NovelToon NovelToon

Water Ripple (Morning Dew Series 3)

1

Putri Yuki...

Siapa di sana ?

Putri Yuki...

Putri Magitha ?

Yuki mendengar suara Putri Magitha memanggil namanya. Suaranya berasal dari kegelapan di depannya. Yuki memandang ke sekeliling dengan wajah kebinggungan.

Di mana Dia sekarang berada ?.

Yuki melangkah memasuki kegelapan yang tidak berujung. Mencari keberadaan Putri Magitha dengan perasaan cemas. Yuki tidak mungkin salah mendengar, suara itu benar milik Putri Magitha. Adik kandung Pangeran Sera.

"Putri Magitha" teriak Yuki memanggil, Ketika Yuki merasa Dia sudah terlalu jauh berjalan. Namun tidak juga menemukan keberadaan Putri Magitha.

"Putri Yuki ?"

Yuki merasakan detak jantungnya semakin cepat. Apakah itu suara Putri Magitha? Dalam kegelapan yang pekat, dia merasa seolah sedang dikelilingi oleh bayangan-bayangan yang tak terlihat, menanti untuk mengungkapkan rahasia yang terpendam.

“Siapa di sana?” Yuki bertanya, suaranya bergema di antara dinding kegelapan yang tidak berujung. Kebingungan dan rasa takut menyergapnya. Dia merasakan sesuatu yang aneh—sebuah tarikan, seolah suara itu memanggilnya lebih dalam lagi ke dalam kegelapan.

“Putri Yuki… Aku butuh bantuanmu,” suara itu berkata, penuh dengan kesedihan dan harapan. Yuki merasakan ada sesuatu yang mendesak di balik kata-kata tersebut. Tanpa berpikir panjang, dia melangkah lebih jauh, hatinya bergejolak antara rasa takut dan rasa ingin tahu.

Dia ingat betul saat-saat bersama Putri Magitha—kebersamaan mereka di taman kerajaan, tawa yang mereka bagi, dan kehangatan yang selalu ada di antara mereka. Kini, di tengah kegelapan yang melingkupi dirinya, Yuki merasa seolah terjebak dalam hal buruk yang tak ada ujungnya.

“Putri Magitha, di mana kau?” teriaknya lagi, suaranya menggaung dalam kegelapan. “Aku di sini! Tolong, tunjukkan dirimu!”

Namun, jawaban yang diterima hanyalah keheningan. Yuki menggerakkan langkahnya, berusaha menemukan arah, berharap bisa menemukan cahaya yang bisa membimbingnya. Dia terus berjalan, berusaha memecah keheningan yang menyesakkan.

“Putri Magitha…!!”

“Aku disini”

Yuki berbalik dengan cepat ketika suara Putri Magitha kembali terdengar di belakangnya. Dia terkejut ketika mendapati sebuah ruangan di belakangnya, yang muncul entah dari mana. Sebuah kamar dengan dinding terbuat dari batu kehitaman, yang menonjolkan nuansa suram abadi. Tidak ada kehidupan yang baik dalam ruangan itu. Sebuah pasak menancap di dalam dinding, tersambung dengan rantai baja yang kemudian berakhir pada belenggu yang melingkari pergelangan kaki kiri Putri Magitha di ujungnya.

Putri Magitha duduk di atas tempat tidur sederhana yang terbuat dari kayu. Dia jauh lebih kurus daripada sosoknya yang ada dalam ingatan Yuki. Tidak tampak segar, seperti bunga yang mekar merona. Kini, dia layu dan hampa. Wajahnya yang dulu bersinar ceria kini dipenuhi garis-garis kesedihan dan keputusasaan.

Yang lebih mengejutkan Yuki, di pangkuan Putri Magitha, Ratu Isodele tertidur dengan napas kepayahan. Jelas, dia tampak sedang sakit dan membutuhkan pertolongan. Memandang ibunya yang lemah, mata Putri Magitha berkaca-kaca, seolah menahan semua beban yang ditanggungnya seorang diri.

“Putri Magitha!” Yuki berteriak, hatinya tergerak oleh pemandangan di depan matanya.

Yuki memperhatikan sekelilingnya dengan lebih jelas, dan menyadari mereka tidak berada di salah satu ruangan yang ada di Istana Raja Jafar maupun Istana Pangeran Sera. Dia hanya tahu, saat ini mereka berada di dalam sebuah ruangan yang terletak di atas menara yang cukup tinggi. Ada sebuah jendela kecil yang dipasangi jeruji besi sebagai satu-satunya sumber cahaya di dalam ruangan. Dari jendela tersebut, Yuki menangkap jelas pemandangan di sebuah kolam ikan yang cukup luas, di tengah kolam ada patung seorang wanita sedang menuang air dari dalam belangganya.

“Apa yang terjadi? Ada apa dengan kalian, Putri?” tanya Yuki masih dilanda kebingungan.

“Tolong kami, Putri Yuki,” pinta Putri Magitha dengan suara serak. Ada lingkar hitam di bawah matanya. “Raja Trandem dari Rasyamsah menawan kami di tengah jalan, ketika kami dalam perjalanan kembali ke istana Raja seusai melakukan terapi obat untuk Ibu di kampung halamannya. Dia ingin menjadikanku sebagai salah satu selir yang menghasilkan keturunan untuknya sekaligus menggunakan kami untuk bisa mengambil keuntungan dari Argueda.”

“Apa?” kata Yuki terkejut, merasa seolah dunia di sekitarnya bergetar. “Selir? Bagaimana bisa dia melakukan ini? Kita harus segera mencari jalan keluar!”

“Kami di tawan di dalam istananya, di Menara Barat,” lanjut Putri Magitha, suaranya semakin lemah. “Aku khawatir kesehatan Ibu semakin menurun jika tidak memperoleh pengobatan yang layak. Tolong kami, Putri Yuki.”

Kegelapan perlahan kembali merayap mendekat dengan cepat, memudarkan cahaya temaram di sekitar Putri Magitha dan Ratu Isodele. Yuki merasakan kepanikan menghimpit hatinya.

“Tidak, aku tidak akan membiarkan ini terjadi. Kita harus menemukan cara untuk melarikan diri,” ujar Yuki dengan tegas, meskipun suaranya bergetar.

Dia mendekat ke jendela, berusaha mencari jalan keluar. Jeruji besi itu tampak kokoh. Kegelapan semakin menguasai sekitar.

“Putri Magitha…” Yuki maju dengan panik dan mencoba meraih Putri Magitha untuk menyelamatkannya dari kegelapan. Namun, dia hanya mampu meraih bayangan. Dia tidak dapat menyentuh Putri Magitha. Tubuhnya seperti hologram, tembus jika disentuh.

“Tolonglah kami, Putri… Aku mohon… sebelum terlambat!” suara Putri Magitha semakin serak, terperangkap di antara harapan dan keputusasaan.

“Putri Magitha…” Yuki berusaha menahan air mata yang mulai mengalir di pipinya, hatinya bergetar mendengar permohonan yang penuh penderitaan itu.

Kegelapan mulai menelan sosok Putri Magitha. Melenyapkannya dari hadapan Yuki, seperti asap yang menguap tanpa jejak. Yuki merasa jiwanya terhimpit oleh kepanikan yang mendalam.

“Putri Magitha…” teriak Yuki nyaring memanggil Putri Magitha lagi dengan panik, berusaha meraih apapun yang tersisa dari sosok yang sangat berarti baginya. Namun, semuanya sia-sia. Suara Putri Magitha semakin samar, teredam oleh kegelapan yang semakin mendalam.

...****************...

Seseorang menggoyangkan tubuh Yuki dengan kencang.

Yuki langsung meloncat dan terbangun dengan kaget. Dia mengerjap sesaat, dan pikirannya masih kosong, berusaha mengingat di mana dia berada.

Ketika sadar, Yuki terkejut melihat seluruh teman di kelasnya sedang memandang ke arahnya. Di dekatnya, guru olahraga sudah berdiri, memegang bahu Yuki. Rupanya, dia tertidur di sudut ruang olahraga dengan posisi meringkuk menggunakan kedua lututnya.

Sontak, gelak tawa terdengar membahana di seluruh gedung olahraga. Wajah Yuki langsung merah padam menahan malu, seolah semua perhatian tertuju padanya.

“Kau ini!” seru guru olahraga bernama Bapak Jacklin, sambil memukul kepala Yuki dengan kumpulan kertas yang digulung. Yuki meringis sembari memegangi kepalanya. Tidak sakit, tapi malunya itu luar biasa.

“Kami pikir kamu sedang berlatih tidur siang!” salah satu teman sekelasnya berkomentar, membuat tawa mereka semakin keras.

Raymond, mantan pacar Yuki sewaktu SMP, menggelengkan kepala sembari memandang Yuki dari seberang. Tatapannya mengandung campuran geli dan kasihan, membuat Yuki merasa semakin ingin menghilang ke dalam lubang.

“Siapa Putri Magitha? Apa itu peran yang sedang kau mainkan dalam film terbarumu?” tanya Pak Jacklin, semakin membuat Yuki merasa malu. “Kau begitu menjiwai peranmu sampai mengigau begitu keras dalam tidurmu.”

Tawa kembali terdengar riuh rendah, menambah rasa canggung yang menggelayuti Yuki. Betapa malunya dia; tertidur di saat Pak Jacklin sedang memberikan arahan mengenai olahraga voli. Dia merutuki dirinya sendiri, berusaha menahan air mata dari rasa malu yang menjalar.

“Ma… Maafkan saya, Pak,” kata Yuki menyesal, suaranya nyaris tak terdengar di tengah kebisingan tawa teman-temannya.

“Sudahlah, sebagai hukuman, kau pergi ke gudang olahraga dan ambilkan keranjang bola yang tertinggal di sana,” perintah Pak Jacklin, sambil melambaikan tangan untuk mengusirnya.

Yuki langsung berdiri dengan patuh, menyadari tidak ada pilihan lain. Dengan cepat, dia berlari menuju gudang olahraga yang terletak di lantai bawah gedung. Langkahnya terburu-buru, mencoba mengabaikan bisikan tawa yang masih membuntutinya.

Hey, Yuki!” Yuki langsung berbalik ketika dia baru saja membuka pintu untuk keluar. Pak Jacklin kembali meneriakinya cukup keras. “Cepat kembali dan jangan sampai ketiduran di dalam gudang ya!”

Tawa kembali berkumandang di belakangnya. Wajah Yuki merah padam menahan malu. Dia membungkukkan badan, menjawab perintah Pak Jacklin, lalu berlari keluar untuk mengambil keranjang bola yang dimaksud.

Yuki Orrie Olwrendho. Gadis cantik yang baru saja menginjak usia delapan belas tahun. Dia dikenal sebagai gadis yang aktif dan periang. Sekarang, dia dan teman-temannya telah menyelesaikan ujian kelulusan SMU, tinggal menunggu hasilnya. Yuki merasa bangga karena berhasil lolos di salah satu perguruan tinggi negeri di Ibukota dengan jurusan kedokteran Umum. Prestasi ini bukanlah hal yang mudah dicapai, terutama di tengah kesibukannya sebagai model dan penyanyi. Yuki harus bekerja keras sembari belajar dengan giat, membagi waktunya dengan disiplin tinggi.

Ketika Yuki kembali ke ruang olahraga dengan keranjang bola di tangannya, suasana di dalam kelas sudah lebih tenang. Dia berusaha untuk tersenyum, meski rasa malunya masih tersisa. Dia mengedarkan pandangan ke arah teman-temannya, yang kini duduk rapi dan bersiap untuk pelajaran berikutnya.

“Yuki, ada apa dengan mimpimu tadi?” tanya Sarah, sahabatnya, dengan nada bercanda. “Aku kira kau sedang berlatih untuk peran drama atau sesuatu.”

Yuki hanya tertawa kecil, meskipun dia merasa gelisah saat mengingat mimpi anehnya tentang Putri Magitha. “Ah, itu hanya mimpi biasa. Aku terlalu lelah, mungkin.”

...****************...

Hay…Hay

Sebelumnya biar paham alur ceritanya

Bisa baca dulu

Morning Dew Series 1 dan Morning Dew Series 2 “Wind Direction” digabung kok dalam satu buku

Mohon untuk memberi like dan dukungan baik di bulu pertama dan kedua ini ya 🥹🥹🥹

Jangan lupa komen dan kritik

Maaf klo masih banyak kekurangan maklum namanya masih belajar hahahaha

Like anda adalah biaya kuliahku 🐡🐡

Makasih ❤️❤️🥹

2

Yuki menghela napas panjang, berjalan dengan langkah berat di lorong sekolah. Sepi. Hanya suara langkah kakinya yang menggema, seolah lorong itu tahu apa yang sedang ia rasakan—keraguan, ketakutan, dan beban dari keputusan yang harus segera diambil. Jarinya dengan gugup memutar cincin bermata biru es yang melingkar di jari manisnya. Cincin itu dingin, seperti es yang beku, meskipun kulit Yuki sudah terbiasa dengan sensasinya. Namun, sensasi yang dingin itu seolah memperkuat kesadaran bahwa cincin itu lebih dari sekadar perhiasan.

Cincin itu, pemberian dari Pangeran Riana sesaat sebelum ia kembali ke dunia ini, memiliki kekuatan yang luar biasa. Sebuah kunci yang menghubungkan dua dunia—dunia yang sekarang ia tinggali, dan dunia di mana Pangeran Riana dan Pangeran Sera berada. Tapi kunci ini bukan tanpa konsekuensi. Jika Yuki menggunakannya untuk kembali, ia tahu risikonya. Dunia ini, dunia tempat ia dibesarkan, tempat keluarganya berada, akan menjadi sesuatu yang hanya bisa dikenang. Dia takkan pernah bisa kembali.

“Apakah aku siap? Apakah ini saatnya untuk kembali? Tapi… jika aku tidak pergi, apa yang akan terjadi pada Putri Magitha? Pada Ratu Isodele?” Kata Yuki dalam hati.

Dia berhenti di depan jendela besar yang menghadap halaman sekolah. Matahari sore mulai meredup, dan bayangan panjang mulai terbentuk di lapangan. Cincin di jarinya bersinar lembut di bawah cahaya matahari, memancarkan kilauan biru yang tenang namun menyimpan kekuatan yang tidak bisa Yuki abaikan.

Yuki memejamkan mata.

Cincin itu terasa lebih berat dari sebelumnya, seakan menariknya untuk segera bertindak. Tapi Yuki tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa keputusan ini akan mengubah segalanya.

Dia terjebak di antara dua dunia—dunia yang pernah ia tinggalkan dan dunia ini, yang selalu ia kenal sebagai rumah. Hatinya berdebar kencang. Mimpi tentang Putri Magitha terasa seperti panggilan darurat, mendesak Yuki untuk segera bertindak. Tapi Yuki juga tahu, sekali dia pergi, dia tidak akan bisa kembali.

“Apakah aku siap untuk meninggalkan semuanya?” Bisik Yuki lirih.

Pikiran Yuki dipenuhi oleh mimpi yang menghantuinya, gambaran-gambaran samar namun jelas akan kehancuran, kesedihan, dan ketidakberdayaan. Ada sesuatu yang kuat dalam mimpi itu, sesuatu yang tak bisa ia abaikan begitu saja. Hatinya merasa gelisah sejak ia terbangun, dan kini, di lorong sekolah yang sepi, semuanya terasa semakin nyata. Yuki tahu betul bahwa mimpinya bukan sekadar bunga tidur—itu adalah pesan, sebuah peringatan. Sebagai Ciel, mimpinya selalu memiliki makna yang lebih dalam, petunjuk akan sesuatu yang sedang atau akan terjadi.

“Mimpi itu… bukan hanya mimpi biasa,” gumam Yuki pelan pada dirinya sendiri, matanya masih terpaku pada cincin di jarinya. Suara Putri Magitha masih terngiang-ngiang di kepalanya, dan bayangan suram dari Ratu Isodele yang terbaring lemah membuatnya tak mampu tenang. Dia merasa mereka berdua berada dalam bahaya besar, dan entah bagaimana, mimpi itu adalah panggilan untuknya.

Yuki tahu, mimpi-mimpi ini selalu menjadi tanda bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi di dunia lain. Sebuah firasat yang selama ini selalu benar.

Putri Magitha dan Ratu Isodele berada dalam bahaya yang belum bisa ia pahami sepenuhnya. Mereka membutuhkan pertolongannya. Apapun yang sedang terjadi di dunia itu, Yuki adalah satu-satunya yang bisa membantunya, apapun risikonya.

Dengan tarikan napas yang dalam, dia memperkuat tekadnya. Yuki tahu, pilihan itu harus diambil. Dunia di mana Pangeran Riana dan Pangeran Sera berada, membutuhkan dia sekarang lebih dari sebelumnya.

“Aku harus kembali… Tidak ada pilihan lain.”

Yuki menarik napas dalam-dalam, memantapkan hati. Dia memutuskan, meskipun dia tahu harga yang harus dibayarnya sangat mahal.

Kembali ke dunia itu berarti Yuki meninggalkan kehidupannya, impiannya, dan teman-teman serta keluarganya. Tapi, Bagaimanapun juga, inilah takdirnya. Yuki tidak tega membiarkan Ratu Isodele dan Putri Magitha mengalami penderitaan seperti itu.

Dia tidak bisa mengabaikannya begitu saja.

Keputusan sudah diambil.

...****************...

Tanpa ragu lagi, Yuki merogoh saku dan mengeluarkan handphone. Tangannya sedikit gemetar saat mengetik nomor Bibi Sheira, satu-satunya orang di dunia ini yang mengerti keadaannya. Di dalam dirinya, Yuki tahu bahwa ini bukan keputusan yang mudah, tapi mimpinya tidak bisa diabaikan. Dunia asalnya membutuhkan dirinya.

Setelah beberapa dering, terdengar suara yang lembut dan akrab dari seberang.

“Yuki? Ada apa, Sayang? Suaramu terdengar cemas.”

Yuki menggigit bibirnya, mengumpulkan keberanian untuk berbicara.

“Bibi… Aku bermimpi tentang Putri Magitha dan Ratu Isodele. Mereka sedang dalam bahaya. Aku melihat mereka terperangkap di menara yang gelap… Aku tidak tahu harus bagaimana, tapi aku merasa ini adalah peringatan. Sesuatu yang buruk sedang terjadi di dunia itu. Aku… Aku harus kembali, Bibi.”

Terdengar keheningan sejenak di ujung telepon. Yuki bisa merasakan ketegangan yang sama di suara Bibi Sheira. Mereka sudah sering melalui situasi yang rumit, tapi Yuki tahu bahwa ini adalah sesuatu yang lebih besar dari sebelumnya.

Bibi Sheira dengan suara tegas namun lembut berbicara “Yuki, kau yakin? Kau tahu apa risikonya. Jika kau membuka jalan kembali, pintu itu mungkin akan tertutup selamanya. Apakah kau benar-benar siap?”

Yuki menarik napas panjang, lalu mengangguk meski Bibi Sheira tak bisa melihatnya.

“Aku tahu, Bibi. Aku sudah memikirkannya. Aku tidak bisa membiarkan mereka terjebak begitu saja. Mereka membutuhkan bantuanku, dan… aku merasa ini adalah tugasku.”

Suara Bibi Sheira terdengar penuh kekhawatiran, tapi Yuki bisa mendengar persetujuan yang lembut dalam nada suaranya.

“Baiklah, Yuki. Jika itu keputusanmu, aku akan mendukungmu. Aku akan menghubungi Phil dan mempersiapkan keperluanmu.”

“Terimakasih Bibi”

Yuki mengakhiri panggilan telephonenya. Memasukannya kembali ke dalam saku seragamnya. Berdiri sesaat dalam diam, sebelum akhirnya Dia memutar kran di wastafel yang ada didepannya. Menunduk untuk membasuh wajahnya dengan air mengalir.

Tidak ada yang perlu disesali.

Yuki berusaha menguatkan hatinya.

...****************...

Bibi Sheira bertindak dengan cepat. Dia telah menelephone sekolah untuk meminta izin sehingga Yuki bisa kembali lebih awal. Setelah berganti pakaian olahraga dengan seragamnya. Dan mengambil tas di kelas. Yuki menuju lokernya untuk mengambil beberapa barang yang berharga ke dalam tas. Sisanya, Yuki akan menyerahkan pada Bibi Sheira nantinya.

“Kau akan pergi lagi ?.” Tanya Raymond ketika Yuki sedang membereskan lokernya

Yuki berbalik dan terkejut ketika melihat Raymond sudah berdiri dibelakangnya.

Raymond menatap Yuki dengan pandangan yang sukar untuk dijelaskan. Ada kesedihan di matanya. Membuat Yuki tidak mampu berkata apa-apa.

“Ada apa Raymond ?” Tanya Yuki berpura-pura tidak mengerti maksud perkataan Raymond.

“Aku mendengar di ruang guru, Bibi Sheira menelephon wali kelas. Kau akan pergi kemana Yuki ?”

Ada penekanan yang aneh yang diucapkan Raymond pada Yuki.

Yuki menahan napas sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Dia tidak pernah berniat melibatkan Raymond dalam masalah ini, tapi kenyataannya sekarang sudah di luar kendali.

Yuki tersenyum tipis “Raymond, aku… aku harus pergi. Ada urusan keluarga yang harus kuselesaikan.”

Raymond menatap Yuki dengan pandangan tajam, seolah tak percaya dengan jawaban sederhana itu. Dia tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar urusan keluarga.

Raymond berkata dengan suara berat. “Yuki, kau pikir aku tidak tahu? Aku mungkin tidak tahu segalanya, tapi aku bisa merasakan kau menyembunyikan sesuatu. Dan sekarang kau akan pergi lagi, tanpa penjelasan.”

Yuki terdiam, merasa sudut hatinya tersentuh oleh pertanyaan itu.

Yuki berusaha tersenyum. “Bukan seperti itu, Raymond. Aku hanya… aku tidak ingin membebani orang lain dengan masalahku.”

“Masalahmu? Yuki, aku peduli padamu. Dulu, dan bahkan sekarang, meskipun kita sudah tidak bersama. Kalau kau harus pergi, setidaknya beri tahu aku kenapa. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.”

Yuki menunduk, memainkan cincin di jarinya, cincin yang penuh dengan beban dan tanggung jawab dari dunia lain. Bagaimana dia bisa menjelaskan ini kepada Raymond tanpa membuatnya semakin terlibat?

Yuki kemudian berkata perlahan. Setelah memikirkan jawabannya. “Aku harus pergi ke tempat yang jauh, Raymond. Ini… rumit. Aku tidak bisa menjelaskan semuanya”

Raymond menarik napas panjang, menatap Yuki dengan mata yang penuh kebingungan dan sedikit rasa sakit.

“Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, Yuki. Tapi kalau kau harus pergi, setidaknya biarkan aku tahu kapan kau akan kembali.”

Yuki tersenyum tipis, kali ini lebih sendu.

Sebenarnya, Yuki mempunyai pilihan lain dalam hidupnya jika Yuki mau. Dia terus memikirkan kemungkinan itu.

Kembali bersama dengan Raymond dan tidak kembali ke dunia asalnya

Tapi Yuki tidak setega itu melibatkan Raymond dalam bahaya meskipun Dia memiliki keluarga yang cukup disegani dalam pemerintahan. Pangeran Riana tidak mungkin membiarkan Mereka begitu saja. Bisa-bisa Dia malah akan menyakiti Raymond atau bahkan membunuhnya.

“Aku tidak tahu, Raymond”

3

Tatapannya mengeras, suaranya penuh desakan. “Apa maksudmu kau tidak tahu, Yuki? Apa itu artinya kau akan pergi begitu saja dan meninggalkan semuanya?Raymond menggigit bibirnya, jelas tidak puas dengan jawaban Yuki.

Yuki Menghela napas dalam-dalam, menatap Raymond dengan mata berkaca-kaca. Ada rasa lelah yang sulit disembunyikan. Dia tidak ingin bertengkar dengan Raymond disaat terakhir Mereka bertemu.

“Raymond… aku benar-benar tidak tahu.” Yuki berkata dengan suara lemah, penuh kesedihan. “Mungkin… mungkin kita tidak akan pernah berjumpa lagi.”

Raymond Kaget dan tidak percaya, Dia melangkah mendekat, matanya menelusuri wajah Yuki. “Tidak akan pernah berjumpa lagi? Apa maksudmu, Yuki? Kau tidak bisa hanya pergi dan menghilang begitu saja!”

Yuki Menundukkan kepala, tidak sanggup menatap Raymond. Jarinya tanpa sadar kembali memegang cincin yang melingkari jarinya, cincin dari Pangeran Riana.

“Aku tidak punya pilihan, Raymond. Aku tidak bisa menceritakan apapun padamu… terlalu berbahaya. Aku tidak bisa menyeretmu ke dalamnya. Dan kalau aku pergi… mungkin aku tidak akan bisa kembali.” Suaranya semakin pelan, penuh ketidakpastian dan rasa sakit.

Raymond berkata dengan suara pecah penuh emosi, dia menggenggam lengan Yuki dengan lembut tapi tegas.

“Tidak, Yuki. Kau tidak bisa begitu saja menghilang dari hidupku. Kau tidak bisa meninggalkanku dengan begitu banyak pertanyaan dan tanpa jawaban.” Matanya berkaca-kaca, tapi dia menahannya, tidak ingin terlihat lemah.

Yuki menatap tangan Raymond yang menggenggam lengannya. “Aku juga tidak ingin pergi, Raymond… Tapi ini ada hal yang lebih besar sedang terjadi. Dan kalau aku tidak pergi… aku takut akan kehilangan segalanya.… mereka membutuhkanku.”

Raymond Suaranya gemetar, penuh keputusasaan.

“Bagaimana denganku, Yuki? Aku… aku juga membutuhkamu. Apakah itu tidak cukup untuk membuatmu tinggal?”

Yuki Terdiam sesaat, rasa sakit di hatinya semakin dalam. “Aku berharap… itu cukup. Tapi aku harus membuat keputusan yang tidak bisa kubatalkan. Aku tidak bisa membiarkanmu dalam bahaya. Aku tidak bisa menghancurkan hidupmu, Raymond.”

Hening

Yuki dan Raymond bertatapan dalam diam sesaat.

“Apa kau akan pergi bersama pria itu?”

Yuki tersentak mendengar kata-kata Raymond, matanya melebar. Dia tidak menyangka Raymond akan mengungkit kejadian di rumah kaca. Yuki mengira Raymond saat itu pingsan karena pukulan dikepalanya, dan tidak mengetahui apa yang terjadi. Dalam hati Yuki, ia tahu siapa yang dimaksud Raymond.

“Aku melihat semuanya. Ketika kita di rumah kaca, pria itu—dia mengangkatmu, menyeretmu ke lubang aneh, dan setelah itu kau menghilang. Selama delapan bulan, kau pergi tanpa jejak. Tidak ada kabar. Tidak ada penjelasan.” Mata Raymond bersinar dengan kemarahan yang terpendam, namun juga penuh rasa sakit. “Aku bertanya-tanya setiap hari, apa yang sebenarnya terjadi? Dan sekarang, kau akan pergi lagi?”

“Aku… Aku tidak ingin pergi seperti itu, Raymond. Percayalah, aku ingin tetap di sini, menjalani hidup normal seperti semua orang. Tapi ada hal yang tidak bisa aku kendalikan, hal-hal yang jauh lebih besar dariku.”

Raymond Suaranya gemetar, penuh keputusasaan. “Dan pria itu… apakah dia bagian dari hal-hal yang tidak bisa kau kendalikan? Apakah dia alasan kau harus meninggalkan semuanya, meninggalkan aku?” Mata Raymond menatap Yuki dengan penuh harapan, seolah-olah masih ada sedikit ruang untuknya.

Yuki Terdiam, merasa beban di dadanya semakin berat. Dia tidak bisa menyangkal sepenuhnya, tapi juga tidak bisa menjelaskan semuanya kepada Raymond. “Aku tidak bisa memberitahumu segalanya, Raymond. Tapi dia—Ya Dia adalah salah satu dari hal-hal yang tidak bisa Aku kendalikan” Yuki meremas cincin di jarinya, mengingat tanggung jawab yang harus ia emban.

“Dia… dia pria yang telah tidur bersamamu, bukan?”

Yuki Terdiam sesaat. Tangannya menggenggam cincin di jarinya dengan lebih erat, berusaha menahan rasa bersalah yang menyeruak. Dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia menjawab.

“Ya.”

Raymond Terkejut, meski ia mungkin sudah menduganya. Tatapannya semakin tajam, penuh kesedihan dan amarah yang tertahan. “Apakah kau mencintainya?”

Yuki tidak langsung menjawab. Pertanyaan itu berputar di benaknya, membuat dadanya terasa sesak. Dia memikirkan Pangeran Riana—sosok yang penuh perlindungan tapi juga membawa ketakutan di hatinya. Yuki tak bisa memahami apakah yang ia rasakan adalah cinta atau hanya ketakutan pada kekuatan Pangeran Riana dan tanggung jawab yang melekat pada dirinya.

Yuki berbisik, Suaranya bergetar, seolah bertanya pada dirinya sendiri. “Aku… aku tidak tahu.”

Yuki berpaling dari Raymond, merasa hatinya terkoyak oleh kebingungan yang tak kunjung berakhir. Apakah ia mencintai Pangeran Riana? Atau apakah ikatan mereka hanya didorong oleh rasa tanggung jawab dan ketakutannya pada nasib yang menunggu jika dia tidak memilih Pangeran Riana? Pertanyaan itu terus menghantui Yuki.

Raymond berkata lagi dengan suara yang melemah, tatapannya meredup, seolah putus asa mencoba memahami. “Jadi, kau bahkan tidak tahu perasaanmu sendiri?”

Yuki hanya bisa terdiam, tak ada jawaban yang mampu ia berikan pada Raymond atau dirinya sendiri. Persimpangan di depan matanya semakin kabur.

“Tapi meskipun kau tidak yakin apakah kau mencintainya atau tidak, kau akan tetap pergi ke tempatnya… dengan mengorbankan segalanya, kan?”

Yuki merasakan dadanya sesak, tatapan Raymond penuh dengan kesedihan dan rasa terluka yang membuatnya ingin berpaling. Tapi ia tahu ini adalah kenyataan yang harus ia hadapi. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara.

Yuki berkata pelan, hampir seperti bisikan, tapi penuh dengan beban keputusan yang sudah ia ambil.

“Ya.”

Raymond menatap Yuki semakin intens, namun ada keputusasaan di matanya. Dia mendekat sedikit, seolah berusaha menggapai Yuki meskipun jarak emosional di antara mereka terasa semakin lebar.

“Dan aku? Apa aku termasuk dalam hal-hal yang harus kau korbankan?”

Yuki terdiam, merasa tertikam oleh pertanyaan itu. Dia ingin menjawab, ingin memberitahu Raymond bahwa ia peduli, bahwa meninggalkan dunia ini sangat sulit dengan mengabaikan dunia asalnya.

Yuki menggengam tangannya sendiri, suaranya serak penuh kesedihan.

“Aku tidak ingin mengorbankanmu, Raymond… tapi jika aku tetap di sini, aku akan menempatkanmu dalam bahaya. Dunia yang akan kutinggalkan tidak akan membiarkanku berada disini begitu saja.”

Raymond berbisik dengan suara bergetar, penuh keteguhan dan rasa takut akan kehilangan. “Bisakah aku ikut denganmu, Yuki?”

Yuki terkejut mendengar permintaan itu. Hatinya bergejolak. Raymond yang selama ini ia pikir tidak akan terlibat lebih jauh, kini menempatkan dirinya di ujung bahaya. Tapi ia tahu jawabannya. Jawaban yang harus ia berikan demi keselamatan Raymond.

Yuki menggelengkan kepala tegas, namun dengan nada lembut, seperti meredakan sesuatu yang tak bisa dihindari berkata “Tidak. Kau punya mimpi-mimpimu, Raymond. Dan di sana bukan tempat yang bersahabat untuk kita.”

Raymond menatap Yuki tajam, hatinya terasa berat. Dia tahu ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, tapi dia tidak peduli. Bagi Raymond, yang paling penting adalah tetap berada di sisi Yuki.

Raymond Penuh ketegangan, berusaha menahan rasa sakit di hatinya. “Persetan dengan mimpi-mimpiku! Aku tidak akan jadi bebanmu, Yuki! Aku bisa menjaga diriku sendiri, aku bisa melindungimu.”

Yuki tersenyum pahit, menghargai tekad Raymond, tapi ini bukan tentang siapa yang kuat atau siapa yang bisa menjaga siapa. Dunia yang menunggu Yuki adalah tempat penuh bahaya, dan ia tidak bisa menyeret Raymond ke dalamnya.

“Bukan itu masalahnya, Raymond. Di sana… tempat yang berbahaya. Lebih dari yang bisa kau bayangkan. Aku sudah sering kehilangan orang-orang yang aku sayangi… Aku tidak akan menempatkanmu dalam bahaya yang sama.”

Raymond merasakan hati Yuki yang terluka, tapi ketakutan terbesar Yuki jauh lebih besar dari dirinya. Dia tahu bahwa Yuki berbicara dari pengalaman, tapi itu tidak menghentikan rasa putus asanya. Ia ingin tetap di sisi Yuki, apapun resikonya.

“Tapi… aku tidak bisa hanya melihatmu pergi tanpa melakukan apa-apa.”

Yuki menatap dalam ke arah Raymond, penuh kasih, tapi juga dengan kepastian yang tak bisa diruntuhkan.

“Raymond… inilah satu-satunya cara aku bisa melindungimu.”

Raymond terdiam, menyadari bahwa apapun yang ia katakan, keputusan Yuki sudah bulat. Namun rasa sakit di hatinya semakin dalam, karena ia tahu, ia harus merelakan Yuki pergi.

“Jadi… hanya karena menurutmu Aku lemah, Kau tidak bisa membawaku?”

Yuki menutup matanya, menahan air mata yang mulai menggenang. Ia tahu bahwa apa yang Raymond katakan adalah kebenaran yang pahit. Tapi di dalam hatinya, ia tahu ini adalah satu-satunya jalan.

“Ada seseorang yang harus Aku selamatkan saat ini, dan Kau tidak bisa ikut” kata Yuki lagi dengan tegas.

Yuki adalah seorang Ciel. Jika ada yang jatuh cinta secara dalam pada seorang Ciel. Dia akan mencintai Ciel tersebut seumur hidupnya. Yuki yakin Raymond adalah salah satu dari pria bodoh yang mencintainya. Hal itu membuat Yuki semakin merasa bersalah padanya.

Karenanya, Yuki menahan perasaan. Tidak ingin bertengkar dengan Raymond dan kembali memperbaiki hubungan pertemanan saat Dia pulang dulu. Yuki tahu, keadaan seperti ini akan datang pada waktunya dan Yuki hanya ingin memberi kenangan yang baik untuk Raymond.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!