"Yes, lo bisa berhenti gak baca novel tentang dark love itu? Ngeri tahu, gak?"
(Yessi Naomi Martin)
Yessy menurunkan sedikit buku dari wajahnya. Matanya melirik malas Mentari berada disamping.
"Nggak bisa! Malahan gue pengen punya cowok obses gila kayak gini," celetuk Yessi bersemangat.
"Psikopat?" Mentari menarik napas dalam. "Lo yakin?"
"Yakin dong," jawab Yessi dengan senyum lebar. Tanpa tahu, ada seseorang mendengar obrolan absurb keduanya.
"Eh, Mas Regan. Mau naik ke lantai atas juga?"
( Regan Alexis Venom)
Pria jangkung mengenakan seragam biru berbalut jaket hitam dengan masker menutup wajahnya tersebut mengangguk.
Di salah satu tangannya, terdapat ganggang pel beserta ember. Ketiganya menunggu pintu lift terbuka. Mentari memperhatikan dengan siapa Yessi berbicara, menyikut perut sahabatnya tersebut.
"Sakit, Tar. Apa sih?!" keluh Yessi cemberut.
Mentari mendekatkan bibirnya ditelinga Yessi. "Dia OB di gedung ini?"
"Iya," sahut Yessi dengan alis bertaut karena pertanyaan Mentari. "Sebelum kita tinggal disini, kayaknya dia emang udah kerja deh. Kenapa?"
"Ganteng, njir," bisik Mentari mengerling. "Tapi, kayaknya cool banget."
Yessi mengangguk. Ia juga heran, baru kali ini melihat tampilan seorang office boy sangat tampan. Rambut gelap dengan poni menjuntai hingga batas mata senada dengan iris sekelam malam yang tajam, alis lebat tersusun rapi di topang rahang kokoh dan kulit sangat putih.
Office boy macam apa ini?
"Jangan tanya. Gue aja sampai ngira dia bisu karena gak pernah dengar dia ngomong," kompor Yessi.
"Ehem," dehem Regan. Telinga tajamnya mendengar obrolan dua gadis remaja di depannya ini.
Yessi dan Mentari serempak saling menjauh dan berdiri tegak. Kebetulan pintu lift terbuka, keduanya dengan cepat melangkah masuk. Yessi dan Mentari melirik Regan dari ujung mata yang berjalan bagai robot untuk mengambil posisi di belakang mereka.
Keduanya saling colek setelah pintu lift tertutup, aura mencekam sangat kental. Apalagi ini nyaris jam 11 malam, gedung apartemen itu jadi sepi. Hanya segelintir orang yang berlalu-lalang. Yessi memasukan buku novelnya ke dalam tas.
Ting!
"Gue duluan, Yes," ujar Mentari siap melangkah keluar karena tiba di lantai apartemennya. Sedangkan milik Yessi masih sepuluh lantai lagi.
Yessi menarik tangan Mentari hampir keluar. Bibirnya turun ke bawah karna cemberut.
"Gak mau temanin gue apa?" ujarnya memelas.
"Gak bisa. Gue belum ngerjain pr. Lo kan belum juga. Takut hantu? Gak masuk akal, Yes. Lo aja suka cowok rada sinting. Noh, ada mas OB juga nemenin lo," tunjuk Mentari terang-terang membuat Yessi menepis kasar telunjuknya itu. Sedang Regan terlihat tak perduli.
"Tar--"
"Bisa cepat? Saya ada kerjaan," sela Regan.
Suara beratnya membuat Yessi terpaksa melepas tangan Mentari yang seketika keluar dengan berlari riang seraya melambai padanya dengan senyuman mengejek.
"Babay, Yessi ... Moga selamat ya."
Yessi menekan tombol lantai miliknya dengan kesal lalu mengacungkan jari tengah pada Mentari sebelum pintu lift itu benar-benar tertutup.
'Sialan, Mentari! Awas aja besok,' gerutu Yessi dalam hati seraya menghentakkan kesal kakinya ke lantai.
Yessi rasanya mati gaya, entah mengapa Yessi merasa ada mata tajam memperhatikan tiap gerak-geriknya. Regan? Tidak mungkin. Tadi saja, pria dingin itu enggan menatap dirinya.
"Habis dari mana?"
Yessi membeku, kepalanya berputar sedikit demi sedikit ke arah Regan yang ternyata bersandar di dinding lift sambil memperhatikan angka lantai yang berubah-ubah dengan kedua tangan masuk ke saku celana denim model sobek di lutut.
"Mas Regan, nanya saya?"
Yessi menelan ludahnya, mata gelap Regan menatapnya tapi hanya sebentar lalu menengadah kembali.
"Pikir sendiri," sahutnya bernada sangat datar.
Yessi tercengir malu, mengusap belakang lehernya kaku. "Hehee ... Iya disini hanya ada kita ya. Habis ke mall, mas," jelas Yessi.
"Pacaran?"
Yessi kali ini mengerjab bingung. Ia memang pergi bersama laki-laki, tapi itu teman sekelasnya. Bima dan Bimo, si kembar energik.
Tunggu, bagaimana Regan bisa menafsirkan begitu?
"Maaf, mas ...."
Regan menaikan alisnya satu pada Yessi yang terlihat tidak enak melanjutkan kata-katanya.
Masa ia menuduh Regan seorang penguntit?
"Saya lihat, kamu pulang dengan dua laki-laki." Jakun Regan naik turun mengontrol nada suaranya. "Di parkiran," tambahnya.
Yessi mengangguk mengerti. "Itu teman dekat, Mas. Bukan pacar," sahut Yessi tersenyum tipis.
"Kalo Mas Regan habis darimana?"
Sebenarnya Yessi sangat tidak nyaman memanggil 'mas' tapi, menebak dari visual Regan.
Pria di belakangnya ini, terlihat lebih dewasa. Kemungkinan, nyaris kepala tiga. Tidak sopan, jika Yessi memanggil nama saja. Masalah nama Regan? Yessi tahu dari papan tag di baju pria itu.
"Minimarket."
"Beli pel ya?"
Yessi tercengir kembali. Kenapa dirinya tiba-tiba jadi wartawan seperti ini?
Dalam hati, Yessi menyumpah serapahi lift yang baginya berjalan lambat itu.
"Rokok." Regan mengeluarkan bungkus rokok mahal dari sakunya.
"Jangan sering merokok, mas. Nanti paru-parunya rusak, lho. Kan sayang, mana belum nikah lagi," peringat Yessi.
Setelahnya, menepuk mulutnya sendiri karena merasa lancang menasehati orang yang lebih tua darinya. Apalagi, dirinya dan Regan tidak terlalu dekat.
"Kamu mau saya nikahi?" tanya Regan spontan sambil membuka maskernya.
Yessi di buat takjub untuk pertama kali, melihat wajah tampan Regan dengan senyum tipis tersungging miring.
'Busyeet. Ini sih visual manwha, cok,' batin Yessi menjerit.
Tiba-tiba, lift berhenti bergerak dan lampu disana mati total. Yessi amat terkejut berteriak, kakinya tanpa sadar melangkah ke arah Regan.
Berdiri di depan pria tersebut. Kedua tangan mungil Yessi, merangkum tubuh besar Regan yang terasa liat namun empuk di bagian dada dan sialnya, begitu hangat.
"Mas ... Tolong, mas. Saya phobia gelap," cicit Yessi nyaris menangis.
"Lepas!" sentak Regan tanpa terduga.
Berusaha melepas belitan tangan Yessi dari tubuhnya, tapi Yessi semakin menguatkan belitannya lantas menggeleng cepat.
"Jangan, mas. Tolong saya!"
"Lepas, Yessi atau saya dorong?"
Punggung Regan membentur dinding lift karena Yessi tiba-tiba melompat ke pelukannya. Mau tak mau, Regan menompang bokong gadis itu. Napas hangat Yessi menerpa perpotongan leher putih Regan.
Tanpa sadar, pria itu mengeram dengan mengeratkan gigi-giginya.
"Mas, n-napas saya s-esak ...," adu Yessi. Ia memang seperti ini, jika berada di kegelapan dengan ruangan sempit.
"Ponsel saya ambil di saku celana," titah Regan. Karena tangannya menyangga tubuh Yessi yang mulai menggigil.
Yessi membentang jarak antar keduanya, di kegelapan tangannya meraba-raba area pangkal paha Regan.
Yessi tanpa sengaja, meremas sesuatu.
"Eh, empuk," celutuk Yessi. Regan mengigit bibir dalamnya.
"Biar saya saja." Regan menepis tangan Yessi yang lancang hinggap di area pribadinya itu.
Ruangan tersebut, seketika terang benderang. Perlahan, Yessi bisa bernapas dengan normal. Regan memencet tombol darurat beberapa kali namun tidak ada respon.
"Aduh ... Gimana ini?"
Yessi mengigit telunjuknya karena panik. Jika terkunci sampai besok, bagaimana dengan pr-nya?
Regan duduk di lantai dengan satu kaki di tekuk. Terlihat amat tenang. Yessi mondar-mandir mendekatinya lalu duduk di samping Regan.
"Mas, usaha dong biar kita bisa keluar!"
Regan melirik dingin Yessi. "Di luar hujan. Mereka gak akan dengar."
Yessi mendengus. Apa Regan ini pawang cuaca, bagaimana bisa tahu?
"Kok mas bisa tahu? Terus apa hubungannya dengan lift mati? Ya kali, gak ada cadangan kayak pembangkit listrik di gedung sebesar ini!" seloroh Yessi.
Regan mengangkat bahunya acuh. "Disini saat hujan sering konsleting listrik."
Yessi baru tahu fakta satu ini, dirinya baru pindah seminggu yang lalu bersama Mentari. Dulu Yessi tinggal di mansion. Karena apartemen ini dekat dengan sekolahnya, Yessi memutuskan pindah.
Yessi memeluk tubuhnya sendiri merasa udara kian dingin.
"Maaf mas buat yang tadi," cicit Yessi dengan pipi memerah malu.
Regan membuka jaket hitam yang membalut seragamnya. Ia bentangkan di depan tubuh Yessi yang seketika mematung. Terkejut akan perbuatan baik hati Regan.
"Dingin?" tanya Regan dengan tangan mengusap lembut sebelah pipi Yessi yang panas.
"O-oh ... Iya, dingin," sahut Yessi gagap.
'Karena mas dekat-dekat hawanya jadi panas nih,' pikir gadis itu.
"Eh?"
Regan mengangkat Yessi duduk di antara pahanya. Regan menekan kening Yessi agar tubuh keduanya menempel. Tangan kekar Regan memeluk perut Yessi di bawah sana. Jelas saja, Yessi bergerak tidak nyaman.
Dirinya masih perawan ting-ting, lho!
"Kenapa?" bisik Regan di telinga Yessi.
"Jangan begini, mas. Geli, ya ampun!" Yessi mengurai jari-jari panjang Regan.
"Mau lebih geli?"
Yessi menggosok telinganya. Barang kali, ia salah dengar.
"Maksudnya ... Ge-geli apa?" tanya Yessi takut-takut.
Pikirannya sudah melalang-buana. Ayolah, ia sudah terkontaminasi novel dark love kelas berat.
"Saya gelitik."
Sial! ternyata tidak sesuai ekspektasi Yessi.
Hampir satu jam, Yessi dan Regan terkurung dalam lift. Tidak ada lagi pembicaraan antar keduanya sampai lampu hidup kembali dan pintu lift spontan terbuka.
"Makasih, mas," ucap Yessi menunduk sembari memberikan jaket Regan. Tanpa menunggu jawaban Regan, Yessi berlari menuju apart-nya.
Tapi, saat sedang mencari kartu. Yessi mendengar pintu di sampingnya berbunyi. Betapa terkejutnya Yessi, Regan berdiri disana.
"Eh Mas Regan, mau bersihin apart itu ya? Tapi, ini udah malam loh, mas."
Yessi tahu, Apart samping kanannya itu kosong. Alias, tidak berpenghuni.
"Saya tinggal disini."
Yessi mengerutkan dahi reflek. "Sejak kapan mas tinggal disitu?"
"Hari ini," ucap Regan lalu tanpa basa-basi lagi menutup pintunya. Meninggalkan Yessi yang keheranan.
"Tunggu, bagaimana mas Regan bisa tinggal disini? Ini kan apartemen elit. Emang cukup gaji OB buat tinggal disini?" gumam Yessi setelah masuk lalu melempar tasnya di sofa berada di ruang tamu.
Bukan maksud merendahkan, digedung ini rata-rata apartemennya mencapai miliran. Wajar saja, Yessi heran Regan mampu membelinya. Apalagi lantai yang Yessi tempati ini, sangatlah mewah dan luas. Per-meternya mencapai ratusan juta.
"Bodoh ah, mending gue mandi. Mungkin aja dia ada tabungan kan?"
Yessi membuka seragam sekolahnya beserta rok. Ya, sepulang sekolah, Yessi langsung jalan-jalan. Ia melempar seragamnya sembarangan lalu melangkah bak model terkenal dengan dalaman saja menuju lantai atas.
"Seksi ...," ujar seseorang di depan layar laptopnya.
Senyum misterius terpatri di bibirnya menghisap rokok kala melihat Yessi, sembari ia bersandar di kursi kulit berwarna hitam dalam ruangan kemerahan.
"Astaga, gue lupa bawa handuk! Ck, terpaksa keluar telanjang deh," keluh Yessi setelah membilas tubuhnya yang penuh busa sabun di bawah shower dengan air mengalir sedang.
Yessi melangkah pelan, jejak kaki basah terlihat jelas di lantai marmer bercorak putih tersebut. Seseorang yang senantiasa memperhatikan Yessi menelan berat ludahnya.
"Oh shit!" umpatnya lalu mencengkram daging empuk yang mulai teracung tinggi diantara selangkangannya.
Tanpa pikir lagi, pria itu menutup laptopnya kasar. Ia buka gespernya tergesa lalu melorotkan celananya hingga teronggok bagai sampah kelantai.
Tangan besarnya mulai bermain sendiri menciptakan fantasi. Sebuah boneka berwujud manusia yang menyerupai wajah Yessi menjadi sasaran kebrutalannya.
"Ouh ... Yessi ...."
"Hoaam ...." Yessi menguap lebar.
Setelah berganti baju, dirinya terpaksa begadang menyelesaikan tugas sekolah. Waktu menunjukkan pukul 1 pagi.
"Anjir, gue ngantuk banget. Mana belum kelar lagi!"
Yessi memijit ruang antara alisnya. Agar pengelihatannya kembali tajam.
Tapi, percuma. Yessi malah semakin mengantuk. Apalagi diluar benar sedang hujan deras seperti yang Regan katakan tadi. Karena tak kuat, Yessi tertidur di meja belajarnya.
Sosok berjaket hitam dengan topeng gorilla melompat turun dari atas plafon. Kaki panjangnya mendekati Yessi yang tidur menggunakan lengan.
"Kasian sekali, baby-ku," ujarnya sembari menyelipkan sebagian rambut Yessi yang menutup wajah cantik gadis itu di belakang telinga.
"Do you miss me, Baby?" ujarnya lagi. Kali berjongkok mengintip wajah lelap Yessi.
"Euh ...." Yessi melenguh saat tubuhnya terangkat ke udara.
Pria misterius bertopeng itu, menidurkan Yessi di ranjang. Gaun satin dengan tali seukuran jari di pakai Yessi tersingkap hingga memperlihatkan kaki jenjangnya yang begitu putih.
Pria itu melirik Yessi sebentar lalu membuka topengnya. Bibir hangatnya mendarat di paha Yessi. Mencecap sensual disana hingga basah.
"Euh ... Regan, geli ...," ucap Yessi tiba-tiba. Ia menggeliat gelisah. Pria itu menghentikan kecupannya.
"Regan?" Ia mendekatkan bibirnya di telinga Yessi. Berbisik dengan suara parau dan bernada posesif.
"Call my name, baby. My name ...."
Setelahnya, dada Yessi tersentak membusung ke atas. Pria itu melanjutkan permainannya yang sempat tertunda.
Menurunkan perlahan tali gaun milik Yessi. Mempermainkan puncak kembar yang begitu ranum tersebut secara brutal dan bergantian lalu meremasnya dengan tangan kekarnya hingga memerah.
"Uh ... Sakit ...," rintih Yessi.
"Yessi! Bangun!"
Teriakan menggema memasuki gendang telinga Yessi. Membangunkan Yessi dari mimpi nikmatnya. Dilihatnya, Mentari berkacak pinggang di sisi ranjang lengkap dengan seragam sekolah.
(Mentari Anugerah)
"Tari ... Kok lo--"
"Apa? Bangun, pemalas! Bisa-bisanya lo kesiangan lalu tidur mendesah gak jelas gitu. Ngaku, lo mimpi basah kan?" tuding Mentari dengan jari teracung pada Yessi yang terlihat masih mencerna keadaan.
Seketika, pipi Yessi merona bagai tomat merah. Benar, Yessi bermimpi berhubungan intim dengan ... Regan. Yang benar aja?
"Gak. Apaan sih!" elak Yessi sembari menurunkan kakinya dari atas ranjang.
Saat akan melangkah, Yessi merasa bagian kewanitaannya tidak nyaman. Lembab dan ... basah.
'Anjir, gue beneran mimpi itu kayaknya!'
Yessi berlari karena malu menuju kamar mandi. Hampir saja ia tersandung kursi meja riasnya sendiri. Teriakan Mentari menggema bersamaan Yessi menutup keras daun pintu.
"Yes, gak mau tahu. Mandi gak pake lama. Kalo lama, gue tinggalin!"
"Iya, bawel!" balas Yessi berteriak.
Benar saja, tak sampai sepuluh menit. Yessi sudah keluar dengan handuk teramat pendek membungkus tubuhnya.
Mentari memainkan ponsel di sofa, spontan memperhatikan atas bawah Yessi.
"Apa?" pel otot Yessi membuka lemari kayu tempat pakaiannya.
Mentari mendekat ke arah Yessi, tanpa diduga menyibak bawah handuk Yessi hingga Yessi berteriak kencang dibuatnya. Beruntung, Yessi menarik handuknya lebih kuat.
"Tar, lo gila ya? Gue bugil, bodoh!"
"Lo yang gila! Berbuat sama siapa lo?"
Yessi mendorong kening sahabatnya itu gemas. "Berbuat apa sih, anjir. Ngomong tuh yang jelas!"
Mentari menarik tangan Yessi menuju meja rias. Telunjuknya menekan-nekan kaca persegi yang memantulkan kemolekan tubuh Yessi.
"Ini ... Ini, lihat baik-baik, Yessi Naomi Martin. Tanda merah di paha atas bagian kanan lo! Gue emang masih perawan ya. Tapi, gue gak buta. Itu tuh kissmark. Ampun dah ... Ati-ati lo, hamil brabe ntar."
Yessi memperhatikan yang di tunjuk Mentari. Benar, Ada tanda merah nyaris ke biru di paha atasnya. Yessi berbalik membelakangi kaca.
"Tar, ada lagi gak?" tanyanya bergetar.
Mentari memindai sebentar kedua paha jenjang Yessi lalu memalingkan wajahnya dengan mendengus kasar.
"Gak ada. Itu doang kayaknya. Yes, lo kekurangan duit apa gimana? Handuk loh itu udah mini banget tahu. Pantat lo kayak melambai-lambai mau nyapa wajah gue, astaga!"
Yessi terbahak karena perkataan Mentari. Bodynya memang se-mantap itu. "Biarin lah. Emang gue suka seksi. Lagian disini gak ada laki-laki kok. Jadi, aman," ujar Yessi menaik-turunkan alisnya.
Tanpa tahu kejadian apa yang sudah menimpa dirinya semalam.
"Terserah deh. Awas aja kejadian lo baru nyesel. Sekarang jawab gue, siapa yang perawanin lo?"
Setelahnya, Mentari berbisik pelan ditelinga Yessi. "Sakit, gak?" bola mata Mentari mengerjab lucu menunggu jawaban Yessi.
"Sakit." Mata Mentari membulat sempurna dengan wajah sangat syok.
"Karena di gigit nyamuk, terus gue garuk."
Mentari akan buka mulut menyemburkan protesnya, tapi Yessi mengibaskan tangannya kesal.
"Dengar ya Mentari, gue lupa tutup pintu balkon semalam. Noh, buka lebar-lebar mata lo!" tunjuk Yessi ke arah pintu balkon yang memang terbuka.
'Perasaan udah gue tutup deh semalam? Dan ini siapa yang buat tanda ini, anjir?' pikir Yessi sangat bingung.
Mentari tidak bertanya lagi hingga keduanya keluar dari apartemen Yessi. Saat akan menutup pintu, Yessi dan Mentari di kejutkan dengan seorang pria berhoodie hitam keluar dari apart samping kiri apartemen Yessi.
"Pagi, Mas Sean," sapa Yessi kentara sekali canggung. Mentari ikut mengangguk dengan tersenyum tipis.
"Pagi," sahut Sean dingin lalu melintasi Yessi dan Mentari begitu saja. Setelah Sean menghilang dalam lift, Mentari bertepuk tangan heboh.
"Woelah, Yes. Ternyata banyak cogan di gedung kita ini. Sial, bener gue baru tahu!"
Yessi memutar bola matanya malas sembari menyimpan card dalam tasnya. "Cogan mulu. Tapi kaku kayak kanebo kering gitu buat apa?"
"Buat pacaran lah. Tapi, serius sekaku itu?"
Mentari mengejar Yessi yang sudah melangkah duluan menuju lift.
"Telinga lo nggak budek kan? Denger jawabannya tadi. Singkat, padat dan sangat jelas."
"Iya, juga sih." Mentari meniup poninya yang menjuntai. "Eh, ngomong-ngomong. Gimana semalam bersama mas Regan, aww?" goda Mentari pada Yessi.
Setelahnya Mentari mengaduh, karena pukulan kecil di lengannya.
"Kenapa sih, Yes?!"
"Sialan, lo! Gue ke kunci di lift sama Regan, dodol!"
"Anjrot, gimana bisa?" mata Mentari berbinar cerah. "Aduh, kok gue yang salting sih. Pasti terjadi adegan uwu-uwu kan? Kayak di novel sering lo baca itu."
Telinga Yessi memanas seketika. Tapi, ia memutuskan untuk tidak bercerita pada Mentari. Bisa-bisa, dirinya di ledek seharian.
"Gak. Gak ada begituan. Gara-gara lo sih ninggalin gue! Malu gue yang ada, anjir!"
"Cie ... Yessi," goda Mentari mencolek dagu Yessi manja membuat Yessi risih lalu bergerak untuk berdiri menjauh.
Sepuluh menit kemudian, keduanya sampai di sekolah. Bertepatan dengan bel masuk yang berbunyi. Yessi dan Mentari berlari menuju kelas setelah memarkiran mobil. Guru matematika membawa penggaris kayu berjalan di belakang keduanya.
Bersyukur, Yessi dan Mentari sudah duduk di bangku saat guru tersebut berada di kursi kebesarannya.
"Selamat pagi anak-anak! Silahkan kumpulkan tugas yang kemarin!" titahnya dengan garang seraya memukul meja.
Deg!
Yessi membeku dengan kaku membuka tasnya. Mentari disampingnya, sudah mengeluarkan buku menangkap ekspresi lain dari Yessi.
"Yes, jangan bilang lo gak ngerjain tugas?"
Yessi menggeleng dengan bibir turun kebawah. Ia teringat, semalam belum apa-apa dirinya ketiduran. Mentari menepuk dahinya speechless.
"Mampus! Kena hukum lo!"
"Yessi! Mentari! Mana tugas kalian?"
"Ini, Bu. Sebentar," balas Mentari setengah berteriak sambil menunjukan bukunya.
"Yes, coba buka dulu. Bagian mana lo belum selesai? Kalo tinggal dua, kumpulin aja lah."
Yessi mengangguk. Dengan lesu membuka buku pr-nya. Setelahnya, ia mengangga tak percaya, sepuluh soal itu sudah selesai semua. Yessi jelas tahu, ia hanya mengerjakan dua soal saja semalam. Itupun, asal-asalan.
"Gimana bisa?" bingung Yessi.
"Gimana bisa, apaan sih?" sahut Mentari kesal. "Ck, lama amat."
Mentari menarik buku Yessi paksa lalu membawanya kedepan beserta miliknya. Meninggalkan Yessi yang melamun karena mulai merasa banyak kejanggalan di aparatnya sejak semalam.
"Yessi Naomi Martin!"
Merasa namanya di panggil, Yessi yang masih sibuk memikirkan kejanggalan di aparatnya. Bangkit dari duduknya lalu berjalan lesu ke depan. Bisik-bisik bernada sumbang menggelitik telinga Yessi.
Apalagi? Yessi itu terkenal paling bodoh di pelajaran matematika.
Bu Sarmi tersenyum menyambut Yessi lalu memberikan buku pada murid yang sering berdebat dengannya itu. Di balas senyum tipis oleh Yessi.
"Hari ini ibu bangga sekali sama kamu, Yessi. Selamat ya ... Jawaban kamu benar semua."
Mata sayu Yessi sontak melotot tak percaya. "A-apa Bu ... Be-benar semua?"
Bu Sarmi mengangguk dengan senyum semakin lebar. "Iya, nilai kamu seratus." Ia mengusap puncak kepala Yessi. Menunjukan rasa bangganya.
"Gitu dong. Belajar betul-betul. Lihat hasilnya, jadi pintar kan? Pulang sekolah nanti ke ruangan ibu ya. Ibu mau kasi buku paket buat kamu latihan di rumah, biar makin pintar."
Duar!
Bagai tersambar petir di siang bolong, wajah Yessi pucat pasi tak karuan mendengarnya, alih-alih senang. Mati lah ia! Soal yang semalam saja, bukan dirinya yang mengerjakan.
"Ta-tapi Bu--"
"Sudah jangan menolak. Ini demi kebaikan kamu. Sekarang, balik ke bangku kamu."
Yessi mengigit depan bukunya, Mentari melihat Yessi semakin heran. Menurutnya, Yessi terlihat berbeda hari ini. Biasanya disekolah, Yessi paling bersemangat meski beberapa pelajaran kadang di benci gadis itu.
"Kenapa lagi, Yes? Kok wajah lo di tekuk gitu? Dapat telur lagi ya?"
Yessi menyerahkan bukunya seakan tak bertenaga, Mentari segera membukanya. Tak lama, sahabatnya itu memekik heboh hingga di tegur bu Sarmi sedang menjelaskan di papan tulis.
"Maaf, bu. Ketiban cicak," jawaban Mentari membuat seisi kelas terbahak keras.
Mentari mengguncang bahu Yessi yang mengusap wajahnya kasar hingga rambut terikat ekor kuda milik Yessi bergoyang indah.
"Yes, ya ampun .. Ilham darimana lo dapat seratus gini? Ayo, ngomong sama gue. Anjir, bangga gue, cok sama lo. Dalam semalam berubah jadi jenius."
"Apa sih?! Yang ada gue pusing tahu." Yessi menepis tangan Mentari bertengger di bahunya.
Mentari terkekeh kecil. "Wajar aja sih. Soal itu kan sulit banget. Gue aja sampe minta bantuan bang Arga. Gue tahu beres aja."
"Lo mah udah ketebak." Yessi menoyor kening Mentari hingga belakang kepala gadis yang duduk merapat ke dinding itu terbentur.
"Sakit, goblok!" seru Mentari. Yessi menaikan bahunya tak perduli. Moodnya benar-benar hancur sekarang.
"Masalahnya, soal itu bukan gue yang ngerjain dan tadi, sewaktu gue di panggil bu Sarmi mau kasi gue buku paket. Lo tahu apa?"
"Apa? Sebagai hadiah?"
Yessi menurunkan kedua bahunya lesu. "Kurang lebih. Katanya, biar gue giat belajar. Sial banget, kan?"
"Pftt ...." Mentari hampir menyemburkan tawanya namun mengingat kembali kata-kata Yessi tadi, Mentari menatap sepenuhnya Yessi.
"Tunggu dulu, terus yang kerjain pr lo siapa?"
"Itu dia!" Yessi membanting pelan buku tugasnya ke atas meja. Kepalanya berdenyut pusing. "Gue gak tahu. Tiba-tiba aja tugas itu, udah beres."
Sementara di sebuah mansion megah, ketat dengan penjagaan para pria berjas hitam dan pengawasan cctv super canggih. Duduk seorang pria paruh baya di kursi kebesarannya seraya menghisap cerutu mahal. Di depannya, pria muda menekuk lutut. Menunjukan rasa hormatnya.
"Bagaimana?"
"Saya masih terus memantaunya, tuan. Sejauh ini, tidak terjadi apapun," sahut sang pria muda.
Richard menghembuskan asap cerutunya pekat ke udara. Pikirannya menerawang jauh.
"Awasi terus anak itu. Jangan sampai kecolongan," perintah Richard.
Namun tiba-tiba, suara ribut terdengar dari luar. Pintu kayu besar ruangan dimana Richard berada, terbuka paksa akibat tendangan kuat seseorang dari luar.
Bunyi pelatuk di tarik menggema setelahnya, di susul melesatnya timah panas hampir mengenai kepala Richard. Beruntung meleset, menancap di papan panahan di belakang pria paruh baya itu.
Bukannya marah, Richard tersenyum miring pada putranya diketahui sudah lama sinting tersebut.
"Ada apa , son? Datang-datang, seperti anjing liar begitu," sindir Richard.
"Shut up! Berhenti menguntit semua yang aku lakukan, sialan!"
Richard tertawa remeh. Ia berdiri mendekati putranya berwajah tanpa ekspresi tersebut.
"Menguntit? Kata-kata itu sepertinya lebih cocok padamu, son. Seorang pedofil yang menguntit gadis belia, bukan begitu?"
Pyar!
Sekali lagi, timah panas melesat menghancurkan berkeping-keping gucci langka, hadiah turun-temurun keluarga itu di sudut ruangan yang berharga miliran.
Richard ditarik mundur beberapa pengawalnya. Pistol yang moncongnya masih mengeluarkan asap itu terlempar di bawah pantofel di pakai Richard.
"Dia milikku. Akan ku bunuh siapapun yang menghalangi jalanku!" ucapnya sadis lalu melangkah tegas keluar setelah mengatakan ancamannya. Pengawal yang berjaga tidak berani menghentikannya malah menyingkir dengan kepala menunduk.
Di sekolah, Yessi tak henti mengusap kiri-kanan bagian dadanya. Yessi tidak mengerti, dirinya baru seminggu yang lalu selesai datang bulan. Tapi, kenapa payudaranya terasa begitu nyeri?
"Yes, gimana? Jadikan hari ini pergi ketaman kota yang baru di resmikan itu. Danaunya jernih banget loh. Katanya juga estetik banget buat selfie," ujar Bima mendekat ke meja Yessi, dimana gadis itu sedang mengemas alat tulisnya setelah mengambil buku paket dari bu Sarmi.
Ya, bel pulang sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu dan keempatnya kemarin memang membuat janji untuk pergi kesana bersama-sama.
Yessi menggeleng. "Gue gak bisa kayaknya. Kalian aja deh. Tahu kan, bu Sarmi kasi gue tugas," kata Yessi dengan sedikit kebohongan.
Demi apapun, kedua buah melon nya rasanya mau meletus, saking sakitnya.
"Yah ... Gak seru dong kalo gak ada lo," sahut Mentari mengerucutkan bibirnya.
"Sorry ya ... Gue pulang dulu. Tar, lo sama Bimo kan?" Yessi mengeluarkan kunci mobilnya dari dalam tas.
Mentari menggeleng cepat. "Gue pulang aja lah ikut lo. Kapan-kapan aja kita kesana. Ayo, Yes!"
Mentari menarik lengan Yessi, tapi seketika Mentari terkejut. Sahabatnya itu mengerang kesakitan. Bima dan Bimo pun ikut panik.
"Yes, lo kenapa?"
"Apa yang sakit?"
"Dada lo luka?" tanya ketiganya berbarengan.
Yessi mengambil jarak dari ketiganya sembari mengatur napas agar nyerinya berkurang. "Gue gak apa-apa," sahut Yessi pelan. "Tapi, please. jangan sentuh gue dulu."
Jawaban Yessi membuat ketiganya saling pandang. Yessi berjalan pelan keluar kelas meninggalkan tiga sahabatnya. Goncangan kecil membuat rintihan keluar dari bibir Yessi.
"Ya Tuhan ... Sakit banget," keluhnya berkaca-kaca.
Tiba-tiba, sebuah tangan merangkul hangat pundak Yessi. Tas Yessi tersampir sebelah, ia pindahkan ke lengannya.
"Makasih, Bim," ucap Yessi tersenyum. Di balas anggukan kecil Bima.
Seseorang berada di atas motor sport hitam, tepat di samping halte yang menghadap pagar sekolah Yessi. Melihat adegan romantis itu. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat.
'Pengganggu kecil,' umpatnya dalam hati.
Seorang satpam sedari tadi, memperhatikannya mendekati sang pria.
"Selamat siang, mas? Masnya cari siapa ya? Saya lihat, mas dari tadi memperhatikan gedung sekolah ini terus."
Pria itu mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya, memberikan pada satpam tersebut.
"Buat apa ini, mas?" tanya satpam itu keheranan setelah melihat jam pasir sudah berpindah di tangannya.
"Berikan pada dia," tunjuknya pada Bima acuh. Setelahnya, pria itu pergi dengan bunyi knalpot memekikan telinga. Menarik atensi Yessi dan Bima telah sampai di parkiran.
"Siapa tadi, pak?" tanya Bima pada Satpam mendekat.
"Gak tahu. Tiba-tiba nitip ini buat kamu."
Bima menerimanya dengan dahi mengkerut. Yessi pun ikut memperhatikan. Entah kenapa, Yessi merasakan itu bukan lah hal baik.
"Bim, buang aja. Jangan di simpan. Lagian dari orang gak di kenal," nasehat Yessi.
Bima tertawa, menarik salah satu pipi Yessi dengan gemas membuat Yessi protes karena pipinya sakit.
"Ciee ... Perhatian banget sih, calon pacar. Hanya jam pasir kok. Itung-itung buat kenang-kenangan walau gak di kenal. Gue simpan ya?"
"Terserah!" dengus Yessi. "Calon pacar katanya, ogah! Lo rese."
Bima tertawa lepas hingga matanya membentuk bulan sabit. Tak urung, Yessi ikut tersenyum karenanya. Bima menyimpan jam pasir itu dalam tasnya. Andai Bima tahu, benda itu pertanda petaka.
(Bima Areksa)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!