Sore itu, suasana di rumah sakit jiwa tampak sunyi dan mencekam. Lampu-lampu fluorescent berpendar redup di lorong-lorong panjang, menciptakan bayangan-bayangan aneh di dinding. Suara langkah Dita bergema di ruangan sepi saat dia memasuki gedung. Sebagai psikolog yang baru bergabung, dia merasa gugup namun bersemangat untuk membantu pasien-pasiennya.
Dita melangkah menuju ruang terapi, tempat Arga menunggu. Arga, pria muda dengan tatapan kosong dan kerisauan di wajahnya, duduk di kursi yang menghadap jendela. Dia tampak tidak fokus, seolah sedang terperangkap dalam pikirannya sendiri. Dita menarik napas dalam-dalam, mencoba menghilangkan rasa tegang di dadanya. Ia menyapa Arga dengan lembut, “Halo, Arga. Bagaimana kabarmu hari ini?”,Arga menoleh, seolah baru sadar bahwa Dita ada di sana. “Saya baik-baik saja, Dokter,” jawabnya dengan suara yang terdengar datar. Namun, Dita bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal di dalam dirinya.
Setelah beberapa saat berbincang-bincang ringan, Dita memutuskan untuk langsung mengajak Arga berbicara tentang perasaannya. “Arga, saya ingin tahu lebih banyak tentang apa yang kamu alami. Kamu pernah mengatakan tentang bayangan di cermin, kan? Bisa kamu ceritakan lebih lanjut?”.Arga mengangguk, matanya mulai berbinar. “Iya, Dokter. Setiap kali saya melihat ke cermin, ada sosok lain yang muncul. Dia terlihat persis seperti saya, tetapi… dia melakukan hal-hal yang tidak saya lakukan.”
Dita mendengarkan dengan saksama, berusaha menangkap setiap detail yang diungkapkan Arga. “Apa yang biasanya dilakukan oleh sosok itu?” tanya Dita. “Dia tersenyum, tetapi dengan cara yang menakutkan. Kadang-kadang, dia berteriak atau bahkan menangis. Suatu kali, dia meminta saya untuk melakukan sesuatu yang buruk,” jawab Arga dengan suara bergetar, mengingat kembali pengalaman yang jelas membebani pikirannya.
Dita merasa skeptis. Sebagai seorang profesional, dia terlatih untuk mencari penjelasan logis dari setiap keluhan. “Arga, mungkin itu hanya gambaran dari ketakutanmu. Banyak orang mengalami hal-hal aneh ketika mereka merasa tertekan. Apa mungkin ini hanya cara pikiranmu berusaha untuk mengungkapkan sesuatu?”
Namun, Arga menatap Dita dengan tajam. “Dokter, kamu tidak mengerti. Dia tahu hal-hal yang tidak seharusnya dia ketahui. Misalnya, tentang malam itu, ketika kamu merasa tidak nyaman karena suamimu tidak mendukung kariermu.”Jantung Dita berdebar. Betapa mungkin Arga mengetahui detail tersebut? Dia merasa seolah-olah ditelanjangi oleh kata-kata Arga. Ketidaknyamanan merayapi tubuhnya. Dalam sekejap, ketenangannya mulai goyah, dan dinding profesionalisme yang telah dia bangun mulai retak. Dia merasakan seolah bayangan Arga mengintip di balik tirai kegalauan yang menyelimuti pikirannya.
“Arga, mari kita fokus pada saat ini,” Dita berusaha mengalihkan perhatian, tetapi saat dia menatap cermin besar di sudut ruangan, bayangannya tampak sedikit berbeda dari biasanya. Ada sesuatu yang aneh, seolah cermin itu tidak hanya memantulkan wajahnya, tetapi juga menggambarkan keraguan dan ketidakpastian yang sedang menggerogoti jiwanya.
Dita berusaha menepis perasaan tidak nyaman itu dan kembali fokus pada Arga. Namun, perasaan aneh itu tetap menghantuinya, seakan-akan mengisyaratkan bahwa pertemuannya dengan Arga adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih dalam dan gelap daripada yang dia duga.
Ketika sesi terapi berakhir, Dita meninggalkan ruangan dengan pikiran yang penuh pertanyaan. Dalam perjalanan pulang, dia terus memikirkan kata-kata Arga dan bayangan yang ditangkap oleh cermin. Mungkin, hanya waktu yang bisa menjawab misteri yang baru saja dimulai ini.
Dita memasuki ruang kerjanya dengan langkah mantap, tetapi perasaan tidak menentu masih menggelayuti pikirannya. Setelah sesi pertama dengan Arga, dia merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar delusi. Dia membuka dokumen-dokumen pasien yang tergeletak di meja kerjanya dan mulai membaca riwayat kesehatan Arga.
Arga, seorang pria berusia dua puluh sembilan tahun, didiagnosis dengan gangguan skizofrenia. Dia menghabiskan banyak waktu di rumah sakit jiwa ini setelah beberapa episode psikosis yang serius, di mana dia mengklaim melihat sosok bayangan di cermin yang meniru gerakannya. Dita mencatat setiap detail dengan hati-hati, mencoba menyusun gambaran utuh tentang apa yang mungkin menjadi penyebab delusi Arga.
Dalam pikiran Dita, dia berusaha merasionalisasi situasi tersebut. Mungkin Arga mengalami trauma mendalam yang belum sepenuhnya dia hadapi. Dia teringat pada teori-teori yang pernah dipelajarinya, tentang bagaimana ketidakmampuan mengatasi trauma dapat menyebabkan pikiran yang terdistorsi. Dita bertekad untuk membantu Arga menemukan cara untuk menyembuhkan dirinya sendiri.
Namun, di tengah perhatiannya terhadap pasien, kehidupan pribadi Dita pun tidak luput dari perhatian. Dia ingat dengan jelas bagaimana Rangga, suaminya, semakin sibuk dengan pekerjaannya sebagai arsitek. Seringkali, mereka tidak memiliki waktu untuk berbicara atau bahkan menghabiskan waktu bersama. Dita merindukan masa-masa ketika mereka berbagi tawa dan saling mendukung. Namun, kini, mereka lebih sering terjebak dalam rutinitas dan komunikasi yang semakin renggang.
Malam itu, setelah kembali dari rumah sakit, Dita memasak makan malam untuk Rangga, berharap bisa menciptakan suasana yang lebih hangat. Namun, saat mereka duduk di meja makan, Dita merasakan ada jarak di antara mereka. Rangga tampak terpaku pada ponselnya, sibuk membalas pesan dari rekan-rekannya.
“sayang, bagaimana kalau kita bicarakan tentang akhir pekan ini? Mungkin kita bisa pergi ke tempat yang kita suka,” Dita mencoba membuka percakapan.
“Maaf, Dit. Saya sedang banyak kerjaan. Mungkin lain kali saja,” jawab Rangga, matanya tetap terpaku pada layar ponselnya.
Dita merasakan hatinya berdesir. Rasa kecewa dan kesepian menyelimuti pikirannya. Dia tahu bahwa mereka membutuhkan lebih banyak waktu untuk saling memahami, tetapi selalu ada saja sesuatu yang menghalangi. Dita menghela napas, berusaha menahan perasaannya agar tidak meledak. Dia tidak ingin menjadikan suasana malam itu semakin suram.
Setelah makan malam, Dita pergi ke ruang kerjanya. Dia duduk di depan laptop, mencoba menyusun rencana untuk sesi terapi berikutnya dengan Arga. Meskipun pikirannya masih tertuju pada ketidaknyamanan dalam hubungannya dengan Rangga, Dita berusaha untuk fokus. Dia ingin membantu Arga memahami ketakutannya, tetapi dia sendiri juga merasa terperangkap dalam ketakutan akan kehilangan hubungan yang dia cintai.
Dita membuka catatan tentang Arga dan mulai menulis beberapa pertanyaan yang mungkin bisa membantunya mengungkap lebih banyak tentang delusi yang dialami Arga. Dia bertekad untuk menemukan akar masalahnya. Sebelum tidur, Dita sekali lagi menatap cermin di ruang kerjanya. Sekilas, dia merasa seolah-olah bayangannya tampak lebih pudar dari biasanya, seakan mencerminkan suasana hati yang gelap.
Sore berikutnya, Dita bersiap untuk sesi terapi kedua dengan Arga. Dia merasa bersemangat sekaligus cemas. Ketika dia memasuki ruangan, Arga sudah menunggu dengan ekspresi yang tampak lebih tenang dibandingkan sebelumnya.
“Selamat sore, Arga. Apa kabar hari ini?” Dita memulai sesi dengan nada yang ramah.
Arga mengangguk, tetapi tatapannya masih menunjukkan ketidakpastian. “Dokter, saya tidak tahu kenapa, tetapi saya merasa sosok itu semakin kuat. Dia tidak hanya muncul di cermin, tetapi juga dalam pikiran saya.”
Dita merasa gelisah. Dia tahu, kali ini, mereka akan menyelami sesuatu yang lebih dalam. “Baiklah, mari kita coba berbicara tentang apa yang dia katakan padamu. Apa yang terjadi ketika sosok itu muncul?”
Dita duduk di kursi kayu yang nyaman di ruang kerjanya, tatapannya kosong menembus jendela besar yang menghadap ke taman rumah sakit. Pikiran tentang kata-kata Arga berputar-putar di kepalanya. "Sosok itu tidak hanya muncul di cermin, tetapi juga dalam pikiran saya." Kalimat itu terus menghantui Dita, menggugah rasa ingin tahunya sekaligus menciptakan rasa khawatir yang dalam. Dia merenungkan betapa seringnya orang terjebak dalam dunia pikiran mereka sendiri, terasing dari kenyataan yang ada di sekitar.
Dia mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengalihkan pikirannya dari bayangan-bayangan mengganggu itu. Bagaimana jika Arga tidak hanya menghadapi delusi, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan mudah? Dita merasa perlu mencari jawaban, bukan hanya untuk Arga, tetapi juga untuk dirinya sendiri.
Saat melamun, bunyi dering ponsel mengejutkannya. Dita tersentak dari lamunannya dan melihat layar ponselnya. Nama Rangga muncul di sana, dan hatinya terasa sedikit lebih hangat. Dia mengangkat telepon. “Halo?”
“Dita, sayang! Mau pulang bersama? Aku sudah selesai bekerja,” suara Rangga terdengar ceria, seolah-olah meredakan suasana hati Dita yang sedikit berat.
“Eh, halo. Iya, aku baru selesai di sini,” Dita menjawab dengan suara yang lebih ceria dari yang dia rasakan.
“Aku sudah menunggu di depan. Bagaimana kalau kita mampir ke kafe favorit kita setelah ini?” Rangga melanjutkan, suaranya penuh harapan.
Dita merasa tergerak oleh tawaran itu. Kafe kecil tempat mereka biasa menghabiskan waktu bersama menyimpan banyak kenangan indah, jauh dari tekanan pekerjaan dan rutinitas. “Baiklah, aku akan segera keluar.”
Setelah menutup telepon, Dita berdiri dan merapikan meja kerjanya. Dia berusaha mengalihkan pikirannya dari Arga dan kembali fokus pada hubungan mereka. Saat berjalan keluar, dia menyadari betapa pentingnya momen-momen kecil seperti ini untuk memperkuat hubungan yang telah lama terasa renggang.
Ketika Dita tiba di lobi rumah sakit, dia melihat Rangga berdiri di dekat pintu, tersenyum lebar. Ada sesuatu yang menenangkan dalam senyumnya, dan Dita merasa lega bisa melihatnya setelah hari yang penuh pikiran. Mereka saling menyapa dengan hangat, dan Dita merasakan kehadiran Rangga seolah membawa cahaya ke dalam ruang hati yang gelap.
“Bagaimana harimu?” tanya Rangga sambil memegang tangan Dita, mengajak mereka berjalan keluar menuju mobil.
“Agak melelahkan, tapi sesi dengan Arga cukup membuka mata. Dia memiliki masalah yang cukup rumit,” jawab Dita, mencoba menjelaskan tanpa terlalu mendalami.
Rangga mengangguk, menunjukkan perhatian. “Kamu selalu tahu bagaimana mengatasi situasi seperti itu. Aku yakin kamu bisa membantu dia.”
Dita tersenyum, tetapi dalam hatinya, dia merasakan beban yang berat. Dia ingin berbagi lebih banyak, tetapi bagian dari dirinya masih terperangkap dalam pikiran tentang Arga dan sosok bayangan yang mengganggu.
Setibanya di kafe, aroma kopi dan kue yang baru dipanggang mengisi udara. Dita merasa sedikit lebih tenang. Mereka memilih meja di sudut yang nyaman, tempat favorit mereka. Dita mengamati Rangga yang sedang memesan dan merasa bersyukur bisa menikmati momen sederhana ini.
Saat mereka mulai berbincang, Dita berusaha untuk terhubung kembali dengan Rangga. Dia tahu, untuk bisa membantu Arga dengan efektif, dia juga perlu memperbaiki komunikasi dengan suaminya. Dan mungkin, melalui kehadiran Rangga, dia bisa menemukan kembali dirinya yang terlupakan.
Malam itu, setelah menghabiskan waktu di kafe bersama Rangga, perasaan Dita sedikit lebih tenang. Namun kelelahan fisik dan emosional masih menghantuinya. Ia berbaring di tempat tidur sambil berusaha memejamkan mata, namun pikirannya terus melayang pada Arga dan kisah bayangan di cermin yang ia ceritakan. Meski Rangga sudah tertidur lelap di sebelahnya, Dita masih tetap terjaga selama beberapa saat, berusaha meyakinkan dirinya bahwa apa yang dirasakannya hanyalah pekerjaan yang mematikan pikiran.
Akhirnya ia pun tertidur, namun tidurnya tidak membawa ketenangan. Sebaliknya, malam itu Dita dibawa ke dunia mimpi yang aneh dan menakutkan.
Dalam mimpinya, Dita berdiri di tengah ruangan asing, dikelilingi cermin di setiap sisinya. Cermin memantulkan bayangannya, tapi ada yang tidak beres. Bayangan itu tidak bergerak bersamanya. Saat Dita melangkah ke kanan, pantulan cermin tetap di tempatnya, tatapannya mengunci mata Dita dengan intensitas menakutkan.
Tiba-tiba, salah satu bayangan mulai bergerak sendiri. Dita terdiam, rasa takut merayapi dirinya. Bayangannya tersenyum licik, senyuman yang belum pernah Dita tunjukkan sebelumnya. Bayangan tangannya terangkat seolah menyentuh kaca cermin, namun Dita bisa merasakan sentuhan dingin di kulitnya sendiri, seolah cermin bukanlah penghalang.
"Itu hanya mimpi..." Dita mencoba meyakinkan dirinya dalam mimpi itu, namun semua itu terasa terlalu nyata. Tubuhnya tidak bisa bergerak, seolah terjebak dalam cengkeraman cermin yang mengelilinginya. Bayangan itu mendekat, dan kali ini bayangan itu tertawa pelan. Suaranya bergema, mengisi ruang kosong di sekitarnya, semakin keras dan menakutkan.
Dengan sekuat tenaga Dita berusaha berteriak, namun suara itu tak kunjung keluar dari tenggorokannya. Ketakutan merayapi tubuhnya, dan saat bayangan itu menyebar, Dita merasakan hawa dingin menjalar ke seluruh tubuhnya.
Tiba-tiba, dia terbangun dengan napas terengah-engah. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang menembus tirai tipis di jendela. Ia masih bisa merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya, dan jantungnya berdebar kencang seolah mimpinya menjadi kenyataan. Dita menoleh ke samping, melihat Rangga masih tertidur pulas di sebelahnya.
Dita berusaha menenangkan dirinya sambil menarik napas dalam-dalam. Namun rasa lelah dan tegang pada tubuhnya membuatnya merasa seperti baru saja berlari dalam mimpi. Dia memegangi dadanya, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tidak menentu. "Itu hanya mimpi," bisiknya pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Beberapa detik kemudian, Rangga terbangun mendengar suara gelisah Dita. Dengan mata setengah terbuka ia menatap Dita yang terlihat gelisah.
"Dita, kamu mimpi buruk?" tanya Rangga dengan suara yang masih lemah, suaranya terdengar hangat dan menenangkan. Ia mengulurkan tangan dan mengelus punggung Dita dengan lembut.
"Iya Rangga...mimpi yang aneh," jawab Dita pelan sambil berusaha menahan getaran suaranya.
"Baiklah, itu hanya mimpi. Jangan dipikir-pikir," kata Rangga sambil menarik Dita ke dalam pelukannya. Ia menepuk pundak Dita dengan lembut, berusaha membuatnya merasa nyaman.
Dita memejamkan mata, namun pikirannya masih dihantui oleh mimpi itu. Senyuman dingin dari bayangannya, tatapan tidak bersahabat, dan cermin yang mengelilinginya—semuanya terasa terlalu nyata. Meski Rangga berusaha menenangkannya, Dita merasa ada yang tidak beres, lebih dari sekadar mimpi buruk biasa.
Di tengah kesunyian malam, Dita kembali memejamkan matanya, namun ia tahu mimpi itu meninggalkan bekas luka yang dalam. Sesuatu yang tersembunyi di balik cermin seolah memanggilnya, dan entah kenapa, dia merasa mimpi itu hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar dan menakutkan.
Pagi itu, lembutnya sinar matahari menembus jendela dapur, menyelimuti ruangan dengan kehangatan. Dita sedang berdiri di depan kompor, sibuk menyiapkan sarapan sederhana. Aroma roti panggang memenuhi udara, sementara telur goreng mulai dimasak di dalam wajan. Suara lembut pisau yang ia gunakan untuk memotong sayuran membuat suasana terasa damai.
Namun, meski tangannya sibuk bekerja, pikirannya melayang kemana-mana. Mimpi aneh yang dialaminya tadi malam masih melekat di benaknya. Bayangannya di cermin yang tampak hidup dan tak terkendali terus menghantui pikirannya. Ia merasa lelah, seolah mimpi itu menyedot tenaganya padahal ia sudah terlelap.
Saat dia meletakkan pisaunya, matanya tertuju pada cermin kecil di sisi dapur, yang tergantung di dinding, tepat di samping jendela. Cermin itu tidak istimewa—hanya cermin dekoratif yang sering diabaikannya. Namun pagi ini, ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Dia melihat sekilas bayangannya. Namun, ada sesuatu yang salah. Bayangannya, meski diam, terasa seperti sedang mengawasinya, seolah ada kehidupan di balik bayang-bayang.
Dengan rasa penasaran dan sedikit cemas, Dita menghentikan aktivitasnya dan menatap cermin lebih dalam. Dia memfokuskan pandangannya, mengamati wajahnya sendiri. Pada pandangan pertama, semuanya tampak normal, tetapi bayangannya tampak sedikit... berbeda. Seolah-olah cermin itu memantulkan sesuatu yang lebih dari sekedar pantulannya.
Dita merasakan tubuhnya mulai tegang dan ia melangkah mendekat ke cermin, seolah tertarik dengan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Jantungnya berdetak lebih cepat, dan dia mulai merasakan hawa dingin merambat di punggungnya. Pandangannya tertuju pada pantulan di cermin, seolah menunggu pantulan itu melakukan sesuatu.
Tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang dingin dan lembut menyentuh punggungnya. Sebelum dia sempat bereaksi, sepasang tangan melingkari pinggangnya dari belakang, mengejutkannya dan hampir melompat mundur.
"Apa lagi?" sebuah suara yang familiar terdengar lembut di telinganya, dengan nada yang lembut.
Dita tersadar dari lamunannya dan langsung sadar kalau yang memeluknya dari belakang adalah Rangga. Momen yang baru saja dialaminya terasa begitu nyata dan penuh ketegangan. Jantungnya yang berdebar kencang kini berusaha menenangkan dirinya.
"Ya ampun Sayang! Kamu mengagetkanku," ucap Dita dengan napas yang masih sesak, berusaha meredakan keterkejutannya. Ia menoleh ke arah suaminya yang tersenyum hangat, sementara lengan Rangga masih memeluknya erat.
"Maaf, aku tidak bermaksud menakutimu," jawab Rangga sambil mencium lembut pipinya.
Dita berusaha cekikikan untuk menutupi keterkejutan dan kegelisahan yang masih tersisa. Namun, pikirannya terus menggoda. Apa yang dia lihat di cermin? Mengapa perasaan itu begitu aneh? Seolah-olah bayangan itu lebih dari sekedar pantulan sederhana.
Dia mengalihkan perhatiannya dari cermin dan kembali sarapan, namun perasaan aneh masih memenuhi hatinya. Saat Rangga berjalan menuju meja makan, Dita kembali melirik ke cermin. Pantulan itu tampak normal sekarang tidak ada yang aneh, tidak ada gerakan mencurigakan. Namun perasaan aneh itu belum hilang.
Dita menghela nafas panjang, berusaha menjernihkan pikiran-pikiran yang tidak perlu. Mungkin, pikirnya, itu hanya efek dari mimpi buruk yang dialaminya tadi malam. Namun, di sudut hatinya, dia tahu ada sesuatu yang salah, sesuatu yang jauh lebih dalam dari ilusi cermin sederhana.
"Apakah sarapan sudah siap?" tanya Rangga dari meja makan sambil tersenyum cerah. Dita mengangguk sambil membawa piring ke meja, namun pikirannya masih belum sepenuhnya tenang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!