NovelToon NovelToon

ISTRI YANG TERTUKAR

KISAH PENGHIANATAN ANNA

 ---

Anna mengendarai mobil dengan kencang. Matahari hampir terbit, menyisakan langit dengan semburat jingga yang mulai menipis. Jalanan sepi, hanya ditemani deru mesin mobilnya yang meraung memecah kesunyian. Pikirannya berputar, tak tentu arah. Napasnya terasa berat, bergulat dengan emosi yang memenuhi dadanya.

"Kenapa aku melakukannya? Apa yang sebenarnya terjadi semalam? Tuhan... aku telah mengkhianati Alan."

Air mata menggenang di matanya, memaksanya berkali-kali mengusap wajahnya dengan kasar. Tapi perasaan bersalah itu tetap ada. Kenangan semalam kembali menyeruak—tawa kecil dengan pria asing di bar, sentuhan pertama di tangannya, dan bagaimana semuanya berakhir di ranjang hotel.

Ia memejamkan mata sesaat, mencoba menghapus gambar-gambar itu dari pikirannya. Namun, alih-alih sirna, tubuhnya justru kembali berdesir mengingat kejadian itu. Ia menggeleng cepat, menggigit bibirnya, seakan rasa sakit fisik itu bisa membungkam gejolak batinnya.

"Sudahlah, Anna. Kau mabuk. Kau tidak sengaja melakukannya. Ini bukan dirimu," batinnya membela. Namun, hati kecilnya berbisik lain: "Tapi kau menikmatinya, bukan?"

Mobil berhenti di depan rumahnya. Anna keluar perlahan, menarik napas panjang sebelum membuka pintu. Rumah itu tampak begitu dingin, seperti mencerminkan kehampaan yang selama ini ia rasakan dalam pernikahannya. Ia melepaskan sepatunya dengan pelan, takut membangunkan Alan yang mungkin masih tidur di kamar. Tapi pikirannya terus menjerit.

"Bagaimana aku bisa menghadapi Alan setelah ini?"

Dia berjalan menuju sofa, membaringkan tubuhnya yang lelah, mencoba menenangkan diri. Namun, matanya tertuju pada pintu kamar yang sedikit terbuka. Ia mengintip sekilas—Alan masih tertidur, wajahnya damai, seolah tidak ada yang salah.

Namun Anna tahu itu hanya ilusi. Pernikahan mereka sudah lama retak, meskipun tidak pernah ada yang berani mengucapkannya. Hubungan mereka sudah kehilangan kehangatan, hanya menyisakan rutinitas tanpa makna.

Dia beranjak ke dapur, memutuskan untuk memasak sarapan sebagai pelarian dari rasa bersalah. Tangannya sibuk mengaduk wajan, tapi pikirannya terus berkecamuk.

"Alan juga tidak bersih. Dia sering main perempuan di luar sana. Tapi kenapa aku yang merasa begitu bersalah? Aku hanya melakukan ini sekali, sedangkan dia..." Anna berhenti, menggigit bibir bawahnya hingga hampir berdarah.

Tiba-tiba suara pintu kamar terdengar. Alan keluar dengan langkah berat, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Aroma masakan dari dapur membuatnya melangkah ke sana.

"Anna? Kamu pulang jam berapa tadi malam?" tanyanya dengan nada datar, tapi matanya tajam, penuh selidik.

Anna tersentak, hampir menjatuhkan wajan yang sedang ia pegang. "Baru saja, Mas," jawabnya cepat, mencoba terdengar normal.

Alan mengernyit. Ia memperhatikan penampilan Anna—pakaian yang sama seperti kemarin, rambut berantakan, dan wajah lelah.

"Kamu tidur di mana?" lanjut Alan, nadanya lebih tajam kali ini.

"Di rumah Nita," jawab Anna tanpa menoleh. Tangannya sibuk, tapi hatinya berdebar kencang.

Alan mendekat, pandangannya semakin curiga. "Kamu nggak biasanya nginep di rumah teman tanpa bilang dulu. Ada apa sebenarnya?"

Anna mencoba menenangkan diri. "Aku capek banget kemarin, Mas. Nita ngajak aku nginep, jadi ya..."

Alan tidak puas dengan jawaban itu, tapi memilih diam. Dia mengamati Anna lebih dekat, dan sesuatu menarik perhatiannya—bekas merah samar di leher Anna, seperti tanda ciuman.

"Anna..." panggil Alan, kali ini dengan nada serius. Ia menarik tangan Anna agar menghadapnya. "Apa ini?" tanyanya sambil menunjuk tanda itu.

Anna mundur selangkah, gugup. "Apa, Mas? Aku nggak ngerti maksudmu."

Alan tidak bisa lagi menahan diri. "Kamu pikir aku bodoh? Ini bekas ciuman, kan? Kamu selingkuh, ya?!"

Nada suaranya menggelegar, membuat Anna terdiam sejenak. Namun, rasa bersalahnya dengan cepat berubah menjadi marah.

"Lepaskan aku, Mas! Kamu nggak punya hak menuduhku seperti itu!"

Alan tertawa sinis. "Aku nggak punya hak? Aku suamimu, Anna! Dan sekarang aku lihat kamu pulang dengan tanda di lehermu seperti ini. Kamu pikir aku nggak tahu apa yang kamu lakukan semalam?"

Anna melepaskan tangannya dengan kasar. "Kau sendiri lebih dulu menghancurkan pernikahan ini, Alan! Jangan berpura-pura jadi korban di sini!"

PLAK!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Anna, membuatnya terhuyung. Alan menatapnya dengan mata merah, napasnya berat oleh amarah.

"Kau berani selingkuh, lalu menyalahkanku?!" teriaknya.

Anna memegang pipinya yang panas, menatap Alan dengan mata penuh air mata. Namun, kali ini ia tidak mundur.

"Kau pikir aku nggak tahu apa yang kau lakukan selama ini, Alan? Kau pikir aku buta? Berapa banyak perempuan yang kau bawa ke tempat tidur di belakangku?" suaranya bergetar, tapi penuh dengan kemarahan terpendam.

Alan terdiam, tapi hanya untuk sesaat. "Jadi ini balas dendammu?!"

Anna tidak menjawab. Ia berbalik, meninggalkan Alan di dapur, lalu mengunci diri di kamar mandi. Di balik pintu yang tertutup, ia akhirnya membiarkan dirinya menangis tanpa henti.

---

Kilasan Masa Lalu

Beberapa tahun sebelumnya, hubungan mereka tidak selalu seperti ini. Pernikahan mereka dimulai dengan penuh cinta. Namun, semuanya berubah ketika perbedaan tujuan mulai muncul.

"Anna, kita sudah cukup lama menikah. Aku ingin kita punya anak," kata Alan suatu malam.

Anna menunduk. "Mas, aku masih ingin fokus dengan karirku. Aku butuh waktu. Tolong pahami."

Alan menghela napas panjang. "Kamu selalu bilang begitu. Tapi sampai kapan? Umur kita tidak makin muda, Anna."

"Mas, aku mohon..." Anna mencoba menyentuh tangan suaminya, tapi Alan menepisnya dengan dingin.

"Aku lelah, Anna. Aku ingin keluarga, bukan sekadar pasangan. Kalau ini terus berlanjut, aku nggak tahu apakah aku bisa bertahan."

Malam itu, Alan pergi keluar rumah, meninggalkan Anna sendirian di ruang tamu.

---

Kisah di Balik Malam Alan

Alan menghabiskan malam itu di bar bersama teman-temannya. Dengan alkohol mengalir deras di pembuluh darahnya, ia menerima tawaran "hiburan" dari salah satu teman.

Di apartemen seorang wanita bernama Sherly, Alan akhirnya menyerah pada godaan. Ia tahu itu salah, tapi pada saat itu, rasa kecewa dan kesepiannya jauh lebih besar dari rasa bersalahnya.

Namun, setelah malam itu, ia tidak pernah bisa melihat Anna dengan cara yang sama lagi. Ada jarak yang tak terlihat di antara mereka, yang terus tumbuh seiring waktu.

---

Akhir yang Tak Terhindarkan

Anna duduk di ruang tamu, memandangi cangkir kopinya yang sudah dingin. Alan berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan tatapan yang sulit diterjemahkan.

"Kita mau sampai kapan seperti ini, Anna?" tanyanya pelan.

Anna menoleh, matanya merah karena menangis. "Aku juga nggak tahu, Mas."

Keheningan mengisi ruangan. Mereka tahu, meskipun tidak ada yang mau mengakuinya, bahwa pernikahan ini mungkin tidak lagi bisa diselamatkan.

Namun, apakah cinta cukup untuk membuat mereka tetap bertahan? Atau sudah waktunya melepaskan?

---

Jejak yang Tidak Bisa Hilang

Malam itu, setelah pertengkaran sengit di dapur, Anna mengunci dirinya di kamar mandi. Tangannya menggenggam erat sisi wastafel, mencoba menopang tubuhnya yang terasa lemah. Matanya menatap pantulan wajah di cermin—wajah yang dulu ia kenal, kini terasa seperti milik orang lain.

"Bagaimana semua ini bisa terjadi?" pikirnya sambil menahan isak.

Anna membuka keran, membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap sensasi itu bisa membekukan perasaan bersalahnya. Namun, rasa sakit di dalam hatinya terlalu dalam. Bekas tamparan Alan di pipinya masih terasa panas, tapi lebih menyakitkan lagi adalah kenyataan bahwa ia telah mengkhianati pria yang dulu sangat ia cintai.

Di sisi lain rumah, Alan duduk di ruang tamu dengan tangan terkepal. Dadanya naik turun, napasnya berat. Amarahnya belum mereda, tapi ada sesuatu yang lebih kuat dari itu—rasa takut.

"Apa yang terjadi pada Anna? Apa yang terjadi pada kita?"

Alan memijat pelipisnya, mencoba menenangkan diri. Ia tahu pernikahan mereka tidak sempurna, tapi ia tidak pernah menyangka Anna akan mengkhianatinya. Perasaan itu menghantamnya seperti badai.

Namun, di balik rasa marah dan kecewanya, ada suara kecil di dalam dirinya yang berbisik. "Kau juga bersalah, Alan. Kau bukan suami yang setia. Kau yang pertama kali membuka pintu kehancuran ini."

---

Kilasan Malam yang Menentukan

Anna keluar dari kamar mandi dengan langkah pelan. Pikirannya masih kacau, tetapi ia mencoba menata diri. Ketika ia melewati ruang tamu, ia melihat Alan yang masih duduk di sofa.

"Kita harus bicara," kata Alan dengan suara berat.

Anna berhenti. "Masih ada yang mau dibicarakan?"

Alan menatapnya tajam. "Anna, aku ingin tahu semuanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Jangan berbohong lagi."

Anna menghela napas panjang. Ia tahu, meskipun ia mencoba menghindar, tidak ada jalan keluar dari ini.

"Apa kau benar-benar ingin tahu, Mas?" tanya Anna pelan, suaranya nyaris bergetar.

Alan mengangguk. "Aku harus tahu. Aku berhak tahu."

Air mata mulai mengalir dari mata Anna. Ia mencoba menahan diri, tapi suaranya pecah saat ia mulai berbicara.

"Aku mabuk, Mas. Aku... bertemu seseorang di bar. Kami bicara, tertawa, dan..." Anna menelan ludah, mencoba mencari kata yang tepat. "Semuanya terjadi begitu cepat. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan."

Alan mendengarkan dengan ekspresi dingin. Ia ingin berteriak, ingin melampiaskan amarahnya, tetapi kata-kata Anna membuatnya terdiam.

"Kau tahu apa yang lebih menyakitkan, Mas?" lanjut Anna. "Aku merasa hidup lagi malam itu. Sesuatu yang sudah lama hilang dari pernikahan kita. Sesuatu yang tidak pernah lagi aku rasakan denganmu."

Alan mengepalkan tangannya. Kata-kata Anna seperti belati yang menusuk jantungnya.

"Jadi itu alasanmu? Kau mencari alasan untuk menghancurkan semuanya hanya karena kau merasa ‘hidup’ lagi?"

Anna tertawa kecil, tapi tawa itu penuh kepahitan. "Kau pikir hanya aku yang menghancurkan ini, Mas? Kau juga punya andil. Kau yang membuatku merasa tidak berarti. Kau dengan perempuan-perempuanmu di luar sana, kau yang mengabaikanku selama ini."

Alan terdiam. Kata-kata Anna benar. Ia tidak bisa menyangkalnya. Tapi itu tidak membuat pengkhianatan Anna lebih mudah diterima.

---

Hari-Hari yang Makin Suram

Hari-hari setelah pertengkaran itu menjadi sunyi. Mereka tinggal di rumah yang sama, tetapi seperti dua orang asing. Alan sering menghabiskan waktunya di luar rumah, sementara Anna tenggelam dalam pekerjaannya.

Namun, di balik ketenangan itu, ada badai yang terus bergemuruh.

Suatu malam, Alan pulang lebih awal dari biasanya. Ia membuka pintu rumah, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ia mendengar suara tangis Anna dari kamar mereka.

Alan berdiri di depan pintu, ragu. Ia ingin masuk, tetapi kakinya terasa berat. Setelah beberapa detik, ia akhirnya mengetuk pintu.

"Anna, aku masuk," katanya pelan sambil membuka pintu.

Anna duduk di lantai, memeluk lututnya, dengan air mata mengalir deras. Ketika melihat Alan, ia mencoba menyeka air matanya, tetapi sia-sia.

"Apa yang kau lakukan di sini, Mas?" tanyanya dengan suara serak.

Alan duduk di tepi ranjang, memandangnya dengan tatapan yang sulit ditebak. "Aku ingin tahu, Anna. Apa yang sebenarnya kau rasakan tentang kita?"

Pertanyaan itu membuat Anna terdiam. Ia menatap Alan, mencoba mencari jawaban di dalam dirinya.

"Aku... aku tidak tahu, Mas," jawabnya akhirnya. "Aku mencintaimu, tapi aku juga merasa terjebak. Aku merasa kita sudah terlalu jauh terpisah."

Alan mengangguk pelan. Jawaban itu adalah sesuatu yang ia takuti, tetapi sudah ia duga.

"Aku juga merasa begitu," katanya jujur.

Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

---

Rahasia yang Terbongkar

Beberapa hari kemudian, Alan memutuskan untuk mengambil langkah yang lebih drastis. Ia menyewa seorang detektif untuk menyelidiki Anna. Ia ingin tahu siapa pria yang telah tidur dengan istrinya.

Hasilnya datang lebih cepat dari yang ia duga. Nama pria itu adalah Adrian, seorang pengusaha muda yang sering menghabiskan waktu di bar tempat Anna mabuk malam itu.

Alan memegang laporan itu dengan tangan gemetar. Ada foto Adrian dan Anna bersama di bar, tertawa dan terlihat begitu dekat. Ada juga bukti bahwa mereka menghabiskan malam di hotel yang sama.

Alan merasa seperti dunia runtuh di sekitarnya. Tetapi alih-alih marah, ia merasa patah.

Ia memutuskan untuk menghadapi Anna dengan bukti itu. Malam itu, setelah makan malam yang sunyi, Alan meletakkan amplop di meja di depan Anna.

"Apa ini, Mas?" tanya Anna bingung.

"Buka saja," jawab Alan singkat.

Anna membuka amplop itu, dan ketika melihat isinya, wajahnya langsung pucat. Tangannya gemetar saat ia menatap Alan.

"Mas, aku bisa menjelaskan..."

"Tidak perlu," potong Alan. "Aku sudah tahu semuanya. Aku hanya ingin mendengar langsung dari mulutmu."

Anna menunduk, tidak mampu menatap Alan. "Aku... aku tidak tahu apa yang harus kukatakan."

Alan menghela napas panjang. "Aku tidak ingin ini berakhir, Anna. Tapi aku juga tidak tahu apakah kita bisa melanjutkan ini setelah semua yang terjadi."

---

Perang Batin dan Pilihan

Malam itu, Alan dan Anna kembali tidur di tempat terpisah. Namun, di dalam hati mereka, ada perang batin yang tidak bisa mereka abaikan.

Anna memandangi langit-langit kamarnya, memikirkan apa yang sebenarnya ia inginkan. Ia mencintai Alan, tetapi pernikahan mereka telah berubah menjadi sesuatu yang penuh luka. Apakah cinta cukup untuk memperbaiki semua ini?

Di sisi lain, Alan duduk di ruang tamu dengan segelas minuman di tangannya. Ia memikirkan masa depan mereka. Apakah mereka bisa kembali seperti dulu, atau apakah ini adalah akhir dari segalanya?

---

Akhir yang Menggantung

Minggu-minggu berlalu, dan suasana di rumah mereka tetap tegang. Anna dan Alan mencoba berbicara, tetapi setiap percakapan berakhir dengan argumen.

Suatu malam, Alan menerima telepon dari seorang teman yang mengundangnya untuk pergi keluar. Awalnya ia ragu, tetapi akhirnya ia setuju.

Di bar, Alan kembali bertemu dengan Sherly, wanita yang pernah ia kenal sebelumnya. Mereka berbicara, dan meskipun Alan berusaha menjaga jarak, ada sesuatu dalam dirinya yang terasa nyaman dengan Sherly.

Di rumah, Anna duduk sendirian di ruang tamu, memegang ponsel. Ia memikirkan untuk menghubungi Adrian, tetapi ia tahu itu hanya akan memperburuk segalanya.

Kisah ini menjadi lingkaran tak berujung, dengan Alan dan Anna terjebak dalam pernikahan yang penuh luka.

Apakah mereka akan menemukan jalan untuk memperbaiki hubungan mereka, atau apakah ini adalah awal dari akhir?

---

Luka yang Semakin Dalam

Malam kembali menyelimuti rumah Anna dan Alan. Sunyi yang mencekam terasa begitu pekat, seolah-olah dinding-dinding rumah itu menyerap semua rasa sakit yang tak terucapkan. Anna duduk di ruang tamu, matanya memandang ke arah jendela, tapi pikirannya melayang jauh. Di tangannya ada secangkir teh yang mulai dingin, tapi ia tak menyentuhnya.

Sementara itu, Alan belum juga pulang. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Anna mencoba mengabaikan kekhawatirannya, tapi ia tahu bahwa Alan mungkin sedang bersama Sherly atau seseorang lainnya. Ia tidak bisa memastikannya, namun perasaannya mengatakan itu.

"Apakah ini balas dendamnya?" pikir Anna.

Namun, jauh di dalam hatinya, ia sadar bahwa ia tidak punya hak untuk menuduh. Dirinya sendiri adalah pengkhianat.

---

Jejak Sherly

Di sisi lain kota, Alan duduk di sebuah lounge bersama Sherly. Wanita itu mengenakan gaun merah yang menonjolkan lekuk tubuhnya, dengan senyum menggoda yang tak pernah gagal menarik perhatian Alan.

"Jadi, bagaimana kabarmu, Alan?" tanya Sherly dengan suara manis, memainkan gelas wine-nya.

Alan tersenyum kecil. "Kau tahu jawabannya. Tidak ada yang baik dalam hidupku sekarang."

Sherly mendekatkan tubuhnya, menatap Alan dengan penuh perhatian. "Mungkin kau hanya perlu sedikit melupakan semua itu. Bersamaku, misalnya."

Alan tertawa hambar, tapi tawaran itu menggoda. Ia tahu apa yang Sherly inginkan, dan ia tahu bahwa bersama wanita ini ia bisa melupakan rasa sakitnya, meski hanya untuk sementara.

Namun, ada sesuatu yang menahannya. Wajah Anna tiba-tiba muncul di pikirannya, dengan tatapan penuh air mata dan suara yang bergetar.

"Aku mencintaimu, Mas."

Alan menghela napas panjang. "Sherly, aku tidak tahu apakah aku bisa melakukan ini."

Sherly mengangkat alisnya. "Alan, kau pantas mendapatkan kebahagiaan. Jika dia tidak bisa memberikannya, kenapa kau harus terus bertahan?"

Kata-kata Sherly menghantam Alan seperti gelombang. Benarkah ia masih bertahan karena cinta, atau karena kebiasaan?

---

Pertemuan yang Tak Terduga

Pagi itu, Anna memutuskan untuk keluar rumah lebih awal. Ia mengambil cuti kerja, merasa bahwa pikirannya terlalu kacau untuk bisa fokus. Ia memutuskan untuk pergi ke sebuah kafe kecil di pinggir kota, tempat ia bisa menikmati ketenangan.

Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Ketika ia melangkah masuk ke dalam kafe, matanya menangkap sosok yang sangat familiar.

Alan.

Dan di depannya, seorang wanita cantik bergaun merah—Sherly.

Anna berdiri mematung di pintu, tubuhnya membeku. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Namun, sebelum ia bisa mengambil langkah mundur, Alan menoleh dan melihatnya. Wajah Alan langsung berubah, terkejut dan penuh rasa bersalah.

Sherly, yang menyadari perubahan ekspresi Alan, ikut menoleh ke arah Anna. Ia tersenyum tipis, seolah-olah kemenangan ada di tangannya.

Anna menarik napas dalam, mencoba menguasai dirinya. Dengan langkah tenang, ia mendekati meja mereka.

"Alan," sapanya dengan suara dingin. "Apa yang kau lakukan di sini?"

Alan berdiri, mencoba menjelaskan. "Anna, ini tidak seperti yang kau pikirkan."

Anna mengangguk pelan. "Oh, tentu saja. Aku hanya melihat suamiku duduk bersama wanita lain, tapi pasti ada alasan logis untuk itu, kan?"

Sherly menyela, suaranya manis tapi penuh sindiran. "Kami hanya mengobrol, Anna. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Anna menatap Sherly tajam. "Aku tidak berbicara denganmu."

Sherly terdiam, tapi senyum di wajahnya tidak hilang.

"Mas Alan," lanjut Anna. "Kau ingin menghukumku atas apa yang aku lakukan, aku mengerti. Tapi apakah ini caramu? Bermain dengan wanita seperti dia?"

Alan merasa seperti terpojok. Ia tidak bisa menjawab, tidak bisa menyangkal, tapi juga tidak ingin memperburuk situasi.

"Anna, kita harus bicara," kata Alan akhirnya.

"Tidak perlu," jawab Anna tegas. "Aku sudah tahu jawabannya."

---

Badai di Rumah

Setelah kejadian di kafe, Anna pulang lebih dulu. Ketika Alan sampai di rumah, ia menemukan Anna sedang berdiri di ruang tamu dengan koper di sampingnya.

"Apa ini?" tanya Alan.

"Aku pergi," jawab Anna singkat.

Alan terkejut. "Anna, jangan seperti ini. Kita bisa membicarakannya."

Anna menggeleng. "Aku sudah cukup berbicara, Alan. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini. Kau dan aku... kita sudah terlalu banyak saling melukai."

Alan mencoba mendekat, tapi Anna mundur. "Jangan, Mas. Aku butuh waktu untuk sendiri. Mungkin kita butuh waktu untuk berpikir, apakah hubungan ini masih layak diperjuangkan."

Alan tidak bisa berkata apa-apa. Ia tahu, di dalam hatinya, Anna mungkin benar.

"Anna..." suaranya bergetar. "Aku minta maaf."

Anna menatapnya, air mata mengalir di pipinya. "Aku juga, Mas. Tapi maaf saja tidak cukup."

Dengan langkah berat, Anna membawa kopernya keluar. Alan hanya bisa berdiri di ambang pintu, melihat wanita yang ia cintai pergi.

---

Masa Lalu yang Tak Pernah Hilang

Di apartemen kecil yang ia sewa, Anna mencoba memulai kembali. Namun, setiap malam, bayangan Alan dan rasa bersalahnya terus menghantuinya.

Di sisi lain, Alan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia tidak lagi bertemu Sherly, tapi kesepian yang ia rasakan semakin dalam.

Mereka berdua tahu, meskipun mereka terpisah, luka di hati mereka tidak akan hilang begitu saja.

Apakah cinta cukup untuk menyembuhkan semuanya? Atau apakah ini adalah akhir dari kisah mereka?

---

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!