Duduk di meja rias yang cukup indah bagiku. Aku hanya terdiam, membayangkan beberapa jam yang lalu. Aku menikah dengan pria yang tidak aku cintai sama sekali. Namun, bukan itu masalahnya. Aku bisa saja mencintai suamiku. Tapi....apakah dia juga bisa mencintaiku?
Aku di paksa untuk menerima pinangannya, hanya aku bekerja sebagai suster yang merawat ibu mertuaku. Bayangan beberapa hari yang lalu kembali muncul. Di saat semuanya berawal, sebelum pernikahan ini terjadi.
“kamu harus menikah dengan Rayhan, Shena!” ucap ibuku lirih
“Kenapa harus Shena, Bu?” bagaimana dengan mas Arhan yang sedang berjuang untuk Shena?” aku menyentuh lembut jemari ibu yang mulai keriput karena usia yang tidak muda lagi.
“Menikahlah Shen. Setidaknya demi kita semua, karena mereka banyak jasa untuk kita. Kamu, untuk menjadi seorang suster pun karena bantuan mereka. Tidak kah ada rasa terima kasih untuk mereka Shena?”
Aku memandang wajah ibu yang terlihat memohon, walaupun aku tahu kami pun memiliki banyak hutang kepada mereka. Mas Rayhan, dia memiliki banyak kebun jeruk dan juga perkebunan cengkeh di desa kami. Mereka memang keturunan orang kaya semenjak dulunya.
“Tapi, kenapa mereka mau? Sedangkan kita sangat miskin?” ucapku tertunduk lesu. Sebab ada Mas Arhan yang sedang merantau untuk mengumpulkan dana. Semua itu demi aku, untuk bisa melamar aku. Tapi, sepertinya akan sulit.
“kamu tahu kalau Rayhan tidak pernah dekat dengan wanita manapun. Itu karena ibunya sakit parah, dan sulit mendapatkan wanita yang tulus. Dan hanya kamu, yang tulus mengurus ibunya selama ini. Itu sebabnya ibunya ingin, kamu yang menikah dengan Rayhan.” Jelas ibu
“Bagaimana dengan Mas Arhan Bu. Dia pasti kecewa dengan Shena. Dia berjuang untuk Shena selama ini, Bu” ucapku lirih dengan mata yang berkaca – kaca menahan tangis.
“Kita tidak tahu dia seperti apa di kota orang. Bisa saja dia memilih wanita lain. Dan kamu, sudah cukup dewasa untuk menikah. Tidak perlu menunggu terlalu lama lagi, ibu juga sudah cukup tua. Kamu mau menyusahkan mas mu?” ibu berkata tegas. Seolah – olah memaksa aku untuk menerima semuanya.
Aku hanya pasrah, mungkin ini memang takdirku. Apalagi yang bisa aku jawab? Sedangkan segalanya sudah terjadi sejak lama. Termasuk hutang yang akan menjadi pengabdian semata. Mengabdi dengan keluarga mereka, untuk membalas semua yang sudah mereka berikan itu.
“Shena!”
“Astaghfirullah”
Aku terperanjat kaget, mengelus pelan dadaku yang berdetak lebih cepat karena kaget. Aku baru sadar, aku melamun sejak tadi. Membayangkan yang sudah terjadi beberapa hari yang lalu.
“Iya Mas?” Aku berdiri memandang mas Rayhan yang terlihat kesal itu.
“Kamu, melamun? Samapi melupakan ibu yang membutuhkanmu sejak tadi. Saya memanggil kamu sejak tadi, apa kamu tidak dengar?” ucapnya dengan suara tegas.
“Maaf, Mas” ucapku sambil menunduk
Aku langsung keluar dari kamar kami, melihat keadaan ibu mertuaku. Ibu Mas Rayhan sakit parah, membuatnya tidak bisa berjalan dan memerlukan perawatan khusus. Termasuk segala keperluan pribadinya.
Aku memandang ibu mertuaku yang duduk di kursi roda. Mas Rayhan menyusul dan membantu aku membawa ibu ke kamarnya. Tentu aku tidak akan sanggup memindahkan ibu ke kamarnya sendirian. Badan ibu yang cukup gemuk sedangkan aku berbadan kurus.
“Shena, apa ibu mengganggu?” tanya Mertuaku lirih
Aku hanya tersenyum dan memandang wajah keriput mertuaku, “Tidak Bu. Shena belum tidur, baru selesai membersihkan make up” sahutku nyengir
“Ini malam pertama buat kalian. Maaf ya” ucapnya dengan suara lirih.
Aku hanya tersenyum sambil membersihkan badan mertuaku dengan air hangat. Membersihkan wajahnya dengan handuk basah secara perlahan dan lembut. Sampai dia merasa nyaman dan tak lupa aku menggantikan pakaiannya. Buruh waktu hampir setengah jam untuk mengurus mertuaku itu.
“Ibu sudah makan malam kan?” tanyaku
“Sudah, tinggal obat saja yang belum” sahutnya sambil menunjuk obat yang berada di ats meja
Aku langsung meraih obat itu dan membantunya untuk meminumnya. Setelah itu mertuaku beristirahat dan tak lupa aku menyelimutinya.
“Ibu istirahat. Ibu bisa telpon Shena kalau butuh sesuatu ya. Jangan berteriak nanti ibu kelelahan”
“Iya Anak” sahutnya sambil tersenyum
Aku meletakkan ponsel di atas meja sebelah dia berbaring. Dan aku kembali ke kamar Mas Rayhan yang kini menjadi kamarku juga. Entahlah bagaimana setelah ini. Aku merasa sangat gugup dan canggung.
Perlahan aku membuka pintu, memandang mas Rayhan yang sudah berbaring di atas kasur. Aku menghela napas sejenak dan melangkahkan kaki menuju kasur di mana Mas Rayhan berada. Apakah tidak masalah jika kau berbaring di sebelahnya?
Baru aku duduk di pinggir kasur ini, Mas rayhan langsung memberikan guling di tengah antara aku dan dia. Aku sadar diri, mungkin dia tidak akan mau bersentuhan langsung denganku.
“Bismillah” ku ucap bismillah dan lanjut membaca doa sebelum aku memejamkan mata.
Mencoba terpejam dengan segala kegelisahan yang ada. Walaupun tidak nyaman dan canggung, aku harus bersikap baik. Bagaimanapun aku tetap bekerja di sini. Bekerja sebagai seorang perawat yang merawat mertuaku sendiri. Ya Allah berikan kelancaran untuk kehidupan baruku ini
Selesai sholat subuh aku langsung mengerjakan tugasku seperti dulu. Mengurus ibu mertuaku, dan menyiapkan semua keperluan di dapur. Membuatkan sarapan untuk suami dan mertuaku. Hari pertama, namun tidak terkesan seperti pertama bagiku. Sebab sebelumnya kau memang bekerja di sini
“Mas, sarapan dulu” ucapku memandang Mas rayhan yang asyik dengan ponselnya.
Dia menoleh sekilas setelah itu kembali fokus k layar ponselnya. “Buatkan bekal, aku tidak akan pulang nanti siang” ucapnya.
“Iya Mas”
Aku melangkah ke dapur dan membuatkan bekal untuknya. Mungkin dia mau ke kebun cengkeh atau mungkin ke kebun jeruk miliknya. Walaupun dia tidak bekerja langsung. Tapi, dia secara rutin selalu memantau para pekerja di kebun. Apalagi semenjak ada pekerja yang membuat masalah dengan melakukan kecurangan. Dia sangat waspada sejak saat itu.
Selesai dengan urusan Mas rayhan, aku kembali fokus ke ibu mertuaku. Mengurus semuanya mulai mandi sampai mertuaku itu selesai makan dan minum obat. Entah sampai kapan aku tidak tahu.
“Mas. Bisa bantu aku sebentar. Ibu mau mandi” pintaku
Dia hanya diam tidak menjawab dan langsung melangkah menuju kamar ibu. Aku menghela napas. Toh aku juga paham memang sudah sifatnya seperti itu. Tidak banyak bicara atau memandang
“Ibu, kita mandi dulu ya” ucapku dengan senyum manis yang membuat ibu semangat.
“Kamu sudah sarapan Shena?”
“Nanti saja Bu, Shena juga belum lapar” jawabku sambil tersenyum.
Di bantu Mas Rayhan aku membawa ibu ke kamar mandi. Selesai mendudukkannya di kursi Mas Rayhan kembali keluar. Aku langsung memandikan ibu selayaknya aku memandikan anak kecil. tidak ada rasa malu lagi, karena ini sudah aku lakukan semenjak lebih dari satu tahun ini.
Selesai mandi aku memakaikan ibu pakaian dan mendorong pelan kursi roda ibu menuju taman rumah yang selalu terjaga keindahannya oleh Mas Rayhan sendiri. Bahkan sebelum pergi dia selalu menyirami tanamannya sendiri.
“Rayhan”
“Iya, Bu”
“Kamu mau ke kebun?”
Mas Rayhan mengangguk dan melanjutkan menyirami tanamannya sedangkan aku menyuapi iu sarapan.
“Libur sejenak Anak. Kalian baru sehari menikah, masa tidak ada waktu bersama?” ucap ibu
“Tidak bisa di abaikan Bu. Mereka tidak sepenuhnya amanah” ucap Mas Rayhan sambil mematikan keran air. “Ray mau ke kebun dulu Bu” pamitnya kepada ibu.
Aku dan Ibu memandang kepergian Mas Rayhan, sepertinya dia memang tidak mau dekat denganku.
“Harap maklum ya Shena. Dia memang begitu, trauma barang kali” kekeh ibu
“Iya bu” jawabku singkat
“Bagaimana tadi malam?”
“Bagaimana apanya Bu?” tanyaku heran
Ibu tersenyum dan mengelus lembut lenganku “Masa kamu nggak ngerti maksud ibu Shena” tanyanya lagi sambil terkekeh
Aku hanya tersenyum membalasnya. Seandainya ibu tahu aku dan mas rayhan tidak bersentuhan sedikitpun.
“Ibu berharap kalian bisa memiliki anak secepatnya. Sebelum ibu meninggal” ucapnya.
“Astaghfirullah, Ibu kenapa bicara seperti itu”
“Rayhan anak tunggal, wajar jika ibu menginginkan cucu darinya kan?” ibu tersenyum memperhatikan aku yang tertunduk malu. “Apalagi Rayhan sudah tiga puluh tahun. Sudah sangat wajar jika memiliki anak” sambungnya
“Insya Allah, ibu doakan ya” jawabku tersenyum. Aku berpikir bagaimana caranya aku memiliki anak sedangkan mas rayhan tidak mau menyentuhku.
Selesai sarapan aku membawa ibu mertuaku itu masuk ke dalam rumah. Aku menyalakan televisi dan mencari acara yang di sukai oleh ibu mertuaku itu. Setelah itu aku pergi ke dapur dan sarapan, selalu seperti itu yang aku lakukan selama ini.
Aku merenung sambil menyantap makananku sedikit demi sedikit
“Semangat Shena.” Ucapku menyemangati diri sendiri.
Setelah selesai makan aku kembali ke ruangan di mana ibu sedang menonton televisi. Tak berapa lama aku lihat mertuaku sudah mulai menguap.
“Shena, ibu ngantuk Anak”
“iya bu” aku mendorong pelan kursi roda mertuaku itu dan membawanya ke kamar. Setelah sampai kamar aku membaringkan ibu ke ranjang, walaupun sangat berat tapi aku berusaha kuat memapah ibu menuju tempat tidurnya.
“Ibu istirahat, nanti telpon Shena kalau butuh sesuatu ya Bu”
“Iya anak. Terima kasih” ucapnya sambil tersenyum.
Tak terasa seharian aku mengurusi Ibu mertuaku itu dan kini sore sudah datang. Kini aku mulai menyiapkan makan malam. Aku melihat Mas Rayhan sudah kembali dari kebun.
Aku memandangnya sekilas saat dia meletakkan tempat bekalnya. Setelahnya pergi tanpa menyapaku sedikitpun. Sakit? Tidak, iya aku tidak peduli toh selama ini memang begitu. Sekarang hanya status saja yang berbeda.
Setelah selesai menyiapkan makam malam aku berniat ke kamar mertuaku itu untuk menyuapinya dan memberikan obat.
Langkahku terhenti saat aku mendengar ibu mertuaku sedang bicara dengan Mas Rayhan. Aku tidak jadi masuk aku memilih untuk berdiri di depan pintu yang sedikit terbuka itu.
“Jangan begitu Anak. Kalian butuh bersama untuk mengenal satu sama lain. Ibu juga sudah cukup tua, ibu ingin melihat kalian memiliki anak”
“Rayhan akan berusaha Bu. Ibu tidak perlu khawatir dan memikirkan itu. Ibu harus tenang demi kesehatan Ibu”
“Kamu menerima Shena, Kan?” tanya ibu. “ibu ingin segera memiliki cucu dari kalian Rayhan”
Aku tidak mendengar jawaban dari pertanyaan ibu ke mas Rayhan. Mas Rayhan hanya terdiam tak bersuara.
Aku melangkah masuk ke kamar ibu. Dan saat itu juga mas Rayhan keluar dari kamar itu. Aku melihat sekilas punggungnya yang menjauh dariku. Kemudian aku menghampiri ibu mertuaku itu.
Mungkin di rumah ini aku akan mengalami sedikit luka. Karena hari demi hari tak ubahnya seperti teka teki dalam hidupku dan entah sampai kapan teka teki itu akan terpecahkan dan mendapat jawaban yang benar hanya Allah yang Maha Tau
Sebulan berlalu, aku terus berpura – pura dengan hubungan ini. Terutama kepada ibu mertuaku yang selalu mendesak untuk mendapatkan seorang cucu dariku. Seandainya ibu tahu apa yang terjadi dengan aku dan putranya itu. Mungkin ibu tidak akan meminta cucu dariku.
“Kalian bisa program khusus, pergilah ke dokter kandungan. Entah kenapa ibu merasa usia ibu tidak akan lama lagi. ibu merasa akan pergi setelah ini” ucapnya lirih
“Jangan bicara seperti itu, Bu” mas Rayhan menyentuh jemari ibunya yang sudah keriput itu dengan lembut.
Perlahan kondisi ibu semakin memburuk dan badannya semakin hari semakin kurus. Dan itu membuatku juga mas Rayhan sangat khawatir. Apalagi soal keinginannya yang belum bisa kami wujudkan. Semua itu tergantung mas Rayhan sendiri bukan?
“Kami akan berusaha lagi Bu, ini kan baru sebulan” ucap Mas Rayhan
Aku menatap Mas Rayhan dengan rasa sedih yang terpendam. Tidakkah dia sadar dengan ucapannya itu? Bahkan untuk sekedar menerima uluran tanganku saja dia tidak mau. Hanya sekali, itu pun saat kami selesai ijab Qobul.
“Ibu faham, Anak. Ibu Cuma takut” ucap Ibu.
“Sudah Bu. Jangan terlalu dipikirkan ini sudah malam, lebih baik Ibu istirahat, nggak baik buat kesehatan ibu kalau tidur larut malam” ucapku berusaha mengalihkan pembicaraan dan menenangkan perasaan mertuaku.
“Maafkan Ibu, Shena. Kalian jadi tidak ada waktu untuk menikmati pengantin baru karena kalian sibuk mengurus Ibu” ucap mertuaku itu dengan mata yang sudah berkaca – kaca
“Tidak apa – apa Bu, Shena senang melakukannya, karena Shena sudah menganggap ibu sebagai ibu Shena sendiri. Jadi mengurus ibu itu sudah menjadi tanggung jawab Shena Bu” ucapku sambil tersenyum
Setelah ibu berbaring dan Aku dan Mas Rayhan keluar dari kamar Ibu bersama – sama. Perasaanku jauh berbeda dari hari sebelumnya. Sebab ini adalah pertama kalinya Ibu bicara seperti itu kepada kami berdua. Sebenarnya aku takut akan segala hal tentang Mas Rayhan. Aku tidak tahu kehidupannya di luar sana seperti apa. Aku belum pernah melihat Mas Rayhan sholat sekalipun. Sejak dulu aku hanya melihat dia pas jum’atan selebihnya aku tidak pernah melihatnya sholat.
Aku meletakkan ponsel di atas nakas di samping tempat tidur kami. Supaya kalau ibu membutuhkanku aku mendengarnya. Aku menghela napas sejenak mencoba mengabaikan Mas Rayhan yang masih terlihat aneh memandangku sejak tadi.
“Dengar Shena, ada yang perlu kita bahas” ucapnya memecah keheningan.
Aku menoleh ke arahnya, mencoba mendengar apa yang akan dia katakan “Kenapa Mas?”
“Kamu sudah mengerti apa yang ibu mau kan? dan kamu juga tahu, itu tidak akan terjadi jika kita tidak-“ ucapan mas Rayhan terhenti. Tapi aku paham apa yang di maksud Mas Rayhan.
“Aku paham, Mas” jawabku “Maaf, bukan maksud ku memotong pembicaraan mas.” Sambung ku
Sepertinya aku lebih nyaman menatap lantai atau langit – langit kamar daripada menatap wajahnya yang dingin dan menyeramkan bagiku. Walaupun banyak yang memuji kalau Mas Rayhan itu sangat tampan. Tapi tatapannya yang dingin dan tajam itu membuatku takut dan tidak nyaman.
“Saya akan meminta hak saya kali ini. Semua ini demi Ibu, apa kamu memahami itu, Shena!” ucapnya
Aku memandang sekilas wajah yang terlihat serius itu, bahkan lebih serius dari biasanya. Apakah ini saatnya untuk kami? Dan apakah setelah ini dia mau menerimaku sebagai istri yang seutuhnya? Sungguh aku masih bingung. Walaupun sebenarnya di hatiku masih ada Mas Arhan tapi di keyakinanku aku harus tetap berbakti kepada suami dan aku ikhlas akan berusaha membuka hatiku untuk suamiku.
“Jika kamu menolak, aku tidak akan memaksa” sambungnya
“Saya tidak berhak menolak mas, karena di mata Agama dan juga Negara saya sudah sah menjadi istrimu.” Aku menunduk tanpa memandang wajahnya lagi. rasanya, cukup menjawab tanpa melihat wajahnya.
Tidak terbayangkan olehku, tanpa ada rasa cinta. Bahkan Mas rayhan menganggap ku tidak ada selama ini. Tapi, biarpun atas dasar terpaksa atau kewajiban aku akan berusaha untuk ikhlas, mungkin ini awal kehidupan lebih baik untuk kami.
...****************...
Selesai membersihkan tubuhku, aku memandang Mas Rayhan yang masih terlelap itu. Ini sudah tiba waktu subuh, aku memberanikan diri untuk membangunkannya.
Tanganku terasa bergetar, padahal aku belum sempat menyentuh tubuhnya. Aneh! Bayangan itu masih jelas terlihat. Pertama kalinya pertama kalinya kau bisa memandang wajah tampannya. Astaghfirullah! Pikiranku menjadi aneh begini. kutepuk pipiku pelas setelah itu kembali ke tujuan semula yaitu membangunkan Mas Rayhan.
“Mas” aku menggoyangkan lengannya pelan, dia menggeliat sampai selimut yang menutupi tubuh Mas Rayhan tersingkap. Astaghfirullah! Ternyata Mas Rayhan masih belum mengenakan pakaiannya. “Bangun mas” ucapku seraya kembali menutup tubuh mas Rayhan dengan selimut itu kembali.
“Apa?” ucapnya menatapku tajam
Seketika aku melangkah mundur dan kutundukkan kepalaku. “Sudah mau subuh, Mas” ucapku, entah keberanian dari mana itu datangnya sehingga aku berani membangunkan Mas Rayhan
Bukannya menjawab Mas Rayhan malah kembali menarik selimut. Menutup sekujur tubuhnya dan mengabaikan aku yang berdiri selayaknya patung saat ini. Ya sudahlah suara adzan subuh pun sudah berkumandang, akhirnya aku mengabaikan Mas Rayhan. Toh, tidak melulu syurga itu harus bersama suami kan?
Ku bentang sajadahku di dalam kamar ini. Tidak lupa dengan niat. Setelah selesai sholat, ku langit kan do’aku untuk orang tuaku dan untuk kehidupanku. Aku akan berusaha sabar dengan segala ujian yang sudah menjadi takdirku.
Setelah selesai dengan kewajibanku sebagai hamba – Nya. Aku pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan untuk kami bertiga.
Aku membuatkan teh untuk Mas Rayhan seperti biasanya, dan aku kembali ke kamar. Berpikir kembali apakah dia masih tidur?
Ku buka pintu dengan pelan, takut dia terbangun dan menyalahkan aku. Ku tatap kasur yang ternyata sudah kosong itu, mungkin dia sedang mandi. Aku meletakkan teh di atas meja, berharap dia akan meminumnya.
Karena sebulan menikah dengannya, dia belum pernah meminum teh yang aku siapkan untuknya setiap pagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!