...Sintia...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Habis kena cupang di leher, ya, Mbak?"
Mata gue mendadak melebar, dan perlahan-lahan berbalik ke arah kakek tua yang berdiri di samping gue. Dia menekan tombol naik yang ada di panel lift dan menatap gue. Dia tersenyum dan menunjuk ke leher gue.
"Kalau bukan, itu pasti tanda lahir, ya?" imbuhnya.
Tanpa sadar gue sentuh tanda lahir yang sebesar koin tepat di bawah telinga gue.
“Dulu Ibu saya pernah bilang, letak tanda lahir itu kasih tahu kita gimana seseorang mati di kehidupan masa lalunya. Kayaknya, dulu Mbak pernah mati ditusuk di leher, deh.”
Gue tersenyum, tapi enggak bisa memutuskan apakah gue harus takut atau terhibur. Meskipun agak menyeramkan, tapi jelas dia enggak mungkin berbahaya.
Postur tubuhnya yang membungkuk dan langkahnya yang goyang bikin gue yakin kalau dia mungkin sudah lebih dari delapan puluh tahun.
Dia melangkah perlahan ke salah satu dari dua kursi beludru merah yang ada di dinding sebelah lift. Dia mengeluh saat duduk di kursi itu dan kemudian memperhatikan gue lagi.
“Mbaknya mau naik ke lantai delapan belas?”
Mata gue sontak menyipit saat mencoba mencerna pertanyaannya. Entah bagaimana caranya dia tahu kalau gue mau ke lantai itu, padahal ini pertama kalinya gue ke apartemen ini, dan ini juga pertama kalinya gue ketemu sama makhluk reinkarnasi.
“Iya, Pak, eh Om, ... Kek,” kata gue dengan hati-hati. “Apa Kakek kerja di sini?”
“Iya.” Dia mengangguk ke arah lift, dan mata gue beralih ke angka-angka yang menyala di atas. Masih sebelas lantai lagi sebelum lift tiba, dan pintu besi di depan gue ini terbuka.
“Saya tukang tekan tombol lift,” tegasnya. “Enggak ada jabatan resmi buat posisi saya, tapi saya suka menyebut diri saya itu sebagai Kapten penerbangan, karena saya suka nganterin orang sampai dua puluh lantai ke atas.”
Gue tertawa mendengar kata-katanya, karena Abang dan Bokap gue sama-sama pilot.
“Udah berapa lama Kakek jadi Kapten penerbangan lift ini?” tanya gue sambil menunggu. Rasanya ini lift paling lambat yang pernah gue temui.
“Sejak saya pensiun buat ngerawat gedung ini. Saya kerja di sini sudah tiga puluh dua tahun sebelum jadi kapten. Sekarang udah lebih dari lima belas tahun saya nganterin orang ke atas. Pemilik gedung ngasih saya pekerjaan ini karena kasihan, biar saya tetap sibuk sampai saya mati.”
Kakek itu senyum-senyum sendiri.
“Tapi dia enggak tahu kalau tuhan masih kasih saya banyak hal hebat yang harus saya capai dalam hidup ini, dan sekarang, saya sudah jauh tertinggal, jadi saya enggak akan mati gitu aja.”
Gue ketawa lega saat pintu lift akhirnya terbuka. Gue ambil pegangan koper dan menoleh ke kakek itu sekali lagi. “Nama Kakek siapa?”
“Kaptoyo, tapi panggil saja saya Kapten,” katanya. “Semua orang yang ada di apartemen ini juga manggil saya gitu.”
“Kakek... Kapten punya tanda lahir juga?”
Dia tersenyum lebar.
“Sebetulnya ada. Ternyata di kehidupan masa lalu saya, saya ditembak tepat di pantat. Mungkin dulu saya mati karena kehabisan darah.”
Gue menahan tawa dan menaruh tangan di dahi, memberi hormat ala awak penerbangan kepada sang Kapten dengan layak.
Gue berbalik menghadap pintu lift yang terbuka. Sebenarnya gue sedikit heran dengan kemewahan lobi ini. Tempat ini lebih mirip hotel berbintang ketimbang apartemen, dengan patung-patung besar dan lantai marmer.
Waktu Amio bilang gue bisa tinggal bersamanya sampai gue dapat pekerjaan, gue enggak menyangka dia hidup layaknya orang dewasa benaran. Gue kira akan mirip seperti kunjungan terakhir gue, setelah lulus SMA, waktu dia masih baru mulai mengurus lisensi pilotnya. Itu sudah empat tahun lalu dan kompleks dua lantai yang kurang meyakinkan. Itu yang gue kira jadi cikal bakal gue untuk tinggal. Benar-benar sama sekali enggak menyangka bakal tinggal di gedung tinggi di tengah pusat kota Jakarta.
Gue menemukan panel dan menekan tombol untuk lantai delapan belas, lalu melihat ke dinding kaca lift yang memantulkan penampakan tubuh gue.
Pagi ini gue habiskan waktu untuk berkemas semua barang-barang dari kontrakan gue di Surabaya. Untungnya, gue enggak punya banyak barang. Tapi setelah menyetir sendirian sejauh seribu kilometer dalam dua hari ini, kelelahan gue jelas banget kelihatan di cermin.
Rambut gue diikat longgar di atas kepala, dipasang dengan pensil, karena gue enggak menemukan pengikat rambut selama gue menyetir. Biasanya mata gue sama coklatnya dengan rambut hazelnut gue, tapi sekarang tampak sepuluh kali lebih gelap, berkat kantong mata gue.
Gue merogoh tas selempang untuk cari Lipstick, berharap bisa memperbaiki warna bibir gue sebelum gue terlihat kering seperti kakek-kakek tadi.
Begitu pintu lift mulai menutup, tiba-tiba terbuka lagi. Seorang pria sedang berlari menuju lift tempat gue berdiri, siap masuk sambil mengangguk ke Kapten yang berjaga di sebelah. “Terima kasih, Kapten,” katanya.
Gue enggak bisa lihat Kapten dari dalam lift ini, tapi gue dengar dia membalas dengan suara menggerutu.
Pria ini kelihatannya baru berusia dua puluhan. Dia tersenyum ke arah gue, dan gue tahu persis apa yang ada di pikirannya, mengingat dia baru saja menyelipkan tangan kirinya ke saku.
Tangan yang ada cincin kawinnya.
“Lantai sepuluh,” katanya tanpa melepaskan tatapannya. Matanya jatuh sedikit ke belahan dada yang terlihat dari baju gue, lalu dia melihat koper di samping gue. Gue tekan tombol untuk lantai sepuluh. Gue sedikit menyesal sama outfit yang gue pakai, seharusnya gue pakai sweeter atau hoodie.
“Lagi pindahan?” tanyanya, jelas-jelas menatap baju gue lagi.
Gue mengangguk, meskipun gue ragu kalau dia bakal memperhatikannya, mengingat tatapannya enggak pernah ke wajah gue.
“Lantai berapa?” tanya pria itu.
Oh, tidak.
Gue beralih posisi dan menutupi semua tombol di panel dengan tangan gue untuk menyembunyikan tombol lantai delapan belas yang menyala, lalu gue tekan semua tombol antara lantai sepuluh dan delapan belas. Jangan sampai pria cabul ini tahu kamar apartemen yang bakal gue tinggali.
Dia melirik ke panel, bingung.
“Bukan urusan lo,” kata gue.
Dia tertawa. Dia kira gue bercanda. Dia mengangkat alis hitam tebalnya. Alisnya bagus. Tersambung dengan wajah yang cakep, menempel pada kepala yang sedikit kotak, tertaut dengan badan yang atletis. Tapi badan itu, badan yang sudah terjamah, sudah menikah.
Sial.
Dia tersenyum menggoda setelah melihat gue memperhatikannya, padahal sebenarnya gue enggak memperhatikan dia seperti yang dia kira. Di kepala gue, gue cuma penasaran sudah berapa kali tubuh itu melekat pada tubuh gadis lain yang bukan istrinya. Gue kasihan sama istrinya.
Dia kembali melihat belahan dada gue saat kami sampai di lantai sepuluh. “Gue bisa bantu bawain koper lo,” katanya, sambil menunjuk koper gue.
Suaranya keren. Gue penasaran, berapa banyak gadis yang jadi korban karena suara itu. Dia mendekat dan berani menekan tombol untuk menutup pintu lift.
Gue menatapnya dan menekan tombol untuk membuka lagi pintu. “Gue bisa sendiri.”
Dia mengangguk seolah memahami, tapi masih ada kilatan jahanam di matanya yang bikin gue takut.
Dia keluar dari lift dan berbalik menghadap gue sebelum pergi.
“Sampai ketemu lagi nanti, ya, Tia,” katanya, tepat saat pintu menutup.
Gue cemberut, merasa enggak nyaman dengan apa yang baru saja terjadi. Ada dua orang yang baru gue temui di gedung apartemen ini, dan mereka sudah tahu nama dan tujuan gue.
Gila.
Gue sendirian di lift saat berhenti di setiap lantai sampai akhirnya tiba di lantai delapan belas.
Gue keluar, ambil HP dari saku, dan nge-chat Amio. Gue enggak ingat nomor apartemen mana yang dia bilang.
Mungkinkah 1806 atau 1804.
Mungkin 1816?
Gue berhenti di 1804, karena ada seorang pria tergeletak di lantai koridor, bersandar di pintu 1806.
Tolong, Amio, jangan 1806.
Gue mencari pesan di percakapan gue sama Amio.
Sial, ternyata benar, 1806.
Gue berjalan pelan ke arah pintu, berharap gue enggak membangunkan pria itu. Kakinya berserakan di depannya, dan dia bersandar di pintu apartemen Amio. Dagunya menempel di dada dan dia mendengkur.
“Permisi,” kata gue, suara gue hanya sedikit lebih keras dari suara angin.
Dia sama sekali enggak bergerak.
Gue mengangkat kaki dan menyentuh bahunya dengan kaki gue.
“Hei, gue harus masuk ke apartemen ini.”
Dia bergerak sedikit, lalu perlahan membuka matanya dan menatap langsung ke kaki gue.
Matanya bertemu dengan lutut gue, dan alisnya mengkerut saat dia perlahan-lahan condong ke depan dengan ekspresi marah.
Dia mengangkat tangan dan menyentuh lutut gue dengan jarinya, seolah-olah dia belum pernah melihat lutut. Dia menurunkan tangannya, menutup mata, dan kembali tidur bersandar di pintu.
Bagus.
Amio baru akan kembali besok, jadi gue menelepon nomornya untuk memastikan apakah pria ini seseorang yang perlu gue khawatirkan.
“Tia?” tanya Amio tanpa salam terlebih dahulu.
“Yaps,” jawab gue. “Gue udah sampai dengan selamat, tapi gue enggak bisa masuk karena ada orang mabuk di depan pintu. Gimana, nih?”
“Lantai delapan belas?” tanya Amio. “Lo yakin lo di apartemen yang benar?”
“Yakin.”
“Lo yakin dia mabuk?”
“Yakin.”
“Aneh,” katanya. “Dia pakai apa?”
“Kenapa lo kepo banget dia pakai apa?”
“Kalau dia pakai seragam pilot, dia mungkin tinggal di gedung ini. Apartemen ini kerja sama dengan maskapai tempat gue kerja.”
Pria ini enggak pakai seragam apa pun, tapi gue rasa celana jeans dan kaos hitamnya sangat pas di tubuhnya.
Dan itu terlihat seksi.
“Enggak ada seragam,” jawab gue.
“Bisa lewat, gak, tanpa bangunin dia?”
“Gue harus geser dia. Dia bakal jatuh ke dalam kalau gue buka pintunya.”
Amio diam beberapa detik sambil berpikir.
“Coba lo turun ke bawah dan cari penjaga gedung, cari Kapten,” katanya. “Gue udah bilang ke dia kalau lo bakal datang malam ini. Suruh aja dia bantuin lo buat masuk ke apartemen.” imbuh Amio.
Gue ambil napas dalam-dalam, karena gue lelah menyetir selama enam jam, dan balik ke bawah lagi bukanlah sesuatu yang gue mau sekarang.
Gue juga enggak habis pikir, karena makhluk reinkarnasi itu justru orang terakhir yang mungkin bisa membantu gue dalam situasi ini.
“Jangan matiin teleponnya, tunggu gue sampai masuk di apartemen lo.”
Gue lebih suka rencana ini. Gue taruh telepon di antara telinga dengan bahu gue dan mencari kunci yang dikirim Amio di tas selempang. Pelan-pelan gue memasukkan kunci ke dalam lubang kunci dan mulai membuka pintu, tapi pria mabuk itu mulai jatuh ke belakang setiap kali pintu terbuka sedikit.
Dia mengeluh dengan mata tertutup.
“Sayang banget dia mabuk,” kata gue ke Amio. “Dia enggak jelek-jelek amat.”
“Tia, cepat masuk dan kunci pintunya biar gue bisa tutup telepon lo.” bentak Amio.
Gue memutar mata. Dia masih saja jadi Abang yang sok mengatur kayak dulu. Gue sudah tahu kalau pindah bareng sama dia bakal enggak bagus buat hubungan kita. Tapi, gue enggak punya waktu, jadi ya, enggak ada pilihan lain.
Gue sih berharap, semoga sekarang keadaan bakal berbeda. Amio sudah dua puluh lima tahun dan gue dua puluh tiga tahun. Kalau kita enggak bisa akur daripada waktu kita kecil, ya, berarti kita masih punya banyak PR buat tumbuh dewasa.
Gue rasa, itu tergantung sama Amio dan apakah dia berhasil berubah sejak terakhir kali kita tinggal bareng.
Dulu dia punya masalah sama siapa saja yang gue pacari, semua teman gue, setiap keputusan yang gue buat, bahkan kampus yang gue pilih. Walaupun, gue enggak pernah sih, ambil pusing sama pendapatnya.
Jarak dan waktu yang memisahkan kita selama beberapa tahun terakhir ini bikin dia enggak terlalu menggerecoki, tapi tinggal bareng dia lagi bakal jadi ujian terberat buat gue.
Gue lilitkan tali tas selempang di pundak, tapi malah menyangkut di pegangan koper, jadi gue biarkan saja tas selempang gue jatuh ke lantai.
Tangan kiri gue masih erat menggenggam gagang pintu, menahannya, biar orang gila ini enggak jatuh ke dalam apartemen.
Gue tempeli kaki gue ke bahunya, dorong dia dari tengah-tengah pintu.
Dia enggak bergerak sama sekali.
"Miooo. Arghh. Dia berat bangeeeet. Bentaran, gue harus tutup telpon biar bisa pakai kedua tangan."
"Jangan ditutup! Taruh aja HP lo di kantong, tapi jangan dimatiin."
Gue lihat ke baju dan legging yang gue pakai. “Enggak ada kantong, nih. Masuk ke Bra aja, ya.”
Amio langsung bikin suara muntah waktu gue cabut HP dari telinga dan menyelipkannya ke dalam Bra.
Gue cabut kunci dari lubangnya dan menjatuhkannya ke tas, tapi malah meleset dan jatuh ke lantai.
Gue bungkuk buat tarik cowok mabuk ini biar bisa menggeser dia dari pintu.
“Oke, brooo,” hentak gue sambil susah payah menariknya dari tengah pintu. “Maaf ganggu tidur lo, tapi gue mesti masuk ke apartemen ini.”
Gue tiba-tiba berhasil menyangga dia di kusen pintu biar enggak jatuh ke dalam apartemen, terus gue dorong pintunya dan balik buat mengambil barang-barang gue.
Sesuatu yang hangat melilit pergelangan kaki gue.
Gue langsung diam.
Gue lihat ke bawah.
"Lepasin gue!" teriak gue sambil tendang tangan yang menggenggam pergelangan kaki gue dengan kuat, sampai gue yakin cakarnya bakal meninggalkan lebam di kaki cantik gue.
Cowok mabuk itu sekarang melihat gue, dan genggamannya bikin gue jatuh ke belakang, ke dalam apartemen waktu gue coba tarik kaki gue dari dia.
"Gue harus masuk ke sana," gumamnya. Pas banget pantat gue menyentuh lantai. Dia mencoba dorong pintu apartemen dengan tangan yang satunya, dan langsung bikin gue panik.
Gue tarik kaki gue biar sepenuhnya masuk ke dalam, dan tangannya ikut sama gue. Gue pakai kaki yang satunya lagi buat tutup pintu, dan itu seketika menghantam pergelangan tangannya.
"Argghh!" teriaknya. Dia coba tarik tangannya yang terjepit, tapi kaki gue masih menahan pintu. Gue lepaskan dorongan secukupnya biar dia bisa tarik tangannya, terus langsung gue tendang pintunya sampai tertutup rapat.
Gue berdiri lekas mengunci pintu, dan pasang rantai pengaman secepat mungkin.
Begitu detak jantung gue mulai tenang, tiba-tiba ada suara yang berteriak di dalam dada gue. Suara itu benar-benar berteriak dari dalam hati gue. Suara pria yang begitu dalam.
Suara itu seperti lagi teriak, "Tia! Tia!"
Amio.
Gue langsung lihat ke dada gue dan tarik HP dari Bra, terus gue angkat ke telinga.
"Tia! Jawab gue!"
Gue meringis, terus menjauhkan HP beberapa inci dari telinga gue.
"Gue baik-baik aja," jawab gue dengan napas terengah-engah. "Gue udah ada di dalam. Gue kunci pintunya."
"Ya ampun!" sahutnya dengan lega. "Lo bikin gue hampir mati. Apa yang barusan terjadi?"
"Dia mau masuk. Tapi, gue udah kunci pintunya."
Gue menyalakan lampu ruang tamu dan cuma butuh tiga langkah sebelum gue berhenti.
Bagus, Sintia.
Gue pelan-pelan balik badan ke arah pintu setelah sadar dengan apa yang telah gue lakukan.
"Aduh, Miooo?" Gue berhenti sejenak. "Sial, barang-barang gue ketinggalan di luar. Gue mau ambil, tapi cowok mabuk itu kayaknya dia benar-benar mau masuk ke apartemen lo, deh, entah kenapa, jadi gue enggak akan bukain pintu itu lagi. Gimana?"
Amio diam beberapa detik. "Apa yang lo tinggalin di lorong?"
Gue sebenarnya enggak mau jawab, tapi gue tetap bilang, “Koper gue.”
“Sial, serius?” gumamnya.
“Sama... tas gue.”
“Kenapa bisa tas lo ada di luar, sih, Tia?”
“Gue mungkin juga ninggalin kunci apartemen lo di lantai lorong.”
Dia bahkan enggak merespons yang satu itu. Dia cuma menggerutu. “Gue bakal telepon Tama, bentar, dia udah pulang atau belum, ya... Kasih gue dua menit.”
“Tu—tunggu. Siapa Tama?”
“Dia tinggal di seberang lorong. Apa pun yang lo lakuin, jangan buka pintu sampai gue telepon balik.”
Amio tutup telepon, dan gue bersandar ke pintu depan.
Gue baru tiga puluh menit tinggal di Jakarta, dan sudah bikin repot abang gue. Keren, kan? Mungkin gue bakal lebih beruntung kalau dia kasih ijin gue tinggal di sini sampai gue dapat kerja. Semoga saja enggak butuh waktu lama, mengingat gue sudah apply di tiga posisi part time di rumah sakit di Jakarta.
Mungkin itu kerja malam, akhir pekan, atau keduanya, tapi gue bakal ambil, yang penting bisa tambah pemasukan gue.
HP gue berdering. Gue geser jempol gue di layar dan angkat teleponnya. “Halo.”
“Tia?”
“Ya,” jawab gue, bertanya-tanya kenapa dia selalu cek ulang apakah ini gue atau bukan. Padahal dia yang telepon gue, jadi siapa lagi yang bakal jawab kalau bukan gue?
“Gue udah hubungin Tama.”
“Bagus. Dia bakal bantuin gue ngambil barang-barang gue, kan?”
“Enggak,” sahut Amio. “Kayaknya gue butuh sedikit bantuan lo, deh.”
Kepala gue jatuh lagi ke pintu. Gue punya firasat kalau beberapa bulan ke depan bakal penuh dengan permintaan tolong yang bikin gue repot, karena dia menganggap kalau dia sudah banyak bantu gue dengan kasih tempat tinggal di sini.
Cuci piring, Tia!
Siap.
Cuci baju Tia!
Siap.
Belanja, Tia!
Siap.
“Apa yang lo butuhin?” tanya gue.
“Tama butuh bantuan lo.”
“Si tetangga lo?” Gue berhenti sejenak begitu gue sadar, dan tutup mata.
“Mio, please... jangan bilang kalau orang yang lo telepon buat ngelindungin gue dari cowok mabuk itu adalah cowok mabuk itu sendiri.”
Amio menghela napas. “Gue butuh bantuan lo buat buka pintu dan biarin dia masuk. Biarin dia tidur di sofa. Gue entar pulang pagi-pagi buta. Begitu dia sadar, dia bakal tahu di mana dia, dan dia bisa langsung pulang.”
Gue geleng-geleng kepala. “Lo tinggal di apartemen kayak apa, sih, Mio? Apa gue harus siap-siap diraba sama orang mabuk setiap kali gue pulang?”
Diam cukup lama.
“Dia ngeraba lo?”
“Mungkin ‘ngeraba’ terlalu kasar. Tapi dia memang megang pergelangan kaki gue.”
Amio menghela napas panjang. “Lakuin aja ini buat gue, Tia. Telepon gue lagi kalau lo udah temuin dia dan semua barang lo udah di dalam.”
“Oke.” Gue menggerutu, merasa khawatir dari nada suaranya.
Gue matikan telepon dari Amio dan buka pintu. Cowok mabuk itu jatuh, dan HP-nya meluncur dari tangan ke lantai dan mendarat di samping kepalanya. Gue balik badannya biar telentang dan gue lihat ke bawah, ke arah dia. Matanya sedikit terbuka dan coba membalas tatapan gue, tapi kelopak matanya jatuh tertutup lagi.
“Lo bukan Amio,” gumamnya.
“Enggak. Gue bukan dia. Tapi gue tetangga baru lo, dan kelihatannya, lo bakal punya utang ke gue minimal lima puluh Cokelat Silverqueen.”
Gue angkat bahunya dan coba buat membangunkan dia, tapi dia masih enggak bisa duduk. Bagaimana orang bisa mabuk sampai begini?
Gue tarik tangannya dan seret dia perlahan masuk ke apartemen, berhenti ketika dia sudah cukup masuk dan gue bisa tutup pintu. Gue ambil semua barang gue dari luar, terus tutup dan mengunci pintu depan. Gue ambil bantal kecil dari sofa buat ganjal kepalanya, dan balikan dia ke posisi miring kalau-kalau dia muntah saat tidur. Dan itu saja bantuan yang bakal dia dapat dari gue.
Waktu dia tidur nyaman di lantai tengah ruang tamu, gue biarkan dia di sana sementara gue berkeliling apartemen.
Ruang tamunya saja bisa muat tiga kali ruang tamu dari kontrakan Amio yang lama. Area makan terbuka ke ruang tamu, tapi dapurnya terpisah dari ruang tamu dengan setengah dinding. Ada beberapa lukisan di sepanjang ruangan, dan sofa tebal yang empuk berwarna krem muda mengimbangi lukisan-lukisan yang cerah.
Terakhir kali gue tinggal bareng dia, dia cuma punya foto keluarga, dan kalender dinding. Kayaknya abang gue akhirnya mulai dewasa.
"Keren, lo Amio," takjub gue sambil jalan dari satu ruangan ke ruangan lainnya dan menyalakan semua lampu, memperhatikan apa yang sekarang jadi rumah gue sementara.
Gue benci karena tempat ini terlalu bagus. Ini bakal bikin gue lebih susah buat ingin pindah ke tempat sendiri begitu tabungan gue cukup.
Gue masuk ke dapur dan buka kulkas. Ada sederet saus di pintu, sekotak sisa pizza di rak tengah, dan sebotol susu masih duduk di rak paling atas.
Tentu saja dia enggak punya stok bahan makanan. Gue enggak bisa berharap dia berubah sepenuhnya.
Gue ambil sebotol air mineral dan keluar dari dapur buat cari kamar yang bakal gue tempati beberapa bulan ke depan. Ada dua kamar tidur, jadi gue ambil yang bukan milik Amio dan menaruh koper gue di atas tempat tidur.
Masih ada tiga koper lagi dan enam kardus di mobil, belum lagi semua baju gue yang masih di gantungan, tapi gue enggak bakal urus itu malam ini. Amio bilang dia bakal balik besok pagi, jadi gue biarkan itu jadi urusannya.
Gue ganti baju, jadi celana panjang santai dan tank top, terus sikat gigi dan siap-siap buat tidur. Biasanya, gue bakal waswas kalau ada orang asing di tempat yang sama, tapi entah kenapa gue merasa enggak perlu khawatir kali ini.
Amio enggak akan pernah minta gue menolong seseorang yang dia rasa berbahaya buat gue. Yang bikin gue bingung, kalau seperti ini kebiasaan Tama, gue herannya kenapa Amio minta gue buat bawa dia masuk.
Dia enggak pernah percaya sama cowok-cowok yang dekati gue, contohnya Rafael. Dia pacar pertama gue waktu gue berumur lima belas tahun, dan dia sahabat terbaik Amio.
Rafael waktu itu tujuh belas, dan gue suka banget sama dia selama berbulan-bulan. Tentu saja, gue dan teman-teman sering menaksir sama teman-teman Amio, hanya karena mereka lebih dewasa dari kita.
Rafael sering datang hampir setiap akhir pekan buat menginap di rumah, dan kita selalu punya cara buat menghabiskan waktu bareng saat Amio lagi enggak memperhatikan. Setelah beberapa pekan jadian sembunyi-sembunyi, Rafael bilang kalau dia enggak mau hubungannya diumbar. Yang jadi masalah adalah bagaimana reaksi Amio saat Rafael benar-benar memutuskan hubungan dengan gue.
Dan ya ampun, dia benar-benar nge-cut off gue. Coba bayangkan, hati anak lima belas tahun bisa patah setelah hubungan backstreet selama dua minggu. Ternyata dia juga pacaran sama beberapa cewek lain selama dua minggu dia sama gue.
Begitu Amio tahu, persahabatan mereka selesai, dan semua teman Amio dikasih peringatan buat enggak dekati gue. Gue hampir enggak bisa pacaran di SMA sampai akhirnya Amio pindah. Bahkan setelah itu, cowok-cowok yang dengar cerita horor tentang abang gue mereka cenderung menghindar.
Sebenci apa pun gue pada waktu itu, sekarang gue senang menerimanya lagi. Gue banyak mengalami hubungan yang berantakan sejak SMA.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!