Aghnia azizah, sedang asyik menikmati alunan musik dengan gemerlap temaram lampu diskotik, bersama teman satu geng sesama mahasiswi di kampus Islamik.
"Nia kalo sampe ketahuan Abah kamu, aku ga ikutan ya" ucap Risti teman satu gengnya yang sangat penakut namun juga suka dunia malam.
Nia menepuk pundak Risti menenangkan gadis naif disebelahnya.
"Joget ke depan yuk girls" ajak Monica kepada dua temannya.
Mereka bertiga berjalan kedepan mendekat ke arah DJ yang sedang memainkan musik dengan pakaian super mini yang hampir memperlihatkan seluruh auratnya.
Seakan tersihir oleh euforia suasana diskotik, Nia berjoget tanpa merasa lelah bahkan terlihat sangat bahagia tanpa beban.
Kaos model Sabrina putih dengan rok jeans mini diatas paha membalut tubuh Nia dan gengnya, rambut panjang model v shape yang mereka curly terlihat berantakan semakin memperlihatkan kesan cantik nan sexy membuat beberapa pasang mata memperhatikan mereka.
"Lama nggak main nih, cewek sebelah sana asyik kayaknya dijadiin partner" ucap Bimo yang duduk di sofa memperhatikan Nia
"Nia maksudmu?", tanya Roni yang duduk disebelahnya dan dijawab anggukan oleh Bimo.
"Mending cari mangsa lain deh, dia atlet kejuaraan nasional taekwondo, bisa habis tongkatmu dipatahin" saran Roni.
"Aku tau, justru itu aku bawa senjata" ujar Bimo sambil menunjukkan satu botol kecil yang ada di kantong kaus polonya dan menyerahkan pada Roni.
"Jangan lepas pandanganmu dariku, kalo kuberi tanda segera bawain sebotol mineral yang udah kamu campur cairan tadi", imbuh Bimo.
"Gila! Kalo sampe ketangkap, habis kita" Roni tak ingin mengambil resiko besar. Bimo hanya mengendikkan bahu dan mulai menjalankan aksinya.
Pria itu berjalan sambil berjoget mendekat ke arah Nia dan gengnya, ia berhasil sampai di belakang Nia. Tangan kanan bimo mencoba meraih pinggang Nia dan berjoget menyamakan gerakan Nia.
Gadis itu tersadar ada yang memeluknya dari belakang, ia lantas menoleh dan mendapati Bimo teman satu prodi dengannya.
Pria itu tersenyum melihat Nia berbalik badan dan berjoget berhadapan dengannya, keringat yang menetes di dahi putih Nia membuat Bimo seakan lupa cara bernafas, ini akan menjadi pencapaian tertinggi bagi Bimo jika berhasil menjebol keperawanan gadis ayu di depannya.
Bimo menoleh ke belakang dan menunjukkan ibu jarinya pada Roni. Roni yang mengetahui kode dari Bimo segera berjalan pelan mendekat dan menyerahkan botol yang diminta pria itu.
"Minum dulu Nia, kamu kelihatan capek banget" tawar Bimo, ia menyodorkan sebotol air mineral.
"Thanks bim" Nia tak merasa curiga, karena ia merasa telah mengenal Bimo, gadis itu meneguk isinya hingga tandas. Mata Bimo berbinar melihat botol yang dipegang Nia sudah kosong, pria itu menyeringai puas.
Nia mengembalikan botol kosong pada Bimo, lalu melanjutkan berjoget dengan kedua tangannya berada di pundak Bimo.
Bimo menyeka keringat yang tercetak jelas di dahi Nia menggunakan punggung tangannya.
Lima menit setelahnya Nia menolak diajak duduk Risti dan Monica. Monica berbisik pelan di telinga Nia agar waspada pada lelaki yang ada di hadapan Nia. Nia hanya membentuk lingkaran dengan jempol dan telunjuk tangan sebagai jawaban.
"Kok pusing ya Bim, capek deh kayaknya, aku istirahat dulu ya" pamit Nia.
Bimo yang mengetahui jika obatnya telah bereaksi menarik pergelangan tangan kanan Nia dengan cepat.
"Istirahat di kamar lantai dua aja," tawar Bimo,
Mendengar tawaran dari mulut Bimo membuat Nia mengerutkan kedua alisnya
"Ntar aku tinggal, terus kamu kunci dari dalam, aman kok" tutur Bimo meyakinkan
Nia yang merasa kepalanya semakin pusing memilih mengikuti ide Bimo, mereka berdua berjalan menuju lantai atas melewati tangga yang tersedia di sebelah kanan panggung DJ.
Kedua orang itu tak lepas dari pandangan Risti, Monica dan Roni. Monica yang melihat alarm bahaya, menendang tulang kering Roni dengan heels yang ia kenakan.
"Argh, apasih Mon!" protes Roni mengelus tulang keringnya yang terasa panas dan perih.
"Kalian pasti sekongkol kan" tuduh Monica, telunjuknya hampir menyentuh mata kiri Roni.
Nia telah berada di kamar dan mengunci pintu dari dalam, ia merasakan ada yang tidak beres dengan tubuhnya, badannya terasa hangat tapi tidak demam, drinya seakan ingin bertelanjang, bahkan Tangan kirinya bergerak meremas payudaranya sendiri.
"Bangsat Bimo!", umpat Nia.
Gadis itu mengaktifkan ajian pingit seruni yang diajarkan oleh abahnya ketika terjadi bahaya. Ajian tersebut akan mengolah energi internal demi mempertahankan kesucian diri.
Setelah mengaktifkan ajian pingit seruni, Nia merasakan kesejukan di seluruh tubuhnya,
"Huuuuhhhh, aku harus segera pergi, ajian ini hanya berlangsung tiga puluh menit saja" gumam Nia, menghela nafas lega.
Gadis itu memandang lemari pakaian yang berada di samping pintu, ia merasa ada yang aneh dengan lemari itu. Nia segera bersembunyi di pinggir lemari.
Tak lama, terdengar seseorang membuka pintu, gadis itu melirik pintu di sampingnya lalu mengintip ke arah pintu lemari, ia sedikit terkejut, Bimo keluar dari dalam lemari. Nia sedikit terkejut memperhatikan pintu kamuflase yang didesain pemilik diskotik, ia memperhatikan dengan jijik ekspresi mesum Bimo.
"Sial! kemana Nia" umpat Bimo melihat ranjang kosong.
Saat ini, Bimo merasa ada seseorang di belakangnya. Ia pun reflek menoleh dan tersenyum senang mendapati Nia bersedekap dada memandang dirinya.
"Kenapa berdiri disitu sayang, katanya pusing?" ujar Bimo berjalan mendekat ke arah Nia.
Gadis itu menyipitkan mata dan menatap lelaki bertubuh gempal di depannya dengan bengis, Nia melayangkan tinju tepat di pelipis kanan bimo, membuat Bimo terhuyung roboh ke ranjang dalam keadaan terlentang.
"Sial!", umpat bimo memegangi pelipisnya, ia melihat noda darah di tangannya. Pria itu pun nekat mengambil suntikan dari saku belakang celana jeans panjangnya.
"Malam ini, aku akan melepas keperawananmu Nia!" ucap bimo dengan senyum liciknya, sembari membuka tutup jarum suntik, dan mendekat ke arah Nia.
Gadis itu melirik jam tangannya, terkejut karena waktunya tidak banyak sebelum obat biadab itu akan sepenuhnya menguasai dirinya.
Nia melepas heels-nya dan memegang satu di tangan kanan. Saat Bimo berusaha mendekapnya, gadis itu menunduk memukulkan ujung heels pada dua buah keabadian milik Bimo, lantas segera melesat ke samping sebelum ditindih tubuh gempal Bimo.
"Argh!", pekik Bimo. Rasa sakit itu membuatnya melepas suntikan di tangan. Gadis itu pun menyambar suntikan yang tergelak di lantai.
"Bangsat kamu Nia!" umpat Bimo, ia mengerang memegangi buah zakarnya.
"Jangan berani main main dengan Aghnia!" ujar Nia, ia berjalan mendekati Bimo dan menusukkan suntikan tepat di pantat Bimo hingga pria itu memekik. Ia sengaja membiarkan suntikan tetap tertancap dan menambah satu hentakan memijak pantat tertusuk itu hingga Bimo tak kuasa berteriak karena nyeri depan belakang.
"Bye Bimo mesum" ejek Nia, ia membuka kunci pintu dan keluar dari kamar.
Gadis itu berlari turun, menghampiri dua temannya dan menarik tangan mereka keluar dari diskotik.
"Kamu yang nyetir, buruan!" Nia melempar kunci mobil jazz pada Monica. Sepanjang perjalanan, Nia hanya diam, berusaha mengendalikan gejolak libido di tubuhnya.
Sesampainya di kontrakan, Nia merebut kunci kontrakan di tangan Risti, membukanya dengan tak sabar lalu berlari ke kamarnya lantas mengunci pintu.
"Sialan kau Bim!", rutuk Nia seraya menuntaskan hasratnya sendiri dengan sebuah guling di kamar mandi karena pengaruh obat biadab yang kini berhasil menguasai dirinya.
Setelah mandi dan berganti piyama, Risti dan Monica kompak mengetuk pintu kamar Aghnia, mereka khawatir kepada sahabatnya itu, terlebih mereka berdua melihat Nia dan Bimo berjalan besama ke lantai atas.
"Nia, buka pintunya Ni" ujar Monica, Risti bagian mengetuk pintu, ia tak berani mengetuk pintu dengan brutal takut akan keadaan Nia di dalam.
"Nia, kamu butuh sesuatu nggak?" tawar Monica lagi.
"Im fine girls, kalian bisa tidur" teriak Nia dari dalam kamar.
Mereka berdua menghela nafas lega setelah mendengar suara Aghnia, mereka memutuskan untuk kembali ke kamar masing-masing, bukan waktu yang tepat untuk bertanya dan meminta kejelasan, mungkin besok pagi bisa bertanya lagi tentang kejadian di diskotik.
Nia merebahkan dirinya di ranjang, gadis itu memakai baju tidur mini berbahan satin warna pink kesukaannya. Ia beberapa kali mengumpat merasakan sisa panas di tubuhnya.
"Bima bajingan! Berapa dosis yang dia campur ke minumanku" umpat Nia, bahkan tangannya masih meraba raba bagian puting payudara kenyalnya.
"Eungh mmpp" suara lenguhan lolos begitu saja dari mulut Nia, ia segera membekap mulutnya sendiri.
Nia putus asa, ia kembali menuntaskan hasratnya dengan guling yang berada di sampingnya.
Esoknya Nia bangun kesiangan, ia melihat jam di dinding menunjukkan pukul tujuh pagi, gadis itu segera ke kamar mandi, melakukan mandi wajib dan melaksanakan sholat subuh.
Sekalipun tingkahnya absurd dan terkesan sembrono, Nia selalu mengingat ucapan uminya agar tidak meninggalkan sholat dalam keadaan apapun.
Gadis itu sudah rapi dengan setelan blouse sage green lengan panjang yang dimasukkan ke dalam celana cut bray hitam, dipadu dengan pashmina warna senada dengan celana. Ia menenteng totebag motif ketupat coklat muda, riasan yang tipis menambah tingkat kecantikan bertambah seorang Aghnia.
Betapa terkejutnya ketika ia membuka pintu kamar, dua temannya sudah menunggu di sana, memandangnya dengan mata yang berkedip berkali kali.
"Kalian kenapa?" heran Nia memandang dua temannya dengan aneh.
"Nggak ada yang pengen kamu ceritain nih?" lontar Risti.
"Ada yang luka nggak Ni?" imbuh Monica.
Nia tersenyum manis melihat kedua temannya khawatir akan kejadian kemarin di diskotik, ia menutup pintu kamar lalu memiting kedua leher temannya hingga mengadu kesakitan.
Di rumah sakit, Bimo berbaring dengan punggung tangan kiri tertancap infus, sebelah matanya nampak ditutup perban dan bengkak hasil pukulan Aghnia. Ia berhasil ditolong Roni setelah temannya itu melihat Aghnia turun sendiri dalam keadaan yang tidak sesuai dengan prediksinya.
"Aku bilang juga apa, jangan main main sama Nia" ujar Roni yang berdiri di sebelah brankar Bimo.
Lelaki berbadan gempal itu melirik Roni dengan wajah masam, ia menyusun rencana pembalasan dendam kepada Aghnia, karena merasa dipermalukan dan bahkan bisa dikalahkan oleh wanita itu dengan mudah. Bimo memukulkan tangan kanannya ke kasur sebagai ungkapan rasa kekesalannya.
"Aku bakal bikin perhitungan dengan dia!" seru Bimo memandang wajah Roni dengan licik.
"Aku nggak mau terlibat lagi Bim, resikonya besar" Roni menghela nafas panjang, ia memilih mundur daripada merelakan pendidikannya hanya karena dendam sesaat yang tidak ada hubungan dengannya.
"Sialan! Dasar anak ayam" umpat Bimo, kesal tidak mendapat dukungan dari temannya.
"Udahlah cari mangsa lain aja, daripada harus mendekam di penjara" saran Roni.
"Setidaknya aku bisa puas merasakan keperawanannya sekalipun aku harus mendekam di penjara" ucap Bimo begitu percaya diri "enyahlah!, aku tak butuh pecundang sepertimu" imbuh Bimo
Roni mengendikkan bahu lalu pergi meninggalkan Bimo sendiri, ia menimbang harus memberi tahu Aghnia atau ia simpan sendiri informasi ini, karena keduanya sama sama beresiko.
[hati hati, Bimo berencana membalaskan dendam padamu]
Roni memutuskan untuk memberi tahu Aghnia lewat sebuah pesan dengan nomor baru, ia kemudian mematikan ponselnya dan mengambil kartu perdananya lalu mematahkan dan membuangnya ke tempat sampah.
Aghnia yang baru keluar dari kelas merasakan getaran di saku celananya, ia lantas mengecek ponselnya. Gadis itu mengernyit melihat deretan nomor yang tidak ia kenal, ia mengendikkan bahu tak acuh,semalam ia telah memikirkan hal itu, gadis itu telah bersiap kalaupun Bimo akan membalaskan dendam padanya, ia akan menerimanya.
Monic menghampiri Nia yang duduk di tangga memperhatikan dosen killer dan beberapa mahasiswa sedang bermain basket.
"Masjid yuk, Risti udah di kontrakan" ajak Monic, mereka bertiga tidak berada dalam satu prodi namun mereka telah bersahabat semenjak mendaftar di kampus Islamik ini.
Nia terperanjat kaget lantaran terlalu fokus memperhatikan para pemain basket, "kasih kode dulu bisakan neng!" keluh Nia, ia menghela nafas dan mengelus dadanya.
Monic menampakkan gigi putihnya dan menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya, mereka berdua berjalan beriringan menuruni tangga, melewati lapangan basket.
Mata Nia bahkan tak mampu berkedip saat melihat Alfi Sagara dosen killer yang sedang mendribble bola, rambut yang basah karena kringat semakin menampakkan aura maskulin dosen muda itu.
Mengingat rumor kekejaman seorang Alfi kepada mahasiswanya, membuat Nia bergidik ngeri dan segera mempercepat langkahnya.
"Jadi beneran ni, semalem kamu bikin K.O si Bimo?" Tanya Monic, Nia telah menceritakan kejadian selama di diskotik, namun ia menyembunyikan cerita dirinya yang terkena obat biadab dari Bimo.
"Shuuuttt.. jangan kenceng kenceng ngomongnya" bisik Nia, ia tak ingin oranglain ikut curi dengar dan cerita menjadi menyebar di kampus.
" Udah yuk sholat" ajak Nia.
Kedua gadis itu telah selesai mengambil wudhu dan melaksanakan sholat, Nia memilih untuk tetap tinggal di masjid, ia mengambil mushaf di rak diikuti Monic, mereka berdua murojaah bersama. Geng Nia terlihat seperti wanita baik baik ketika siang dan menjadi bar bar ketika malam.
Di sela murojaah mereka, Nia mendengar sayup sayup seorang lelaki tengah murojaah juga, suaranya sangat merdu membuat Nia menghentikan murojaahnya dan menutup mushafnya, jantung gadis itu berdetak kencang seakan malaikat menyuruhnya untuk bertaubat saat ini juga. Nia mengembalikan mushafnya lalu berjalan mendekat ke pembatas gordyn, gadis nakal itu mengintip siapa gerangan lelaki bersuara merdu.
Ia menghela nafas panjang, lelaki itu duduk di dekat mihrab dan membelakanginya, ia kecewa karena tak tahu paras lelaki bersuara merdu.
"Ngintipin apasih ni?" Tanya Monic, lagi lagi suara Monic mengagetkan Nia membuat Nia bersungut mecubit paha Monic.
Nia berbalik dan melepas mukenah yang ia pakai, melipat dan mengembalikan ke tempat semula. Gadis itu keluar dari area masjid diikuti Monic.
"Serius deh ni, kamu tadi ngintipin apa?" Tanya Monic penasaran.
"Kepo ajadeh Monica yang nggak nikah nikah" ledek Nia, ia tersenyum melihat temannya cemberut
"Jangan jangan kamu tadi ngintipin dosen vokasi yang tua itu ya? Hayo ngaku kamu naksir dosen beruban itu ya ni?" Goda Monic tak mau kalah.
"Ih rese', kamu tau laki laki yang murojaah Deket mihrab tadikan nic?" Tanya Nia.
"Kamu naksir sama dia?" Tebak Monic.
Nia tidak menjawab, ia malah tersenyum dan mengusap usap kedua pipinya membayangkan jika dirinya bisa melihat paras lelaki bersuara merdu itu dan bisa berkenalan dengannya.
Monica menepuk pundak Aghnia yang malah mengusap-usap pipinya sendiri.
"Apa sih Mon? Ditanya malah balik nanya", ketus Aghnia karena Monica nampaknya juga tak tahu siapa pria yang tengah membaca mushaf tadi.
"aku tahu siapa dia, tapi", ucap Monica terhenti, membuat Aghnia penasaran.
"Tapi apa Mon?", sungguh Nia, seraya mendorong ringan pundak Monica.
"Tapi aku naksir sama dia Nia", ucap Monica, membuat Nia patah hati. Tapi, bukan Aghnia namanya kalau tidak bisa move on bahkan dari cowo yang belum ia kenal.
"Oh, ya sudah. Cepet gebet gih. Entar kalau mau nikah, jangan lupakan aku", sahut Nia, nampak santai saja.
"Eh, aku, juga belum dekat sama Malik", ucap Monica, keceplosan menyebut nama pria itu.
"Em, gini aja. Ayo kita kenalan sama-sama. Kita bersaing secara sehat. Siapa yang disuka Malik, kita harus rela", lanjut Monica. Nampak Aghnia masih enggan menjawab. Pacar dan sahabat adalah dua sisi yang dibutuhkan, bukan saling meniadakan baginya.
"Engga ah Mon, ambil aja. Aku ngga mau saingan denganmu. Nanti, iya kalau kamu yang dipilih, aku bisa enjoy aja. Kalau aku yang dipilih, aku ngga yakin kamu bisa move on darinya", ungkap Nia.
"Iya juga sih. Tapi, kan Tuhan yang atur jodoh Ni. Meski dipaksakan, ngga akan kesampaian kalau bukan jodoh", tutur Monica masuk akal.
"Oke deh kalau begitu. Nanti sore kita coba lagi ke masjid, kita ajak dia kenalan", ide Nia. Monica hanya mengangguk setuju.
"Yuk makan siomay!", ajak Monica ke kantin fakultas.
"Ayo!", sahut Nia. Mereka melangkah dengan riang berdua. Namun, mereka tak sadar ada seorang pria yang terus mengawasi gerak gerik mereka, khususnya Aghnia. Seakan dia sedang mencari peluang untuk melakukan aksinya.
Di dekat parkiran mahasiswa, Nia dan Monica baru saja keluar dari kantin, membawa satu plastik kecil siomay sembari berbincang ringan. Tiba-tiba, pria yang sedari tadi mengawasi, merampas totebag Nia dan bergegas berlari cepat melewati rute yang sepi.
"Tasku" reflek Nia berlari mengejar pria yang mengambil totebagnya, diikuti Monica dibelakangnya.
Ia berhasil menarik kerah belakang kaos pria itu. Tapi sial, pria itu memlintir tangan Nia lalu membanting wanita cantik itu.
Nia segera bangkit melupakan rasa nyeri di punggungnya, ia memasukkan sisa krudung pashmina yang menjuntai ke dalam kerah blousenya, ia memukul leher samping lawan dengan bagian samping telapak tangannya.
Pria berkulit sawo matang yang terlihat seperti preman mencekal pergelangan tangan Nia memutarnya kebelakang menempelkan punggung Nia ke dadanya.
"Argh, sial! Apa maumu?" Nafas Nia memburu, ia tidak akan menyerah, gadis itu membenturkan kepala belakangnya ke kening lawan dengan sangat keras, berhasil lepas dari cekalan.
Monic baru sampai, ia memanfaatkan kesempatan mengambil tas nia lalu berlari mencari tempat persembunyian dengan nafas tersengah engah, ia melihat Nia yang terlihat kepayahan melawan pria itu, Monic tahu diri ia tak mahir dalam bela diri, daripada menjadi beban lebih baik ia bersembunyi.
"Ya Tuhan, bantulah Nia" doa Monic, ia menoleh ke kanan dan ke kiri berharap ada mahasiswa yang lewat dan mampu menolong mereka. Monic menggigit ujung jari telunjuknya karena gugup, ia bahkan melupakan siomay yang ia bawa sedari tadi.
"Bajingan! Kalo aku mati, kamu juga akan kubawa mati bersamaku" geram Nia, ia mengarahkan kepalan tangannya, menambah kekuatan dan dorongan ke ketiak lawan hingga membuat lelaki itu mundur beberapa langkah.
Pria itu tersenyum mengejek, kembali menyerang Nia dengan waspada dan lebih cepat, ia mengabaikan seruan Bimo agar tidak terlalu menyakiti gadis yang diincar oleh tuannya, nyatanya tenaga Nia lumayan kuat, ia tidak ingin nyawanya melayang di tangan seorang wanita.
Pria itu melesat dengan cepat menghantam pusar Nia dengan keras, rasa nyeri,panas dan mual bercampur menjadi satu, badan Nia sedikit limbung namun gadis itu berusaha memposisikan dirinya agar tetap berdiri.
Seorang pria memukulkan tas ranselnya pada kepala preman dari arah belakang, sontak membuat preman itu terkejut dan menoleh ke belakang.
"Hanya seorang banci yang berani melawan prempuan" ujar pria pemilik tas ransel itu.
Seperti api yang membakar kayu, emosi preman itu meledak, ia menyerang Malik dengan brutal, Malik berhasil menangkis setiap pukulan yang diarahkan padanya.
Ia mengayunkan pukulan dengan cepat menyasar hidung preman itu, terdengar suara tulang retak yang mampu membuat preman itu memekik kesakitan.
Malik mengerahkan seluruh tenaganya, mengayunkan kakinya ke arah telinga kiri. Preman itu roboh dengan darah yang mengalir dari hidung dan telinganya.
"Siapa yang mengutusmu?" Tanya Malik, ia menginjak paha preman itu tanpa ampun.
Dengan sisa tenaga yang dipunya, preman itu mendorong kaki Malik, bergegas bangun dan lari tunggang langgang.
Malik tak begitu memperdulikan preman itu, ia lantas menghampiri Nia yang terlihat akan segera tumbang.
"Trima.. kasih.." nafas Nia memburu, gadis itu mengupayakan senyum termanisnya disela merasakan seluruh badannya remuk.
Malik mengangguk pelan, meraih tangan kanan Nia dan meletakkan pada pundaknya, sebelah tangannya ia gunakan untuk menopang pinggang Nia.
"Aghnia, maafin aku nggak bisa bantu kamu" ujar Monica yang baru sampai dan berdiri di samping Malik memeluk totebag temannya itu.
Nia menghemat tenaganya, ia hanya mengangguk dan menunjukkan ibu jari tangan kirinya.
"Bisa jalankan?" Tanya Malik dengan ragu, dijawab anggukan oleh Aghnia.
Mereka bertiga berjalan beriringan, langkah mereka bagaikan kucing bunting yang akan segera melahirkan, sangat pelan. Beberapa saat kemudian Nia kehilangan kontrol tubuhnya, gadis itu limbung.
"Nia!" Pekik Monic kaget.
Malik yang melihat tanda tanda pingsan Nia berhasil menopang gadis itu agar tidak sampai jatuh. Ia membopong gadis itu dan berjalan dengan cepat menuju ruang kesehatan kampus.
Setelah sampai, tubuh Nia direbahkan di ranjang ruang kesehatan, disampingnya dokter yang berjaga melihat dengan prihatin wanita yang dibawa Malik.
Setelah dokter memeriksa, Malik menjelaskan inti kejadian yang dialami Nia. Dokter menyarankan agar Nia dirujuk ke rumah sakit karena dugaan luka akibat pukulan yang keras.
Namun Malik bimbang, ia meminta dokter untuk memberikan obat sementara, menunggu Nia sadar dan meminta persetujuannya.
"Malik, trimakasih ya" ucap Monica yang berdiri disampingnya.
"Hm? Buat apa?" Heran Malik, ia merasa tidak membantu Monica sama sekali
"Sudah membantu Aghnia" tutur monica, gadis itu tersenyum mengerling, memutar tubuhnya menghadap ke arah Malik
"Malik, boleh aku minta nomor ponselmu?" Tanya Monic lagi. Monic tidak akan membuang kesempatan emas ini.
Malik mengernyit, ia menggelengkan kepalanya, pria itu menangkap sinyal lawan jenis yang sedang menyukainya, bukan bermaksud PD hanya saja tingkah Monica terlihat sangat jelas.
"Aku pergi dulu" pamit Malik.
"Eh... Kamu nggak nunggu Nia bangun?" Tanya Monica,
namun lelaki itu tidak menggubrisnya dan tetap melangkahkan kakinya kluar dari ruang kesehatan. Monica hanya menatap punggung Malik yang semakin menjauh.
"Indahnya hamba tuhan yang satu itu" gumam Monica enggan melepas pandangannya dari Malik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!