunggu kau sekarang di Grand Peninsula Manhattan, aku ada di Bar. Segeralah kau meluncur ke sini. Aku ada tugas untukmu.”
Tak berapa lama orang yang bernama Romero datang menemui Leo di Bar tempatnya menghabiskan sore. Tanpa banyak bicara, Leo langsung menyodorkan foto Catherine Donovan dan berkata, “ Carikan informasi tentang Wanita ini, dan semua kaitannya dengan pekerjaannya kehidupan pribadinya serta hubungannya dengan Nicholas. Aku hanya kasih kau waktu 3 hari untuk info awal dan maksimal 1 bulan untuk seluruh info termasuk berapa ukuran BH dan celana dalamnya.”
Romero tersenyum penuh makna dan berkata,” Baik Bos, kelinci ini akan masuk dalam perangkapku secepatnya,”
Asap rokok mengepul dari mulut keduanya, dengan tatapan penuh makna atas tugas yang diberikan oleh Leo pada Romero terkait Catherine Donovan.
Manhattan di pagi hari,
Matahari bersinar cukup terik. Catherine baru saja bangun meninggalkan peraduannya yang nyaman. Segera dia mandi dan mempersiapkan diri untuk berangkat bekerja ke Klinik Terapi Psikologi yang dikelola nya bersama beberapa teman. Bisa dikatakan Catherine adalah Motor dari Klinik tersebut. Banyak Klien yang cocok dan mengidolakan Catherine sebagai terapis. Kemampuannya membaca pikiran orang, membuatnya mudah memahami orang lain dan tentunya klien merasa bahwa terapisnya sangat paham pada kondisi mereka dengan tingkat Empati diatas rata rata.
Hal inilah yang akhirnya membuat Catherine dipercaya sebagai pimpinan Klinik sekaligus terapis dengan bayaran ter mahal. Saat mematut dirinya di depan cermin, Catherine mengingat kembali pertemuannya dengan Leo di galeri seni. Sudah lama dia tidak merasakan perasaan macam ini. Begitu tertarik pada seorang pria, bahkan merindukannya. Gila!
Catherine mengakui, Leo punya kharisma yang luar biasa besar. Dan satu lagi yang sangat menantang. Pikiran Leo Tidak bisa dia baca. Pola berpikir leo sangat terkendali dan relevan dengan kejadian yang ada pada saat itu. Leo tidak punya pola pikir random. Yaah tentu wajar sebagai pria jika tertangkap pikiran bahwa Leo ingin mengenal Catherine lebih dalam. Namun yang berbeda adalah, baru kali ini justru Catherine yang tidak sabar untuk mengenal leo dan bertemu lagi. Hal ini tentu membuat dirinya menjadi memiliki pola pikiran yang sangat kacau, dan pada akhirnya mengarah pada over thingking.
Catherine menghembuskan nafas panjang dan bergumam, “Stop Catherine, Fokus Fokus. Jangan biarkan dirimu hanyut pada pesona Leo. Kalian baru saja kenalan ! Jangan pernah berkhayal Leo akan mencium atau bahkan mencumbu mu. Hapus pikiran dan angan angan gila itu Catherine.
Tiba tiba Ting Tong…
Bel Apartemennya berbunyi. Segera dia menuju pintu dan membukanya. Di Depan pintu berdiri petugas yang membawa bingkisan berbentuk segi empat yang lumayan besar.
“Apakah anda nona Catherine Donovan?” ujar petugas pengantar barang.
“Ya benar, apa yang bisa saya bantu?” jawab Catherine.
“Ada kiriman untuk anda Nona, mohon diterima,” ujar petugas antar itu lagi.
Sembari menyerahkan bingkisan segi empat seperti sebuah bingkai atau lukisan, petugas juga menyerahkan Amplop kecil yang pastinya berisi tulisan dari pengirim
“Terimalah kekacauan dalam Harmoni ini” semoga kamu suka.Tertanda Leo
Hati Amelie melonjak, sambil bergumam lirih,” Hukum tarik menarik, aku memikirkannya sepanjang malam, dia mendatangiku dengan lukisan mahal ini.”
Sambil tersenyum sendiri, segera dibawanya Lukisan itu menuju klinik. Dia ingin memasangnya di dinding Klinik Terapi Psikologisnya. Dia ingin bisa melihat lukisan itu setiap saat. Bergegas Catherine memasuki mobil, menata lukisan di dalamnya dengan hati hati dan segera melaju di tengah jalanan Manhattan yang padat.
****
Di Klinik, Catherine segera memerintahkan beberapa anak buahnya untuk memasang Lukisan tersebut di dinding Kantornya. Ingin rasanya dia mengucapkan terimakasih pada Leo, tetapi dia tidak meninggalkan no ponsel untuk dihubungi. Jadilah Catherine hanya bisa berharap harap cemas semoga suatu saat dia bisa bertemu dengan Leo dan mengucapkan terimakasih.
Hari itu jadwal Catherine cukup padat. Ada sekitar 12 Klien dan 3 tamu yang harus ditemui. Makan siang pun tertunda sampai pukul 2. Terpaksa karena hari itu dia tidak membawa bekal, maka segeralah dia meluncur ke Cafe Bonita yang persis ada di depan kliniknya. Cafe ini cukup rame pada saat jam makan siang, namun masuk jam 2 sore, sangat lengang. Segera dia memesan beberapa menu favoritnya dan membayar. Sembari menunggu hidangan tersedia, kembali Catherine memainkan ponselnya.
“Hemmm Leo, mengapa tidak sedikitpun aku bisa menghilangkan wajahnya dari pelupuk mataku,” gumam Catherine
Tak berapa lama, pelayan mengantarkan menu makanan yang dipesannya. Bersamaan dengan itu, pintu depan cafe berbunyi gemerincing, pertanda ada customer lain masuk. Dalam batin Catherine berkata, “ Kok masih ada saja orang pesan makan di jam menuju sore macam ini,”
“Saya pesan satu Sandwich Tuna dan beer,” ujar suara customer yang baru saja masuk itu.
Entah mengapa jantung Catherine bergetar, dalam hati dia bergumam,”Suara itu seperti pernah didengarnya, tapi dimana?”
“Halo….nampaknya kita berjodoh, “ ujar suara yang tak asing itu pada Catherine
Segera Catherine mendongak, dilihatnya Leo persis ada di depannya sambil mengulurkan tangan untuk menjabat tangan. Dengan kikuk Catherine menerima uluran tangan Leo.
“Ah leo, kebetulan sekali, mari silahkan duduk satu meja denganku,” ujar Catherine.
“Apakah aku tidak mengganggu makan siangmu?” tanya Leo
“Ah tentu tidak Leo, duduklah.”
Setelah Leo duduk Catherine segera berkata, “ Thank you so Much, untuk lukisan yang kau kirim padaku. Aku sangat menyukainya. Aku tidak menyangka kau tahu alamatku dan mengirim lukisan itu.”
“Ah ya Kekacauan dalam Harmoni, kemarin aku merasa kau menyukai lukisan itu. Segera aku menghubungi panitia dan membelinya. Lalu minta pada mereka untuk mengantar ke alamatmu. Semoga kau suka,” jawab Leo
“Sangat, aku sangat menyukainya,”
Berdua mereka makan, percakapan ringan pun mengalir. Catherine merasa tangannya dingin dan bergetar. Rasanya seperti ABG yang sedang jatuh cinta. Tidak sedetikpun dia mampu membaca pikiran Leo. Pikirannya sendiri berjalan kacau dan random. Sebaliknya Leo terlihat santai, tenang dan berwibawa.
Satu hal yang Catherine rasa ini adalah ciri khas Leo yang membuatnya susah membaca pikirannya. Setiap kali berbicara, Leo selalu memandang mata Catherine dengan tajam. Kemanapun mata itu memandang, Leo tak lepas mengikutinya. Hal ini membuat Catherine merasa kikuk dan canggung. Demikian juga sore itu. Catherine sama sekali Blank. Tidak ada informasi secuil pun yang bisa dia dapatkan dari pikiran Leo.
“Kalau tidak Salah, kau berkantor di depan itu bukan?” ujar Leo pada Catherine.
“Eh ya, jika kau ingin curhat, atau butuh sesuatu terkait layanan Psikologi, kau bisa datang ke kantorku. Aku akan memberikan layanan Gratis padamu, sebagai rasa terimakasih atas lukisan yang indah itu. Walaupun aku tahu berpuluh kali sesi terapi, tentu tidak dapat mengejar harga Lukisan hadiahmu,”
“Jangan sungkan Catherine, aku memberikan sebagai hadiah dan bukan sebagai imbalan sesi konsul gratis. So Tenanglah,” ujar Leo sambil mengedipkan matanya pada Catherine
Jantung Catherine seperti mau copot. Dia merasakan pipinya hangat memerah, sepertinya dia tersipu malu.
“Aku memang ingin terapi atau ya setidaknya curhat lah. Aku baru saja kehilangan adik kesayanganku. Sekarang aku sebatang kara. Aku ingin mendapat arahan darimu, bagaimana menghadapi semua ini,” ujar Leo dengan raut wajah sedih
“Maaf atas kehilangan yang kau alami. Aku sungguh berempati. JIka kau sungguh ingin melakukan sesi konsul denganku, kau bisa datang besok. Kami buka mulai jam 9 pagi. Silahkan pilih sesimu dan hubungi aku di nomer ini,” ujar Catherine sambil memberikan kartu namanya.
“Terimakasih Catherine Donovan, aku akan menemuimu jam 2 sore macam sekarang. Apakah itu memungkinkan?’ Ujar Leo
“Ah ya, bisa aku akan menjadwalkan untukmu. Oke Leo, sampai ketemu besok sore. Aku senang makan bareng dengan mu,” ujar Catherine sambil tersenyum
Bergegas dia berdiri dan meninggalkan Leo seorang diri di Cafetaria itu.
Sementara Leo memandang Catherine yang keluar dari cafetaria kembali ke kantornya, dengan senyum penuh makna.
*****
Sore itu, jam sudah menunjukkan pukul 13.50. Hati Catherine berdebar hebat, Sore ini Leo akan melakukan sesi dengannya. Tangan dan kakinya sedingin es. Persis seperti orang yang jatuh cinta dan menunggu pacar datang.
Berkali kali Catherine melihat jam. Tetapi Leo tidak kunjung datang. Ketika waktu menunjukkan pukul 14.30, tapi Leo belum juga muncul, Catherine mulai gelisah. Rasa kecewa perlahan memasuki hatinya. Mengapa Leo tidak kunjung datang.
Baru saja dia akan berkemas dan pulang, tiba tiba pintu prakteknya diketuk Asisten.
“Nona, Ada klein mau konsul, tetapi dia terlambat 30 menit, namanya Tuan Leo Dawson,” ujar Tara Asistennya.
“Persilahkan masuk Tara, aku siap melayani,” ujar Catherine singkat
Tak lama Leo masuk dengan senyum Khasnya, “Selamat sore Catherine, maaf aku terjebak macet. Padahal aku sudah berangkat sejak jam 13.00.”
“Silahkan duduk Leo,” Ujar Catherine.
Lalu Catherine menuju pintu keluar dan melongokkan kepalanya untuk bicara dengan asistennya,”Tara, ini sudah jam pulang, silahkan kau pulang dulu, Aku akan menyusul kemudian.”
Dengan tatapan heran, namun tidak berani banyak tanya Tara menjawab, “Baik nona. Saya Mohon ijin pulang terlebih dulu.”
Praktis sekarang hanya Ada leo dan Catherine di gedung itu. Catherine segera menemui Leo dan memulai sesi.
“ Bisakah kau ceritakan masalahmu Leo?” ujar Catherine.
“Hemm,,,aku baru saja kehilangan adikku satu satunya, kurang lebih sekitar sebulan lalu. Sekarang ini aku sebatang kara. Aku merasa tidak percaya diri. Apa yang harus aku lakukan?” ujar Leo
Seperti biasanya, Catherine kembali mencoba menerobos pikiran Leo. Tapi Zonk. Dia seperti bertemu dinding yang sangat tebal.
“Apa yang kau rasakan adalah sesuatu yang wajar Leo. Setiap orang akan melaluinya. Hanya masanya kapan tidak ada yang tahu,” nasehat catherine.
“Kau benar Catherine, aku merasa juga begitu, “ kata leo sembari memegang tangan Catherine
“ Maafkan aku, jika berbicara soal ini, aku selalu mencari sesuatu yang bisa aku pegang. Bisakah aku berpegangan pada tanganmu? “ ujar Leo dengan wajah penuh harap.
“Tentu Leo, tentu. “
“Hemm aku ingin melakukan sesi hipnotis untuk membongkar memori gelap yang senantiasa menghadirkan rasa tidak percaya diri. Silahkan berbaring di sini, aku akan membantumu mencapai Fasa hipnotis sehingga Afirmasi bisa masuk dalam dirimu, dan memberi sugesti positif.” terang Catherine.
Leo pun berbaring sambil tetap memegang tangan Catherine di sebelahnya. Lalu Catherine memulai sesi hipnotisnya. Sesi Hypnosis berlangsung selama 45 menit. Setelah melalui sesi Hipnosis, wajah Leo sedikit berubah menjadi lebih terang.
Catherine membantu Leo duduk kembali. Wajah mereka begitu dekat. Tiba tiba Leo mendekati Catherine dan meraih pinggangnya.
“Aku membutuhkanmu Catherine."
Hampir saja mereka berciuman karena jarak yang terlalu dekat. Untung saja Leo segera berdiri dan menjauh. Jantung Catherine berdegup dengan kencang. Dia berusaha menguasai diri dengan baik.
“Aku rasa kita bisa coba dulu dengan sesi ini, apakah suasana hatimu jadi lebih baik. Seminggu lagi kita bisa ketemu untuk sesi selanjutnya” ujar Catherine.
Leo mengangguk setuju. Sebelum keluar ruangan, Kembali leo menjabat tangan Catherine, kali ini leo tidak hanya menjabat tapi juga mengecup tangan Catherine. Demi Tuhan seandainya Leo bisa membaca pikiran Catherine Justru Leo akan terkejut. Betapa tidak, begitu bibir basah leo menyentuh kulit tangannya, Catherine serasa disengat listrik ribuan watt sehingga membuatnya keliyengan.
“ Terimakasih Catherine, kau sangat pengertian dan sesi ini sangat membantuku,” Ujar leo lalu undur diri.
Sepeninggal Leo, Catherine menghembuskan Nafas lega. Sungguh baru kali ini dia sangat tergila gila dengan seorang laki laki, dan itu adalah Leo, Kliennya sendiri
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!